6 September 2014

Ujian Ramadhan

Ujian Ramadhan

By: Belladieni

Aman membelalakkan mata melihat isi amplop coklat yang ia pegang. Lembaran rupiah bergambar dua Bapak Proklamator bangsa. Ia menghitung dengan cepat, jumlahnya dua juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit untuknya. Dengan cepat ia menutup amplop itu, menggulungnya di dalam kaos oblong yang ada di tasnya dan meletakkan dengan hati-hati di dasar tas ranselnya. Lalu berjalan menuju gerbang kampus, meninggalkan gedung yang mulai sepi menjelang senja.

‘Mungkin ini sebuah jalan keluar dari Allah, menjawab kesusahanmu selama ini. Ambil saja.’ Bisik suara hatinya saat sebuah pemikiran untuk mengumumkan bahwa ia menemukan amplop coklat di selasar kampusnya sore tadi terlintas di benaknya.

‘Jangan ngaco! Mana mungkin Allah melakukan hal itu. Yang ada kerjaan setan. Segera umumkan. Kasian kan si pemilik amplop itu.’ Bisik bagian hati yang lain.

‘Itu urusan pemilik, mengapa sampai teledor membawa uang sebanyak ini. Jangan dikembalikan! Coba bayangkan lebaran kali ini dengan uang itu, pasti akan berbedda. Kamu bisa melunasi tunggakan uang sekolah adikmu, membelikan ibu dan adikmu baju lebaran dan kalian bisa makan enak saat lebaran.’ Suara hatinya sungguh meyakinkan pikirannya. Bayangan senyum adik dan ibunya berkelebat di benak Aman, membuat keyakinannya untuk mengembalikan uang itu agak tergoyahkan.

‘Sebentar lagi itu lebaran. Hari kemenangan umat Islam. Bagaimana mungkin kamu merayakan hari suci itu menggunakan uang haram!’ Nuraninya masih mencoba berargumen.

Aman bergumam resah, memegang kepalanya yang tidak sakit namun mendadak pening karena kedua sisi hatinya terus menyuarakan keinginan masing-masing, mempengaruhinya untuk mengikuti saran mereka.

Sudah setengah jam ia memandangi amplop coklat yang sekarang ia letakkan di atas meja belajarnya. Uang itu tidak sedikit. Pasti pemiliknya merasa sangat sedih kehilangan uang itu. Ia teringat bagaiamana susahnya ibu bekerja menjadi guru sekolah dasar dan menjadi tutor di bimbingan belajar agar memenuhi kebutuhannya dan adiknya. Terbayang pias di wajah ibu jika sampai harus kehilangan uang sebanyak itu.

Sebuah ketukan halus di pintu membuyarkan lamunannya. Sita, adiknya, yang sudah duduk di kelas tiga SMP mengingatkan sudah waktunya berbuka puasa. Aman mengamati sekali lagi amplop coklat itu. Keputusannya sudah bulat. Besok ia akan mengumumkan telah menemukan amplop itu, dan berjanji akan mengembalikan kepada sang pemilik. Ia melangkah dengan riang menuju ruang makan.

***

Kuis Fisika Dasar II yang diadakan dadakan membuat ingatan Aman akan ampolp coklat itu terlupakan sampai siang. Mungkin akan berlanjut sampai pelajaran usai jika saja Lily tidak mengajaknya bergosip.

“Sudah dengar belum? Si nona besar baru kehilangan uang.” Lily, sahabatnya memberitahu soal gosip terbaru di kampus.

“Nona besar?” tanya Aman tak mengerti siapa yang dimaksud.

“Aura.” Desis gadis itu gemas akan kelambatan otak pria berkacamata yang sedang sibuk membereskan diktat Fisika miliknya.

“Kenapa dia?” aman penasaran. Biasanya ia tidak pernah mau perduli dengan gosip yang beredar di kampus. Namun karena topiknya tentang kehilangan uang, nalurinya berkata lain, untuk mendengarkan cerita Lily.

“Dia kan bendahara acara buka puasa Jurusan tahun ini. Kemarin dia lupa di mana meletakkan uang yang diperoleh dari Sekretaris Jurusan, dan baru manyadari tadi pagi!” Lily bergaya bak reporter gosip di tivi.

Aman teringat amplop coklat yang ada di tasnya, berniat akan menghampiri Aura setelah jam kuliah usai.

“Lalu? Dia sedih dong,” ujar Aman merasa sedikit bersalah.

