20 Desember 2016

Kado Ulang Tahun Untuk Mama


Kado Ulang Tahun Untuk Mama

By: Sri Fatimah A.S

Sepulang sekolah, Safa terlihat melamun di kamar.

“Hayo, kecil-kecil sudah melamun!” teriak Kak Zulvan mengagetkan Safa.

“Aku lagi memikirkan tugas dari Bu Guru,” jawab Safa sambil melepas sepatunya. “Sebentar lagi, kan, Hari Ibu. Bu Guru menyuruh kami mengarang tentang apa saja yang telah kami perbuat untuk membahagiakan Ibu. Karangan itu harus dikumpulkan minggu depan.”


Ilustrasi: Yoyok


“Itu, kan, tugas yang mudah,” komentar Kak Zulvan.

“Masalahnya, Kak... Safa belum pernah membahagiakan Mama. Malah lebih sering membuat Mama jengkel karena kalau asyik bermain aku sering lupa makan, bahkan lupa mandi...”.

Kak Zulvan tersenyum, “Ya, sudah! Kalau begitu, mulai sekarang kamu jangan bikin Mama jengkel lagi. Apalagi, setelah Papa meninggal, Mama, kan, lelah bekerja untuk menghidupi kita.”

Safa menganggukkan kepalanya dengan penuh rasa sesal.

“Lusa, kan, Mama berulang tahun. Kamu bisa memberi kado kecil untuk Mama. Selama ini, kamu belum pernah memberi hadiah buat Mama, kan? Nah, setelah itu, kami bisa membuat karangan,” saran Kak Zulvan.  

“Wah, makasih, ya, Kak, atas idenya,” Safa tersenyum manis.

Setelah kakaknya keluar kamar, Safa mulai memikirkan kado yang cocok untuk Mama. Ia lalu teringat, kalau dompet Mama sudah kusam. Namun Safa ragu. Apa ada dompet yang murah harganya? Safa melirik ke celengan gajahnya.

Sore hari, ketika Mama pergi ke arisan, Safa membuka celengannya itu. Setelah ia menghitung semua uangnya, jumlahnya ternyata hanya Rp 20.000,00.  

“Mungkin, di toko serba ada, di depan sekolah, ada dompet yang harganya Rp 20.000,00,” gumamnya.

Besok siangnya, sepulang sekolah, Safa pergi ke toko serba ada itu. Harga dompet di toko itu bermacam-macam. Ada yang mahal, ada juga yang murah. Sebenarnya Safa tertarik pada dompet berwarna cream. Bentuknya cantik sekali. Sayang harganya Rp 40.000,00. Uang Safa tidak cukup.


Ilustrasi: Yoyok


Safa teringat kata-kata kakaknya. Tidak usah yang mahal-mahal, asalkan ikhlas. Ia lalu melihat-lihat dompet yang harganya lebih murah. Akhirnya, safa menemukan sebuah dompet cokelat muda. walau harganya murah, namun bentuknya cukup menarik. Dengan lega, Safa membayar di kasir.  

Setelah makan siang, Safa sibuk membungkus kadonya. Hadiah itu lalu ia simpan di laci meja belajarnya. Ia punya rencana untuk ulang tahun Mama. Ketika jam menunjukkan pukul 7.30 malam, Safa bersiap-siap tidur. Sebelum tidur, ia menyetel jam wekernya agar ia bisa berbunyi pukul 12 malam nanti.

Jam weker Safa tepat waktu. Deringannya berbunyi kencang tepat pada pukul 12 malam. KRIIING...  KRIIING...

Awalnya Safa malas bangun. Namun ia teringat pada rencananya. Buru-buru ia bangun dan mengambil kadonya. Dengan hati-hati dia mengetuk pintu kamar Mama. Mama membuka pintu dan terkejut melihat Safa di depan pintu.

“Ada apa Safa?” tanya Mama.

Safa tersenyum malu lalu mengulurkan kado.

“Safa cuma mau kasih kado kecil ini, Ma! Selamat Ulang Tahun!”  

Mata Mama yang semula mengantuk, kini terbuka lebar. Mama tersenyum haru dan menerima kado itu. Ia lalu memeluk Safa.

