28 September 2014

HP 3G Termurah

HP 3G Termurah

Joko udah lama terobsesi pengen punya hape 3G. Maklum aja dia rada narsis dan pengen mukanya keliatan tiap kali telpon-telponan sama temennya ataupun pacarnya. Tapi sayangnya Joko justru nggak mau keluar duit lebih soalnya harga hape 3G agak lebih mahal dari hape biasa.

Dia minta bantuan temennya, Aris, buat mencarikan hape 3G paling murah. Kalau bisa harganya dibawah 500 ribu perak dan itu pun mesti yang baru. Aris jelas kebingungan karena nggak ada hape 3G yang harganya semurah itu kecuali yang bekas alias seken. Karena kesal sering ditanyain terus sama Joko, pas mereka ketemu Aris pun menjawab sekenanya.

Joko: “Eh, gimana ris, udah ketemu belom hape 3G yang murah?”
Aris : “Oh ada, tenang aja Jok, ntar gue ajak lo ke tokonya langsung.”
Joko: “Wah yang bener nih, harganya berapa? Hapenya masih baru kan?”
Aris : “Eh, ada itu di mal deket rumah aku. Hapenya masih baru dan pake garansi dong, harganya cuma 300 ribu perak!”
Joko: “Ah, yang benar ris, lo salah liat kali? Jangan-jangan harganya 3 juta.”
Aris : “Iya bener gue nggak salah, deh. Hapenya emang bisa 3G. Gila bisa buat nelpon, Gila bisa buat SMS, Gila bisa buat maen game juga, ha-ha-ha...”
Joko: “Huh, dasar gemblung, jayus lo!”

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 37 tahun IX. 27 Sept – 3 Okt 2010. Hal 7)

24 September 2014

Maafkan Kami Yoga...

Maafkan Kami, Yoga...


        By: Moch. Noorrohman, Sag


        Baru satu bulan ini Yoga pindah sekolah ke SD Harapan 1. Sekolah itu berada di kampung kakeknya. Awalnya, Yoga sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Selain karena ia terbiasa bersekolah di kota besar, Yoga juga kurang cocok dengan teman-teman barunya.

Ilustrasi : Yan
Sejak ayah Yoga meninggal, Kakek selalu mengkhwatirkan Ibu dan Yoga. Itu sebabnya, kakek meminta mereka untuk tinggal bersamanya di kampung. Sayangnya, Yoga jadi sering termenung di tempat baru itu. Sebetulnya, Yoga tidak keberatan tinggal di kampung. Ia sedih karena beberapa temannya sering meledeknya. Terutama Rangga, ketua kelasnya.

“Biasanya, ada dua alasan, mengapa anak kota pindah bersekolah ke desa itu. Otaknya kurang mampu, atau modalnya kurang. Sekolah di kota, kan, mahal!” ejek Rangga, disambut tawa teman-temannya.


Yoga hanya diam. Ia memang tak ingin mencari musuh. Dan Rangga betul. Ibunya memang tak mampu membiayainya bersekolah di kota.


Yoga juga hanya diam, saat ia hanya ditempatkan sebagai pemain cadangan. Sekolahnya akan mengikuti turnamen sepak bola pelajar antar kecamatan. Rangga mendesak Pak Rudi, guru olahraga mereka, agar tidak memakai Yoga sebagai pemain inti. Alasannya, Yoga jarang latihan. Yoga menurut saja.


Hari Final Kejuaraan Sepak Bola antar kecamatan akhirnya tiba. Juara bertahan SD Harapan 1 melawan SD Putra Tunggal. Di lapangan, para penonton telah ramai berkumpul. Peluit dibunyikan, tanda babak pertama dimulai. Kedua kesebelasan mulai memeragakan permainan terbaik mereka.


Tampak si kulit bundar mengelinding ditendang ke sana ke mari. Tim pendukung masing-masing kesebelasan berteriak memberi semangat. Sementara itu, tempo pertandingan semakin tinggi. Sayangnya, belum satupun gol tercipta. Kedudukan imbang ini bertahan hingga turun minum.


Memasuki babak kedua, SD Harapan 1 mulai kehilangan kepercayaan diri. Berkali-kali tendangan SD Putra Tunggal mengancam gawang mereka. Firman sang penjaga gawang, harus jatuh bangun menyelamatkan gawangnya.


Tepat di menit ke 15, akhirnya SD Putra Tunggal berhasil membobol gawang SD Harapan 1. Tepuk sorak pendukung membahana di lapangan. Pendukung SD Harapan 1 bungkam. Rangga yang dipercaya sebagai kapten, sering membuat kesalahan. Bahkan, ia sempat mendapat peringatan keras dari wasit karena permainannya menjurus kasar.


Permainan SD Harapan 1 mulai kedodoran. Pak Rudi, guru sekaligus pelatih mereka, mulai panik. Apalagi, pada menit ke 25, Rangga harus ditandu keluar lapangan karena cedera lutut. Sisa waktu tinggal beberapa menit lagi.


