10 SURAT CINTA MISTERIUS
By: Fanny YS
“DOOOOOOR..!”
Potongan bakso urat
yang tengah kusendok hampir saja meloncat entah ke mana saking kagetnya.
Seorang makhluk perempuan tiba-tiba saja menggebrak kursi kantin yang sedang
kududuki. Ia kemudian menarik kursi yang satunya lagi dan kami pun saling
berhadapan. Cengangas-cengenges! Ya, dia selalu girang bila berhasil
menjahiliku. Lihatlah, kali ini dia tersenyum puas karena ledakan suaranya yang
sukses membuat jantungku berhenti sesaat.
“Kaget ya?” tanyanya
sambil membenarkan poninya menutupi sebatas alis.
Aku diam, pura-pura
tidak mendengarnya sambil terus melahap bakso pesananku.
“Awan nyebeliiin
..!”ucapnya. Nadanya kini berganti sinis.
“Hmm, aku? Bukannya
kamu yang nyebelin? Ngagetin orang sembarangan! Kalo aku mati keselek bakso
sama sendok-sendoknya, gemana? Kamu mau?”
Lily, gadis itu
kemudian terbahak mendengar pertanyaanku. Tawanya menambah ramai suasana kantin
SMA ini.
“Maap, deh, Wan.
Niatku kan bikin kamu seneng. Aku nggak niat bikin kamu mati konyol gara-gara
bakso, maap ya ... pliiiis ....”
Aku masih pura-pura
sibuk dengan baksoku yang hampir habis. Merasa dicueki Lily pun menarik-narik
tangan seragam putihku.
“Iya,” jawabku
sembari meneguk segarnya es teh.
“Lagian kenapa sih,
kayaknya lagi happy banget, Ly?” Lanjutku.
Lily tersenyum manis. Ia memang cantik,
melebihi Nuni, pelayan kantin SMA yang terkenal kemolekannya.
“Wan, tadi aku nemu
ini di dalam laci mejaku.”
Lily mengeluarkan
sesuatu dari saku rok abu-abunya, hati-hati sekali.
Teruntukku
bunga pemilik segala keindahan
Wangimu
menawan
Meski
hanya kusesap dari kejauhan
Kau
ibarat embun
Dan
aku;
Jiwa sunyi seorang penyamun ....
“Apa ini?”
“Nggak tahu! Yang
jelas itu surat ke-5 yang pernah kuterima, tanpa nama pengirim. Sebenarnya dari
kemarin aku pengen cerita sama kamu, tapi aku malu,” wajah Lily merona.
“Penggemar rahasia?”
“Mungkin. Surat-surat
yang kemarin juga isinya puisi. Hmm ...”
“Kamu suka?”
Lily hanya mengangkat
bahunya. Matanya menerawang tak tahu ke mana. Yang jelas kutangkap ada binar
bahagia di matanya. Ah, Lily ....
***
Wahai
bunga pemilik segala keindahan
Ijinkan
kusulang rindu di cawan hatiku
Tentangmu
dan tentang pagi yang teramat kunanti
: Bungaku
Ini surat misterius
ke-7 yang diterima Lily setelah surat yang ia beritahukan padaku, dua hari yang
lalu. Surat ini untuknya, tapi sepulang sekolah tadi ia memintaku untuk
menyimpannya. Sehabatku yang satu itu kadang-kadang memang aneh.
Lily adalah sahabat
dekatku sejak SMP. Dulu kami selalu sekelas, tapi di kelas XII ini kami
berpisah kelas, aku di IPS dia di IPA. Lily memang pintar, aku akui itu. Banyak
penghargaan yang ia terima selama ini. Selain predikat bintang kelas. Ia gadis
yang baik. Terbukti sampai detik ini ia tetap mau jadi sahabatku meski aku
bukanlah anak orang berada seperti dirinya. Tapi sayang, orang tuanya bercerai
akhir tahun yang lalu. Hampir seluruh cerita sedih hidupnya ia ceritakan
padaku. Aku memang tak bisa banyak membantu, tapi bagi Lily keberadaanku yang
mau mendengarkan keluhnya sudah cukup mengurangi bebannya.
Ya ya ya ... kalian
tahu? Lily juga gadis yang ayu. Entah sudah berapa banyak cowok yang menaruh
hati padanya. Namun Lily bukan tipe gadis yang gampang jatuh cinta. Buktinya,
sampai usia 17 ini ia hanya pernah pacaran satu kali dengan Leo, teman
basketku. Berawal dari sebuah kekaguman akhirnya Lily begitu mencintainya.
Segala apa yang ada di diri Leo selalu membuatnya terpesona. Namun kebersamaan
mereka tak lama, hanya empat bulan kemudian mereka putus. Aku sangat bersalah
karena tak jujur padanya kalau Leo
ternyata playboy. Aku hanya tak mau merusak kebahagiaan Lily saat
itu.
Dan sekarang? Ada apa
dengan Lily dan surat-surat misteriusnya? Apakah ia akan jatuh cinta dengan
lembaran kertas yang berisi luapan kata-kata puitis? Entah....