“Terima kasih, Sayang. Mama senang sekali. Tapi sekarang Safa tidur lagi, ya. Ini, kan, masih malam, Sayang!” kata Mama.

Safa mengangguk dan segera kembali ke kamarnya. Tak lupa menyetel wekernya agar berbunyi pada pukul lima pagi.

Tepat pukul lima pagi, weker Safa berbunyi. Safa segera bangun dan mandi. Ketika masuk kembali ke kamar dan melintasi meja belajarnya, betapa terkejutnya Safa. Ada uang dua puluh ribu dan secarik kertas di atas meja itu. Safa segera membaca tulisan kertas itu.

Safa sayang, terimakasih, ya, kadonya. Mama sangat senang dan terharu. Ini uang dua puluh ribu dari Mama. Ditabung, ya!

Safa tersenyum. Namun ia penasaran juga karena Mama tahu harga dompet itu. Setelah memakai seragam, Safa bergegas mencari mamanya untuk bertanya.

“Ma, kenapa mengembalikan uang Safa?”

“Mama bukannya mengembalikan uangmu. Uang dari Mama itu, untuk menambah tabunganmu. Mama, kan, tahu kamu sedang menabung untuk membeli sepatu baru,” jawab Mama penuh sayang.

Safa terharu mendengar ucapan Mama. “Makasih, ya, Ma,” ucap Safa, lalu mencium tangan mamanya.

Baru beberapa langkah meninggalkan halaman rumahnya, tiba-tiba Safa lari berbalik lagi.

“Apa yang ketinggalan, Fa?” tanya Mama. “Nggak ada, Ma. Safa cuma ingin tahu. Dari mana Mama tahu kalau harga dompet itu dua puluh ribu?” tanya Safa malu-malu.


Ilustrasi: Yoyok

Sambil tertawa Mama menjawab, “Ya, dari dompetnya. Kamu lupa mencabut stiker harganya.” Mereka tertawa bersama-sama.

Hari itu, Safa berangkat ke sekolah dengan riang. Keinginannya untuk membahagiakan Mama sudah tercapai. Dan siang nanti, sepulang sekolah, ia sudah bisa mengerjakan tugas mengarangnya.


(Sumber: Bobo edisi 36. Tahun XXXVII. 17 Desember 2009. Hal. 10-11)

Tangisan di Malam Hari


Tangisan di Malam Hari

By: Yoga T

Tak seperti biasanya, pagi itu, Eci melihat kesibukan di rumah yang berada di seberang rumahnya. Rumah yang telah lama kosong itu kini berpenghuni. Tampak seorang ibu sibuk membersihkan lantai dan ruangan.

“Ma, siapa yang menempati rumah kosong itu?” tanya Eci penasaran.

“Mama dengar-dengar, sih, rumah itu ditempati Pak Anto dan keluarganya. Mereka pindahan dari Yogyakarta,” jawab Mama.  

“Syukurlah. Rumah itu sekarang tidak terlihat angker lagi. Soalnya Eci sering merinding kalau melihat rumah yang kosong,” tutur Eci.

Mama tersenyum geli mendengar perkataan Eci.

Malamnya, Eci tidak bisa tidur. Di keheningan larut malam itu, ia mendengar suara tangisan yang menyayat hati. Suara anak perempuan! Eci menduga suara itu berasal dari rumah tetangga barunya. Padahal setahu Eci, keluarga itu tidak memiliki anak perempuan. Iiih... Eci jadi merinding.   

Ilustrasi: Piet. O


Malam berikutnya, Eci kembali mendengar suara tangisan yang sama. Kali ini terdengar lebih nyaring memecah keheningan. Meskipun penasaran, Eci tidak berani memeriksa asal suara itu. Bagaimana kalau tiba-tiba muncul wajah yang menyeramkan di jendela kamarnya? Membayangkan itu, seketika Eci melompat dari tempat tidurnya dan berlari masuk ke kamar mamanya.

Pagi harinya, Eci bercerita pada mamanya tentang suara-suara yang didengarnya.  

“Tapi, Mama tidak mendengar suara tangisan, kok,” komentar Mama Eci.

“Mama sudah tidur pulas, sih. Suara itu baru terdengar saat sudah larut malam,” ujar Eci dengan wajah tegang.

