23 September 2014

Kehilangan Hadiah

Kehilangan Hadiah


By: Tri Wahyuningsih

          Aku tidak mau disuntik, ah! Kan, sakit!” seru Lita sambil menggosok-gosok  lengannya, seolah bisa merasakan sakitnya

“Tidak sakit, kok! Rasanya cuma digigit semut,” kata Alin sok tahu.
Ilustrasi: Roedyriff


Sejak pagi, teman-teman ramai membicarakan suntikan imunisasi cacar. Semua anak di kampungku yang belum disuntik imunisasi cacar, harus berkumpul di Balai Dusun nanti sore. Mereka akan diimunisasi cacar oleh petugas dari Puskesmas. Karena itulah, aku sudah membuat rencana untuk kabur dari rumah.

Sejak pagi, teman-teman ramai membicarakan suntikan imunisasi cacar. Semua anak di kampungku yang belum disuntik imunisasi cacar, harus berkumpul di Balai Dusun nanti sore. Mereka akan diimunisasi cacar oleh petugas dari Puskesmas. Karena itulah, aku sudah membuat rencana untuk kabur dari rumah.

Sepulang sekolah, sambil mengendap-endap, aku masuk ke rumah, melempar tas dan sepatuku, lalu kabur. Ibu yang melihatku langsung berteriak memanggilku, menyuruhku pulang. Namun aku tidak menggubrisnya. Aku justru mempercepat lariku.
Ilustrasi: Roedyriff


Bapak yang mendengar teriakan Ibu, langsung keluar rumah dan mengejarku. Aku makin mempercepa lariku. Tiba-tiba, bukan hanya Bapak yang mengejarku. Beberapa orang tua di kampungku ikut mengejarku.

Untung, aku jago lari. Karena badanku kecil, tubuhku pun jadi terasa ringan. Orang-orang yang mengejarku tertinggal di belakang. Hatiku bersorak gembira, berhasil lolos dari kejaran orang sekampung. Yeah!

Akan tetapi, tiba-tiba, aku sudah terkepung! Rupanya orang-orang yang mengejarku berpencar dan mengepungku. Empat orang menghadang di depanku. Sedangkan di belakang, ada Bapak bersama tiga orang lain yang terus mengejar sambil membujukku agar mau diajak ke Balai Dusun. Bapak bahkan berjanji akan memberiku uang jajan tambahan. Di kanan kiriku, cuma ada pagar bambu yang tidak mungkin kulompati.

Orang-orang yang mengejarku semakin dekat. Aku panik, tanpa pikir panjang, aku menerobos pagar bambu di samping kananku. Aku sempat kaget karena ternyata tubuhku bisa melewati sela pagar. Keuntungan lain bertubuh kecil. Aku berhasil lolos.

Akan tetapi, karena penasaran, diam-diam aku datang ke Balai Dusun. Balai Dusun penuh sesak dengan anak-anak yang mengantre untuk disuntik. Malu juga, mereka yang lebih muda dariku saja berani untuk disuntik, sedangkan aku malah kabur.

Si sekitar Balai Dusun, juga dipadati pedagang mainan dan jajanan. Sebagai hadiah karena berani disuntik, anak-anak langsung dibelikan mainan dan jajanan oleh orang tua mereka. Aku iri. Kalau tidak kabur, aku pasti dibelikan jajanan dan mainan.

Ah, menyesal sekali aku tadi kabur. Sudah tidak dapat mainan dan jajan, pulang nanti aku pasti dimarahi habis-habisan. Namun, anehnya, Bapak dan Ibu tidak marah saat melihaku pulang. Mereka malah tampak lega. Malam itu, aku jadi susah tidur karena menyesali perbuatanku.

“Ada apa ramai-ramai?” tanyaku heran, saat melihat teman-teman sekelas berkerumun di depan kantor guru, pagi hari berikutnya.

