23 September 2014

Kehilangan Hadiah

Kehilangan Hadiah


By: Tri Wahyuningsih

          Aku tidak mau disuntik, ah! Kan, sakit!” seru Lita sambil menggosok-gosok  lengannya, seolah bisa merasakan sakitnya

“Tidak sakit, kok! Rasanya cuma digigit semut,” kata Alin sok tahu.
Ilustrasi: Roedyriff


Sejak pagi, teman-teman ramai membicarakan suntikan imunisasi cacar. Semua anak di kampungku yang belum disuntik imunisasi cacar, harus berkumpul di Balai Dusun nanti sore. Mereka akan diimunisasi cacar oleh petugas dari Puskesmas. Karena itulah, aku sudah membuat rencana untuk kabur dari rumah.

Sejak pagi, teman-teman ramai membicarakan suntikan imunisasi cacar. Semua anak di kampungku yang belum disuntik imunisasi cacar, harus berkumpul di Balai Dusun nanti sore. Mereka akan diimunisasi cacar oleh petugas dari Puskesmas. Karena itulah, aku sudah membuat rencana untuk kabur dari rumah.

Sepulang sekolah, sambil mengendap-endap, aku masuk ke rumah, melempar tas dan sepatuku, lalu kabur. Ibu yang melihatku langsung berteriak memanggilku, menyuruhku pulang. Namun aku tidak menggubrisnya. Aku justru mempercepat lariku.
Ilustrasi: Roedyriff


Bapak yang mendengar teriakan Ibu, langsung keluar rumah dan mengejarku. Aku makin mempercepa lariku. Tiba-tiba, bukan hanya Bapak yang mengejarku. Beberapa orang tua di kampungku ikut mengejarku.

Untung, aku jago lari. Karena badanku kecil, tubuhku pun jadi terasa ringan. Orang-orang yang mengejarku tertinggal di belakang. Hatiku bersorak gembira, berhasil lolos dari kejaran orang sekampung. Yeah!

Akan tetapi, tiba-tiba, aku sudah terkepung! Rupanya orang-orang yang mengejarku berpencar dan mengepungku. Empat orang menghadang di depanku. Sedangkan di belakang, ada Bapak bersama tiga orang lain yang terus mengejar sambil membujukku agar mau diajak ke Balai Dusun. Bapak bahkan berjanji akan memberiku uang jajan tambahan. Di kanan kiriku, cuma ada pagar bambu yang tidak mungkin kulompati.

Orang-orang yang mengejarku semakin dekat. Aku panik, tanpa pikir panjang, aku menerobos pagar bambu di samping kananku. Aku sempat kaget karena ternyata tubuhku bisa melewati sela pagar. Keuntungan lain bertubuh kecil. Aku berhasil lolos.

Akan tetapi, karena penasaran, diam-diam aku datang ke Balai Dusun. Balai Dusun penuh sesak dengan anak-anak yang mengantre untuk disuntik. Malu juga, mereka yang lebih muda dariku saja berani untuk disuntik, sedangkan aku malah kabur.

Si sekitar Balai Dusun, juga dipadati pedagang mainan dan jajanan. Sebagai hadiah karena berani disuntik, anak-anak langsung dibelikan mainan dan jajanan oleh orang tua mereka. Aku iri. Kalau tidak kabur, aku pasti dibelikan jajanan dan mainan.

Ah, menyesal sekali aku tadi kabur. Sudah tidak dapat mainan dan jajan, pulang nanti aku pasti dimarahi habis-habisan. Namun, anehnya, Bapak dan Ibu tidak marah saat melihaku pulang. Mereka malah tampak lega. Malam itu, aku jadi susah tidur karena menyesali perbuatanku.

“Ada apa ramai-ramai?” tanyaku heran, saat melihat teman-teman sekelas berkerumun di depan kantor guru, pagi hari berikutnya.

“Hari ini ada suntik imunisasi cacar,” kata Lita.

“Hah? Bukannya kemarin sore sudah di Balai Dusun?” tanyaku heran.

“Karena banyak yang belum disuntik, dilanjutkan hari ini di sekolah,” kata Lita.

“Jangan-jangan Kakak takut disuntik, ya?” ejek Doni, adik kelasku. “Idih, malu-maluin. Doni saja berani disuntik. Cuma seperti digigit semut.”

Doni mengangkut lengan bajunya, menunjukkan bekas suntikan di pangkal lengannya dengan bangga. Aku jadi kesal. Aku kelas 4 SD, masa kalah berani sama anak kelas 1.

“Siapa yang takut? Aku juga tahu kalau disuntik itu tidak sakit!” balasku.

Aku buru-buru masuk ke ruang guru untuk disuntik imunisasi cacar. Benar saja, tidak sakit.

Ah, aku menyesal, kenapa kemarin sore aku menolak disuntik? Selain akhirnya disuntik juga, aku jadi kehilangan hadiahku.

“Tidak sakit, kan?” tegur Bapak yang Guru SD di sekolahku, sambil senyum-senyum saat melihatku habis disuntik.
Ilustrasi: Roedyriff


“Iya. Berarti aku mendapat uang jajan tambahan, Pak?” tanyaku penuh harap.

“Karena kemarin kamu kabur, uang jajan tambahan juga kabur,” kata Bapak.

“Yah, Pak, tapi aku, kan sudah disuntik,” rayuku.

“Semua anak seumurmu harus disuntik agar tidak kena cacar,” kata Bapak. “Lagipula, segala sesuatu yang sudah kamu buang, tidak akan kembali lagi. Kemarin kamu sudah membuang kesempatan untuk mendapat hadiah, berarti hadiahmu juga hilang,” kata Bapak tegas.

Ah, memang benar. Penyesalan selalu datang terlambat.

(Sumber: Majalah Bobo edisi 24 tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 30-31)

0 komentar:

Posting Komentar