19 November 2017

Jejak Hadiah Ayah


Jejak Hadiah Ayah

By: Ribkaria Lumban Gaol

Teeet!! Bel pulang sekolah berbunyi. Aku langsung merapikan tas dan segera pulang. Dalam perjalanan, aku sibuk menerka-nerka apa yang telah disiapkan Ayah untukku. Karena hari ini aku berulang tahun.

Sesampainya di rumah, aku mendapati suasana rumah sepi seperti biasanya. Aku memang hanya tinggal bertiga dengan Mama dan si Mbok, pembantu setia keluargaku sejak aku masih bayi.

Ayahku seorang nakhoda kapal. Beliau jarang pulang ke rumah. Akan tetapi, Ayah tidak pernah lupa memberi kabar kepadaku dan Mama. Ayah juga selalu mengirim hadiah setiap aku berulang tahun.

Tahun ini, adalah tahun ketiga kau merayakan ulang tahun tanpa Ayah. Sebenarnya, aku cuma berharap bisa merayakan ulang tahunku yang kesepuluh ini bersama Ayah di sampingku.

   “Mikha,” suara Mama yang lembut tiba-tiba memanggilku. “Ini surat dari Ayah,” lanjut Mama sambil menyodorkan surat berwarna biru tua. 

Ilustrasi: Jali

Aku bingung. Apakah tahun ini tidak ada kado untukku seperti tahun-tahun sebelumnya? Dengan perasaan sedih bercampur heran, aku membaca surat dari Ayah perlahan.

Hai, bajak laut! Temukanlah harta karun yang tersebar di lautan Nusantara! Ikuti setiap petunjuk, gunakan kecerdasan, dan kalahkan perahu yang menghadang! 

Ilustrasi: Jali

Aku hanya bengong membacanya. Apa maksud Ayah dengan bajak laut? Apakah ia sedang ingin bermain bajak laut denganku? Dari dulu, itu memang permainan favoritku dengan Ayah. Tetapi, Ayah, kan, sedang berlayar. Dengan kening mengernyit, kuteruskan juga membaca surat Ayah ke baris berikutnya. Di situ tertulis: Harta karun yang pertama ada di tempat yang digunakan suku Lamalera untuk memburu paus.

Aku berpikir sejenak. Detik berikutnya, aku segera berlari ke kamarku di lantai dua dan mencari buku tentang perahu yang dulu pernah dibelikan Ayah. Ternyata jawabannya: perahu pledang! Ya, perahu pledang adalah perahu suku Lamalera untuk memburu paus.

Ilustrasi: Jali

 Aku buru-buru mencari miniatur perahu pledang di koleksi perahu miniaturku. Begitu mendapat perahu itu, aku menemukan sebuah kunci. Aku langsung bertanya-tanya. Ini kunci apa, ya? Oh, iya! Ini, kan, kunci laci Ayah.

Segera saja kubuka laci Ayah sambil membayangkan kado yang sudah menungguku. Nafasku terengah-engah karena berlarian ke sana ke mari. Aku sudah tidak sabar membuka kadoku. Klik! Laci Ayah terbuka. Ternyata yang menyambutku hanyalah surat yang berisi tulisan tangan Ayah.

Sudah merasa puas? Tidak, pencarian baru dimulai. Tetaplah semangat dan jangan menyerah sampai jawaban terungkap. 

Aku merasa tertantang membacanya. Ayah benar, aku merasa gampang puas dan mudah lengah.

Aku pun mengikuti saran Ayah untuk membaca petunjuk berikutnya. Lestarikanlah aku, sang pejuang yang ikut berperang dengan masyarakat Banda.

Tak perlu pikir panjang. Aku langsung tahu kalau jawabannya pasti perahu kora-kora yang jadi kebanggaan masyarakat Banda. Masalahnya, aku tidak punya koleksi perahu mainan kora-kora. Dari kamar kerja Ayah, aku kembali ke kamarku. Aku sudah lelah dan kehilangan semangat.

Dengan sedih, kulihat foto kesayanganku bersama Ayah dan mama di dinding itu. Itu adalah foto sekeluarga ketika di Dufan. Latar belakang foto itu adalah wahana Kora-Kora. Ya, ampun! Pasti itu jawaban berikutnya! Segera kubalik foto itu. Ternyata, di baliknya tertempel sebuah kunci lagi.

Aku bingung. Ini kunci apa, ya? Sambil berpikir, kulihat jam di meja belajarku. Wah! Sudah jam empat sore rupanya. Nanti saja kutanya pada Mama tentang kunci ini. Lebih baik aku mandi dulu biar segar.

Selesai mandi dan berpakaian, aku mencari Mama utnuk menanyakan kunci misterius itu. Tetapi, kok, rumahku kosong, ya? Walau kupanggil Mama dan si Mbok, tetap tak ada yang menyahut. Setengah jam kemudian, aku memutuskan untuk mencari di kebun belakang, siapa tahu mereka ada di sana. Aku genggam kunci rumahku erat-erat. Aku agak takut juga sebenarnya tinggal sendirian. Saat akan membuka pintu ke kebun belakang, pintunya terkunci. Aneh. Pintu kebun, kan, tidak pernah dikunci. Mana kuncinya, ya?

Sebuah ide terlintas dibenakku. Kenapa tidak kubuka saja dengan kunci misterius? Dengan deg-degan, aku pun membuka kunci, klik! Ternyata berhasil! Pelan-pelan, kuputar gagang pintu dan membuka ke arah luar.

Ilustrasi: Jali

Tiba-tiba, terdengar suara orang banyak berteriak,

“Selamat ulang tahun!!”

Aku hanya melongo dan terkejut. Kebun belakang telah disulap menjadi arena pesta penuh balon dan pita. Selain itu, di kebun sudah penuh dengan teman-teman sekelasku, Mama, dan si Mbok. Itu Ayahku! Aku segera berlari memeluk Ayah dengan gembira.

“Selamat ulang tahun, Nak!” kata Ayahku bangga. “Kau telah berhasil memecahkan setiap teka-teki. Nah, inilah harta karunmu, hadiah ulang tahun dari Ayah dan Mama,” lanjutnya sambil memberi hadiah besar sekali.

Aku tersenyum lebar. Menurutku, inilah hari ulang tahunku yang paling membahagiakan!

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 32-33)

0 komentar:

Posting Komentar