“Hari ini ada suntik imunisasi cacar,” kata Lita.

“Hah? Bukannya kemarin sore sudah di Balai Dusun?” tanyaku heran.

“Karena banyak yang belum disuntik, dilanjutkan hari ini di sekolah,” kata Lita.

“Jangan-jangan Kakak takut disuntik, ya?” ejek Doni, adik kelasku. “Idih, malu-maluin. Doni saja berani disuntik. Cuma seperti digigit semut.”

Doni mengangkut lengan bajunya, menunjukkan bekas suntikan di pangkal lengannya dengan bangga. Aku jadi kesal. Aku kelas 4 SD, masa kalah berani sama anak kelas 1.

“Siapa yang takut? Aku juga tahu kalau disuntik itu tidak sakit!” balasku.

Aku buru-buru masuk ke ruang guru untuk disuntik imunisasi cacar. Benar saja, tidak sakit.

Ah, aku menyesal, kenapa kemarin sore aku menolak disuntik? Selain akhirnya disuntik juga, aku jadi kehilangan hadiahku.

“Tidak sakit, kan?” tegur Bapak yang Guru SD di sekolahku, sambil senyum-senyum saat melihatku habis disuntik.
Ilustrasi: Roedyriff


“Iya. Berarti aku mendapat uang jajan tambahan, Pak?” tanyaku penuh harap.

“Karena kemarin kamu kabur, uang jajan tambahan juga kabur,” kata Bapak.

“Yah, Pak, tapi aku, kan sudah disuntik,” rayuku.

“Semua anak seumurmu harus disuntik agar tidak kena cacar,” kata Bapak. “Lagipula, segala sesuatu yang sudah kamu buang, tidak akan kembali lagi. Kemarin kamu sudah membuang kesempatan untuk mendapat hadiah, berarti hadiahmu juga hilang,” kata Bapak tegas.

Ah, memang benar. Penyesalan selalu datang terlambat.

(Sumber: Majalah Bobo edisi 24 tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 30-31)

6 September 2014

Ujian Ramadhan

Ujian Ramadhan

By: Belladieni

Aman membelalakkan mata melihat isi amplop coklat yang ia pegang. Lembaran rupiah bergambar dua Bapak Proklamator bangsa. Ia menghitung dengan cepat, jumlahnya dua juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit untuknya. Dengan cepat ia menutup amplop itu, menggulungnya di dalam kaos oblong yang ada di tasnya dan meletakkan dengan hati-hati di dasar tas ranselnya. Lalu berjalan menuju gerbang kampus, meninggalkan gedung yang mulai sepi menjelang senja.

‘Mungkin ini sebuah jalan keluar dari Allah, menjawab kesusahanmu selama ini. Ambil saja.’ Bisik suara hatinya saat sebuah pemikiran untuk mengumumkan bahwa ia menemukan amplop coklat di selasar kampusnya sore tadi terlintas di benaknya.

‘Jangan ngaco! Mana mungkin Allah melakukan hal itu. Yang ada kerjaan setan. Segera umumkan. Kasian kan si pemilik amplop itu.’ Bisik bagian hati yang lain.

‘Itu urusan pemilik, mengapa sampai teledor membawa uang sebanyak ini. Jangan dikembalikan! Coba bayangkan lebaran kali ini dengan uang itu, pasti akan berbedda. Kamu bisa melunasi tunggakan uang sekolah adikmu, membelikan ibu dan adikmu baju lebaran dan kalian bisa makan enak saat lebaran.’ Suara hatinya sungguh meyakinkan pikirannya. Bayangan senyum adik dan ibunya berkelebat di benak Aman, membuat keyakinannya untuk mengembalikan uang itu agak tergoyahkan.

‘Sebentar lagi itu lebaran. Hari kemenangan umat Islam. Bagaimana mungkin kamu merayakan hari suci itu menggunakan uang haram!’ Nuraninya masih mencoba berargumen.