***
“Kalo dilihat-lihat
... tulisannya mirip tulisanmu, Wan. Tapi nggak mungkin kalau kamu pengirimnya.
Lagian mana bisa kamu nyiapin puisi-puisi romantis kayak gini, hahaha ... Siapa
ya? Apa dia cucunya Kahlil Gibran? Siapa ya, Wan? Kamu tahu Aldi, anak XII IPS
I? Atau ... Rio, temen sekelasmu? Waktu itu dia sempet PDKT tapi nggak aku
tanggepin. Atau jangan-jangan ....”
“BRUUUUK!”
Kulempar bola yang
sedari tadi diam di sampingku hingga membentur tembok lapangan basket.
“Awan! Kenapa sih?
Kok kamu sewot gini?” Lily terperangah melihat tingkahku.
“Lily Hendriyanto
Putri! Jadi Cuma buat ini kamu hentiin permainan basketku?” suaraku meninggi.
Beberapa siswa yang sedang istirahat dan bergabung di lapangan ini pun seketika
menatap ke arah kami.
Lily tak mengucapkan
apa-apa. Bibirnya bergetar, matanya berkaca. Baru kali ini aku membentaknya
sekeras tadi. Entah, aku merasa risih ketika ia menyebut nama Rio, Aldi, Gibran
atau siapa tadi ... Lily pun berlalu tanpa sempat berpamitan padaku. Maafkan
aku, Lily. Batinku. Selembar kertas putih yang tadi ia bawa tertinggal
tepat di sampingku.
Lily
mata air sejuta keindahan
Darimu
aku bermimpi
Bahagia
meski memendam sendiri
Rasa
luar bias dari sosok yang biasa
Ah,
aku ingin terus merindumu
Sampai kau benar-benar berlalu dari senjaku ...
***
Sengaja aku datang ke
perpustakaan, meninggalkan jam pelajaran Ekonomi. Ya, dari pada aku tidak
konsentratsi dan beresiko kena semprot Pak Edi, guru Ekonomi yang super killer
... lebih baik aku membolos, cukup satu kali ini. Aku tak tahu apa yang ada
dipikiranku. Rasanya semuanya kacau. Aku berharap suasana tenang di
perpustakaan ini bisa menularkan efek tenangnya pada diriku.
Aku duduk di pojok
ruangan. Sebuah buku yang entah apa judulnya sembarang kuambil untuk
menemaniku. 15 menit ... hatiku masih juga gelisah, sungguh! Entah ...
sepertinya ini karena Lily, maafkan aku ya ...
Sejak kejadian
kemarin siang, Lily masih diam terhadapku. Semalam ia tak menjawa telepon atau
pun membalas pesan permintaan maafku. Pesanku di wall fb-nya pun ia abaikan.
Tadi pagi ketika kuajak berangkat sekolah bersama, ia berusaha menghindar
dengan berangkat lebih dulu. Aku memang salah, salah sekali. Salah kepadanya,
sikapku dan tentang perasaanku.
Kalian tahu? Aku
telah berbohong padanya selama ini. Aku akui kalau aki ini pencundang amatir. Maafkan
aku, Lily...
Teruntuk
Lily bunga terindah yang pernah kutemui ...
Maaf
bila kukatakan cinta lewat tinta
Juga
lewat kertas tak bermakna
Aku
bukan ahli konsep, aku bukan sosok berani
Aku
hanya punya ini;
Cinta
tulus untukmu dari sanubari
Sekali lagi ... maafkan aku, Lily ...
“DOOOOOR ..!!” sebuah tangan menepuk
bahuku. Sontak kulipat kertas yang barusan kutulis dan menyembunyikannya di
balik buku.
“Hey, Awan
Dirgantara! Ternyata kamu ya penulis surat misterius itu?”
“Ssssst, jangan
keras-keras, ini perpustakaan!” ucapku sembari membungkam mulut gadis di
hadapanku. Oh My God, dia memang Lily.
Lily tersenyum
kemudian duduk di sampingku. Mata kami saling bertemu. Ah, kenapa aku
sebodoh ini? Umpatku sendiri.
“Maaf ya, Ly.”
“Untuk apa?”
“Ini,” kuangsurkan
surat ke-10 yang kutulis untuknya. Bukan karena kepalang basah, tapi karena aku
sudah tak sanggup memendam dan yakin harus mangatakan kepadanya.
“Makasih ya, Wan. Aku
suka semuanya.”
“Masa?” Aku
terbelalak tak percaya.
“Maaf kalau aku
lancang, Ly ... tapi aku nggak bisa bohong, aku sayang kamu lebih dari
sahabat,” lanjutku dengan sedikit gugup. Sumpah! Jantungku berdebar tak karuan.
“Aku juga sayang
kamu, Wan,” ucap Lily dengan pipi bersemu.
“Kamu nggak bercanda
kan, Ly? Kamu terima cintaku?” tanyaku yang lagi-lagi tak percaya.
“Iya, dengan terpaksa
aku menerima cintamu,” jawabnya penuh haru.
“YEEEEEEEEES ..!”
Kali ini ia membungkam mulutku. Ups, ini perpustakaan!
(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 24 tahun XI . 18-24 Juni 2012 . Hal 37)