15 Desember 2015

Dibalik Dusta

Di Balik Dusta

By: Evie

Memangnya orang sepertiku tidak boleh sekolah di sini? Memangnya cuma anak orang kaya aja yang boleh sekolah di SMU terkenal? Memangnya aku tidak layak mendapat teman sebaik Reva? Kenapa mereka selalu bersikap sinis terhadapku. Aku tidak pernah melakukan hal yang membuat mereka jadi benci atau tidak suka padaku.

“Udahlah, Adit dan Virni itu kan cs banget, cuekin aa kalo mereka lagi ngeledek kamu,” ujar Reva saat melihat teman-teman sekelas mulai meledekku.

“Aku tahu, aku sadar diri kok,” jawabku pelan.

“Jangan dimasukin ke hati ya, nanti juga mereka capek sendiri,” hibur Reva.

Aku tersenyum tipis. Dari ratusan anak yang bersekolah di sini cuma Reva yang baik hati. Beasiswa yang kudapat dari orang tua-asuh akulah yang membuatku bisa sekolah. Ayahku hanya penjaga rel kereta api sedang ibu tidak bekerja. Kalo bukan karena kebaikan Pak Surya, sahabat ayah yang sudah sukses, mungkin aku dan kedua adikku tidak bisa sekolah setinggi ini.

Kadang aku tidak kuat mendengar ledekan teman-teman sekelas. Mereka selalu memanggilku Neng cewek kampung atau Neng penjaga rel kereta. Keinginanku untuk belajar dan kebaikan Reva lah yang membuatku bertahan melewati semua ini. Tidak jarang Reva harus adu mulut jika sedang membelaku. Ia memang sahabat yang baik dan tak pernah sekalipun malu berteman denganku. Meski cantik, kaya dan cukup poluler di sekolah tapi ia sering mengajakku makan di kantin sekolah atau jalan ke mal. Aku senang sekali berteman dengannya.

“Neng, nanti pulang duluan aja ya, aku ada janji sama Ryan.”

“Iya, salam ya buat Ryan.”

Aku memandang kagum sosok di hadapanku ini. Sudah cantik, baik, pintar punya pacar ganteng dan baik seperti Ryan pula. Ryan juga tidak sombong padaku jika kami bertemu, ia selalu ramah dan baik. Mereka memang pasangan yang serasi.

***

Sudah tiga hari ini ibu sakit. Walau sudah di bawa ke dokter tapi panas yang dideritanya tetap tidak turun. Aku takut ibu terkena tipes. Persediaan uang di rumah semakin menipis. Anjuran Bule Ratmi tetanggaku, ibu harus di bawa ke rumah sakit untuk menghindari hal-hal yang membahayakan. Ayah sudah pusing mencari uang. Ia berusaha untuk cari pinjaman dari kantor tapi tidak dapat karena potongan hutang ayah belum selesai. Kedua adikku masih kecil, mereka belum bisa aku ajak berunding untuk mengatasi masalah ini.

Satu-satunya jalan, aku harus bekerja. Tapi kerja apa? Aku masih harus sekolah. Kucoba bertanya pada toko-toko di pasar yang kulewati tiap pulang sekolah. Apakah mereka membutuhkan karyawan tapi hasilnya nihil. Aku semakin bingung. Keadaan ibu semakin parah, aku malu untuk pinjam ke tetangga karena udah banyak hutang keluargaku pada mereka.

“Berapa hari ini kamu sering melamun, ada apa Neng?” tanya Reva menyandarkanku dari lamunan.

“Eh, gak ada apa-apa,” jawabku bohong.

“Cerita aja kali, siapa tahu aku bisa bantu,” ujarnya seperti tidak percaya dengan jawabanku.

Aku tersenyum tipis. Apa aku harus cerita pada Reva? Ah tidak! Sudah puluhan kali ia membantu keluargaku. Minggu kemarin, ia baru membelikan baju seragam dan sepatu baru untuk kedua adikku. Kalau cerita ia pasti akan membantu. Tidak boleh! Ia sudah terlalu baik.

Siang yang panas, aku dan Reva menunggu bus di halte depan sekolah. Biarpun ia kaya tapi tetap tidak mau diantar jemput. Ia lebih suka naik bus ke sekolah.

“Neng, aku duluan ya!” sserunya setelah melihat bus jurusannya datang.

“Hati-hati!” teriakku melihatnya berlari mengejar bus.

Tiba-tiba mataku tertuju pada amplop putih yang jatuh seiring dengan tubuh Reva yang loncat ke dalam bus. Aku segera mendekati dan mengambilnya. Benar ini milik Reva karena tertulis namanya di sana. Amplop cukup tebal itu dilem. Kulihat isinya ternyata lembaran uang lima puluh ribuan yang lumayan banyak. Huh, untung saja jatuhnya di dekatku bukan di atas bus. Segera kumasukkan uang itu ke dalam tas.

Panas ibu makin tinggi. Kedua adikku mulai menangis. Mereka takut kehilangan ibu, sedang ayah hanya terpekur menatap wajah ibu yang pucat pasi. Hatiku resah, apakah uang milik Reva harus kugunakan untuk membawa ibu ke rumah sakit lalu nanti baru kujelaskan bahwa aku meminjamnya. Tanpa pikir panjang aku segera menyuruh ayah memapah tubuh ibu dan membawanya ke rumah sakit. Saat ayah tanya aku dapat uang darimana, aku bilang pinjam dari teman.

Syukurlah, ibu tidak terlambat ditolong. Kata dokter kalau sehari lagi ibu tidak dirawat mungkin nyawanya sudah hilang. Lega sekali rasanya melihat ibu bisa lebih segar walaupun masih lemah. Kecemasanku seminggu ini sedikit demi sedikit berangsur hilang.

