2 November 2015

Reinkarnasi Ubi


Reinkarnasi Ubi

By: Swistien Kustantyana

Kalian percaya reinkarnasi? Well, aku tidak. Setidaknya dulu aku nggak percaya reinkarnasi. Bagaimana aku akan percaya kalau yang bilang itu Bimbim, sahabatku.

Dulu, Bimbim yang tinggi besar pernah dengan sangat serius mengatakan ini ke aku, “Ubi, kamu pingin tahu nggak, di kehidupanku yang dulu aku ini apa?”

Aku menatapnya heran, Bimbim jarang sekali serius, “Memang kamu percaya reinkarnasi?”

“Oh, pasti dong,” Bimbim menatapku tanpa berkedip.

“Oh ya?” tanyaku penasaran. Ide tentang kehidupan kita yang dulu sebelum kita yang sekarang memang terdengar gila bagi telingaku.

“Iya,” Bimbim berusaha meyakinkanku.

“Trus kamu siapa di kehidupanmu yang dulu?” Aku masih penasaran.

“Kulkas dua pintu,” jawab Bimbim pasti.

“Huk, huk,” aku tersedak.

Bimbim menepuk-nepuk punggungku. “Jangan cepet-cepet minumnya...”

“Ya Tuhan.... Kulkas dua pintu? Kok lebih bagus kehidupan kamu yang dulu ya Bim, daripada yang sekarang....”

***

Punya kakak cowok itu ada enak dan enggaknya. Enggak enaknya itu aku nggak bisa pinjam baju, aksesoris, dan lainnya. Aku nggak bisa milih bra bareng dia. Dan dia nggak bakalan ngerti kalau aku nyengir kesakitan pas mens.

Oh ya, kakakku satu-satunya itu cowok. Namanya Robby dan umurnya 24 tahun. Panggilan sayang buat dia tentu saja Obi. Sedangkan aku baru kelas satu SMA. Namaku Ruby. Bagus kan? Tapi sayangnya aku harus pasrah dapat panggilan sayang Ubi. Jadilah kami berdua kakak adik Obi dan Ubi.

Sore tadi aku baru ngerasain enaknya punya kakak cowok. Kak Obi pulang bawa temannya. Dan O Mai Got, temannya itu keren abis. Kulitnya putih, rambutnya gondrong, hidungnya mancung, wuih pokoknya keren!

“Lagi ngapain sih kamu?” suara Kak Obi membuyarkan kosentrasiku menatap si Keren.

“Eh, Oh, mau pinjem CD Lady Gaga,” kataku sekenanya. Aku yang membuka pintu kamar Kak Obi dengan sembrono langsung tertegun melihat si Keren ini duduk manis di tempat tidur.

Kak Obi mengambil CD itu dan mengulurkannya padaku. “Oh iya, Gab, kenalin nih adik gue,” ucap Kak Obi sambil melirik Gab.

“Gabriel,” Pangeran tampan itu mengenalkan diri sebagai Gabriel.

“Ruby,” senyuman termanisku kutampilkan.

Setelah aku berlari masuk kamarku, aku memikirkan kata-kata Bimbim tentang reinkarnasi. Kalau dulu pernyataan Bimbim tentang kulkas dua pintu sangat meragukan, sekarang aku yakin seyakin-yakinnya Gabriel itu reinkarnasi Galang Rambu Anarki.

Kalian tahu dia? Galang, maksudku. Dia anak Iwan Fals yang digosipkan meninggal karena overdosis tahun 1997. Loh kok aku tahu? Ya karena Kak Obi salah satu fans beratnya. Poster Galang tertempel di salah satu bagian dinding kamar Kak Obi. Dan tadi baru saja kulihat reinkarnasi Galang. Gabriel benar-benar mirip Galang. Wajahnya, gayanya, semuanya deh. Nama mereka pun berawal dengan huruf G. Reinkarnasi itu benar-benar ada ya?

***

Sore itu setelah pulang dari ekstrakulikuler jurnalistik, aku dan Bimbim mampir ke sebuah kedai hamburger. Aku betul-betul penasaran pada reinkarnasi. Aku ingi bertanya banyak kepada Bimbim. Aku juga ingin cerita tentang Gabriel. Intinya, aku ingin curhat.

