10 Desember 2019

Sopir Becak Misterius


Sopir Becak Misterius

By: Eko Pri Maryanto

Rapor berisi nilai hasil belajar telah dibagikan. Anto puas dengan hasil yang diraih. Selain naik ke kelas VI, gelar juara kelas juga masih dipegangnya. Walaupun berstatus juara kelas, Anto tetap tidak sombong. Nia, adik Anto, juga naik ke kelas IV. Ayah dan Ibu bangga pada mereka.

Pagi itu, Anto dan Nia sudah bersiap melakukan perjalanan. Berkunjung ke rumah Kakek. Mereka sudah terbiasa pergi berdua ke rumah Kakek naik bus, dilanjutkan naik becak. Sudah lama mereka tidak ke rumah Kakek. Anto ingin melihat kolam ikan milik Kakek, sementara Nia ingin membantu Nenek berkebun.

Di dalam bus, Anto menjaga adiknya. Selain pandai, dia juga kakak yang bertanggung jawab. Bus terus melaju sampai di depan pasar kecamatan. Setelah membayar pada kondektur, mereka turun.

Baru beberapa langkah berjalan, seorang abang becak menghampiri mereka. Ia memakai caping.

“Mau kemana, Den? Butuh becak?” sapanya halus.

“Iya, pak. Kami mau ke Desa Keraseni,” jawab Anto.

“Mari, silakan, Den,” kata si abang becak yang wajahnya sedikit tertutup caping.

“Ongkosnya berapa, Pak?”

“Sudah, naik saja. Soal ongkos, gampang.”

“Tidak bisa begitu, Pak.”

“Ya sudah, tarif seperti biasanya saja.”

Karena mereka sudah terlanjur naik, Anto mengalah. Lagi pula, dia sudah diberitahu Ibu. Ongkos becak ke rumah Kakek kira-kira sepuluh ribu rupiah.

“Mau ke rumah siapa, Den?” tanya abang becak memulai pembicaraan.

“Pak, jangan panggil saya Raden. Saya enggak enak. Nama saya Anto dan ini adik saya, Nia. Kami mau ke rumah Kakek,” jawab Anto.

“Liburan kenaikan kelas, ya? Dik Anto kelas berapa?”

“Saya naik ke kelas VI dan Nia kelas IV. Iya, Pak, kami sedang liburan.”

“Bapak juga punya cucu seusia kamu. Anaknya pintar, selalu juara kelas, baik hati, dan tidak sombong. Nilai rapormu bagaimana, Dik?”

“Ah, biasa aja, Pak,” jawab Anto merendah. Padahal, dia juara kelas dengan nilai tertinggi sekabupaten.

“Kalau cucu Bapak, nilai rata-ratanya 9. Dia mendapat beasiswa dan selalu menang lomba cerdas cermat. Tidak seperti kakeknya yang bodoh ini. Bapak bangga padanya.”

Abang becak itu panjang lebar menceritakan cucunya. Anto hanya diam mendengarkan. Anto enggan bercerita tentang dirinya yang sebenarnya juga mempunyai nilai rata-rata 9 dan mendapat beasiswa dari Bapak Bupati. Dia tak mau bercerita karena tidak ingin dianggap sombong.

“Kelak, kalau cucu Bapak datang dari kota, Bapak akan memberinya hadiah. Apa yang dia minta, akan Bapak beri,” kata si abang becak. Anto jadi semakin ingin cepat bertemu kakeknya.

Ilustrasi: Yan B


Karena lelah, Nia tertidur bersandar. Sementara, abang becak masih terus bercerita tentang cucunya. Sebenarnya, Anto penasaran dengan abang becak itu. Setiap kali Anto menoleh ke belakang, dia selalu menunduk, sehingga wajahnya tertutup caping.

Tak terasa, mereka memasuki Desa Keraseni.

“Jika cucu Bapak datang, Bapak akan memberinya apa?”

“Ya, apa saja, asal Bapak mampu. Tahun kemarin, dia Cuma minta korek api antik. Katanya, agar Bapak berhenti merokok.”

Mendengar kata itu, Anto terbelalak. Dulu, ia juga berkata seperti itu pada kakeknya. Dengan refleks, dia meloncat turun, lalu memperhatikan wajah si abang becak. Anto mengenalinya.

“Kakek nakaaal!” seru Anto seraya memeluk abang becak yang ternyata kakeknya itu. Nia terbangun karena mendengar teriakan kakaknya. Di jalan itu, mereka berpelukan.

“Ayo, kita pulang dulu! Nenek sudah menunggu,” ajak Kakek. Mereka melanjutkan perjalanan.

“Kenapa Kakek pakai menyamar segala?”

Ilustrasi: Yan B


“Kemarin ibumu menelpon Tante Neni. Katanya, kamu mai datang. Kemudian, Kakek putuskan menyewa becak Pak Hadi untuk menjemput sang juara.”

“Kakek ada-ada saja. Pantas, waktu belok di tikungan tadi, becaknya hampir terbalik,” kata Anto.

“Ternyata, abang becak gadungan! Ha ha ha...” sambung Nia. Semua tertawa.

“Ayah ibu kalian sudah cerita tentang kalian pada Kakek. Ternyata, cucu-cucu Kakek tumbuh hebat. Tidak sombong serta selalu ingat kakek dan neneknya.”

Mereka pun sampai di rumah lalu saling melepas rindu.

(Sumber: Bobo edisi 35. Tahun XXXVIII. 9 Desember 2010. Hal. 32-33)

0 komentar:

Posting Komentar