***

“Duh Neng, aku lagi bete nih!” seru Reva sesaat baru datang.

“Kenapa? Berantem sama Ryan, ya?” godaku.

“Bukan, kemarin pulang sekolah aku kecopetan.”

“Kecopetan? Di mana? Apanya yang dicopet?” berondongku.

“Bukan dompet tapi uang dalam amplop, tadinya uang itu mau aku bayarin buat pendaftaran kursus eh dicopet dalam bus, apes deh!” keluhnya.

Uang dalam amplop? Berarti uang yang kemarin aku temukan. Bukankah hari ini aku messti bilang padanya kalau uang itu ada padaku dan aku pakai untuk berobat ibu. Tapi tadi Reva bilang uang itu dicopet, apa berarti ia menganggap uang itu sudah hilang?

“Trus dimarahin sama mama dong?” tanyaku memancing reaksinya.

“Gak terlalu sih, aku dibilang sembrono taruh uang sembarangan, padahal naik angkutan umum,” ujarnya setengah menggerutu.

“Kamu kesal gak sama pencopetnya?”

“Kamu nanyanya aneh deh! Ya kesel lah emang cari uang gampang. Mencuri itu kan dosa, biarin ajalah mau marah juga gak bikin uang balik.”

“Kalo tiba-tiba pencopet itu balikin uangnya gimana?”

“Neng... Neng, kamu tuh lucu banget deh. Hari gini gitu loh! Mana ada tukang copet dengan rela hati mau balikin barang yang sudah dicurinya,” serunya seraya menertawakan pertanyaanku.

Kutatap kembali wajahnya yang terlihat santai. Aku yakin, buat keluarga Reva kehilangan uang segitu tidak terlalu berarti. Tapi, walau bagaimanapun aku tidak ada bedanya dengan pencopet. Uang Reva yang seharusnya aku kembalikan malah kupakai. Hatiku gundah, perasaan bersalah mulai muncul dalam hatiku. Apakah aku harus terus terang padanya? Tapi melihat Reva tidak terlalu risau atas kehilangan itu, hatiku jadi ragu. Apa kubiarkan saja ia menganggap uang telah hilang?

“Neng, kamu kenapa sih bengong terus?” tegur Reva sambil menyentil hidungku.

Aku tersenyum tipis menanggapi gurauannya.

Setelah tiga hari diopname akhirnya ibu diperbolehkan pulang. Seluruh uang milik Reva terpakai untuk melunasi biaya pengobatan ibu.

“Neng, gimana kita mengganti uang milik teman kamu itu?” tanya ayah setelah melihat ibu sudah beristirahat.

“Teman Neng baik, yah! Katanya kita bisa kembalikan kapan saja,” jawabku berbohong.

“Apa Reva lagi yang menolong kita?”

“Bukan, Yah! Kita sudah terlalu banyak ditolong reva. Neng malu untuk terus-terusan minta bantuan darinya.”

“Iya juga, Reva itu baik sekali. Bersyukurlah kamu punya teman seperti dia.” Kata-kata ayah menghantam hatiku. Reva memang sangat baik, akulah bukan teman yang baik. Kebaikannya kubalas dengan dusta. Harusnya aku jujur padanya dari awal. Aku yakin ia pasti membantuku. Tapi nasi sudah jadi bubur, kalau aku ceritakan padanya sekarang bisa jadi ia malah berprasangka buruk padaku.

Setiap melihat Reva aku selalu ingat akan hal itu. Perasaan bersalah kian hari kian menggunung di hati. Meski Reva nampaknya sudah melupakan peristiwa itu tapi tidak denganku. Melihat kebaikannya, aku semakin terkungkung dengan perasaan berdosa. Apa yang harus kulakukan?

Perasaan itu akhirnya membuatku takut untuk berdekatan dengannya. Sekarang aku lebih sering menghindar dan menolak tiap kali ia mengajakku jalan atau bercanda seperti biasanya. Aku takut ia bisa membaca kebogonganku. Aku takut ia marah padaku. Aku takut ia benci padaku jika tahu akulah yang memakai uangnya.

“Sebenarnya aku salah apa sama kamu, Neng?” tanyanya saat memaksaku makan bareng di kantin.

“Salah? Kamu gak punya salah apa-apa sama aku,” jawabku heran.

“Udah beberapa minggu ini sikap kamu berubah, kamu jarang ngobrol denganku, kamu sering nolak bila aku ajak pergi, kamu larang aku main ke rumah kamu, apa aku melakukan tindakan yang bikin kamu sakit hati?” tanyanya panjang lebar.

“Bukan... bukan itu, kamu gak pernah punya salah apa-apa sama aku, cuma memang akhir-akhir ini aku sedang sedikit gelisah,” ujarku gugup.

“Gelisah? Kenapa? Kamu lagi jatuh cinta?” guraunya.

“Bukan, aku... aku...,” lidahku kelu untuk berkata jujur tentang hal yang sebenarnya.

“Ya udah kalo belum siap cerita, tapi yang penting bukan karena kau kan?”

Aku menggeleng lemah. Duuh... Tuhan, kenapa kejujuran itu sangat mahal harganya. Sampai kapan aku harus menanggung perasaan bersalah ini? Sampai kapan aku harus terus berpura-pura tidak ada apa-apa di hadapannya? Maafkan aku, Reva. Aku tidak bisa menjadi sahabat yang baik buat kamu. Sekali lagi maafkan aku.

***

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 48 tahun VIII . 14 – 20 Desember 2009 . Hal 26)