Upacara Pagi Itu
By: Titiek Limarty
Setiap
kali melihat Pak Danu, hatiku langsung berdebar-debar. Badan kekar, kulit
hitam, kumis tebal, dan suara yang menggelegar, cukup membuatku takut. Pak Danu
terkenal karena kegalakannya. Semua siswa di SD Prestasi ini pasti tidak mau
berurusan dengan Pak Danu.
Sebagai Wakil
Kepala Sekolah, Pak Danu sebenarnya sangat berwibawa. Apabila ada siswa yang
nakal, biasanya bila ditangani oleh Pak Danu, segera berubah menjadi lebih
baik. Guru-guru pun kelihatan segan dan hormat padanya. Namun, aku tetap takut
bila berpapasan dengannya. Di dalam hati, aku berjanji untuk tidak nakal, agar
tidak perlu berurusan dengan beliau.
Pagi itu,
matahari bersinar sangat cerah. Hari Senin, sekolah kami selalu mengadakan
upacara bendera. Kelasku, kelas 4 A, mendapat jadwal sebagai petugas upacara.
Aku ditugaskan oleh Bu Sandra, wali kelasku, sebagai pemimpin upacara. Karena
terbiasa melihat kelas lain melaksanakan upacara, aku merasa sanggup untuk
melaksanakan tugas dengan baik.
Upacara pagi
itu, sama sekali tidak berjalan seperti harapanku. Teman-teman pengibar bendera
berjalan tidak serempak. Riana yang membawa bendera berjalan tegap. Namun,
Andri dan Banu di samping kiri dan kanannya melakukan kesalahan. Tangan dan
kaki mereka maju ke depan secara bersamaan. Terlihat sangat janggal. Kudengar
suara beberapa teman yang tak kuasa menahan tawa. Tak berani kutatap wajah
guru-guru di hadapanku. Aku yakin mereka sedang menahan rasa kecewa dan marah.
Ilustrasi: Roedyriff |
Saat tiba
giliran pembaca Pembukaan UUD 1945, Adam maju dengan langkah tegap. Bagus,
bisikku di dalam hati memuji Adam. Tak berapa lama kemudian, Adam mulai membaca
dengan tergagap. Bahkan, ada beberapa kalimat yang terlewatkan. Kemudian, Adam
mengulangnya dengan menggunakan kata “eh”. Kali ini, hampir seluruh peserta
upacara tertawa terkikik.
Aku hampir
saja menundukkan kepala tak kuasa menahan malu. Tetapi, sebagai pemimpin
upacara yang baik, seharusnya aku tidak melakukan itu.
Tiba saatnya
menyanyikan lagu nasional Satu Nusa Satu Bangsa dan Mars SD Prestasi.
Tari, temanku yang cantik, memimpin seluruh peserta upacara untuk menyanyi
bersama.
Ilustrasi: Roedyriff |
“Marilah kita
menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa dengan birama 4 per 4, jatuh pada
ketukan yan ke-4! Suara Tari meyakinkan. Ini pasti berhasil, kataku dalam
hati.”
“Saatuuu
nuuusaaa saaatuuu baaangsaaa...” suara Tari bergetar hebat, terdengar
menggigil.
Semua peserta
tidak kuasa menahan tawa. Ledakan tawa hebat menggelegar di lapangan upacara.
Dadaku sesak,
hampir aku menangis saat itu. Aku ingin segera lari dari tempatku dan menangis
sepuasnya entah di mana. Tetapi, aku pemimpin upacara, tak mungkin aku
meninggalkan tanggung jawabku. Kutatap Tari yang wajahnya sangat ketakutan.
Kuanggukan kepalaku padanya agar dia melanjutkan tugasnya. Tari memandangku pasrah
dan melanjutkan tugasnya sebagai dirigen. Lagu demi lagu akhirnya dapat
dibawakannya dengan baik.
Akhirnya,
upacara selesai dan aku harus memberikan laporan kepada Pembina Upacara.
“Upacara
selesai! Laporan selesai!” teriakku lantang menghapus rasa sedihku.
“Siap!
Bubarkan!”
Upacara telah
benar-benar usai. Seperti biasa, Pak Danu memberikan komentar berhubungan
dengan pelaksanaan upacara pagi itu. Aku merasa ketakutan, karena pasti beliau
akan menghukum kelas kami. Selain itu, aku juga merasa malu atas kesalahan yang
kami lakukan. Kami semua menunduk ketika Pak Danu mulai memberi komentarnya.
Ilustrasi: Roedyriff |
“Anak-anakku,
semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Tak terkecuali dengan teman-teman
kita dari kelas 4A. Apalagi bagi mereka, ini adalah pengalaman pertama menjadi
petugas upacara. Yang Bapak sesalkan adalah tanggapan kalian semua! Dengan
menertawakan mereka, berarti kita menganggap diri kita lebih hebat dari mereka.
Bapak berharap kita bersikap wajar saja, bila ada kesalahan seperti tadi.
Jangan menertawakan teman!” suara Pak Danu yang menggelegar membuat aku semakin
berdebar-debar. Aku mulai memberanikan diri menatapnya.
“Baiklah. Kita
semua memang perlu belajar. Belajar untuk menjadi petugas upacara yang baik.”
Hening
sejenak. Semua menunggu keputusan Pak Danu.
“Minggu depan,
petugas upacara tetap kelas 4A. Bapak harap dapat lebih baik dari hari ini!
Buat semua peserta, harap lebih tertib dan menghargai petugas upacara. Sekian!
Silakan kembali ke kelas!”
Semua bertepuk
tangan dengan keputusan Pak Danu. Kulihat wajah-wajah penuh tekad dari
teman-temanku untuk bertugas lebih baik minggu depan. Wajah teman dari kelas
lain tak kalah bersungguh-sungguh untuk menjadi peserta upacara yang lebih baik
lagi.
Hatiku riang
bukan kepalang. Sementara teman-teman kembali ke kelas, aku berlari mengejar
Pak Danu. Sosok yang selama ini kutakuti, berubah menjadi orang yang paling
kukagumi. Kuambil tangannya, kucium dengan penuh hormat.
(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII.
18 November 2010. Hal. 42-43)
0 komentar:
Posting Komentar