18 November 2017

Upacara Pagi Itu


Upacara Pagi Itu

By: Titiek Limarty

Setiap kali melihat Pak Danu, hatiku langsung berdebar-debar. Badan kekar, kulit hitam, kumis tebal, dan suara yang menggelegar, cukup membuatku takut. Pak Danu terkenal karena kegalakannya. Semua siswa di SD Prestasi ini pasti tidak mau berurusan dengan Pak Danu.

Sebagai Wakil Kepala Sekolah, Pak Danu sebenarnya sangat berwibawa. Apabila ada siswa yang nakal, biasanya bila ditangani oleh Pak Danu, segera berubah menjadi lebih baik. Guru-guru pun kelihatan segan dan hormat padanya. Namun, aku tetap takut bila berpapasan dengannya. Di dalam hati, aku berjanji untuk tidak nakal, agar tidak perlu berurusan dengan beliau.

Pagi itu, matahari bersinar sangat cerah. Hari Senin, sekolah kami selalu mengadakan upacara bendera. Kelasku, kelas 4 A, mendapat jadwal sebagai petugas upacara. Aku ditugaskan oleh Bu Sandra, wali kelasku, sebagai pemimpin upacara. Karena terbiasa melihat kelas lain melaksanakan upacara, aku merasa sanggup untuk melaksanakan tugas dengan baik.

Upacara pagi itu, sama sekali tidak berjalan seperti harapanku. Teman-teman pengibar bendera berjalan tidak serempak. Riana yang membawa bendera berjalan tegap. Namun, Andri dan Banu di samping kiri dan kanannya melakukan kesalahan. Tangan dan kaki mereka maju ke depan secara bersamaan. Terlihat sangat janggal. Kudengar suara beberapa teman yang tak kuasa menahan tawa. Tak berani kutatap wajah guru-guru di hadapanku. Aku yakin mereka sedang menahan rasa kecewa dan marah.
Ilustrasi: Roedyriff

Saat tiba giliran pembaca Pembukaan UUD 1945, Adam maju dengan langkah tegap. Bagus, bisikku di dalam hati memuji Adam. Tak berapa lama kemudian, Adam mulai membaca dengan tergagap. Bahkan, ada beberapa kalimat yang terlewatkan. Kemudian, Adam mengulangnya dengan menggunakan kata “eh”. Kali ini, hampir seluruh peserta upacara tertawa terkikik.

Aku hampir saja menundukkan kepala tak kuasa menahan malu. Tetapi, sebagai pemimpin upacara yang baik, seharusnya aku tidak melakukan itu.

Tiba saatnya menyanyikan lagu nasional Satu Nusa Satu Bangsa dan Mars SD Prestasi. Tari, temanku yang cantik, memimpin seluruh peserta upacara untuk menyanyi bersama.
Ilustrasi: Roedyriff

“Marilah kita menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa dengan birama 4 per 4, jatuh pada ketukan yan ke-4! Suara Tari meyakinkan. Ini pasti berhasil, kataku dalam hati.”

“Saatuuu nuuusaaa saaatuuu baaangsaaa...” suara Tari bergetar hebat, terdengar menggigil.

Semua peserta tidak kuasa menahan tawa. Ledakan tawa hebat menggelegar di lapangan upacara.

Dadaku sesak, hampir aku menangis saat itu. Aku ingin segera lari dari tempatku dan menangis sepuasnya entah di mana. Tetapi, aku pemimpin upacara, tak mungkin aku meninggalkan tanggung jawabku. Kutatap Tari yang wajahnya sangat ketakutan. Kuanggukan kepalaku padanya agar dia melanjutkan tugasnya. Tari memandangku pasrah dan melanjutkan tugasnya sebagai dirigen. Lagu demi lagu akhirnya dapat dibawakannya dengan baik.

Akhirnya, upacara selesai dan aku harus memberikan laporan kepada Pembina Upacara.

“Upacara selesai! Laporan selesai!” teriakku lantang menghapus rasa sedihku.

“Siap! Bubarkan!”

Upacara telah benar-benar usai. Seperti biasa, Pak Danu memberikan komentar berhubungan dengan pelaksanaan upacara pagi itu. Aku merasa ketakutan, karena pasti beliau akan menghukum kelas kami. Selain itu, aku juga merasa malu atas kesalahan yang kami lakukan. Kami semua menunduk ketika Pak Danu mulai memberi komentarnya.
Ilustrasi: Roedyriff

“Anak-anakku, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Tak terkecuali dengan teman-teman kita dari kelas 4A. Apalagi bagi mereka, ini adalah pengalaman pertama menjadi petugas upacara. Yang Bapak sesalkan adalah tanggapan kalian semua! Dengan menertawakan mereka, berarti kita menganggap diri kita lebih hebat dari mereka. Bapak berharap kita bersikap wajar saja, bila ada kesalahan seperti tadi. Jangan menertawakan teman!” suara Pak Danu yang menggelegar membuat aku semakin berdebar-debar. Aku mulai memberanikan diri menatapnya.

“Baiklah. Kita semua memang perlu belajar. Belajar untuk menjadi petugas upacara yang baik.”

Hening sejenak. Semua menunggu keputusan Pak Danu.

“Minggu depan, petugas upacara tetap kelas 4A. Bapak harap dapat lebih baik dari hari ini! Buat semua peserta, harap lebih tertib dan menghargai petugas upacara. Sekian! Silakan kembali ke kelas!”

Semua bertepuk tangan dengan keputusan Pak Danu. Kulihat wajah-wajah penuh tekad dari teman-temanku untuk bertugas lebih baik minggu depan. Wajah teman dari kelas lain tak kalah bersungguh-sungguh untuk menjadi peserta upacara yang lebih baik lagi.

Hatiku riang bukan kepalang. Sementara teman-teman kembali ke kelas, aku berlari mengejar Pak Danu. Sosok yang selama ini kutakuti, berubah menjadi orang yang paling kukagumi. Kuambil tangannya, kucium dengan penuh hormat.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 42-43)

0 komentar:

Posting Komentar