“Ha? Nona besar itu mana mungkin sedih kehilangan duit segitu. Dia bahkan tidak menyadari sama sekali.” Lily mengalihkan pandangannya ke dosen Fisika yang masih menulis jawaban kuis barusan di papan tulis.

“Maksudnya?”

“Aura itu kan anak orang kaya di kota ini. Mana mungkin ia sedih cuma karena duit dua juta. Memang kamu belum pernah dengar soal dia merusakkan alat percobaan di laboratorium saat pratikum yang bernilai belasan juta?” Lily mendekatkan wajahnya pada Aman berniat bergosip lebih lanjut. Aman menggelang.

“Bapaknya langsung datang ke sini dan memberikan cek senilai dua puluh juta rupiah tanpa berpikir panjang karena nona besar itu menangis ketakutan dan tidak mau keluar dari kamar mandi laboratorium.”

“Benarkah?” tanya Aman tak mempercayai pendengarannya. Ia melemparkan pandangannya ke gadis berkulit putih dan berhidung mancung yang duduk di deretan paling depan yang sekarang sedang tekun mencatat jawaban kuis.

“Kebanyakan dong, gampang bagi dia untuk merengek minta dua juta kepada papanya,” jawab Lily mengakhiri acara gosipnya.

“Lalu?” Aman masih penasaran dengan kelanjutan cerita Lily.

“Lalu apa?” Sekarang gadis berkulit coklat yang duduk di sebelahnya itu mulai sibuk mencatat dan bersikap acuh menanggapi pertanyaannya.

“Lalu bagaimana reaksinya setelah kehilangan uang itu?”

“Siapa?”

“Si nona besar.” Aman mengulangi dengan sabar. Ia cukup hapal kebiasaan sahabatnya itu yang suka iseng bertele-tele dan membuat orang penasaran.

“Aman. Ini bulan suci Ramadhan, dilarang bergosip tau,” jawabnya telak. Ia senang sekali membuat cowo berkacamata itu keki.

***

Aman mengamati Aura yang duduk di bangku kayu depan laboratorium. Semua orang tau gadis cantik itu merupakan anak tunggal seorang pengusaha ternama di kota Surabaya. Penampilannya termasuk mentereng di kampus teknik negeri itu. Di tengah kebanyakan mahasiswa dari daerah yang berpenampilan sederhana Aura selalu tampil dengan trendy, dengan busana bermerek dan tas mahal yang menemaninya ke kampus. Mobil yang ia gunakan pun berganti-ganti. Cantik, keren dan kaya. Mungkin perpaduan ini yang membuat Aura menjadi sosok yang congkak, ia hanya mau bergaul dengan orang-orang yang dianggapnya setara. Aura sungguh tampak seperti nona besar di kalangan rakyat jelata, demikian komentar pedas Lily soal penampilan dan sikap Aura.

Aura sedang berbicara di telpon, lagi-lagi membuat Aman mengelus dada, menggunakan ponsel qwerty trendy yang sedang in di kalangan siapa pun yang ingin dianggap eksis, yang sering ia lihat di televisi. Dari penglihatannya tidak ada raut gundah sedikitpun di wajah gadis itu, bahkan ia tidak tampak seperti orang yang baru saja kehilangan uang. Pasti lain kejadiannya jika hal itu yang terjadi padanya, mungkin Aman bisa stres seperti orang gila, berpikir bagaimana cara mengganti uang sebanyak itu. Uang itu setara dengan honornya mengajar les privat selama 4 bulan. Hati Aman diliputi kebimbangan. Apa masih perlu ia mengembalikan uang ini.

***

‘Anggap aja ini jalan dari Allah untukmu.’ Suara hatinya membela diri saat sebuah pikiran melintas, untuk menggunakan saja uang itu.

‘Bagaimanapun menyebalkannya dia, tetap saja ia pemilik sah uang ini. Jangan mendengarkan omongan setan!’ balas bagian jiwanya yang lain.

“Sore-sore kok melamun, Man?” teguran ibu menyadrkan Aman dari lamunannya. Ibu baru saja pulang mengajar. Membawa plastik hidangan untuk berbuka puasa. Aman beranjak ke dapur, mengambil piring untuk menyajikan makanan yang dibawa ibu.

“Lagi ada masalah di kampus?” tanya ibu penuh kasih setelah selesai berganti pakaian. Aman menggeleng.

“Lalu kenapa melamun sore-sore?” Ibu masih menyimpan rasa penasaran.

“Lagi capek aja bu,” jawab Aman tak ingin membebani. Ibu tersenyum maklum lalu duduk membaca koran di depan televisi.