“Kamu gantikan Rangga, tidak ada pilihan lain. Meskipun saya belum tahu permainanmu, tapi kita harus menyelesaikan pertandingan ini!” Pak Rudi akhirnya mengambil keputusan.


Yoga segera melakukan pemanasan sebelum memasuki lapangan. Ia bertekad memenangkan pertandingan, meski banyak yang meremehkannya.


“Ah, Rangga saja nggak mampu, kok, Pak Rudi menurunkan Yoga. Dia, kan, enggak pernah datang latihan!” celutuk Fina, salah satu teman Rangga.


“Ayo, Yoga, kamu pasti bisa!” teriak Hardi dari tepi lapangan. Hardi adalah sahabat Yoga, yang sering menemaninya berangkat dan pulang sekolah.


Kesebelasan SD Harapan 1 semakin hidup setelah Yoga mulai menyerang. Banyak mata terbelalak melihat permainan Yoga, lebih-lebih Pak Rudi. Bola itu seolah lengket di kaki Yoga. Pendukung SD Harapan 1 yang sejak tadi bungkam, mulai bersemangat kembali. Yoga mampu mengobrak-abrik pertahanan lawan.


Ilustrasi : Yan
“Goooooool!...”

Pada menit ke 30, Yoga berhasil menyamakan kedudukan 1-1. Kini, barisan SD Putra Tunggal yang kedodoran. Yoga semakin bersemangat menyerang. Menjelang akhir pertandingan, ia berhasil membuat gol kedua. Yoga membuat SD Harapan 1 berhasil mempertahankan piala bergengsi itu.


“Kamu memang hebat, pahlawan penyelamat,” sambut Pak Rudi. “Hidup Yoga! Hidup Yoga!” teriak pendukung SD Harapan 1.

Sore itu, Rangga, Setyo, Agung, Fina, Wati berkunjung ke rumah Yoga. Ibu Yoga mempersilakan mereka masuk. Di rumah yang sederhana dan rapi itu, terpampang foto Yoga dengan kostum biru putih. Ia tampak gagah dengan bola dan piala. Di bawah foto itu tertulis Tim Sepak Bola Pelajar Terbaik – Tingkat DKI tahun 2008.


Rangga dan teman-temannya ternganga melihat foto Yoga. Mereka tak menduga kalau Yoga yang pendiam itu, pemain hebat. Anggota tim pelajar tingkat propinsi.


“Hai, tumben, main-main ke sini?” kaa Yoga, yang baru selesai mandi.


Rangga tersipu malu, “Eh, Yoga... Aku, aku ke sini mau mengucapkan selamat atas prestasimu tadi. Maaf, selama ini aku meremehkanmu. Padahal, prestasimu luar biasa,” ujar Rangga sambil menunjuk ke foto Yoga.


“Ah, jangan terlalu memujiku. Aku biasa saja,” jawab Yoga merendah.


“Wah, kamu ternyata tidak suka pamer, Yoga, aku pikir, kamu sombong karena tidak mau ikut latihan,” tambah Fina.


“Maafkan, aku. Selama ini, aku tidak pernah ikut latihan sepak bola karena harus membantu Ibu berjualan. Kakekku, kan, hanya petani. Kasihan kakek, kalau aku dan Ibu bergantung hidup pada kakek,” ceria Yoga.


Rangga semakin bersalah karena sering mengejek Yoga. Di dalam hati, Rangga kagum pada Yoga yang berprestasi namun tetap sabar dan rendah hati.


(Sumber: Majalah Bobo edisi 24 tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 18-19)

Masih Ada Kesempatan

Masih Ada Kesempatan


By: Penny Maharany 


Ilustrasi: Yan B
        Bu Ussi mengirim Niken mengikuti lomba vokal. Nila dipilh mengikuti Olimpiade IPA. Sementara Wikan mengikuti Olimpiade Matematika. Sahabat-sahabatnya memang pandai. Alma menghela napas panjang. Sesungguhnya, Alma sangat ingin mempunyai prestasi seperti sahabat-sahabatnya.
Alma termenung di depan teras rumahnya. Ia berpikir apa yang dapat dilakukannya untuk keluarga dan sekolahnya. Ia ingin mejadi kebanggaan Bu Ussi, teman-teman dan mamanya.

“Mikir apa sih, Al? Ada masalah?” tegur Mama sambil meletakkan sepiring pisang goreng di hadapan Alma.

Dengan sedih, Alma menceritakan keinginannya.

“Kenapa tidak Alma tanyakan saja pada Bu Ussi? Pasti ada alasannya, Bu Ussi memilih teman-temanmu. Setiap orang kan, punya kelebihan masing-masing. Mama yakin, Alma juga punya kelebihan. Dan yang penting, Alma harus jaga kesehatan,” Mama menjentik hidung Alma.