“Bim, dia itu beneran mirip Galang Rambu Anarki!” Celotehku bersemangat. Kedua tanganku memagang Teriyaki yang tinggal separuh. Sausnya meleleh keluar. “Aku yakin seyakin-yakinnya, Bim. Kalau si Gabriel itu reinkarnasi Galang,” kataku mantap. Kutatap Bimbim yang sibuk mengunyah Onion Ring.

Bimbim tertawa. “Jadi ceritanya, kamu sekarang percaya reinkarnasi, nih?” Bimbim mencomot satu lagi Onion ring, menyelupkannya ke saus, dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Sebetulnya ya nggak begitu percaya sih. Dari kulkas dua pintu trus jadi kamu. Mungkin di kehidupan selanjutnya kamu jadi gajah kali ya, Bim?”

“Iya, kali.” Bimbim menyahut sambil terus melahap Onion Ring. Itulah enaknya punya teman Bimbim. Dicela sejuta kali tiap hari pun dia tabah dan pasrah. Bimbim tak pernah marah.

“Aku heran, Bim. Memang jaman dulu udah ada kulkas dua pintu ya?” Aku membayangkan kehidupan Bimbim di masa penjajahan Belanda. Bimbim yang berupa kulkas dua pintu tampak cantik dan berdiri di pojokan ruang makan. Setiap hari melayani satu keluarga besar sinyo-sinyo Belanda.

“Aih. Pake dipikir segala. Diterima aja kenapa sih kalau aku memang kulkas dua pintu di kehidupan yang dulu,” protes Bimbim.

“Iya, deh.” Aku meneguk lemon tea-ku. “Bim, aku jadi pengen tahu. Gabriel itu betulan reinkarnasi Galang bukan ya?” Tiba-tiba aku teringat Gabriel lagi. Aku betul-betul penasaran karena Gabriel pun banyak bakat bermain musik seperti Galang. Kak Obi yang cerita kemarin.

“Ada satu paranormal yang bisa kita tanyai. Dia bisa melihat kehidupan kita yang dulu.”

“Bim, itu paranormal yang bilang kamu kulkas dua pintu, bukan?” Tanyaku ragu. Jika jawaban Bimbim “Iya”, lebih baik aku tidak bertanya. Aku tidak mau menerima jawaban seperti, “kamu reinkarnasi panci.”

“Bukan,” sahut Bimbim.

“Syukurlah.” Aku menarik napas lega. “Kapan kita ketemu dia, Bim?”

“Besok sore aja ya. Namanya Kak Nina. Dia masih saudara sepupuku. Jadi nggak perlu bayar. Tapi kalau pelanggan lain bayarnya lumayan mahal lho.”

Aku menggangguk senang. Aku tak sabar lagi menunggu besok sore. Aku ingin tahu apakah Gabriel itu reinkarnasi Galang atau bukan. Aku juga ingin tahu aku ini sebenarnya reinkarnasi apa. Aku tersenyum sendiri saat membayangkan di kehidupanku dulu aku adalah reinkarnasi sebongkah batu ruby yang cantik. Mungkin batu itu berada dalam sebuah kotak beludru yang mewah dan disimpan di laci meja seorang puteri kerajaan. Atau mungkin aku jadi sebuah koleksi langka museum di luar negeri. Ah, Ruby yang cantik. Yang berkilauan. Yang berharga mahal. Aku tersenyum lagi.

***

“Apa?” Kak Obi memandangku tak percaya. “Reinkarnasi Galang Rambu Anarki? Gabriel?” Kak Obi mengulangi lagi kalimat yang kulontarkan beberapa menit yang lalu. Tatapan Kak Obi membuatku malu. Seolah-olah aku makhluk paling idiot yang pernah dia temui gara-gara aku bilang Gabriel reinkarnasi Galang Rambu Anarki.

“Kamu percaya reinkarnasi?” Tatapan Kak Obi masih diliputi rasa ketidak-percayaan yang sangat besar.