Aman bergumam resah, memegang kepalanya yang tidak sakit namun mendadak pening karena kedua sisi hatinya terus menyuarakan keinginan masing-masing, mempengaruhinya untuk mengikuti saran mereka.

Sudah setengah jam ia memandangi amplop coklat yang sekarang ia letakkan di atas meja belajarnya. Uang itu tidak sedikit. Pasti pemiliknya merasa sangat sedih kehilangan uang itu. Ia teringat bagaiamana susahnya ibu bekerja menjadi guru sekolah dasar dan menjadi tutor di bimbingan belajar agar memenuhi kebutuhannya dan adiknya. Terbayang pias di wajah ibu jika sampai harus kehilangan uang sebanyak itu.

Sebuah ketukan halus di pintu membuyarkan lamunannya. Sita, adiknya, yang sudah duduk di kelas tiga SMP mengingatkan sudah waktunya berbuka puasa. Aman mengamati sekali lagi amplop coklat itu. Keputusannya sudah bulat. Besok ia akan mengumumkan telah menemukan amplop itu, dan berjanji akan mengembalikan kepada sang pemilik. Ia melangkah dengan riang menuju ruang makan.

***

Kuis Fisika Dasar II yang diadakan dadakan membuat ingatan Aman akan ampolp coklat itu terlupakan sampai siang. Mungkin akan berlanjut sampai pelajaran usai jika saja Lily tidak mengajaknya bergosip.

“Sudah dengar belum? Si nona besar baru kehilangan uang.” Lily, sahabatnya memberitahu soal gosip terbaru di kampus.

“Nona besar?” tanya Aman tak mengerti siapa yang dimaksud.

“Aura.” Desis gadis itu gemas akan kelambatan otak pria berkacamata yang sedang sibuk membereskan diktat Fisika miliknya.

“Kenapa dia?” aman penasaran. Biasanya ia tidak pernah mau perduli dengan gosip yang beredar di kampus. Namun karena topiknya tentang kehilangan uang, nalurinya berkata lain, untuk mendengarkan cerita Lily.

“Dia kan bendahara acara buka puasa Jurusan tahun ini. Kemarin dia lupa di mana meletakkan uang yang diperoleh dari Sekretaris Jurusan, dan baru manyadari tadi pagi!” Lily bergaya bak reporter gosip di tivi.

Aman teringat amplop coklat yang ada di tasnya, berniat akan menghampiri Aura setelah jam kuliah usai.

“Lalu? Dia sedih dong,” ujar Aman merasa sedikit bersalah.

“Ha? Nona besar itu mana mungkin sedih kehilangan duit segitu. Dia bahkan tidak menyadari sama sekali.” Lily mengalihkan pandangannya ke dosen Fisika yang masih menulis jawaban kuis barusan di papan tulis.

“Maksudnya?”

“Aura itu kan anak orang kaya di kota ini. Mana mungkin ia sedih cuma karena duit dua juta. Memang kamu belum pernah dengar soal dia merusakkan alat percobaan di laboratorium saat pratikum yang bernilai belasan juta?” Lily mendekatkan wajahnya pada Aman berniat bergosip lebih lanjut. Aman menggelang.

“Bapaknya langsung datang ke sini dan memberikan cek senilai dua puluh juta rupiah tanpa berpikir panjang karena nona besar itu menangis ketakutan dan tidak mau keluar dari kamar mandi laboratorium.”

“Benarkah?” tanya Aman tak mempercayai pendengarannya. Ia melemparkan pandangannya ke gadis berkulit putih dan berhidung mancung yang duduk di deretan paling depan yang sekarang sedang tekun mencatat jawaban kuis.

“Kebanyakan dong, gampang bagi dia untuk merengek minta dua juta kepada papanya,” jawab Lily mengakhiri acara gosipnya.

“Lalu?” Aman masih penasaran dengan kelanjutan cerita Lily.

