Paman Dermawan
By: L. Heni Susuilowati
Bentuk roti-roti
Paman Pablo seperti badan sang pemilik nama. Besar-besar. Mantap. Pas untuk
orang yang banyak makan. Harganya pun mahal. Lebih-lebih mereka membelinya
dengan uang sakunya sendiri. Bibi Pablo menyarankan Paman Pablo untuk membuat
roti dengan ukuran kecil juga. Namun, Paman Pablo keras kepala. Bila sudah
membuat keputusan, tidak ada yang bisa menggoyahkannya. Itulah sebabnya, sejak
toko rotinya buka, hanya roti besar-lah yang memenuhi toko miliknya.
“Seperti ini saja sudah laris, mengapa
mesti membuat yang lain? Lagi pula, aku hanya mau berurusan dengan orang kaya,”
begitu katanya.
Begitulah, toko roti Paman Pablo
terkenal dengan roti besar yang lezat. Sayangnya, tidak semua orang mampu
membelinya.
Suatu hari, hari masih pagi saat toko
buka. Di depan pintu toko roti, berdiri seorang anak perempuan. Kurus, berbaju
lusuh, berambut merah, dan berkulit gelap.
Ilustrasi: Dhian |
“Mau apa?!” Paman Pablo mengira anak
itu peminta-minta.
“Beli roti, satu, Paman,” sahut anak
itu dengan takut.
Paman Pablo tidak senang mendengar
jawaban tersebut.
Satu. Astaga! Pelanggan toko rotinya
belum pernah ada yang hanya membeli atu potong.
“Tapi dia beli, bukan minta,” usik hati
kecil Paman Pablo.
Maka Paman Pablo membiarkan anak itu
masuk.
Setelah mengambil sebuah roti, anak
tersebut memasukkan tangan ke saku, dan mengeluarkan... segenggam uang. Uang
logam. Dengan nilai terkecil.
Anak itu menghitung uang logam tersebut
satu demi satu di meja kasir.
Paman Pablo memperhatikan gerakan
tangan anak itu. Tiba-tiba sebuah perasaan sedih menyelinap ke dalam hati Paman
Pablo.
Uang logam kecil-kecil. Teringat
olehnya saat ia masih kecil dulu. Hidupnya susah. Ia mesti bekerja untuk
mendapatkan upah yang tak seberapa. Kemiskinan membuatnya bertekad menjadi
orang kaya. Dan sekarang, saat sudah berhasil, mengapa ia melupakan anak-anak
yang tak beruntung seperti ia dulu?
“Kamu tak perlu membayarnya,” mata
Paman Pablo berkaca-kaca.
Ilustrasi: Dhian |
Ia lalu mengambil sebuah dus,
mengisinya dengan setengah lusin roti, dan memberikannya pada anak perempuan
itu.
“Siapa namamu?”
“Tatia, Paman.”
“Masih sekolah?”
“Ya, Paman.”
“Sekolah yang rajin, Tatia. Supaya
kelak kamu bisa memiliki toko roti seperti Paman.”
“Terima kasih, Paman. Saya selalu juara
kelas,” ucap Tatia dengan wajah berseri.
Ilustrasi: Dhian |
Setelah Tatia pergi, Paman Pablo
menyuruh karyawannya membuat roti dengan ukuran kecil. Kini, semua orang bisa
membeli roti Paman Pablo. Bahkan, tidak jarang Paman Pablo membagikan roti
gratis pada anak dan orang tak mampu.
Sejak itu Paman Pablo dikenal sebagai
Paman Dermawan.
(Sumber: Bobo Edisi 23. Tahun XXXVII. 17 September
2009. Hal 40-41)
0 komentar:
Posting Komentar