30 September 2016

Parsel Lebaran


Parsel  Lebaran
By: Anton WP

Setiap menjelang Lebaran, ada sesuatu yang selalu ditunggu-tunggu Andi. Apalagi kalau bukan datangnya parsel Lebaran. Ya, parsel bingkisan Lebaran. Biasanya dua minggu sebelum Lebaran, mulailah berdatangan orang-orang mengantarkan parsel ke rumahnya.

Andi bersama ketiga adiknya biasanya berebut. Mereka saling mendahului mengambil makanan kecil dan minuman ringan di dalam keranjang parsel. Ayah dan Ibu biasanya hanya tertawa melihat tingkah laku mereka berempat.

“Sudah, jangan berebut. Andi, kamu sudah kelas enam. Mengalah, dong, sama adik-adikmu!” Begitu kata Ayah biasanya.

Dengan rela, Andi juga akan memberikan makanan ringan yang diinginkan Didi. Andi memang hanya ingin meramaikan acara rebutan itu. Adik bungsunya, yang baru duduk di kelas nol besar itu, biasanya melonjak girang menerima makanan ringan itu.

Suatu hari Andi sedang membaca buku cerita di teras depan bersama Noval, teman sekelasnya. Membaca bisa membuat mereka melupakan rasa lapar karena sedang berpuasa.

Sedang asyik keduanya membaca, sebuah mobil memasuki halaman. Andi beranjak dari duduknya melihat siapa yang datang.

“Dik, benar ini rumah Pak Asdi?” tanya seorang lelaki yang turun dari mobil tadi.

“Benar, Pak,” jawab Andi.

“Mat, benar. Ayo turunkan parselnya,” suruh lelaki itu pada temannya.

Segera teman lelaki itu membawa turun sebuah parsel dari mobil dan menaruhnya di teras rumah.

“Tolong ditandatangani, Dik,” pinta lelaki itu pada Andi seraya menyodorkan sebuah kertas dan pulpen.

Andi menandatangani kertas tanda terima itu.

“Terima kasih, Dik,” kata lelaki itu dan melangkah kembali ke dalam mobil. Mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah Andi.

“Wah, hadiah dari mana, Ndi?” tanya Noval melihat-lihat keranjang parsel yang dibungkus plastik bening itu.

“Bukan hadiah, Val. Ini namanya parsel Lebaran,” ujar Andi. “Parsel itu, kata ayahku, berasal dari bahasa Inggris. Artinya bingkisan Lebaran,” jelas Andi lagi.

“Bingkisan ini dari saudaramu ya, Ndi?” tanya Noval lagi.

“Bukan, dari teman-teman ayahku. Ayo, bantu aku mengangkatnya masuk ke rumah, Val,” kata Andi.  

Dua sahabat itu mengangkat parsel bersama-sama dan menaruhnya di ruang tengah. Parsel yang baru datang itu bergabung dengan deretan parsel lainnya yang sudah lebih dulu datang.

“Wah, banyak juga teman ayahmu yang memberi bingkisan ya, Ndi,” kata Noval kagum.

“Iya, biasanya masih banyak lagi yang akan datang, sampai hari terakhir puasa,” cerita Andi tanpa bermaksud menyombong. “Ayahmu juga dapat kiriman parsel kan, Val?” tanya Andi kemudian.

“Eng..., nggak ada, Ndi. Tapi seminggu sebelum Lebaran, biasanya Ayah membawa sekotak minuman kaleng pemberian Pak Haji Umar, majikan ayahku,” kata Noval.

“Ooh,” hanya itu yang keluar dari mulut Andi.

Malamnya ketika pulang dari shalat tarawih di masjid, Andi menemui ayahnya yang juga baru pulang dari masjid. Ayah sedang duduk-duduk sambil makan kurma dan membaca koran di teras belakang.

“Yah, ternyata tidak semua orang dapat parsel tiap menjelang Lebaran, ya,” kata Andi.

Ayah heran mendengar kata-kata anak sulungnya itu. Diletakkannya koran yang sedang dibacanya di meja.

“Memangnya kenapa, Ndi?” tanya Ayah.

Andi lalu bercerita tentang Noval yang tidak pernah menerima parsel Lebaran. Ayah terdiam mendengar cerita Andi.

“Bagimana kalau kita berikan salah satu parsel untuk temanmu itu,” usul Ayah kemudian.

“Benar, Yah?” tanya Andi seakan tak percaya.

“Iya. Besok kita antar bersama-sama parsel buat keluarga temanmu itu,” ujar Ayah.

“Terima kasih, Yah,” seru Andi sambil memeluk ayahnya.

Andi senang bisa berbagi dengan temannya yang berasal dari keluarga tak mampu. Ayah Noval juga bahagia, karena mempunyai anak yang berhati baik seperti Noval.

Ilustrasi: Bondhan

Ilustrasi: Bondhan


(Sumber : Bobo Edisi 24. Tahun XXXVII. 29 September 2009. Hal. 18-19)

0 komentar:

Posting Komentar