Esok harinya, di sekolah, Alma mendekati Diana. Ia komandan peleton baris berbaris di sekolah.

“Di, aku ikut, dong, lomba baris berbaris,” rayu Alma.

“Jangan Al, lombanya berat, lo! Nanti asmamu ambuh,” kata Diana sambil meminta maaf pada Alma. Alma sedih mendengarnya.

Ilustrasi: Yan B
Asma Alma memang sering kambuh. Hari Sabtu lalu, ia memaksakan diri berlari mengelilingi lapangan. Alma ingin bisa mewakili kelasnya dalam lomba lari antar kelas. Namun akhirnya... ngik .. ngik ..Alma gemetar bersandar di pagar sekolahnya. Pak Yasin bergegas membawa Alma ke ruang UKS.

Waktu itu, Bu Ussi segera memberi obat pada Alma. Juga berpesan, agar Alma tidak memaksakan diri. Alma sangat sedih memikirkan tubuhnya yang begitu lemah. Ia mengerti, semua orang peduli padanya. Namun, ia tidak ingin dianggap lemah. Ia tidak ingin penyakitnya menjadi halangan untuk maju. Alma ingin membuktikan bahwa ia juga mampu.

Suatu hari, Bu Ussi mengumumkan siswa yang akan tampil mengikuti Pesta Besar Siaga kali ini. Alma kecewa karena ia tidak terpilih. Alma menuangkan kekesalannya saat membuat tugas menulis puisi. Goresan penanya di kertas mengungkapkan perasaannya. Alma tidak sadar apa saja yang telah ditulisnya. Saat bel berbunyi, Alma mengumpulkan tugasnya di meja Bu Ussi.

“Puisimu bagus sekali, Al!” puji Bu Ussi keesokan harinya, saat membagikan kertas tugas yang sudah dinilai.

“Dapat berapa, Al?” tanya Desi yang duduk di sebelahnya.

“Sembilan puluh,” jawab Alma takjub memandangi puisinya.

“Wah ... hebat kamu, Al!” seru Niken, Nila dan Wikan bersamaan.

“Coba tulis puisi yang lain. Kirim ke majalah sekolah kita,” saran Bu Ussi pada Alma.

Alma mengangguk gembira. Ia tak sabar ingin menceritakan pengalamannya pada mama.

Beberapa minggu kemudian, Alma, Wikan, dan Niken berjalan memasuki perpustakaan. Nila tiba-tiba menarik tangan Alma.

“Al..., coba lihat ini!” tegur Niken, menunjuk salah satu artikel di majalah dinding tepat di depan perpustakaan.

Alma tak mempercayai apa yang dilihatnya. Itu puisi yang dikirimnya beberapa minggu lalu. Secercah Harapan! Alma sangat gembira dan menceritakan hal itu pada Bu Ussi.
Ilustrasi: Yan

“Prestasi bukan hanya bagi mereka yang pandai atau berbakat di bidang olahraga. Kamu sudah membuktikan bahwa dirimu berprestasi. Puisi-puisimu itu, adalah karya yang membanggakan,” puji Bu Ussi.

Dua minggu kemudian, puisi Alma kembali dimuat. Kali ini majalah Kuntum, majalah bulanan sekolahnya. Bu Ussi memanggil Alma.

“Tulisanmu bagus. Puisimu banyak menghiasi mading dan majalah kita. Ibu ingin kamu mengikuti lomba membaca puisi pada perayaan Hari Kartini minggu depan.”

“Tapi saya belum pernah melakukannya, Bu!”

“Tunjukkan kemampuanmu. Masih ada kesempatan, Alma!”

Setiba di rumah, Alma menceritakan tawaran Bu Ussi pada mamanya.

“Betul, Al! Jangan berkata tidak bisa, sebelum mencoba. Kesempatan sudah di depan mata. Tunjukkan pada setiap orang, bahwa Alma pantas dibanggakan,” ujar Mama memberi semangat.

Betul, masih ada kesempatan! Selalu ada harapan, seperti puisi yang pernah ditulisnya. Secercah Harapan! Alma tersenyum penuh keyakinan dan harapan.

(Sumber: Majalah Bobo edisi 24 tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 10-11)



23 September 2014

Misteri Hilangnya Tintin

Misteri Hilangnya Tintin

By: Wiryadi

“Bu Sita, apa murid kelas kita boleh membawa komik ke sekolah?” tanya Akbar. Bu Sita adalah guru wali kelas mereka.

“Boleh saja. Asal, buku itu tidak kalian baca selama jam belajar. Kalau ketahuan ada yang membaca komik di jam belajar, pasti ibu hukum. Jelas semuanya?”

“Jelas, Bu!” jawab anak-anak serempak.

“Tapi omong-omong,” Bu Sita melanjutkan, “Siapa yang membawa komik?”

“Putri, Bu!” jawab Akbar.