“Lalu apa?” Sekarang gadis berkulit coklat yang duduk di sebelahnya itu mulai sibuk mencatat dan bersikap acuh menanggapi pertanyaannya.

“Lalu bagaimana reaksinya setelah kehilangan uang itu?”

“Siapa?”

“Si nona besar.” Aman mengulangi dengan sabar. Ia cukup hapal kebiasaan sahabatnya itu yang suka iseng bertele-tele dan membuat orang penasaran.

“Aman. Ini bulan suci Ramadhan, dilarang bergosip tau,” jawabnya telak. Ia senang sekali membuat cowo berkacamata itu keki.

***

Aman mengamati Aura yang duduk di bangku kayu depan laboratorium. Semua orang tau gadis cantik itu merupakan anak tunggal seorang pengusaha ternama di kota Surabaya. Penampilannya termasuk mentereng di kampus teknik negeri itu. Di tengah kebanyakan mahasiswa dari daerah yang berpenampilan sederhana Aura selalu tampil dengan trendy, dengan busana bermerek dan tas mahal yang menemaninya ke kampus. Mobil yang ia gunakan pun berganti-ganti. Cantik, keren dan kaya. Mungkin perpaduan ini yang membuat Aura menjadi sosok yang congkak, ia hanya mau bergaul dengan orang-orang yang dianggapnya setara. Aura sungguh tampak seperti nona besar di kalangan rakyat jelata, demikian komentar pedas Lily soal penampilan dan sikap Aura.

Aura sedang berbicara di telpon, lagi-lagi membuat Aman mengelus dada, menggunakan ponsel qwerty trendy yang sedang in di kalangan siapa pun yang ingin dianggap eksis, yang sering ia lihat di televisi. Dari penglihatannya tidak ada raut gundah sedikitpun di wajah gadis itu, bahkan ia tidak tampak seperti orang yang baru saja kehilangan uang. Pasti lain kejadiannya jika hal itu yang terjadi padanya, mungkin Aman bisa stres seperti orang gila, berpikir bagaimana cara mengganti uang sebanyak itu. Uang itu setara dengan honornya mengajar les privat selama 4 bulan. Hati Aman diliputi kebimbangan. Apa masih perlu ia mengembalikan uang ini.

***

‘Anggap aja ini jalan dari Allah untukmu.’ Suara hatinya membela diri saat sebuah pikiran melintas, untuk menggunakan saja uang itu.

‘Bagaimanapun menyebalkannya dia, tetap saja ia pemilik sah uang ini. Jangan mendengarkan omongan setan!’ balas bagian jiwanya yang lain.

“Sore-sore kok melamun, Man?” teguran ibu menyadrkan Aman dari lamunannya. Ibu baru saja pulang mengajar. Membawa plastik hidangan untuk berbuka puasa. Aman beranjak ke dapur, mengambil piring untuk menyajikan makanan yang dibawa ibu.

“Lagi ada masalah di kampus?” tanya ibu penuh kasih setelah selesai berganti pakaian. Aman menggeleng.

“Lalu kenapa melamun sore-sore?” Ibu masih menyimpan rasa penasaran.

“Lagi capek aja bu,” jawab Aman tak ingin membebani. Ibu tersenyum maklum lalu duduk membaca koran di depan televisi.

“Oh iya, Bu, bagaimana dengan tunggakan spp Sita?” Aman teringat persolan uang sekolah adiknya yang sudah dua bulan ini menunggak. Aman baru saja menguras tabungannya untuk membayar uang pratikum, tak tega rasanya meminta ibu, sehingga ia tak bisa membantu soal tunggakan SPP adiknya. Ibu tersenyum teduh.

“Sudah selesai kok, tadi ibu sudah ke sekolah melunasi tunggakannya.”

“Ibu dapat uang dari mana?” tanya Aman heran, mengingat itu bukan tanggal gajian ibu.

