Kehilangan Hadiah
By:
Tri Wahyuningsih
“Aku tidak
mau disuntik, ah! Kan, sakit!” seru Lita sambil menggosok-gosok
lengannya, seolah bisa merasakan sakitnya.
“Tidak
sakit, kok! Rasanya cuma digigit semut,” kata Alin sok tahu.
Ilustrasi: Roedyriff |
Sejak pagi,
teman-teman ramai membicarakan suntikan imunisasi cacar. Semua anak di
kampungku yang belum disuntik imunisasi cacar, harus berkumpul di Balai Dusun
nanti sore. Mereka akan diimunisasi cacar oleh petugas dari Puskesmas. Karena
itulah, aku sudah membuat rencana untuk kabur dari rumah.
Sejak pagi,
teman-teman ramai membicarakan suntikan imunisasi cacar. Semua anak di
kampungku yang belum disuntik imunisasi cacar, harus berkumpul di Balai Dusun
nanti sore. Mereka akan diimunisasi cacar oleh petugas dari Puskesmas. Karena
itulah, aku sudah membuat rencana untuk kabur dari rumah.
Sepulang
sekolah, sambil mengendap-endap, aku masuk ke rumah, melempar tas dan sepatuku,
lalu kabur. Ibu yang melihatku langsung berteriak memanggilku, menyuruhku
pulang. Namun aku tidak menggubrisnya. Aku justru mempercepat lariku.
Ilustrasi: Roedyriff |
Bapak yang
mendengar teriakan Ibu, langsung keluar rumah dan mengejarku. Aku makin
mempercepa lariku. Tiba-tiba, bukan hanya Bapak yang mengejarku. Beberapa
orang tua di kampungku ikut mengejarku.
Untung, aku
jago lari. Karena badanku kecil, tubuhku pun jadi terasa ringan. Orang-orang
yang mengejarku tertinggal di belakang. Hatiku bersorak gembira, berhasil lolos
dari kejaran orang sekampung. Yeah!
Akan
tetapi, tiba-tiba, aku sudah terkepung! Rupanya orang-orang yang mengejarku
berpencar dan mengepungku. Empat orang menghadang di depanku. Sedangkan di
belakang, ada Bapak bersama tiga orang lain yang terus mengejar sambil
membujukku agar mau diajak ke Balai Dusun. Bapak bahkan berjanji akan memberiku
uang jajan tambahan. Di kanan kiriku, cuma ada pagar bambu yang tidak mungkin
kulompati.
Orang-orang
yang mengejarku semakin dekat. Aku panik, tanpa pikir panjang, aku menerobos
pagar bambu di samping kananku. Aku sempat kaget karena ternyata tubuhku bisa
melewati sela pagar. Keuntungan lain bertubuh kecil. Aku berhasil lolos.
Akan
tetapi, karena penasaran, diam-diam aku datang ke Balai Dusun. Balai Dusun
penuh sesak dengan anak-anak yang mengantre untuk disuntik. Malu juga, mereka
yang lebih muda dariku saja berani untuk disuntik, sedangkan aku malah kabur.
Si sekitar
Balai Dusun, juga dipadati pedagang mainan dan jajanan. Sebagai hadiah karena
berani disuntik, anak-anak langsung dibelikan mainan dan jajanan oleh orang tua
mereka. Aku iri. Kalau tidak kabur, aku pasti dibelikan jajanan dan mainan.
Ah,
menyesal sekali aku tadi kabur. Sudah tidak dapat mainan dan jajan, pulang
nanti aku pasti dimarahi habis-habisan. Namun, anehnya, Bapak dan Ibu tidak
marah saat melihaku pulang. Mereka malah tampak lega. Malam itu, aku jadi susah
tidur karena menyesali perbuatanku.
“Ada apa
ramai-ramai?” tanyaku heran, saat melihat teman-teman sekelas berkerumun di
depan kantor guru, pagi hari berikutnya.
“Hari ini
ada suntik imunisasi cacar,” kata Lita.
“Hah?
Bukannya kemarin sore sudah di Balai Dusun?” tanyaku heran.
“Karena
banyak yang belum disuntik, dilanjutkan hari ini di sekolah,” kata Lita.
“Jangan-jangan
Kakak takut disuntik, ya?” ejek Doni, adik kelasku. “Idih, malu-maluin. Doni
saja berani disuntik. Cuma seperti digigit semut.”
Doni
mengangkut lengan bajunya, menunjukkan bekas suntikan di pangkal lengannya
dengan bangga. Aku jadi kesal. Aku kelas 4 SD, masa kalah berani sama anak
kelas 1.
“Siapa yang
takut? Aku juga tahu kalau disuntik itu tidak sakit!” balasku.
Aku
buru-buru masuk ke ruang guru untuk disuntik imunisasi cacar. Benar saja, tidak
sakit.
Ah, aku
menyesal, kenapa kemarin sore aku menolak disuntik? Selain akhirnya disuntik
juga, aku jadi kehilangan hadiahku.
“Tidak
sakit, kan?” tegur Bapak yang Guru SD di sekolahku, sambil senyum-senyum saat
melihatku habis disuntik.
Ilustrasi: Roedyriff |
“Iya.
Berarti aku mendapat uang jajan tambahan, Pak?” tanyaku penuh harap.
“Karena
kemarin kamu kabur, uang jajan tambahan juga kabur,” kata Bapak.
“Yah, Pak,
tapi aku, kan sudah disuntik,” rayuku.
“Semua anak
seumurmu harus disuntik agar tidak kena cacar,” kata Bapak. “Lagipula, segala
sesuatu yang sudah kamu buang, tidak akan kembali lagi. Kemarin kamu sudah
membuang kesempatan untuk mendapat hadiah, berarti hadiahmu juga hilang,” kata
Bapak tegas.
Ah, memang
benar. Penyesalan selalu datang terlambat.
(Sumber:
Majalah Bobo edisi 24 tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 30-31)
0 komentar:
Posting Komentar