Bu Sita berpaling pada Putri dan bertanya, “Putri, komik apa yang kamu bawa?”

“Tintin, Bu.” Jawab Putri, “Tapi ... saya baru tahu, komik saya itu hilang. Benar-benar hilang, Bu. Padahal saya menyimpannya di tas.”

“Hilang?” Bu Sita mengerutkan dahinya. “Kapan hilangnya?”


“Mungkin saat istirahat,” jawab Putri. “Sepertinya ada yang mengambilnya.” 

Ilustrasi: Yoan
Aku dan Dewi saling berpandangan. Tadi pagi, memang kulihat Putri sedang membaca komik Tintin, dan dirubung beberapa teman. Komik itu memang sangat lucu dan seru sehingga banyak yang menyukainya.

Bu Sita sebenarnya akan mengajarkan Bahasa Indonesia siang itu. Namun, karena ada laporan kehilangan, pelajaran tersebut tertunda. Bu Sita ingin menyelidiki siapa yang telah mencuri komik milik Putri.

Pertama-pertama, Bu Sita menyuruh anak-anak bertukar tempat dengan teman sebangkunya. Aku pun bertukar duduk dengan Dewi. Kemudian, anak-anak diharuskan memeriksa laci serta tas temannya masing-masing. Namun, aku hanya menemukan kertas-kertas contekan di laci Dewi, dan tak menemukan apa pun di dalam tasnya. Begitu pula Dewi.

“Nah, apa ada yang menemukan buku itu?” tanya Bu Sita kemudian.

Tak seorang pun menjawab ya. Artinya, buku itu tak ditemukan. Tiba-tiba Bu Sita ingat sesuatu dan segera menghampiri tempat dudukku.

“Mulan, coba panggilkan anak kelas 5B yang bernama Pandu itu.”

Anak kelas 5C, Bu, aku mengoreksi.

“Oh,ya, pokoknya panggil Pandu ke sini sebentar. Katakan pada Bu Risa di 5C, Bu Sita meminjam Pandu sebentar untuk memecahkan kasus ini. Akbar, coba kau temani Mulan.”

Aku dan Akbar bergegas ke kelas 5C. Kami menjelaskan pada Bu Risa, bahwa Bu Sita memanggil Pandu sebentar. Bu Risa sama sekali tidak tahu jika Pandu sangat berbakat jadi detektif.

“Wah, ada apa ini?” tanya Pandu setelah keluar dari kelas.

“Ada perkara pendurian di kelasku,” Akbar yang menjawab. “Dan Bu Sita ingin minta bantuanmu.”
Ilustrasi: Yoan

“Apa kau tak dapat memecahkannya?” Pandu bertanya padaku.

Aku tak perlu menjawab. Sebab pasti Pandu sedang bercanda. Sebaliknya, aku langsung mencubit lengannya, dan tak melepaskannya sampai ia mengaduh minta ampun padaku.

Setiba di kelasku, Bu Sita langsung menceritakan duduk persoalannya. Aku dan Akbar kembali ke bangku masing-masing.

“Bu Sita,” akhirnya Pandu bertanya, “Jadi buku tersebut tidak menemukan setelah tas dan laci diperiksa semuanya?”

“Benar,” Bu Sita mengangguk, “Apa kau berpendapat mungkin pencurinya dari kelas lain?”

“Saya berpendapat belum semua laci diperiksa,” jawab Pandu.

Ah, apa kira-kira maksud Pandu, pikirku.
Ilustrasi: Yoan

Bu Sita pun bertanya ke seisi kelas, “Mm, siapa yang belum memeriksa laci temannya?”

Tentu saja tak ada yang menjawab.

“Maksud saya,” Pandu menyahut. “Laci Bu Sita-lah yang belum diperiksa.”

Sudah barang tentu Bu Sita terperanjat. Aku pun tak menyangka. Namun ketika Bu Sita merogoh-rogoh lacinya, astaga, buku tersebut ditemukan!

“Jadi siapa ini yang menyembunyikannya di sini?” Bu Sita kembali bertanya ke seisi kelas.

Sementara itu, kulihat Putri sangat gembira sebab buku Tintin-nya telah ditemukan. Namun, siapa yang melakukannya? Pikirku.

“Jika pulang sekolah, biasanya guru-guru adalah orang yang paling akhir meninggalkan ruang kelas,” ujar Pandu, “Jadi, pasti salah seorang yang akan piket membersihkan kelas besok pagilah yang mungkin telah melakukannya ....”
Ilustrasi: Yoan

“Nah, siapa yang piket besok pagi?” Bu Sita bertanya.

Tiba-tiba saja Yosi mengangkat tangannya. “Sa... saya yang melakukan semuanya, Bu,” katanya. “Ta... tapi saya sebenarnya ... hanya bercanda ...” “Kau harus dihukum, sebab telah mengakibatkan semua kekacauan ini!” sahut Bu Sita tegas. “Dan kau Putri, Ibu beri waktu maju ke depan untuk mengucapkan terima kasih pada Pandu.”