Dari jendela, Eci lalu memperhatikan rumah tetangganya dengan seksama. Keluarga Pak Anto tidak terlihat. Pintu rumahnya tertutup rapat. Aneh? Pikir Eci.  

Sore harinya, Eci mencari-cari kucing kesayangannya.

“Caty! Caty!” panggilnya.

Sekilas Eci melihat kucingnya masuk ke halaman rumah Pak Anto. Dengan sedikit ragu Eci melangkah membuntutinya. Dari balik pagar tembok, ia melongok-longok ke dalam halaman. Tampak sepi.   

Ketika menengok ke arah samping rumah, Eci melihat ada seorang anak perempuan sedang duduk di kursi. Anehnya anak itu berpakaian serba tertutup. Wajahnya pun memakai cadar. Tentu saja Eci kaget. Namun karena penasaran ia mencoba menegurnya.

“Hai...” sapanya dengan gugup.

Secepat kilat anak itu malah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh. Eci semakin penasaran. Sekarang ia baru tahu kalau di rumah itu ada anak perempuan yang misterius.

Pada kesempatan lain, Eci menghampiri Bu Anto yang sedang menyiram bunga. Bu Anto ramah menyambut Eci. Setelah bercakap beberapa waktu, Eci memberanikan diri bertanya. 


Ilustrasi: Piet. O


“Maaf, ya, Bu Anto. Apa Ibu punya seorang anak perempuan?”

Sejenak Ibu Anto terdiam. Perlahan, ia meletakkan selang airnya di tanah. Matanya menerawang jauh. Matanya mulai berkaca-kaca.  

“Sebelum-nya, ibu mau minta maaf. Ibu memang punya seorang puteri yang kira-kira sebaya denganmu. Namanya Tari. Bukannya Ibu tidak mau memperkenalkan putri Ibu pada para tetangga... Tapi, Tari sekarang sedang mendapat cobaan... ” Bu Anto berhenti.

“Cobaan? Maksud Ibu?” tanya Eci.

“Wajah Tari tersiram minyak goreng panas. Kulit pipinya melepuh. Itu sebabnya dia selalu mengurung diri dan tidak mau bertemu orang. Hampir setiap malam Tari menangis sedih. Sebetulnya Tari akan menjalani operasi. Tapi, mentalnya belum siap,” tutur Bu Anto lagi dengan sedih.

Bu Anto kemudian mengajak Eci masuk ke rumahnya. Di dalam sebuah kamar, Eci mendapati seorang anak perempuan bercadar yang dijumpainya tempo hari. Itulah Tari.

“Mau apa kamu ke sini? Pergi!” bentak tari.

“Ini Eci, tetangga kita. Ia mau berkenalan denganmu, Tari,” terang Bu Anto.

“Hai, aku Eci! Aku ingin berteman denganmu. Ibumu sudah bercerita tentang kamu. Aku turut prihatin. Tapi aku yakin, kamu pasti akan sembuh kembali bila dioperasi. Nanti kita bisa ke sekolah sama-sama,” Eci menjabat tangan Tari. Ia mencoba menghibur dan memberi semangat kepada Tari. 

Ilustrasi: Piet. O


Sejak kejadian itu, Eci selalu bermain ke rumah Tari. Ternyata setelah berkenalan dengan Eci, perlahan-lahan Tari bersemangat lagi. Ia tidak murung, apalagi menangis di malam hari. Eci membujuk Tari supaya mau dioperasi. Sampai akhirnya Tari mau dioperasi. Semua mendoakannya.

Beberapa bulan kemudian, wajah Tari benar-benar sembuh. Wajahnya cantik kembali. Namun yang penting, Tari menjadi anak yang ceria lagi. Eci turut bahagia.

(Sumber: Bobo edisi 36. Tahun XXXVII. 17 Desember 2009. Hal. 26-27)

Janji Amel


Janji Amel

By: Lin Mulyati Suryo

Pulang sekolah Amel nampak kesal. Wajahnya ditekuk. Bibirnya cemberut. Ia melempar tas sekolahnya ke kursi. Sampai bukunya berantakan di lantai. Mamanya sampai heran melihatnya.

“Tante Lina jahat, Ma!” gerutu Amel kesal.