“Pinjam dari koperasi.”

Aman mendesah. Semakin banyak saja pinjaman ibu di koperasi. Aman teringat akan uang yang ada di tasnya sekarang. Mungkinkah memang benar ini jalan dari Allah untuknya?

‘Jangan ngaco kamu! Bagaimanapun juga duit itu bukan duit halal!’ Bisik batinyya. ‘Tapi Aman tidak mencuri, ia menemukan uang itu secara kebetulan.’ Logikanya membela.

‘Tetap saja itu uang haram! Apa kamu mau ibu dan adikmu makan uang haram itu? Itu dosa!’ Putus suara hatinya tak mau berkompromi.

“Man, tolong antarkan kolak ini untuk nek Wati ya?” pinta Ibu mengangsurkan bungkusan kolak dalam plastik. Nek Wati teman dekat almarhum nenek Aman dulu, beliau tinggal dua blok dari rumah mereka. Ibu sudah menganggap Nek Wati seperti ibunya sendiri. Saat Ramadhan seperti ini hampir setiap sore ibu mengantarkan hidangan berbuka puasa untuknya. Aman mengangguk, ia mengambil bungkusan plastik lalu berjalan keluar rumah. Waktu berbuka puasa tinggal beberapa saat lagi. Di pinggir jalan banyak sekali orang yang menjual hidangan berbuka puasa. Aman paling suka suasana saat bulan Ramadhan. Semua orang bergegas pulang ke rumah menjelang waktu berbuka untuk berbuka puasa bersama keluarga tercinta. Sepeluh menit menjelang azan magrib, Aman mempercepat langkahnya untuk menyeberangi jalan, hingga ia tidak memperhatikan sebuah Avanza metalik meluncur dengan kencang dari seberang jalan. Kejadiannya begitu cepat, suara decit ban dan pekikan orang-orang di sekeliling bercampur menjadi satu di telinganya. Ia tidak ingat apa yang terjadi, tau-tau tubuhnya terpelanting sejauh lima meter ke tengah jalan. Si pengendara mobil turun dengan panik dan menghampirinya, bertanya apa ia baik-baik saja. Aman melihat kedua tangan dan kakinya, tidak ada darah sama sekali. Ia bahkan tidak merasa sakit atau nyeri, namun badannya menggigil, gemetar hebat. Bisa saja ia terluka akibat tabrakan tadi, atau bisa lebih parah. Namun Allah masih menyelamatkannya.

Sesaat Aman tidak bisa berkata apa-apa waktu pengendara itu menawarkan diri mengantar Aman ke rumah sakit. Ia menggeleng, tersenyum menenangkan karena melihat raut wajah si pengendara yang masih tegang. Selintas pemikiran menghampiri benaknya, bagaimana jika ia tertabrak dan tidak sempat mengembalikan uang yang ia temukan kemarin. Bagaimana perasaan Ibu dan Sita jika menemukan amplop berisikan uang banyak di tasnya. Bagaimana jika ia tidak diselamatkan oleh Yang Maha Kuasa dalam keadaan menuruti saran dari setan. Aman bergidik. Suara Azan magrib berkumandang. Orang-orang masih berkerumun di sekitarnya karena ia tak kunjung bersuara.

Seolah mendapat kekuatan, Aman berdiri, mengatakan ia baik-baik saja lalu berlari menuju rumahnya. Ada satu hal yang ia harus lakukan, mengambil amplop itu dan mengembalikannya kepada Aura saat iu juga. Ia tidak mau berdosa karena hal ini. Hati dan pikirannya sekarang sejalan, kehadiran amplop coklat itu merupakan sebuah ujian untuknya. Ujian di bulan Ramadhan dan ia sudah tau apa penyelesaiannya.