Oh, tampaknya Pandu tersipu, karena cukup lama Putri menjabat tangannya.

(Sumber: Majalah Bobo edisi 24 tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 42-43)

Kehilangan Hadiah

Kehilangan Hadiah


By: Tri Wahyuningsih

          Aku tidak mau disuntik, ah! Kan, sakit!” seru Lita sambil menggosok-gosok  lengannya, seolah bisa merasakan sakitnya

“Tidak sakit, kok! Rasanya cuma digigit semut,” kata Alin sok tahu.
Ilustrasi: Roedyriff


Sejak pagi, teman-teman ramai membicarakan suntikan imunisasi cacar. Semua anak di kampungku yang belum disuntik imunisasi cacar, harus berkumpul di Balai Dusun nanti sore. Mereka akan diimunisasi cacar oleh petugas dari Puskesmas. Karena itulah, aku sudah membuat rencana untuk kabur dari rumah.

Sejak pagi, teman-teman ramai membicarakan suntikan imunisasi cacar. Semua anak di kampungku yang belum disuntik imunisasi cacar, harus berkumpul di Balai Dusun nanti sore. Mereka akan diimunisasi cacar oleh petugas dari Puskesmas. Karena itulah, aku sudah membuat rencana untuk kabur dari rumah.

Sepulang sekolah, sambil mengendap-endap, aku masuk ke rumah, melempar tas dan sepatuku, lalu kabur. Ibu yang melihatku langsung berteriak memanggilku, menyuruhku pulang. Namun aku tidak menggubrisnya. Aku justru mempercepat lariku.
Ilustrasi: Roedyriff


Bapak yang mendengar teriakan Ibu, langsung keluar rumah dan mengejarku. Aku makin mempercepa lariku. Tiba-tiba, bukan hanya Bapak yang mengejarku. Beberapa orang tua di kampungku ikut mengejarku.

Untung, aku jago lari. Karena badanku kecil, tubuhku pun jadi terasa ringan. Orang-orang yang mengejarku tertinggal di belakang. Hatiku bersorak gembira, berhasil lolos dari kejaran orang sekampung. Yeah!

Akan tetapi, tiba-tiba, aku sudah terkepung! Rupanya orang-orang yang mengejarku berpencar dan mengepungku. Empat orang menghadang di depanku. Sedangkan di belakang, ada Bapak bersama tiga orang lain yang terus mengejar sambil membujukku agar mau diajak ke Balai Dusun. Bapak bahkan berjanji akan memberiku uang jajan tambahan. Di kanan kiriku, cuma ada pagar bambu yang tidak mungkin kulompati.

Orang-orang yang mengejarku semakin dekat. Aku panik, tanpa pikir panjang, aku menerobos pagar bambu di samping kananku. Aku sempat kaget karena ternyata tubuhku bisa melewati sela pagar. Keuntungan lain bertubuh kecil. Aku berhasil lolos.

Akan tetapi, karena penasaran, diam-diam aku datang ke Balai Dusun. Balai Dusun penuh sesak dengan anak-anak yang mengantre untuk disuntik. Malu juga, mereka yang lebih muda dariku saja berani untuk disuntik, sedangkan aku malah kabur.

Si sekitar Balai Dusun, juga dipadati pedagang mainan dan jajanan. Sebagai hadiah karena berani disuntik, anak-anak langsung dibelikan mainan dan jajanan oleh orang tua mereka. Aku iri. Kalau tidak kabur, aku pasti dibelikan jajanan dan mainan.

Ah, menyesal sekali aku tadi kabur. Sudah tidak dapat mainan dan jajan, pulang nanti aku pasti dimarahi habis-habisan. Namun, anehnya, Bapak dan Ibu tidak marah saat melihaku pulang. Mereka malah tampak lega. Malam itu, aku jadi susah tidur karena menyesali perbuatanku.

“Ada apa ramai-ramai?” tanyaku heran, saat melihat teman-teman sekelas berkerumun di depan kantor guru, pagi hari berikutnya.

“Hari ini ada suntik imunisasi cacar,” kata Lita.

“Hah? Bukannya kemarin sore sudah di Balai Dusun?” tanyaku heran.

“Karena banyak yang belum disuntik, dilanjutkan hari ini di sekolah,” kata Lita.

“Jangan-jangan Kakak takut disuntik, ya?” ejek Doni, adik kelasku. “Idih, malu-maluin. Doni saja berani disuntik. Cuma seperti digigit semut.”

Doni mengangkut lengan bajunya, menunjukkan bekas suntikan di pangkal lengannya dengan bangga. Aku jadi kesal. Aku kelas 4 SD, masa kalah berani sama anak kelas 1.

“Siapa yang takut? Aku juga tahu kalau disuntik itu tidak sakit!” balasku.