Ilustrasi: Dhian


“Lo, ada apa dengan Tante Lina?” kening Mama mengernyit. “Tante Lina pelit!” gerutu Amel lagi sambil cemberut. “Tadi ulangan Matematika aku cuma dikasih nilai enam!”

“Kenapa Tante Lina yang disalahkan, Mel? Mungkin Amel salah mengisi soal-soal ulangan. Lagi pula, kamu, kan, memang malas belajar Matematika. Katanya kamu ingin seperti Tante Lina, jadi guru Matematika,” Mama malah menyalahkan Amel.

“Tapi, Ma! Amel, kan, keponakan kesayangan Tante Lina. Kok, tega, ngasih nilai enam? Pokoknya, lihat saja! Kalau Tante ke sini, Amel enggak mau ketemu!” kata Amel sambil berlari masuk ke kamarnya.

Besoknya, di sekolah, Amel kembali bertemu Tante Lina. Walau sebenarnya masih kesal, tak mungkin Amel bolos pelajaran Matematika. Namun ia tidak mungkin keluar di jam pelajaran Matematika. Tante Amel baru beberapa bulan menjadi guru baru di kelasnya. Ia menggantikan guru Matematika yang sedang cuti melahirkan.  

Awalnya Amel sangat senang Tante Lina menjadi guru di kelasnya. Ia berpikir, pasti Tante Lina akan selalu memperhatikannya. Selama ini, nilai Matematika Amel selalu rendah. Itu sebabnya Amel berharap Tante Lina akan memberinya nilai yang tinggi, Amel, kan, keponakan kesayangan Tante Lina.

Amel kurang suka pada pelajaran Matematika yang dianggap rumit. Kemarin, seperti biasa, ia tidak akan belajar untuk menghadapi ulangan Matematika. Ia mengira Tante Lina pasti tidak akan tega memberinya nilai yang kecil.  

“Kamu pasti tidak belajar dan latihan, ya?” tanya Tante Lina ketika memberikan kertas hasil ulangan kemarin. Alangkah terkejutnya Amel ketika melihat nilai enam di kertasnya. Ah, tega sekali Tante Lina.

Amel masih kesal pada tantenya itu. Sore itu, ketika Tante Lina berkunjung di rumahnya, Amel tak mau keluar dari kamarnya. Setelah Mama memaksanya keluar kamar, barulah ia menemui Tante Lina di ruang tamu.


llustrasi: Dhian


“Sini Amel, kita bicara, ya,” Tante Lina tersenyum sambil menggamit tangan Amel. Mereka duduk bersebelahan di kursi.  

“Iya, Bu!” jawab Amel pendek.

“Lo, kok, Tante dipanggil Ibu?” Tante Lina tersenyum manis. Jemari tangannya kini mengelus rambut Amel dengan sayang.

“Biasanya juga Amel panggil ibu di sekolah,” ucap Amel ketus.  

Kalau di rumah, panggil Tante aja, deh,  kata Tante Lina lagi sambil tersenyum. “Oh iya! Kata Mama, kamu marah sama Tante, ya, karena nilai ulanganmu kecil?” Tante Lina kini menatap wajah Amel yang merah.

Ah. Mengapa Mama harus cerita sama Tante Lina sih? Gerutu Amel di dalam hati.

“Amel tidak marah, kok. Cuma kesal...” jawab Amel sambil menunduk.

“Amel, Tante sayang banget sama Amel. Tapi untuk masalah nilai, Tante tidak bisa menolong Amel. Sebagai guru, Tante harus bersikap adil. Kalau Amel ingin mendapat nilai bagus, ya, harus rajin belajar,” Tante Lina kembali mengelus rambut Amel.

“Tapi Tante...” Amel menghela napas dalam-dalam.

“Amel. Tante tidak boleh membeda-bedakan murid. Nanti orang lain akan berprasangka buruk. Bisa saja mereka mengira Amel mendapat nilai bagus karena Amel adalah keponakan Tante. Makanya, tunjukkan pada teman-teman sekelasmu kalau kamu mendapat nilai bagus karena rajin belajar,” kata Tante Lina panjang lebar.  

“Tapi Tante, belajar Matematika itu sangat sulit...” Amel mengeluh.

