25 Juni 2015

10 Surat Cinta Misterius

10 SURAT CINTA MISTERIUS

By: Fanny YS
“DOOOOOOR..!”

Potongan bakso urat yang tengah kusendok hampir saja meloncat entah ke mana saking kagetnya. Seorang makhluk perempuan tiba-tiba saja menggebrak kursi kantin yang sedang kududuki. Ia kemudian menarik kursi yang satunya lagi dan kami pun saling berhadapan. Cengangas-cengenges! Ya, dia selalu girang bila berhasil menjahiliku. Lihatlah, kali ini dia tersenyum puas karena ledakan suaranya yang sukses membuat jantungku berhenti sesaat.

“Kaget ya?” tanyanya sambil membenarkan poninya menutupi sebatas alis.

Aku diam, pura-pura tidak mendengarnya sambil terus melahap bakso pesananku.

“Awan nyebeliiin ..!”ucapnya. Nadanya kini berganti sinis.

“Hmm, aku? Bukannya kamu yang nyebelin? Ngagetin orang sembarangan! Kalo aku mati keselek bakso sama sendok-sendoknya, gemana? Kamu mau?”

Lily, gadis itu kemudian terbahak mendengar pertanyaanku. Tawanya menambah ramai suasana kantin SMA ini.

“Maap, deh, Wan. Niatku kan bikin kamu seneng. Aku nggak niat bikin kamu mati konyol gara-gara bakso, maap ya ... pliiiis ....”

Aku masih pura-pura sibuk dengan baksoku yang hampir habis. Merasa dicueki Lily pun menarik-narik tangan seragam putihku.

“Iya,” jawabku sembari meneguk segarnya es teh.

“Lagian kenapa sih, kayaknya lagi happy banget, Ly?” Lanjutku.

 Lily tersenyum manis. Ia memang cantik, melebihi Nuni, pelayan kantin SMA yang terkenal kemolekannya.

“Wan, tadi aku nemu ini di dalam laci mejaku.”

Lily mengeluarkan sesuatu dari saku rok abu-abunya, hati-hati sekali.

Teruntukku bunga pemilik segala keindahan
Wangimu menawan
Meski hanya kusesap dari kejauhan
Kau ibarat embun
Dan aku; 
Jiwa sunyi seorang penyamun ....

“Apa ini?”

“Nggak tahu! Yang jelas itu surat ke-5 yang pernah kuterima, tanpa nama pengirim. Sebenarnya dari kemarin aku pengen cerita sama kamu, tapi aku malu,” wajah Lily merona.

“Penggemar rahasia?”

“Mungkin. Surat-surat yang kemarin juga isinya puisi. Hmm ...”

“Kamu suka?”

Lily hanya mengangkat bahunya. Matanya menerawang tak tahu ke mana. Yang jelas kutangkap ada binar bahagia di matanya. Ah, Lily ....

***

Wahai bunga pemilik segala keindahan
Ijinkan kusulang rindu di cawan hatiku
Tentangmu dan tentang pagi yang teramat kunanti
: Bungaku

Ini surat misterius ke-7 yang diterima Lily setelah surat yang ia beritahukan padaku, dua hari yang lalu. Surat ini untuknya, tapi sepulang sekolah tadi ia memintaku untuk menyimpannya. Sehabatku yang satu itu kadang-kadang memang aneh.

Lily adalah sahabat dekatku sejak SMP. Dulu kami selalu sekelas, tapi di kelas XII ini kami berpisah kelas, aku di IPS dia di IPA. Lily memang pintar, aku akui itu. Banyak penghargaan yang ia terima selama ini. Selain predikat bintang kelas. Ia gadis yang baik. Terbukti sampai detik ini ia tetap mau jadi sahabatku meski aku bukanlah anak orang berada seperti dirinya. Tapi sayang, orang tuanya bercerai akhir tahun yang lalu. Hampir seluruh cerita sedih hidupnya ia ceritakan padaku. Aku memang tak bisa banyak membantu, tapi bagi Lily keberadaanku yang mau mendengarkan keluhnya sudah cukup mengurangi bebannya.

Ya ya ya ... kalian tahu? Lily juga gadis yang ayu. Entah sudah berapa banyak cowok yang menaruh hati padanya. Namun Lily bukan tipe gadis yang gampang jatuh cinta. Buktinya, sampai usia 17 ini ia hanya pernah pacaran satu kali dengan Leo, teman basketku. Berawal dari sebuah kekaguman akhirnya Lily begitu mencintainya. Segala apa yang ada di diri Leo selalu membuatnya terpesona. Namun kebersamaan mereka tak lama, hanya empat bulan kemudian mereka putus. Aku sangat bersalah karena tak jujur padanya kalau Leo  ternyata playboy. Aku hanya tak mau merusak kebahagiaan Lily saat itu.

Dan sekarang? Ada apa dengan Lily dan surat-surat misteriusnya? Apakah ia akan jatuh cinta dengan lembaran kertas yang berisi luapan kata-kata puitis? Entah....