Aku buru-buru masuk ke ruang guru untuk disuntik imunisasi cacar. Benar saja, tidak sakit.

Ah, aku menyesal, kenapa kemarin sore aku menolak disuntik? Selain akhirnya disuntik juga, aku jadi kehilangan hadiahku.

“Tidak sakit, kan?” tegur Bapak yang Guru SD di sekolahku, sambil senyum-senyum saat melihatku habis disuntik.
Ilustrasi: Roedyriff


“Iya. Berarti aku mendapat uang jajan tambahan, Pak?” tanyaku penuh harap.

“Karena kemarin kamu kabur, uang jajan tambahan juga kabur,” kata Bapak.

“Yah, Pak, tapi aku, kan sudah disuntik,” rayuku.

“Semua anak seumurmu harus disuntik agar tidak kena cacar,” kata Bapak. “Lagipula, segala sesuatu yang sudah kamu buang, tidak akan kembali lagi. Kemarin kamu sudah membuang kesempatan untuk mendapat hadiah, berarti hadiahmu juga hilang,” kata Bapak tegas.

Ah, memang benar. Penyesalan selalu datang terlambat.

(Sumber: Majalah Bobo edisi 24 tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 30-31)

6 September 2014

Ujian Ramadhan

Ujian Ramadhan

By: Belladieni

Aman membelalakkan mata melihat isi amplop coklat yang ia pegang. Lembaran rupiah bergambar dua Bapak Proklamator bangsa. Ia menghitung dengan cepat, jumlahnya dua juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit untuknya. Dengan cepat ia menutup amplop itu, menggulungnya di dalam kaos oblong yang ada di tasnya dan meletakkan dengan hati-hati di dasar tas ranselnya. Lalu berjalan menuju gerbang kampus, meninggalkan gedung yang mulai sepi menjelang senja.

‘Mungkin ini sebuah jalan keluar dari Allah, menjawab kesusahanmu selama ini. Ambil saja.’ Bisik suara hatinya saat sebuah pemikiran untuk mengumumkan bahwa ia menemukan amplop coklat di selasar kampusnya sore tadi terlintas di benaknya.

‘Jangan ngaco! Mana mungkin Allah melakukan hal itu. Yang ada kerjaan setan. Segera umumkan. Kasian kan si pemilik amplop itu.’ Bisik bagian hati yang lain.

‘Itu urusan pemilik, mengapa sampai teledor membawa uang sebanyak ini. Jangan dikembalikan! Coba bayangkan lebaran kali ini dengan uang itu, pasti akan berbedda. Kamu bisa melunasi tunggakan uang sekolah adikmu, membelikan ibu dan adikmu baju lebaran dan kalian bisa makan enak saat lebaran.’ Suara hatinya sungguh meyakinkan pikirannya. Bayangan senyum adik dan ibunya berkelebat di benak Aman, membuat keyakinannya untuk mengembalikan uang itu agak tergoyahkan.

‘Sebentar lagi itu lebaran. Hari kemenangan umat Islam. Bagaimana mungkin kamu merayakan hari suci itu menggunakan uang haram!’ Nuraninya masih mencoba berargumen.

Aman bergumam resah, memegang kepalanya yang tidak sakit namun mendadak pening karena kedua sisi hatinya terus menyuarakan keinginan masing-masing, mempengaruhinya untuk mengikuti saran mereka.

Sudah setengah jam ia memandangi amplop coklat yang sekarang ia letakkan di atas meja belajarnya. Uang itu tidak sedikit. Pasti pemiliknya merasa sangat sedih kehilangan uang itu. Ia teringat bagaiamana susahnya ibu bekerja menjadi guru sekolah dasar dan menjadi tutor di bimbingan belajar agar memenuhi kebutuhannya dan adiknya. Terbayang pias di wajah ibu jika sampai harus kehilangan uang sebanyak itu.

Sebuah ketukan halus di pintu membuyarkan lamunannya. Sita, adiknya, yang sudah duduk di kelas tiga SMP mengingatkan sudah waktunya berbuka puasa. Aman mengamati sekali lagi amplop coklat itu. Keputusannya sudah bulat. Besok ia akan mengumumkan telah menemukan amplop itu, dan berjanji akan mengembalikan kepada sang pemilik. Ia melangkah dengan riang menuju ruang makan.

***

Kuis Fisika Dasar II yang diadakan dadakan membuat ingatan Aman akan ampolp coklat itu terlupakan sampai siang. Mungkin akan berlanjut sampai pelajaran usai jika saja Lily tidak mengajaknya bergosip.

“Sudah dengar belum? Si nona besar baru kehilangan uang.” Lily, sahabatnya memberitahu soal gosip terbaru di kampus.

“Nona besar?” tanya Aman tak mengerti siapa yang dimaksud.

“Aura.” Desis gadis itu gemas akan kelambatan otak pria berkacamata yang sedang sibuk membereskan diktat Fisika miliknya.