“Tidak juga. Asalkan Amel mau belajar menyukai pelajaran Matematika itu. Bila sudah suka, Amel pasti jadi semangat untuk belajar. Dan lama-lama, Amel jadi pintar Matematika,” Tante Lina memberi semangat.

Amel tersenyum mulai mendapat harapan.

“Kamu bisa ke rumah Tante tiga kali seminggu. Nanti Tante akan mengajari Amel sampai Amel pintar dan mahir Matematika,...” kata Tante Lina lagi.

“Benar, Tante?” mata Amel semakin berbinar bahagia.

“Ya. Tapi Amel janji ya, untuk tetap belajar sendiri juga di rumah!”

“Ya, Tante, Amel janji! Lihat saja, nanti Amel pasti jadi jagoan Matematika,” kata Amel lagi sambil tertawa senang.

“Jadi, sekarang Amel tidak marah lagi sama Tante, kan?” Tante Lina tertawa.

“Enggak, dong, Tante. Maafkan Amel, ya, Tante,” kata Amel lagi sambil memeluk tantenya. Amel betul-betul menyesal telah kesal pada tantenya. Padahal tantenya yang pintar itu ternyata sangaaat baik! Aku akan rajin belajar agar bisa menjadi pintar seperti Tante Lina. Itulah janji Amel di dalam hati!
Ilustrasi: Dhian


(Sumber: Bobo edisi 36. Tahun XXXVII. 17 Desember 2009. Hal. 18-19)

30 September 2016

Minggat Itu Bikin Repot


Minggat itu bikin repot

By: Palris Jaya

Bel pulang sekolah sudah berdentang sejak dua jam lalu. Sekolah sudah sepi. Pak Damar, penjaga sekolah, sudah membersihkan kelas. Tanto melangkah gontai ke kantin. Tampak Bu Damar sibuk membereskan dagangannya.

“Lo, Tanto, kok, belum pulang?” sapa Bu Damar.

“Lagi malas pulang, Bu,” kata Tanto lemah.

“Nanti dicari mamamu, lo!” ujar Bu Damar, lalu mulai menghitung uang hasil jualannya.

Tanto hanya melengos. Ia lalu menawarkan bantuan pada Bu Damar untuk menghitung uang. Dengan senang hati, Bu Damar mengizinkan. Usai menghitung, Tanto diberinya sepotong roti cokelat.

Di depan sekolah, Tanto bingung mau pergi ke mana. Ia melangkah ke halte. Entah sudah berapa bus jurusan ke rumahnya yang lewat. Namun ia membiarkannya saja. Tanto memang tidak berniat pulang. Ia mau minggat!

Ilustrasi: Piet. O

       “Aku sebaiknya ke mana, ya? Perutku sudah lapar. Harusnya sekarang aku sudah makan siang, lalu beristirahat sambil mendengarkan musik. Ah, tapi beberapa hari ini, kegiatanku tidak begitu, kok!” gumam Tanto.

Kemarin, sepulang sekolah, Tanto mampir dulu di warung sewa play station di dekat rumah Gunar. Demikian juga hari-hari sebelumnya. Ia hampir selalu tiba di rumah pada pukul enam sore. Ia lupa makan, lupa mengerjakan PR, lupa pergi mengaji... uang jajan yang ditabungnya selama seminggu pun habis! Akibatnya, tadi malam, Mama marah besar.

Sebagai hukuman, Tanto tidak diberi uang jajan selama satu minggu. Hanya ongkos bus. Ia juga tidak boleh keluyuran pulang sekolah. Selama satu minggu ke depan, Mama akan melihat kelakuannya. Jika sudah tidak melakukan pelanggaran lagi, barulah ia akan mendapatkan uang jajannya kembali.

“Mama pasti tidak sayang padaku!” keluh Tanto. “Kok, tega menghukumku seberat ini. Betapa enaknya Gunar, yang bebas pulang jam berapa saja. Uang jajannya juga banyak. Apalagi, Gunar punya PS sendiri di rumah. Walau Gunar memang lebih suka main di warung play station. Lebih ramai dan seru!”