***

“Kalo dilihat-lihat ... tulisannya mirip tulisanmu, Wan. Tapi nggak mungkin kalau kamu pengirimnya. Lagian mana bisa kamu nyiapin puisi-puisi romantis kayak gini, hahaha ... Siapa ya? Apa dia cucunya Kahlil Gibran? Siapa ya, Wan? Kamu tahu Aldi, anak XII IPS I? Atau ... Rio, temen sekelasmu? Waktu itu dia sempet PDKT tapi nggak aku tanggepin. Atau jangan-jangan ....”

“BRUUUUK!”

Kulempar bola yang sedari tadi diam di sampingku hingga membentur tembok lapangan basket.

“Awan! Kenapa sih? Kok kamu sewot gini?” Lily terperangah melihat tingkahku.
“Lily Hendriyanto Putri! Jadi Cuma buat ini kamu hentiin permainan basketku?” suaraku meninggi. Beberapa siswa yang sedang istirahat dan bergabung di lapangan ini pun seketika menatap ke arah kami.

Lily tak mengucapkan apa-apa. Bibirnya bergetar, matanya berkaca. Baru kali ini aku membentaknya sekeras tadi. Entah, aku merasa risih ketika ia menyebut nama Rio, Aldi, Gibran atau siapa tadi ... Lily pun berlalu tanpa sempat berpamitan padaku. Maafkan aku, Lily. Batinku. Selembar kertas putih yang tadi ia bawa tertinggal tepat di sampingku.

Lily mata air sejuta keindahan
Darimu aku bermimpi
Bahagia meski memendam sendiri
Rasa luar bias dari sosok yang biasa
Ah, aku ingin terus merindumu
Sampai kau benar-benar berlalu dari senjaku ...

***

Sengaja aku datang ke perpustakaan, meninggalkan jam pelajaran Ekonomi. Ya, dari pada aku tidak konsentratsi dan beresiko kena semprot Pak Edi, guru Ekonomi yang super killer ... lebih baik aku membolos, cukup satu kali ini. Aku tak tahu apa yang ada dipikiranku. Rasanya semuanya kacau. Aku berharap suasana tenang di perpustakaan ini bisa menularkan efek tenangnya pada diriku.

Aku duduk di pojok ruangan. Sebuah buku yang entah apa judulnya sembarang kuambil untuk menemaniku. 15 menit ... hatiku masih juga gelisah, sungguh! Entah ... sepertinya ini karena Lily, maafkan aku ya ...

Sejak kejadian kemarin siang, Lily masih diam terhadapku. Semalam ia tak menjawa telepon atau pun membalas pesan permintaan maafku. Pesanku di wall fb-nya pun ia abaikan. Tadi pagi ketika kuajak berangkat sekolah bersama, ia berusaha menghindar dengan berangkat lebih dulu. Aku memang salah, salah sekali. Salah kepadanya, sikapku dan tentang perasaanku.

Kalian tahu? Aku telah berbohong padanya selama ini. Aku akui kalau aki ini pencundang amatir. Maafkan aku, Lily...

Teruntuk Lily bunga terindah yang pernah kutemui ...
Maaf bila kukatakan cinta lewat tinta
Juga lewat kertas tak bermakna
Aku bukan ahli konsep, aku bukan sosok berani
Aku hanya punya ini;
Cinta tulus untukmu dari sanubari
Sekali lagi ... maafkan aku, Lily ...

“DOOOOOR ..!!” sebuah tangan menepuk bahuku. Sontak kulipat kertas yang barusan kutulis dan menyembunyikannya di balik buku.

“Hey, Awan Dirgantara! Ternyata kamu ya penulis surat misterius itu?”

“Ssssst, jangan keras-keras, ini perpustakaan!” ucapku sembari membungkam mulut gadis di hadapanku. Oh My God, dia memang Lily.

Lily tersenyum kemudian duduk di sampingku. Mata kami saling bertemu. Ah, kenapa aku sebodoh ini? Umpatku sendiri.

“Maaf ya, Ly.”

“Untuk apa?”

“Ini,” kuangsurkan surat ke-10 yang kutulis untuknya. Bukan karena kepalang basah, tapi karena aku sudah tak sanggup memendam dan yakin harus mangatakan kepadanya.

“Makasih ya, Wan. Aku suka semuanya.”

“Masa?” Aku terbelalak tak percaya.

“Maaf kalau aku lancang, Ly ... tapi aku nggak bisa bohong, aku sayang kamu lebih dari sahabat,” lanjutku dengan sedikit gugup. Sumpah! Jantungku berdebar tak karuan.

“Aku juga sayang kamu, Wan,” ucap Lily dengan pipi bersemu.

“Kamu nggak bercanda kan, Ly? Kamu terima cintaku?” tanyaku yang lagi-lagi tak percaya.

“Iya, dengan terpaksa aku menerima cintamu,” jawabnya penuh haru.

“YEEEEEEEEES ..!” Kali ini ia membungkam mulutku. Ups, ini perpustakaan!

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 24 tahun XI . 18-24 Juni 2012 . Hal 37)

0 komentar:

Posting Komentar