18 September 2016

Paman Dermawan


Paman Dermawan

By: L. Heni Susuilowati

Bentuk roti-roti Paman Pablo seperti badan sang pemilik nama. Besar-besar. Mantap. Pas untuk orang yang banyak makan. Harganya pun mahal. Lebih-lebih mereka membelinya dengan uang sakunya sendiri. Bibi Pablo menyarankan Paman Pablo untuk membuat roti dengan ukuran kecil juga. Namun, Paman Pablo keras kepala. Bila sudah membuat keputusan, tidak ada yang bisa menggoyahkannya. Itulah sebabnya, sejak toko rotinya buka, hanya roti besar-lah yang memenuhi toko miliknya.

“Seperti ini saja sudah laris, mengapa mesti membuat yang lain? Lagi pula, aku hanya mau berurusan dengan orang kaya,” begitu katanya.

Begitulah, toko roti Paman Pablo terkenal dengan roti besar yang lezat. Sayangnya, tidak semua orang mampu membelinya.

Suatu hari, hari masih pagi saat toko buka. Di depan pintu toko roti, berdiri seorang anak perempuan. Kurus, berbaju lusuh, berambut merah, dan berkulit gelap.
Ilustrasi: Dhian

“Mau apa?!” Paman Pablo mengira anak itu peminta-minta.

“Beli roti, satu, Paman,” sahut anak itu dengan takut.

Paman Pablo tidak senang mendengar jawaban tersebut.

Satu. Astaga! Pelanggan toko rotinya belum pernah ada yang hanya membeli atu potong.

“Tapi dia beli, bukan minta,” usik hati kecil Paman Pablo.

Maka Paman Pablo membiarkan anak itu masuk.

Setelah mengambil sebuah roti, anak tersebut memasukkan tangan ke saku, dan mengeluarkan... segenggam uang. Uang logam. Dengan nilai terkecil.

Anak itu menghitung uang logam tersebut satu demi satu di meja kasir.

Paman Pablo memperhatikan gerakan tangan anak itu. Tiba-tiba sebuah perasaan sedih menyelinap ke dalam hati Paman Pablo.

Uang logam kecil-kecil. Teringat olehnya saat ia masih kecil dulu. Hidupnya susah. Ia mesti bekerja untuk mendapatkan upah yang tak seberapa. Kemiskinan membuatnya bertekad menjadi orang kaya. Dan sekarang, saat sudah berhasil, mengapa ia melupakan anak-anak yang tak beruntung seperti ia dulu?

“Kamu tak perlu membayarnya,” mata Paman Pablo berkaca-kaca.
Ilustrasi: Dhian

Ia lalu mengambil sebuah dus, mengisinya dengan setengah lusin roti, dan memberikannya pada anak perempuan itu.

“Siapa namamu?”

“Tatia, Paman.”

“Masih sekolah?”

“Ya, Paman.”

“Sekolah yang rajin, Tatia. Supaya kelak kamu bisa memiliki toko roti seperti Paman.”

“Terima kasih, Paman. Saya selalu juara kelas,” ucap Tatia dengan wajah berseri.
Ilustrasi: Dhian

Setelah Tatia pergi, Paman Pablo menyuruh karyawannya membuat roti dengan ukuran kecil. Kini, semua orang bisa membeli roti Paman Pablo. Bahkan, tidak jarang Paman Pablo membagikan roti gratis pada anak dan orang tak mampu.

Sejak itu Paman Pablo dikenal sebagai Paman Dermawan.

(Sumber: Bobo Edisi 23. Tahun XXXVII. 17 September 2009. Hal 40-41)

0 komentar:

Posting Komentar