Akhirnya Tanto memilih berjalan kaki ke warung PS. Mungkin sekarang Gunar sedang main PS di sana, pikirnya. Dengan bercucuran keringat, Tanto tiba di warung PS. Tampak beberapa anak sedang bermain PS. Sebagian menunggu giliran. Akan tetapi, Gunar tidak ada di situ.

Tanto semakin gelisah. Ia akhirnya pergi ke rumah Gunar yang tak jauh dari warung itu. Namun Gunar tidak ada di rumah. Kata pembantunya, Gunar pergi ke mall bersama mamanya. Tanto kehabisan akal.

Hari sudah menjelang sore. Perut Tanto semakin keroncongan. Uangnya sakunya tinggal untuk ongkos pulang. Tiba-tiba Tanto ingat roti cokelat pemberian Bu Damar tadi. Ia melahap roti itu setelah tiba di halte lagi.

Apakah Mama sekarang sedang mencariku? Batinnya. Apakah Mama sekarang memikirkan aku yang belum pulang? Mungkin saja. Buktinya kemarin-kemarin, ketika aku terlambat pulang, Mama marah-marah. Marah itu, pertanda sayang, bukan? Mama marah, bukan karena Mama membenciku! Tiba-tiba pikiran seperti itu muncul di benak Tanto.

Ilustrasi: Piet. O

Sekarang giliran Tanto memikirkan Mama. Bagaimana kalau Mama menyangka aku diculik? Lalu Mama melapor ke polisi sambil menangis? Tanto tidak tahan membayangkan kalau dirinya benar-benar diculik. Ia akhirnya naik ke bus jurusan rumahnya. Ia ingin cepat-cepat pulang dan minta maaf pada Mama.

Tanto menyesali kebodohannya hendak minggat. Bukankah lebih baik kalau langsung pulang ke rumah usai jam sekolah? Lalu makan siang dengan sop kepiting asparagus. Minum jus jeruk yang segar. Setelah itu tidur siang sebelum berangkat mengaji?

Tanto berlari kencang masuk ke halaman rumah. Namun rumahnya sepi. Biasanya, di sore seperti ini, Mama dan Bik Marti sibuk mengurusi tanaman. Tanto masuk ke rumah dan mencari Mama di kamar. Tidak ada siapa-siapa di rumah. Tanto jadi cemas. Jangan-jangan Mama sedang berada di kantor polisi.

Tenggorokan Tanto jadi kering. Ia segera menuju kulkas untuk mengambil minuman. Saat itu ia melihat pesan Mama yang ditempel di pintu kulkas,

Tanto, Mama Papa pergi ke rumah Om Herman. Dia baru pulang dari Kanada. Mama sudah tunggu kamu dari tadi. Karena belum pulang juga, kamu Mama tinggal. Bik Marti sedang menjenguk keponakannya yang melahirkan. Makanan sudah disiapkan. Supnya mungin sudah dingin.

Ilustrasi: Piet. O

       Tanto merasa ingin menangis. Ternyata Mama masih memperhatikannya. Kenapa tadi ia bisa berpikiran buruk kepada Mama? Sampai ingin minggat segala. Bukankah minggat itu bikin repot dirinya sendiri? Mondar-mandir tak karuan. Menahan lapar seharian. Bahkan ditinggal Mama ke rumah Om Herman.

Rencana minggat yang gagal total! Tanto malu sendiri. Namun perutnya yang kelaparan minta segera diisi. Sup kepiting asparagus kesukaaannya, meski sudah dingin, kali ini terasa seribu kali lebih nikmat. Nyam... nyam...

(Sumber: Bobo edisi 24. Tahun XXXVII. 24 September 2009. Hal. 48-49)

Parsel Lebaran


Parsel  Lebaran
By: Anton WP

Setiap menjelang Lebaran, ada sesuatu yang selalu ditunggu-tunggu Andi. Apalagi kalau bukan datangnya parsel Lebaran. Ya, parsel bingkisan Lebaran. Biasanya dua minggu sebelum Lebaran, mulailah berdatangan orang-orang mengantarkan parsel ke rumahnya.

Andi bersama ketiga adiknya biasanya berebut. Mereka saling mendahului mengambil makanan kecil dan minuman ringan di dalam keranjang parsel. Ayah dan Ibu biasanya hanya tertawa melihat tingkah laku mereka berempat.

