Tampilkan postingan dengan label Dongeng. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Dongeng. Tampilkan semua postingan

19 November 2017

Nyanyian Katrina

Nyanyian Katrina

By: Dian Kristiani

Katrina adalah seorang gadis kecil, putri bangsawan yang kaya. Ia gemar sekali bernyanyi. Ia juga suka bermain gitar. Permainan gitarnya indah sekali. Sayang, nyanyian Katrina tidak seindah permainan gitarnya.

Ilustrasi: Melani

Orang-orang menjuluki Katrina dengan sebutan “Si Suara Gagak”. Sebab, suara Katrina lebih mirip teriakan burung gagak. Mereka selalu menutup telinga saat mendengar Katrina bernyanyi. Namun, mereka tak berani melakukannya di depan Katrina. Mereka takut Katrina akan marah. Katrina bahkan sudah tiga kali memecat pengasuhnya karena para pengasuh itu berkata jujur.

“Sebaiknya, kau jangan bernyanyi terlalu keras. Nanti orang-orang akan mengejekmu,” kata Nyonya Linda, pengasuh pertama.

“Permainan gitarmu sungguh indah, sayang suaramu tidak seindah itu,” kata Nyonya Grace, pengasuh kedua.

“Apa? Kau ingin menghibur korban banjir dengan nyanyian? Sebaiknya jangan Katrina, atau mereka akan semakin merana,” kata Nyonya Jane, pengasuh ketiga.

Ilustrasi: Melani

Akhirnya, tidak ada lagi yang berani melamar menjadi pengasuh Katrina. Ibu Katrina pusing memikirkannya. Lagi-lagi, ia harus memasang pengumuman lowongan kerja sebagai pengasuh Katrina.

Nun jauh di desa terpencil, tinggallah seorang wanita tua bernama Nyonya Edelweiss. Dulu, Nyonya Edelweiss adalah seorang guru musik. Ia juga pandai menyanyi. Nyonya Edelweiss mendengar tentang lowongan kerja itu. Ia tertarik untuk melamar. Setelah menjalankan serangkaian tes, Nyonya Edelweiss pun resmi menjadi pengasuh Katrina yang baru.

Katrina senang mendapat pengasuh yang juga suka bermain musik dan bernyanyi. Katrina lalu mengajak Nyonya Edelweiss berlatih musik di taman. Saat Katrina mulai bernyanyi, Nyonya Edelweiss terkejut. Itu suara terburuk yang pernah ia dengar.

“Bagaimana Bu Edelweiss, apakah suaraku sudah cukup bagus untuk lagu ini?” tanya Katrina.

Nyonya Edelweiss diam, ia tak menjawab. Ia malah menyuruh Katrina untuk memainkan gitarnya dan mengiringinya bernyanyi.

“Wah, suaramu sungguh merdu, Bu Edelweiss. Bagaimana jika kita berduet di pesta tahun baru?”

Nyonya Edelweiss tersenyum dan menjawab.

“Boleh saja. Untuk itu, kita harus rajin berlatih. Akan lebih baik jika kita berlatih di dekat gua di atas bukit di sana. Di sana, suasananya sunyi dan tidak akan ada yang mengganggu kita.”

Keesokan harinya, Nyonya Edelweiss mengajak Katrina menaiki bukit. Di atas bukit itu, terdapat banyak gua. Katrina amat senang. Latihan pun dimulai.

Nyonya Edelweiss meminta Katrina untuk bernyanyi sendiri. Katrina pun dengan percaya diri mulai bernyanyi. Tak lupa, ia memetik senar gitarnya.

Baru saja ia mendendangkan satu baris syair, terdengar suara yang buruk di telinganya. Suara itu mirip suara burung gagak. Katrina menajamkan telinganya, namun suara itu telah hilang. Ia bernyanyi lagi.... Heran, lagi-lagi suara itu muncul. Setiap kali Katrina bernyanyi, suara itu terus muncul menirukan nyanyiannya! Katrina mulai jengkel. Ia berteriak.

“Hei... siapa yang menyanyikan laguku?”

“Hei... siapa yang menyanyikan laguku?” terdengar suara yang sama menyahutnya.

Ilustrasi: Melani

Nyonya Edelweiss meletakkan keranjang bunganya. Ia mendekati Katrina dan duduk di sebelahnya. Dengan hati-hati, Nyonya Edelweiss berkata, “Tidak ada yang menirukanmu, Katrina. Suara yang kau dengar tadi adalah suaramu sendiri.”

