28 September 2015

Harusnya Aku...

Harusnya Aku...

By: Seti An Naruti

Widi terbangun saat mendengar bunyi hapenya. Siapa yang sepagi ini berani mengusik tidurnya? Padahal hari ini kan hari Minggu.

“Halo?” sahut Widi tanpa semangat dengan mata tertutupnya.

“Widi, ini aku.”

Wisnu?! Rasa kantuk Widi langsung menghilang begitu mendengar suara cowok itu.

***

Diva selingkuh? Tega banget! Kurang apa sih Wisnu sebagai pacar? Nggak bersyukur tuh si Diva! Widi memaki dalam hatinya.

Kemarin, pagi-pagi sekali Wisnu mendatangi rumah Widi hanya untuk curhat tentang Diva yang ketahuan selingkuh di depan matanya. Dan Widi seperti ikut merasakan kepedihan yang dirasakan Wisnu. Kasian Wisnu.

“Hey!” Widi pun tersadar dari lamunan.

“Ah, kamu lagi!” gerutu Widi. Wajahnya berubah jutek saat melihat Dido muncul dihadapannya.

“Aku, kenapa?” tanya Dido dengan wajah polosnya.

“Bosen! Kamu nggak ada kerjaan lain selain gangguin aku?!”

“Sayangnya... nggak ada tuh!”

“Uhh, dasar!”

Dido tertawa senang melihat reaksi marah Widi.

“Ngelamunin apa tadi? Kayaknya serius bener. Pasti ngelamunin Wisnu. Dia kan pangeran kamu.”

“Sok tau!” bantah Widi dengan ketusnya.

“Tapi bener kan, tebakan aku?”

“Nggak! Lagian Wisnu tuh bukan pangeran aku. Dia pangeran milik orang lain.”

“Diva maksudnya?”

“Kok kamu tau?”

“Taulah. Wisnu kan...,” Dido tak melanjutkan kata-katanya.

“Wisnu apa?”

“Lupain! Eh, udah tau belom kalo pangeran kamu itu nggak masuk hari ini karena sakit.”

“Wisnu sakit? Masa sih? Tau dari mana kamu?”

“Aku kan temen sekelasnya. Dasar pikun!” kata Dido sambil menoyor kepala Widi lalu bergegas melarikan diri sebelum Widi membalasnya.

Tapi Widi kali ini nggak nafsu untuk membalas perlakuan usil Dido. Dia terlau terkejut mendengar kabar sakitnya Wisnu. Kira-kira Wisnu sakit apa, ya?

***

“Ngapain kamu bengong di situ?” tanya Dido saat menemukan Widi di depan gerbang SMA mereka. “Bukannya cepetan pulang, malah berdiri kayak patung.”

Widi tak menanggapi celotehan Dido. Dia tetap berkosentrasi menghubungi Wisnu. Tapi nomor cowok itu dari tadi pagi sampai sekarang masih nggak aktif juga. Apa aku harus tanya Dido tentang alamat rumah Wisnu?

“Kenapa? Mau ngebesuk Wisnu tapi nggak tau di mana rumahnya?”ledek Dido seolah bisa membaca pikiran Widi.

“Nggak usah sok tau deh!” balas Widi ketus sambil menoyor kepala Dido lalu bergegas pergi. Widi gengsi kalo harus minta tolong sama cowok nyebelin macam Dido!

“Mau aku anterin ke rumahnya Wisnu?” tawaran Dido yang di luar dugaan itu berhasil membuat langkah Widi terhenti.

***

“Kita sampai,” kata Dido mengehentikan motornya lalu berjalan santai masuk ke dalam rumah itu. Hingga membuat Widi bertanya-tanya dalam hati. Sebenarnya ini rumahnya Wisnu atau rumahnya Dido, sih?

“Hei ngapain bengong! Ayo masuk!” ajak Dido terpaksa menghampiri Widi yang terpaku di depan pintu rumah. Lalu menggandeng tangan Widi untuk masuk bersamanya.

“Wisnu!” panggil Dido keras disertai dengan ketukan pintu yang tak kalah kerasnya.

“Berisik banget sih!” omel Widi lalu menoyor kepala Dido.

“Sebodoh amat!” sahut Dido dengan cueknya segera membalas menoyor kepala Widi.

“Ih!” Widi gregetan dengan Dido.

“Apa, ha?!” tantang Dido membalas tatapan jutek Widi.

“Kalian?” pintu terbuka dan Wisnu terkejut dengan kehadiran Widi dan Dido di depan kamarnya. “Kok tumben barengan? Lagi akur nih, kok sampai gandengan segala,” goda Wisnu tersenyum sendiri.

Widi langsung menepis tangan Dido. Dia baru menyadari kalo dari tadi tangannya tak lepas dari tangan Dido.

“Mau nyari kesempatan pegang-pegang aku, ya?!” omel Widi.

“Ih, najis!” sahut Dido nggak kalah ketus.

“Heh, ngapain kamu di situ?! Pulang sana!” usir Widi merasa jengkel saat melihat Dido nyelonong masuk ke dalam kamar lalu dengan santainya tiduran di kasur milik Wisnu.

“Lha, ini kan rumahku. Ngapain harus kamu suruh pulang.”

“Ngarang!”

“Ah, bawel!”

