18 November 2017

Kasus Reuni Papa


Kasus Reuni Papa

By: Rina Budiati

Sore ini, rumah Dion dangat ramai. Papa mengadakan reuni bersama teman-teman SMU-nya. Sekitar tiga puluh orang datang. Teman-teman papanya sangat ramah. Dion bisa mengobrol santai dengan mereka. Dion sangat tertarik pada salah satu teman Papa. Om Danang namanya.  

“Dari dulu, kau masih saja gemuk,” ujar Papa bercanda dengan Om Danang.
Ilustrasi: Yan B

Selain bertubuh gemuk, penampilan Om Danang juga lebih menarik dibanding tamu yang lain. Acara sore ini merupakan pesta santai. Kebanyakan teman Papa memakai baju lengan pendek. Akan tetapi, Om Danang terlihat kepayahan dengan baju lengan panjangnya. Pendingin ruangan sepertinya tidak terlalu berpengaruh baginya.

 “Sepertinya, kau salah kostum,” Papa geleng-geleng kepala. “Mau kupinjami bajuku, agar tidak terlalu gerah?”

“Kau ada-ada saja,” ujar Om Danang tertawa.

Setelah seperempat jam beramah tamah dengan teman-teman Papa, Dion berniat pergi ke kamar. Namun, langkah Dion terhenti.

“Sepertinya ada yang aneh waktu aku bersalaman dengan salah satu teman Papa.”

Dion menepis perasaan itu dan melanjutkan langkahnya. Baru sebentar Dion berada di kamar, didengarkan ketukan pintu. Mama muncul dengan wajah cemas.

“Gawat Dion,” ujar Mama, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Patung kuda Papa hilang!”

Patung antik satu-satunya milik Papa, hilang? Papa pernah cerita, harganya mencapai belasan juta rupiah. Pasti ada seseorang yang diam-diam mengambilnya dari kamar Papa dan Mama. Padahal, pintu kamar mereka tidak terlihat dari ruang keluarga, tempat pesta berlangsung.

“Papa sudah tahu?”

Mama mengangguk.

“Siapa kira-kira yang mengambilnya, Ma?” tanya Dion buru-buru.

Mama menggeleng. Dion bisa menebak pikiran Mama. Hari ini ada begitu banyak orang di rumah. Namun mereka tidak boleh mencurigai seseorang begitu saja. Apalagi kenalan mereka.

“Mungkin ada pencuri menyelinap tanpa kita ketahui,” ujar Mama.

Dion berpikir keras. Untuk masuk ke ruang dalam rumah Dion, harus melewati ruang tamu. Kalau ada pencuri, pasti mereka bisa melihatnya.

Di sekeliling rumah Dion, ada halaman sempit yang berbatasan dengan rumah tetangga. Pagarnya lumayan tinggi. Kalau ada pencuri masuk ke rumah Dion, dia harus melompat lebih dulu ke halaman rumah tetangga. Kalau begitu, sih, pencurinya pasti lebih memilih mencuri di rumah tetangga.

Kalau pun pencuri itu tetap nekat ke rumah Dion, dia harus melompati pagar pembatas. Lalu, dia bisa ke halaman belakang dan masuk ke rumah melalui dapur. Tetapi, itu tindakan yang sangat mencolok. Pasti ada yang memergokinya. Tidak mungkin ada pencuri di rumahku, putus Dion. Mama kelihatannya juga berpikir begitu.

Dion dan Mama kembali ke tempat pesta. Tidak ada orang yang membawa tas yang cukup besar untuk menyimpan patung itu. Tamu perempuan semuanya membawa tas tangan mungil. Sedangkan tamu laki-laki, tidak ada yang membawa tas sama sekali.

Lalu, Dion minta izin pada Mama untuk masuk ke kamar Mama dan Papa. Dion meneliti ke sana ke mari. Tiba-tiba, Dion melihat sesuatu. Ada yang menyembul di bawah lemari. Dion menariknya.

“Bola?”

Dion kebingungan memegang bola plastik kempis itu. Ukurannya lebih kecil dari bola untuk bermain sepakbola. Dion yakin, bola itu bukan miliknya.

“Jangan-jangan... ini ada hubungannya dengan hilangnya patung Papa?” pikir Dion.

Dion berusaha keras mencari hubungan itu dengan teman-teman Papa. Satu-satunya cara untuk mencari tahu adalah dengan kembali mengamati mereka. Tanpa Dion sadar, matanya terpaku pada Om Danang.

“Pa, jari-jari Om Danang ....,” bisik Dion hati-hati.

Sekarang Dion mengerti, kenapa tadi perasaannya aneh saat bersalaman dengan Om Danang. Jari-jari Om Danang terlalu kurus untuk tubuh gemuknya.

Papa tersenyum sedih. Dion bingung. Dia sudah menemukan petunjuk, namun sepertinya Papa tidak menyambutnya. Dion jadi ragu-ragu memperlihatkan temuannya. Dia tambah tidak mengerti saat Papa membiarkan Om Danang pulang.

“Trims, Dion,” Papa menepuk bahu Dion. “Kamu detektif yang sangat hebat.”

Papa tertunduk lesu di ruang keluarga. Sesaat kemudian, Papa tampak menelepon seseorang. Dion jadi penasaran.

Ia semakin penasaran ketika beberapa saat kemudian Om Danang kembali ke rumah mereka. Papa dan Om Danang berbicara serius. Tiba-tiba Om Danang mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Dion terkejut. Ternyata, Om Danang memakai tas pinggang khusus di balik bajunya. Pasti Om Danang menyimpan bola yang tadi ditemukan Dion di kamar. Bola itu dibuang setelah dikempiskan, lalu diganti dengan... patung kuda Papa!
Ilustrasi: Yan B

“Terima kasih karena kau tidak melaporkanku ke polisi,” kata Om Danang pada Papa.

Papa tersenyum penuh pengertian. Ditepuk-tepuknya bahu Om Danang yang kelihatan malu dan sedih. Rupanya tadi Papa menelepon Om Danang dan meminta baik-baik agar ia mengembalikan patung kuda Papa.

“Papaku memang teman yang baik,” gumam Dion di dalam hati.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 18-19)

0 komentar:

Posting Komentar