“Sedikit,” jawabku ragu.

“Lalu kamu sendiri reinkarnasi apa kalau begitu?” Tantang Kak Obi. Matanya bergerak-gerak. Senyumnya mulai terpasang.

“Entah. Nanti sore Ubi mau pergi sama Bimbim. Ketemu paranormal. Mau tanya tentang Gabriel dan juga reinkarnasi Ubi,” ujarku ceria. Entah mengapa ide untuk ketemu Kak Nina nanti sore menjadi sebuah ide yang sangat menyenangkan. Tak sabar rasanya.

Kak Obi tampak menahan tawa. “Oke, titip salam ya buat paranormalnya. Kalau boleh, tanyakan juga aku ini reinkarnasi apa walaupun toh sebenarnya aku sudah tahu aku ini reinkarnasi apa.”

“Memang apa?” Sahutku cepat. Tak kusangka Kak Obi juga sudah tahu reinkarnasinya dulu.

“Aku reinkarnasi Kenshin Himura.” Kak Obi terbahak-bahak.

“Kriuk. Garing. Nggak lucu,” kataku sambil cemberut. Aku ngeloyor pergi meninggalkan Kak Obi yang masih saja terbahak-bahak.

Kak Obi memang punya dua luka gores membentuk huruf X di kening. Persis seperti Kenshin Himura si Samurai X. Bedanya ya itu Kenshin lukanya di pipi dan besar, sedangkan Kak Obi di kening dan kecil.

Sore hari....

“Kenapa sih kamu ngotot pengin tahu tentang reinkarnasi Gabriel?” senyum Kak Nina yang terkembang manis membuatku salah tingkah.

“Umm, nggak apa-apa, Kak. Pengin tahu aja,” aku tertawa kecil.

“Kamu naksir Gabriel ya?” Tanya Kak Nina lagi.

“Alahhh.... Kalau itu sih nggak perlu bantuan paranormal untuk tahu. Semua juga tahu Ubi jatuh cinta sama Gabriel,” sahut Bimbim.

Wajahku panas. Bimbim sialan. Tega-teganya dia mempemalukan aku di depan Kak Nina.

“Ya udah nggak usah dijawab,” Kak Nina menepuk-nepuk telapak tangan kananku. “Mana tanganmu,” kata Kak Nina lagi sembari mengambil kedua telapak tanganku dan membaliknya. Untuk beberapa saat Kak Nina terdiam. Keningnya berkerut. Aku jadi deg-degan.

“Kulihat kamu dan Gabriel memang pernah ketemu di masa lalu.” Kata Kak Nina sambil menatapku. Diletakkannya tanganku di meja, tak lagi dalam genggamannya.

“Oh ya?” aku melonjak gembira. “Apa itu berarti kami berjodoh juga di masa sekarang dan masa depan? Apakah aku jadi istrinya Gabriel?” Semangatku begitu menggebu.

Bimbim terkikik. Aku mendelik ke arah Bimbim.

Kak Nina hanya tersenyum. “Wah kalau itu Kakak belum tahu. Tadi kan bilangnya cuma pengin lihat reinkarnasimu dan Gabriel di masa lalu.”

“Satu-satu dulu dong, Bi,” kata Bimbim masih terkikik.

Aku pun malu. “Oke, Kak. Jadi reinkarnasiku dulu apa? Gabriel apa?” Lalu aku membayangkan mungkin aku bukan reinkarnasi batu ruby. Mungkin aku reinkarnasi kekasih Galang yang dulu, Ine Febriyanti. Eh, tapi kan Ine masih hidup ya? Aku menggelengkan kepalaku. Berarti bukan Ine.

“Gabriel dulu itu seorang petani di sebuah desa,” kata-kata Kak Nina membuyarkan lamunanku.

“Haaaaa?” Aku terkejut. Bimbim terbahak-bahak.

“Dan kamu itu sepotong ubi di kebun Gabriel yang kemudian dikukus dan dimakannya...,” suara Kak Nina terdengar ceria.

Aku melongo. Bimbim tertawa histeris.

***

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 42 tahun IX. 1–7 November 2010. Hal 26)