“Oh iya, Bu, bagaimana dengan tunggakan spp Sita?” Aman teringat persolan uang sekolah adiknya yang sudah dua bulan ini menunggak. Aman baru saja menguras tabungannya untuk membayar uang pratikum, tak tega rasanya meminta ibu, sehingga ia tak bisa membantu soal tunggakan SPP adiknya. Ibu tersenyum teduh.

“Sudah selesai kok, tadi ibu sudah ke sekolah melunasi tunggakannya.”

“Ibu dapat uang dari mana?” tanya Aman heran, mengingat itu bukan tanggal gajian ibu.

“Pinjam dari koperasi.”

Aman mendesah. Semakin banyak saja pinjaman ibu di koperasi. Aman teringat akan uang yang ada di tasnya sekarang. Mungkinkah memang benar ini jalan dari Allah untuknya?

‘Jangan ngaco kamu! Bagaimanapun juga duit itu bukan duit halal!’ Bisik batinyya. ‘Tapi Aman tidak mencuri, ia menemukan uang itu secara kebetulan.’ Logikanya membela.

‘Tetap saja itu uang haram! Apa kamu mau ibu dan adikmu makan uang haram itu? Itu dosa!’ Putus suara hatinya tak mau berkompromi.

“Man, tolong antarkan kolak ini untuk nek Wati ya?” pinta Ibu mengangsurkan bungkusan kolak dalam plastik. Nek Wati teman dekat almarhum nenek Aman dulu, beliau tinggal dua blok dari rumah mereka. Ibu sudah menganggap Nek Wati seperti ibunya sendiri. Saat Ramadhan seperti ini hampir setiap sore ibu mengantarkan hidangan berbuka puasa untuknya. Aman mengangguk, ia mengambil bungkusan plastik lalu berjalan keluar rumah. Waktu berbuka puasa tinggal beberapa saat lagi. Di pinggir jalan banyak sekali orang yang menjual hidangan berbuka puasa. Aman paling suka suasana saat bulan Ramadhan. Semua orang bergegas pulang ke rumah menjelang waktu berbuka untuk berbuka puasa bersama keluarga tercinta. Sepeluh menit menjelang azan magrib, Aman mempercepat langkahnya untuk menyeberangi jalan, hingga ia tidak memperhatikan sebuah Avanza metalik meluncur dengan kencang dari seberang jalan. Kejadiannya begitu cepat, suara decit ban dan pekikan orang-orang di sekeliling bercampur menjadi satu di telinganya. Ia tidak ingat apa yang terjadi, tau-tau tubuhnya terpelanting sejauh lima meter ke tengah jalan. Si pengendara mobil turun dengan panik dan menghampirinya, bertanya apa ia baik-baik saja. Aman melihat kedua tangan dan kakinya, tidak ada darah sama sekali. Ia bahkan tidak merasa sakit atau nyeri, namun badannya menggigil, gemetar hebat. Bisa saja ia terluka akibat tabrakan tadi, atau bisa lebih parah. Namun Allah masih menyelamatkannya.

Sesaat Aman tidak bisa berkata apa-apa waktu pengendara itu menawarkan diri mengantar Aman ke rumah sakit. Ia menggeleng, tersenyum menenangkan karena melihat raut wajah si pengendara yang masih tegang. Selintas pemikiran menghampiri benaknya, bagaimana jika ia tertabrak dan tidak sempat mengembalikan uang yang ia temukan kemarin. Bagaimana perasaan Ibu dan Sita jika menemukan amplop berisikan uang banyak di tasnya. Bagaimana jika ia tidak diselamatkan oleh Yang Maha Kuasa dalam keadaan menuruti saran dari setan. Aman bergidik. Suara Azan magrib berkumandang. Orang-orang masih berkerumun di sekitarnya karena ia tak kunjung bersuara.

Seolah mendapat kekuatan, Aman berdiri, mengatakan ia baik-baik saja lalu berlari menuju rumahnya. Ada satu hal yang ia harus lakukan, mengambil amplop itu dan mengembalikannya kepada Aura saat iu juga. Ia tidak mau berdosa karena hal ini. Hati dan pikirannya sekarang sejalan, kehadiran amplop coklat itu merupakan sebuah ujian untuknya. Ujian di bulan Ramadhan dan ia sudah tau apa penyelesaiannya.


(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX . 30 Agst – 5 Sept 2010 . Hal 26)

0 komentar:

Posting Komentar