“Kenapa dia?” aman penasaran. Biasanya ia tidak pernah mau perduli dengan gosip yang beredar di kampus. Namun karena topiknya tentang kehilangan uang, nalurinya berkata lain, untuk mendengarkan cerita Lily.

“Dia kan bendahara acara buka puasa Jurusan tahun ini. Kemarin dia lupa di mana meletakkan uang yang diperoleh dari Sekretaris Jurusan, dan baru manyadari tadi pagi!” Lily bergaya bak reporter gosip di tivi.

Aman teringat amplop coklat yang ada di tasnya, berniat akan menghampiri Aura setelah jam kuliah usai.

“Lalu? Dia sedih dong,” ujar Aman merasa sedikit bersalah.

“Ha? Nona besar itu mana mungkin sedih kehilangan duit segitu. Dia bahkan tidak menyadari sama sekali.” Lily mengalihkan pandangannya ke dosen Fisika yang masih menulis jawaban kuis barusan di papan tulis.

“Maksudnya?”

“Aura itu kan anak orang kaya di kota ini. Mana mungkin ia sedih cuma karena duit dua juta. Memang kamu belum pernah dengar soal dia merusakkan alat percobaan di laboratorium saat pratikum yang bernilai belasan juta?” Lily mendekatkan wajahnya pada Aman berniat bergosip lebih lanjut. Aman menggelang.

“Bapaknya langsung datang ke sini dan memberikan cek senilai dua puluh juta rupiah tanpa berpikir panjang karena nona besar itu menangis ketakutan dan tidak mau keluar dari kamar mandi laboratorium.”

“Benarkah?” tanya Aman tak mempercayai pendengarannya. Ia melemparkan pandangannya ke gadis berkulit putih dan berhidung mancung yang duduk di deretan paling depan yang sekarang sedang tekun mencatat jawaban kuis.

“Kebanyakan dong, gampang bagi dia untuk merengek minta dua juta kepada papanya,” jawab Lily mengakhiri acara gosipnya.

“Lalu?” Aman masih penasaran dengan kelanjutan cerita Lily.

“Lalu apa?” Sekarang gadis berkulit coklat yang duduk di sebelahnya itu mulai sibuk mencatat dan bersikap acuh menanggapi pertanyaannya.

“Lalu bagaimana reaksinya setelah kehilangan uang itu?”

“Siapa?”

“Si nona besar.” Aman mengulangi dengan sabar. Ia cukup hapal kebiasaan sahabatnya itu yang suka iseng bertele-tele dan membuat orang penasaran.

“Aman. Ini bulan suci Ramadhan, dilarang bergosip tau,” jawabnya telak. Ia senang sekali membuat cowo berkacamata itu keki.

***

Aman mengamati Aura yang duduk di bangku kayu depan laboratorium. Semua orang tau gadis cantik itu merupakan anak tunggal seorang pengusaha ternama di kota Surabaya. Penampilannya termasuk mentereng di kampus teknik negeri itu. Di tengah kebanyakan mahasiswa dari daerah yang berpenampilan sederhana Aura selalu tampil dengan trendy, dengan busana bermerek dan tas mahal yang menemaninya ke kampus. Mobil yang ia gunakan pun berganti-ganti. Cantik, keren dan kaya. Mungkin perpaduan ini yang membuat Aura menjadi sosok yang congkak, ia hanya mau bergaul dengan orang-orang yang dianggapnya setara. Aura sungguh tampak seperti nona besar di kalangan rakyat jelata, demikian komentar pedas Lily soal penampilan dan sikap Aura.

Aura sedang berbicara di telpon, lagi-lagi membuat Aman mengelus dada, menggunakan ponsel qwerty trendy yang sedang in di kalangan siapa pun yang ingin dianggap eksis, yang sering ia lihat di televisi. Dari penglihatannya tidak ada raut gundah sedikitpun di wajah gadis itu, bahkan ia tidak tampak seperti orang yang baru saja kehilangan uang. Pasti lain kejadiannya jika hal itu yang terjadi padanya, mungkin Aman bisa stres seperti orang gila, berpikir bagaimana cara mengganti uang sebanyak itu. Uang itu setara dengan honornya mengajar les privat selama 4 bulan. Hati Aman diliputi kebimbangan. Apa masih perlu ia mengembalikan uang ini.

***

‘Anggap aja ini jalan dari Allah untukmu.’ Suara hatinya membela diri saat sebuah pikiran melintas, untuk menggunakan saja uang itu.

‘Bagaimanapun menyebalkannya dia, tetap saja ia pemilik sah uang ini. Jangan mendengarkan omongan setan!’ balas bagian jiwanya yang lain.

“Sore-sore kok melamun, Man?” teguran ibu menyadrkan Aman dari lamunannya. Ibu baru saja pulang mengajar. Membawa plastik hidangan untuk berbuka puasa. Aman beranjak ke dapur, mengambil piring untuk menyajikan makanan yang dibawa ibu.