“Sudah, jangan berebut. Andi, kamu sudah kelas enam. Mengalah, dong, sama adik-adikmu!” Begitu kata Ayah biasanya.

Dengan rela, Andi juga akan memberikan makanan ringan yang diinginkan Didi. Andi memang hanya ingin meramaikan acara rebutan itu. Adik bungsunya, yang baru duduk di kelas nol besar itu, biasanya melonjak girang menerima makanan ringan itu.

Suatu hari Andi sedang membaca buku cerita di teras depan bersama Noval, teman sekelasnya. Membaca bisa membuat mereka melupakan rasa lapar karena sedang berpuasa.

Sedang asyik keduanya membaca, sebuah mobil memasuki halaman. Andi beranjak dari duduknya melihat siapa yang datang.

“Dik, benar ini rumah Pak Asdi?” tanya seorang lelaki yang turun dari mobil tadi.

“Benar, Pak,” jawab Andi.

“Mat, benar. Ayo turunkan parselnya,” suruh lelaki itu pada temannya.

Segera teman lelaki itu membawa turun sebuah parsel dari mobil dan menaruhnya di teras rumah.

“Tolong ditandatangani, Dik,” pinta lelaki itu pada Andi seraya menyodorkan sebuah kertas dan pulpen.

Andi menandatangani kertas tanda terima itu.

“Terima kasih, Dik,” kata lelaki itu dan melangkah kembali ke dalam mobil. Mobil pun melaju meninggalkan halaman rumah Andi.

“Wah, hadiah dari mana, Ndi?” tanya Noval melihat-lihat keranjang parsel yang dibungkus plastik bening itu.

“Bukan hadiah, Val. Ini namanya parsel Lebaran,” ujar Andi. “Parsel itu, kata ayahku, berasal dari bahasa Inggris. Artinya bingkisan Lebaran,” jelas Andi lagi.

“Bingkisan ini dari saudaramu ya, Ndi?” tanya Noval lagi.

“Bukan, dari teman-teman ayahku. Ayo, bantu aku mengangkatnya masuk ke rumah, Val,” kata Andi.  

Dua sahabat itu mengangkat parsel bersama-sama dan menaruhnya di ruang tengah. Parsel yang baru datang itu bergabung dengan deretan parsel lainnya yang sudah lebih dulu datang.

“Wah, banyak juga teman ayahmu yang memberi bingkisan ya, Ndi,” kata Noval kagum.

“Iya, biasanya masih banyak lagi yang akan datang, sampai hari terakhir puasa,” cerita Andi tanpa bermaksud menyombong. “Ayahmu juga dapat kiriman parsel kan, Val?” tanya Andi kemudian.

“Eng..., nggak ada, Ndi. Tapi seminggu sebelum Lebaran, biasanya Ayah membawa sekotak minuman kaleng pemberian Pak Haji Umar, majikan ayahku,” kata Noval.

“Ooh,” hanya itu yang keluar dari mulut Andi.

Malamnya ketika pulang dari shalat tarawih di masjid, Andi menemui ayahnya yang juga baru pulang dari masjid. Ayah sedang duduk-duduk sambil makan kurma dan membaca koran di teras belakang.

“Yah, ternyata tidak semua orang dapat parsel tiap menjelang Lebaran, ya,” kata Andi.

Ayah heran mendengar kata-kata anak sulungnya itu. Diletakkannya koran yang sedang dibacanya di meja.

“Memangnya kenapa, Ndi?” tanya Ayah.

Andi lalu bercerita tentang Noval yang tidak pernah menerima parsel Lebaran. Ayah terdiam mendengar cerita Andi.

“Bagimana kalau kita berikan salah satu parsel untuk temanmu itu,” usul Ayah kemudian.

“Benar, Yah?” tanya Andi seakan tak percaya.

“Iya. Besok kita antar bersama-sama parsel buat keluarga temanmu itu,” ujar Ayah.

“Terima kasih, Yah,” seru Andi sambil memeluk ayahnya.

Andi senang bisa berbagi dengan temannya yang berasal dari keluarga tak mampu. Ayah Noval juga bahagia, karena mempunyai anak yang berhati baik seperti Noval.