“Suaraku sendiri? Tak mungkin! Suara yang kudengar tadi lebih mirip suara burung gagak. Bukankah suaraku indah?” jawab Katrina marah.

Nyonya Edelweiss kemudian menggandeng tangan Katrina dan mengajaknya mendekati gua. Ia menyuruh Katrina kembali berteriak. Lagi-lagi suara itu bergema menirukannya. Sekarang, sadarlah Katrina bahwa suara yang buruk itu memang suaranya sendiri.

“Ya ampun... begitu jeleknya suaraku!” Katrina menangis. “Berarti selama ini para pengasuhku benar.”

Nyonya Edelweiss tersenyum.

“Katrina, suaramu mungkin tidak indah. Tetapi permainan gitarmu sungguh indah. Sebagai manusia, kita tidak mungkin mampu melakukan semua hal dengan sempurna. Tuhan sudah memberi kita kelebihan masing-masing.”

“Tetapi aku suka sekali bernyanyi,” sergah Katrina.

“Aku tahu. Kau pasti bisa bernyanyi dengan indah jika kau mau rajin berlatih. Aku tak keberatan melatihmu. Tetapi sebaiknya, untuk acara tahun baru nanti, kau bermain gitar dan aku yang bernyanyi. Pasti para tamu akan senang. Aku yakin tahun depan, kau sudah bisa tampil bernyanyi dengan baik. Tentu jika kau mau berlatih dengan sungguh-sungguh,” kata Nyonya Edelweiss.

Katrina tersenyum mendengarnya. Siang itu, dari atas bukit, terdengar lantunan merdu suara Nyonya Edelweiss diiringi petikan gitar yang indah dari Katrina.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal 10-11)

Kisah Kupu-Kupu Sombong

Kisah Kupu-Kupu Sombong

By: Yoga Triana

Ada seekor kupu-kupu kecil, badannya ramping mungil. Sepasang sayapnya berwarna kelabu bergaris-garis biru. Sayapnya bercorak titik-titik berwarna kuning kemilau, dihiasi totol-totol warna hitam.

 Karena keindahan sayapnya, Kupu-Kupu Kecil jadi sombong, ia suka membanggakan diri dan mengolok-olok binatang lain. Waktu bertemu dengan seekor kumbang hitam, Kupu-Kupu Kecil meledek,

“Tubuhmu jelek, hitam pekat seperti arang!”

Saat melihat seekor katak sedang berjemur di pinggir kali, Kupu-Kupu Kecil juga mengejek,

“Punggungmu menjijikan, mulutmu juga lebar sekali!”

Suatu malam, Kupu-Kupu Kecil melihat sinar berkedip-kedip mendekat ke arahnya. Sinar itu memancar dari tubuh seekor binatang kecil. Rupanya, binatang itu adalah kunang-kunang. Dipandanginya Kunang-Kunang dengan perasaan kagum.

“Oh, sungguh indah binatang itu. Dia mempunyai sinar terang di tubuhnya.”

Kupu-Kupu Kecil ingin memiliki cahaya seperti Kunang-Kunang. Ia ingin tubuhnya menjadi lebih indah dengan cahaya itu. Kupu-Kupu Kecil lalu bertanya, “Kunang-Kunang, dari mana kamu mendapatkan sinar itu? Aku ingin sekali memilikinya, agar aku bisa berkeliaran di waktu malam.”

“Aku sejak lahir sudah begini,” Kunang-Kunang menjelaskan. “Tetapi, setahuku, ada benda lain yang juga selalu bersinar, yaitu api.”

“Di mana api itu berada?”

“Di rumah manusia pada malam hari.”

Kupu-Kupu Kecil sangat gembira mendengar penjelasan Kunang-Kunang. Segera ia terbang menuju ke rumah manusia. Kupu-Kupu Kecil berhasil masuk melalui celah angin di atas jendela.

Kupu-Kupu Kecil langsung terpesona saat melihat api menyala di sebuah pelita. Pelita adalah lampu sederhana yang menggunakan minyak. Api itu memancarkan sinar yang menerangi seluruh ruangan.

Ilustrasi: Mono

Dengan penuh semangat, Kupu-Kupu Kecil mendekati pelita itu dan menyambar apinya. Ia ingin mengambil sedikit api untuk ditempelkan di tubuhnya. Tetapi malang, api itu malah membakar sayapnya.

“Awww!” Kupu-Kupu Kecil terbang menjauh sambil berteriak kesakitan.