“Lagi ada masalah di kampus?” tanya ibu penuh kasih setelah selesai berganti pakaian. Aman menggeleng.

“Lalu kenapa melamun sore-sore?” Ibu masih menyimpan rasa penasaran.

“Lagi capek aja bu,” jawab Aman tak ingin membebani. Ibu tersenyum maklum lalu duduk membaca koran di depan televisi.

“Oh iya, Bu, bagaimana dengan tunggakan spp Sita?” Aman teringat persolan uang sekolah adiknya yang sudah dua bulan ini menunggak. Aman baru saja menguras tabungannya untuk membayar uang pratikum, tak tega rasanya meminta ibu, sehingga ia tak bisa membantu soal tunggakan SPP adiknya. Ibu tersenyum teduh.

“Sudah selesai kok, tadi ibu sudah ke sekolah melunasi tunggakannya.”

“Ibu dapat uang dari mana?” tanya Aman heran, mengingat itu bukan tanggal gajian ibu.

“Pinjam dari koperasi.”

Aman mendesah. Semakin banyak saja pinjaman ibu di koperasi. Aman teringat akan uang yang ada di tasnya sekarang. Mungkinkah memang benar ini jalan dari Allah untuknya?

‘Jangan ngaco kamu! Bagaimanapun juga duit itu bukan duit halal!’ Bisik batinyya. ‘Tapi Aman tidak mencuri, ia menemukan uang itu secara kebetulan.’ Logikanya membela.

‘Tetap saja itu uang haram! Apa kamu mau ibu dan adikmu makan uang haram itu? Itu dosa!’ Putus suara hatinya tak mau berkompromi.

“Man, tolong antarkan kolak ini untuk nek Wati ya?” pinta Ibu mengangsurkan bungkusan kolak dalam plastik. Nek Wati teman dekat almarhum nenek Aman dulu, beliau tinggal dua blok dari rumah mereka. Ibu sudah menganggap Nek Wati seperti ibunya sendiri. Saat Ramadhan seperti ini hampir setiap sore ibu mengantarkan hidangan berbuka puasa untuknya. Aman mengangguk, ia mengambil bungkusan plastik lalu berjalan keluar rumah. Waktu berbuka puasa tinggal beberapa saat lagi. Di pinggir jalan banyak sekali orang yang menjual hidangan berbuka puasa. Aman paling suka suasana saat bulan Ramadhan. Semua orang bergegas pulang ke rumah menjelang waktu berbuka untuk berbuka puasa bersama keluarga tercinta. Sepeluh menit menjelang azan magrib, Aman mempercepat langkahnya untuk menyeberangi jalan, hingga ia tidak memperhatikan sebuah Avanza metalik meluncur dengan kencang dari seberang jalan. Kejadiannya begitu cepat, suara decit ban dan pekikan orang-orang di sekeliling bercampur menjadi satu di telinganya. Ia tidak ingat apa yang terjadi, tau-tau tubuhnya terpelanting sejauh lima meter ke tengah jalan. Si pengendara mobil turun dengan panik dan menghampirinya, bertanya apa ia baik-baik saja. Aman melihat kedua tangan dan kakinya, tidak ada darah sama sekali. Ia bahkan tidak merasa sakit atau nyeri, namun badannya menggigil, gemetar hebat. Bisa saja ia terluka akibat tabrakan tadi, atau bisa lebih parah. Namun Allah masih menyelamatkannya.

Sesaat Aman tidak bisa berkata apa-apa waktu pengendara itu menawarkan diri mengantar Aman ke rumah sakit. Ia menggeleng, tersenyum menenangkan karena melihat raut wajah si pengendara yang masih tegang. Selintas pemikiran menghampiri benaknya, bagaimana jika ia tertabrak dan tidak sempat mengembalikan uang yang ia temukan kemarin. Bagaimana perasaan Ibu dan Sita jika menemukan amplop berisikan uang banyak di tasnya. Bagaimana jika ia tidak diselamatkan oleh Yang Maha Kuasa dalam keadaan menuruti saran dari setan. Aman bergidik. Suara Azan magrib berkumandang. Orang-orang masih berkerumun di sekitarnya karena ia tak kunjung bersuara.

Seolah mendapat kekuatan, Aman berdiri, mengatakan ia baik-baik saja lalu berlari menuju rumahnya. Ada satu hal yang ia harus lakukan, mengambil amplop itu dan mengembalikannya kepada Aura saat iu juga. Ia tidak mau berdosa karena hal ini. Hati dan pikirannya sekarang sejalan, kehadiran amplop coklat itu merupakan sebuah ujian untuknya. Ujian di bulan Ramadhan dan ia sudah tau apa penyelesaiannya.


(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX . 30 Agst – 5 Sept 2010 . Hal 26)