Ilustrasi: Bondhan

Ilustrasi: Bondhan


(Sumber : Bobo Edisi 24. Tahun XXXVII. 29 September 2009. Hal. 18-19)

Tiga Tangkai Mawar


Tiga Tangkai Mawar

By: Widya Suwarna

Raja Huang menerima tamu dari negara lain. Tamu tersebut membawa hadiah tiga tangkai mawar merah. Yang satu sudah mekar dengan sempurna, yang satu baru mulai mekar, dan satu lagi masih kuncup.
Ilustrasi: Dhian

“Mawar-mawar ini bisa diberikan pada tiga wanita yang paling Yang Mulia sayangi dan hormati!” kata tamu tersebut. “Siapa yang memandang mawar-mawar ini selama lima menit setiap hari, maka wanita itu akan bertambah cantik. Tetapi bila kelopak-kelopak bunga mawar telah gugur, maka kecantikan mereka akan kembali seperti semula!”

Raja Huang mengucapkan terima kasih. Ia juga memberikan hadiah lukisan yang indah kepada tamu tersebut.

Raja Huang tahu, mawar yang mekar sempurna itu cocok untuk neneknya yang sudah tua. Sebelum semua kelopak mawar gugur, mungkin saja Nenek sudah meninggal lebih dulu. Pikir Raja Huang. Yang terbaik adalah mawar yang masih kuncup. Ia bingung, apakah itu harus diberikan kepada ibunya, atau istrinya.

Setelah berpikir-pikir, Raja mengambil keputusan, “Aku harus memberikan yang terbaik kepada ibuku. Ibu sudah melahirkan, membesarkan, dan mendidik aku!”

Pertama-tama, Raja memberikan mawar yang mekar sempurna itu kepada neneknya. Tetapi nenek berkata, “Cucuku, aku sudah tua. Aku tidak butuh kecantikan lagi. Berikanlah ini kepada permaisuri! Bukankah istrimu masih muda?” 

Kemudian Raja memberikan mawar yang kuncup kepada ibunya. Ibunya menerimanya dengan gembira dan berkata, “Kau sungguh anak yang berbakti kepada orangtua! Namun, aku ingin memberikan mawar ini kepada istrimu! Sebagai permaisuri, ia pantas tampil sebagai wanita tercantik!”

Jadi akhirnya Raja Huang memberikan tiga tangkai mawar itu kepada istrinya. Ia juga menceritakan apa yang dilakukan nenek dan ibunya. Permaisuri sangat terharu.

“Aku lebih menginginkan kebijakan kedua wanita istimewa itu, daripada kecantikan!” kata Permaisuri. “Aku akan berbicara pada Nenek dan Ibu mengenai mawar-mawar ini!”
Ilustrasi: Dhian

Maka Permaisuri mengunjungi ibunda dan nenek suaminya. Ia menyatakan ingin belajar menjadi bijak.

“Benar, anakku. Kecantikan batiniah lebih berharga daripada kecantikan lahiriah. Bila kau selalu mengucap syukur, kau akan menjadi bijak!” kata Nenek.

“Dan bila kau selalu berbuat baik dan memiliki hati yang bersih, kau akan jadi wanita bijak. Hai itu akan terus dikenang orang, walaupun kau kelak meninggalkan dunia ini!” kata ibunda Raja Huang.

Permaisuri mengucapkan terima kasih dan berjanji akan melaksanakannya. Lalu, siapa yang menyimpan mawar-mawar itu? Ketiga tangkai bunga mawar ditaruh dalam vas dan diletakkan di depan istana. Semua wanita boleh berhenti dan memandanginya selama lima menit. Mereka juga mendapat sepotong kertas mungil bertuliskan, “Mengucap syukurlah, miliki hati yang bersih, dan berbuat baik senantiasa.”

Beberapa waktu kemudian, kerajaan yang dipimpin Raja Huang terkenal karena wanita-wanitanya yang cantik dan baik hati. Bahkan setelah bunga-bunga itu layu dan gugur, wanita-wanita itu masih tetap cantik, karena hati mereka yang bersih.

Ketiga wanita yang disayangi dan dihormati Raja Huang, telah menjadi teladan.

(Sumber: Bobo Edisi 24. Tahun XXXVII. 29 September 2009. Hal 28-29)