(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX . 30 Agst – 5 Sept 2010 . Hal 26)

31 Agustus 2014

Printernya Nggak Ketemu


Printernya Nggak Ketemu

Baim baru aja belajar komputer di sekolahnya. Ia suka banget ngutak-ngatik komputer, tapi sayangnya Baim lebih suka main game daripada mempergunakannya buat mengerjakan tugas sekolah. Saking sukanya make komputer, Baim mendesak orangtuanya buat beli komputer. Ayahnya setuju karena berpikir komputer bisa banyak berguna buat Baim ngerjain tugas-tugas sekolahnya.

Apalagi Baim bisa meyakinkan ayahnya kalau ia udah cukup pintar memakai komputer. Nggak lama kemudian, sebuah perangkat komputer lengkap dengan printernya udah ada di rumah Baim. Bisa ditebak, Baim betah berlama-lama memakainya buat main game. Tapi kalau ada orang tuanya, terutama ayahnya, Baim langsung pura-pura ngerjain tugas. Suatu hari ia dapet tugas dari gurunya buat ngerjain karya tulis. Dengan pedenya, Baim mengetik di komputer miliknya.

Karena lebih sering main game, ia jadi kurang tahu fungsi-fungsi tombol dan kabel di komputer. Pas ada ayahnya di rumah, Baim kebingungan melihat layar komputer. Ia beberapa kali mengotak-atik komputer dan printernya. Ayahnya ikutan bingung melihat tingkah anaknya.

Ayah Baim : “Baim, kamu kenapa kayak orang bingung gitu, apa ada yang rusak?”
Baim           : “Iya nih yah, aku kan udah selesai ngetik trus mau diprint tapi dari tadi nggak bisa-bisa.”
Ayah Baim : “Emangnya kamu pencet tombol apa? Kertasnya  udah disiapin belom?”
Baim            : “Wah, udah dari tadi. Kayaknya emang ada yang rusak nih. Soalnya tiap aku mencet tombol ‘print’ pasti keluar tulisan ‘can’t find printer’ kan artinya printer nggak ditemukan. Padahal printernya ada, aku taruh persis di depan monitor, lho.”
Ayah Baim : “Waduh maksudnya bukan itu, emang kabel printernya udah disambungin ke komputer belom?”
Baim             : “Belom yah. Emang harus disambungin ya, soalnya kalo aku maen game nggak usah pake nyambung kabel.”
Ayah Baim    : ???!!!

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX. 30 Agst – 5 Sept 2010. Hal 7)

Kuliner: Sluruuup....


Kuliner: Sluruuup....

Kalau dulu urusan masak-memasak bahkan bikin roti atau segala macam makanan jajanan banyak didominasi cewek, sekarang udah gak lagi. Bukannya lagi meniru-niru acara kuliner yang bertaburan di TV-tv, tapi Bu Jayus, nyokapnya Entong emang lagi mengkader si Entong biar jadi Chef sejati.

Hari itu, omnya si Entong, yang bernama Jojon lagi main ke rumah Bu Jayus, adiknya. Jangan salah, Om Jojon ini paling doyan makan. Di kantornya, cowok yang badannya lebih gede dari truk tronton ini emang ngegawangin rubrik kuliner. Dia penanggung jawab halaman kuliner.

Bu Jayus yang super ramah itu akhirnya larut dalam obrolan seputar kuliner dengan abangnya. Kalo orang Jawa bilang, ‘tumbu ketemu tutup’ yang artinya kira-kira cocok banget kerjaan dia bikin kue yang tinggal menghiasi bagian atasnya dengan gula warna-warni diserahkannya sama Entong.

“Entong............”
“Ya Bu............”
“Tolong selesein kue bikinan ibu ya, tinggal ngolesin gula aja...”
“Beres Bu............”

Bu Jayus pun nerusin ngobrolnya sama Jojon, makin kental. Sampe beberapa waktu kemudian keluarlah Entong dengan kue hasil karyanya. Om Jojon yang ngerti banget soal makanan, kaget begitu melihat kue yang wangi dan rapi. Air liurnya sampe hampir menetes saking kepengennya.