“Kamu...,”

“Hei stop!” kata Wisnu melerai pertengkaran antara Widi dan Dido. “Aku kira kalian udah baikan. Kok masih bertengkar gini. Masuk Wid!” ajak Wisnu menyuruh Widi duduk di karpet bersama dirinya.

“Kamu nggak nyesel tuh. Dido emang gitu kelakuannya. Aku udah biasa. Lagian Dido juga sering kok tidur di kamar aku.”

“Oya? Aku nggak nyangka ternyata kamu seakrab itu sampai-sampai kamu ngebolehin dia nginep di rumah kamu.”

“Ya iyalah akrab. Dido kan sepupu aku.”

“Apa?!” seru Widi kaget seolah tidak mempercayai pendengarannya.

“Oya kamu kan belom tau kalo aku sepupuan ama Dido. Sori deh, aku nggak kepikiran buat ngasih tau kamu.”

***

Hah, yang bener aja masa mereka berdua sepupuan, keluh Widi tiada henti di dalam hatinya. Mulanya dia berencana bertahan lama di rumah Wisnu. Tapi setelah mengetahui kenyataan pahit kalo Wisnu dan Dido adalah saudara sepupu, membuat Widi nggak nafsu lagi mengobrol lama dengan Wisnu. Selain itu dia juga nggak betah ngeliat Dido lama-lama. Huh, bersama dengan Dido dalam satu ruangan hanya membuatnya eneg. Lebih baik cepetan pulang ke rumah.

“Diva?!” seru Widi tak bisa menyembunyikan rasa kagetnya saat menemukan Diva tengah duduk di ruang tamu rumahnya.

***

“Tolongin aku Wid, aku nggak rela putus dari Wisnu. Aku masih cinta dia. Aku ngerti aku salah karena berselingkuh. Tapi... aku nyesel! Aku khilaf! Aku minta kamu mau bantuin aku untuk baikan sama Wisnu. Kamu sahabatnya dan Wisnu pasti mau ngedengerin omongan kamu. Plis, tolongin aku Widi.”

Permintaan tolong Diva yang bernada mengenaskan tadi siang membuat Widi kepikiran sampai-sampai matanya sulit terpejam malam ini.

“Aku harus bagaimana? Apa aku harus merelakan Wisnu kembali pada Diva?” tanya Widi pada dirinya sendiri.

***

“Mau curhat apaan sih? Tumben ngajakin ngobrol di taman,” tanya Wisnu.

“Bukan aku yang mau ngobrol sama kamu.”

“Lha, terus siapa?”

“Diva...,” kata Widi bersamaan munculnya Diva di tengah-tengah mereka berdua. Membuat mata Wisnu terbelalak tak percaya.

“Wisnu, aku tau kamu masih cinta sama Diva. Karena putus sama dia sampai-sampai membuat kamu jatuh sakit. Kalo kamu beneran cinta, kamu harus bisa memaafkan kekhilafan Diva. Bukankah cinta itu memberi maaf seluas samudra? Berilah Diva kesempatan kedua agar dia bisa memperbaiki kesalahannya,” kata Widi dengan bijak sambil menyatukan tangan Wisnu dengan tangan Diva. Lalu dia pun pergi dengan luka di hatinya. Kalo memang kebahagiaan Wisnu bersama Diva, Widi harus mau merelakannya. Toh Wisnu tak akan pernah tau bahwa sebenarnya Widi menyimpan cinta untuknya. Wisnu akan selalu menganggap dia sahabat. Hanya sahabat.

“Kamu mau apa?” Widi buru-buru menyeka air matanya saat melihat Dido mendadak sudah di hadapannya.

Tak ada jawaban apa-apa dari Dido. Cowok itu hanya menatap tajam kepada Widi. Tatapan serius yang tak pernah Widi lihat sebelumnya.

“Mau kamu apa, sih?!” tanya Widi jengkel karena Dido menahan langkahnya dengan cara mencekal pergelangan tangannya.

“Lepasin! Lepasin aku! Aku...,”

Deg!

Widi berhenti meronta. Jantung Widi serasa berhenti berdetak untuk sesaat karena secara tiba-tiba Dido menarik tangannya kuat hingga membuatnya jatuh ke dalam pelukan cowok itu.

“Aku tau kamu terluka karena Wisnu. Aku tau kamu sangat menyukai Wisnu. Aku....,” Dido tak melanjutkan kata-katanya karena mendengar Widi terisak.

“Harusnya aku yang ada di sisi Wisnu. Harusnya aku yang ada di pelukannya. Harusnya aku yang dia cintai. Karena aku selalu ada untuknya. Bukannya Diva.

Harusnya aku bukan hanya sekedar sahabat untuknya...,” kata Widi penuh emosi. Kini tangisnya benar-benar pecah dan membasahi seluruh kemeja seragam Dido.

Dido hanya diam sambil terus mengelus-elus rambut Widi. Seolah ingin menenangkan.

“Harusnya aku yang pantas kamu cintai sepenuh hati. Harusnya aku yang kamu rindukan dan kamu harapkan cintanya. Bukannya Wisnu! Harusnya aku bukan hanya kamu anggap sebagai musuh. Harusnya kamu tau bahwa sebenarnya aku selalu mengusikmu hanya untuk mendapatkan perhatian lebih darimu. Harusnya aku... tak boleh memendam perasaan suka ini padamu,” batin Dido.

***

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 37 tahun IX. 27 Sept – 3 Okt 2010. Hal 26)