19 November 2017

Cahaya Lemon


Cahaya Lemon

By: Maudy Rizqi Maghfirlana

Dimas baru saja pulang dari sekolah. Siang itu, sangatlah terik. Dimas memutuskan untuk pulang cepat. Saat ia membuka pagar, sepucuk surat terselip di antara pagar rumahnya. Surat tersebut ditujukan kepada dirinya. Tak ada alamat, juga nama pengirim. Amplop surat tersebut sedikit lebih besar dari amplop yang biasa beredar. Dimas membawanya masuk ke rumah. Rumah Dimas kosong. Ibunya sedang menjemput adiknya di sekolah. Mbak Iyah, pembantunya, mungkin ke warung, pikir Dimas. Setelah ganti baju dan makan siang, Dimas masuk ke kamarnya dan membuka surat tadi.

Ilustrasi: Xiu

Amplop tersebut berisi dua helai kertas. Kertas pertama berisi tulisan dan kertas kedua... kosong! Kertas pertama bertuliskan:

Apa kabar Dimas? Sudah 2 tahun kita tidak bertemu. Keluargaku memutuskan kembali ke kota, tetapi rumahku berbeda dengan yang dulu. Aku ingin sekali bertemu denganmu, maka kunjungilah aku.

Tertanda: teman percobaan.

Di pojok surat terdapat note yang bertuliskan: Kertas kosong yang kau terima adalah peta menuju rumahku. Lakukan percobaan cahaya lemon, maka peta tersebut akan terbaca.

Dimas masih belum mengerti isi dari note tersebut. Ia juga masih mencari nama si pengirim. Dimas mencoba mengingat-ingat nama teman-temannya dua tahun yang lalu, saat ia masih kelas 4 SD. Ia masih belum menemukan siapakah ‘teman percobaan’ tersebut. Dimas pun bertanya-tanya, apakah percobaan lemon itu?

  Saat berpikir tentang percobaan cahaya lemon, tiba-tiba Dimas melihat ke atas meja belajarnya. Terdapat sebuah pigura kecil di atasnya. Dalam pigura itu, terdapat foto dua anak laki-laki sedang berangkulan. Mereka tampak akrab sekali.

Mungkinkah dia ‘teman percobaan’ tersebut? Dimas bertanya dalam hati.

 Mungkinkah dia pindah ke kota ini lagi? Yang tahu tentang percobaan cahaya lemonn adalah dia... tidak salah lagi! Dimas mulai ingat, bagaimana cara membaca peta di atas kertas kosong tersebut. Dimas tersenyum senang.

Saat ini, hari masih siang. Tidak mungkin surat tersebut dapat dibaca. Masih terlalu banyak cahaya yang masuk. Alat pembaca peta tersebut tidak akan berguna. Dimas menunggu sampai malam menjelang.

Matahari mulai terbenam. Orang tua Dimas telah berada di rumah, begitu pula adiknya. Setelah makan malam, Dimas bergegas masuk ke kamarnya dan mematikan lampu kamar. Kini, kamar itu gelap gulita. Dimas berjalan menuju meja belajarnya. Ia kemudian menyalakan lampu belajarnya. Dimas mengambil kertas kosong yang tadi disimpannya. Perlahan, Dimas mendekatkan kertas kosong tersebut ke arah cahaya lampu belajarnya.

Ilustrasi: Xiu

Tiba-tiba, perlahan, muncul goresan-goresan di kertas kosong tersebut. Semakin dekat dengan sinar lampu, goresan-goresan semakin terlihat jelas. Setelah kertas kosong cukup dekat dengan lampu, goresan-goresan itu membentuk sebuah peta. Dimas tersenyum puas dengan hasil yang ia kerjakan.

“Percobaan cahaya lemon. Air lemon yang dituliskan atau digoreskan di atas kertas, akan terbaca bila didekatkan ke arah lampu,” Dimas bergumam.

Di peta tersebut, Dimas melihat tanda silang yang menunjukkan rumah si ‘teman percobaan’.

“Rupanya, rumahnya tidak jauh dari sini. Cukup dengan bersepeda, aku bisa sampai di rumahnya. Baiklah, hari Minggu besok, aku akan mendatanginya,” gumam Dimas lagi.

Dimas segera menyimpan kembali kertas tersebut. Saat ditarik dari cahaya lampu, peta kembali terlihat samar dan akhirnya menghilang. Dimas tidak sabar menunggu sampai keesokan hari. Ia akan bertemu dengan sahabat lamanya lagi.

Matahari baru saja memendarkan cahaya merahnya. Dimas bersepeda menuju tempat yang ditunjukkan peta yang ia baca tadi malam. Beberapa gang dan belokan telah dilewatinya. Sekarang, Dimas telah berdiri di depan sebuah rumah sederhana yang cukup asri. Jantungnya berdegup keras. Ia sudah tidak sabar melihat sahabat yang pernah menemaninya melakukan berbagai percobaan.

Dimas memencet bel di samping pagar. Tak berapa lama, pintu rumah terbuka. Muncul seorang anak laki-laki sebayanya berlari ke arahnya. Anak laki-laki tersebut sama girangnya dengan Dimas. Mereka saling berpelukan.

Ilustrasi: Xiu

“Tak kusangka kamu akan mengunjungiku secepat ini,” kata anak laki-laki tersebut.

“Pesan yang kamu tinggalkan terlalu mudah untuk aku pecahkan, Irfan. Bagaimana kabarmu?” tanya Dimas.

Anak laki-laki tersebut bernama Irfan. Dulu, dia dan Dimas bersahabat. Tetapi, Irfan harus pindah sekolah saat kelas 4 SD.

“Rupanya, kamu masih ingat dengan percobaan cahaya lemon yang sering kita lakukan dulu. Aku baik-baik saja, dan aku akan menetap di kota ini. Aku akan menemanimu lagi. Kita akan terus melakukan percobaan.”

Kedua sahabat tersebut tertawa senang dan saling berangkulan. Mereka menuju ke dalam rumah untuk saling bertukar cerita.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 46-47)

0 komentar:

Posting Komentar