“Ayo.... dicicipi... kue buatan Entong” kata Bu Jayus sambil mengiris kue dan dikasihkannya ke Om Jojon.

“Mmmm... enak banget. Lezat sekali,” kata Om Jojon yang tau-tau mau nambah.

“Silakan loh, jangan sungkan-sungkan saya tinggal dulu mo ke warung, beli tepung. Mo bikin roti pesenenan Bu RW,” kata Bu Jayus sambil ngeloyor ninggalin Om Jojon sama Entong di ruang tamu.

Om Jojon segera mengiris lagi kuenya. Kali ini lebih gede irisannya. Gak Cuma rasanya yang enak, bentuk tulisan dan gambarnya rapi dan gak belepotan, membuat selera Om Jojon makin menjadi.

“Tong! Kamu benar-benar hebat... bisa menghias kue serapi ini dan gak ada yang belepotan sedikit pun. Kok bisa sih?” tanya Om Jojon sambil nyuap kue ke mulutnya.

“Gampang Om! Gula yang belepotannya, udah saya jilat.”

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX. 30 Agst–5 Sept 2010. Hal 7)

Pretty But Not Happy

Pretty But Not Happy

Zaman sekarang anak sekolah yang bandel udah beda banget dibanding beberapa tahun lalu, biarpun banyak juga siswa yang berprestasi. Salah satunya, seorang siswi dari SMA Harapan Bunda bernama Pretty. Cewek yang punya wajah cantik dan body sexy ini memang seneng banget gaul sampe lupa belajar. Jangan kaget kalo kamu ketemu dia di mal pas di jam-jam belajar.

Gak heran nilai ujian bahasa Indonesia pun jeblok. Jangan kan matematika dan bahasa Inggris, pelajaran kesenian yang rata-rata kelas A dan B aja, Pretty cuma dapat C. Sayang banget emang, wajahnya yang cantik dan body yang sempurna gak seimbang sama otaknya yang pendek.

Sampai suatu hari, Pak Joko, guru bahasa Indonesia di SMA Harapan Bunda yang mengajar Pretty, memanggil Pretty ke kantor karena ada hal penting sehubungan dengan nilai ujian bahasa Indoneseia Pretty yang jeblok. Bapak yang tongkrongannya seperti pembawa acara Kultum di TV itu, menunjukkan lembar kertas ujian yang ada tulisan angka 4 pake spidol merah.

Pretty yang memang nyadar udah asal-asalan menjawab saat ujian itu, buru-buru berlutut di depan Pak Joko yang duduk di kursi sambil bilang.

“Plis Pak. Saya jangan sampe gak lulus Pak. Apa kata orang tua saya kalo bahasa Indonesia saya sampe gak lulus. Saya akan melakukan apa aja yang bapak mau. Asal saya lulus bahasa Indonesia.”

Pak Joko yang tenang itu, tetap tenang dan tidak memberikan reaksi apa-apa sampe Pretty gregetan sendiri dan sekali lagi menegaskan kalimat yang barusan dia ucapkan. Pretty berdiri mendekati Pak Joko sambil mengedipkan matanya, menyibakkan rambutnya dan membisikkan kalimat yang susah ditolak oleh seorang guru bahasa sekalipun.

“Saya bersedia melakukan apa  saja yang Bapak minta. Apa saja! Asal saya bisa lulus ujian bahasa Indonesia.”

Begitulah akhirnya Pak Joko ga bisa menahan diri tetap diam mendengar tawaram yang diajukan cewek yang paling cantik seantero sekolah.

“Benar kamu mau melakukan apa aja yang bapak minta?”

“APAPUN! Apapun yang bapak minta saya akan lakukan.”

“Baiklah nak .... Bapak minta kamu belajar.”

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX. 30 Agst–5 Sept 2010. Hal 7)