Sayapnya yang indah terbakar. Kupu-Kupu Kecil menyesal karena tak puas pada keindahan yang telah dimilikinya. Kini, ia tak bisa menyombongkan diri lagi.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal 2)

30 September 2016

Tiga Tangkai Mawar


Tiga Tangkai Mawar

By: Widya Suwarna

Raja Huang menerima tamu dari negara lain. Tamu tersebut membawa hadiah tiga tangkai mawar merah. Yang satu sudah mekar dengan sempurna, yang satu baru mulai mekar, dan satu lagi masih kuncup.
Ilustrasi: Dhian

“Mawar-mawar ini bisa diberikan pada tiga wanita yang paling Yang Mulia sayangi dan hormati!” kata tamu tersebut. “Siapa yang memandang mawar-mawar ini selama lima menit setiap hari, maka wanita itu akan bertambah cantik. Tetapi bila kelopak-kelopak bunga mawar telah gugur, maka kecantikan mereka akan kembali seperti semula!”

Raja Huang mengucapkan terima kasih. Ia juga memberikan hadiah lukisan yang indah kepada tamu tersebut.

Raja Huang tahu, mawar yang mekar sempurna itu cocok untuk neneknya yang sudah tua. Sebelum semua kelopak mawar gugur, mungkin saja Nenek sudah meninggal lebih dulu. Pikir Raja Huang. Yang terbaik adalah mawar yang masih kuncup. Ia bingung, apakah itu harus diberikan kepada ibunya, atau istrinya.

Setelah berpikir-pikir, Raja mengambil keputusan, “Aku harus memberikan yang terbaik kepada ibuku. Ibu sudah melahirkan, membesarkan, dan mendidik aku!”

Pertama-tama, Raja memberikan mawar yang mekar sempurna itu kepada neneknya. Tetapi nenek berkata, “Cucuku, aku sudah tua. Aku tidak butuh kecantikan lagi. Berikanlah ini kepada permaisuri! Bukankah istrimu masih muda?” 

Kemudian Raja memberikan mawar yang kuncup kepada ibunya. Ibunya menerimanya dengan gembira dan berkata, “Kau sungguh anak yang berbakti kepada orangtua! Namun, aku ingin memberikan mawar ini kepada istrimu! Sebagai permaisuri, ia pantas tampil sebagai wanita tercantik!”

Jadi akhirnya Raja Huang memberikan tiga tangkai mawar itu kepada istrinya. Ia juga menceritakan apa yang dilakukan nenek dan ibunya. Permaisuri sangat terharu.

“Aku lebih menginginkan kebijakan kedua wanita istimewa itu, daripada kecantikan!” kata Permaisuri. “Aku akan berbicara pada Nenek dan Ibu mengenai mawar-mawar ini!”
Ilustrasi: Dhian

Maka Permaisuri mengunjungi ibunda dan nenek suaminya. Ia menyatakan ingin belajar menjadi bijak.

“Benar, anakku. Kecantikan batiniah lebih berharga daripada kecantikan lahiriah. Bila kau selalu mengucap syukur, kau akan menjadi bijak!” kata Nenek.

“Dan bila kau selalu berbuat baik dan memiliki hati yang bersih, kau akan jadi wanita bijak. Hai itu akan terus dikenang orang, walaupun kau kelak meninggalkan dunia ini!” kata ibunda Raja Huang.

Permaisuri mengucapkan terima kasih dan berjanji akan melaksanakannya. Lalu, siapa yang menyimpan mawar-mawar itu? Ketiga tangkai bunga mawar ditaruh dalam vas dan diletakkan di depan istana. Semua wanita boleh berhenti dan memandanginya selama lima menit. Mereka juga mendapat sepotong kertas mungil bertuliskan, “Mengucap syukurlah, miliki hati yang bersih, dan berbuat baik senantiasa.”

Beberapa waktu kemudian, kerajaan yang dipimpin Raja Huang terkenal karena wanita-wanitanya yang cantik dan baik hati. Bahkan setelah bunga-bunga itu layu dan gugur, wanita-wanita itu masih tetap cantik, karena hati mereka yang bersih.

Ketiga wanita yang disayangi dan dihormati Raja Huang, telah menjadi teladan.

(Sumber: Bobo Edisi 24. Tahun XXXVII. 29 September 2009. Hal 28-29)

24 September 2016

Rajawali dan Pipit


Rajawali dan Pipit

Suatu hari, Rajawali dan Pipit hinggap besama di sebuah batu besar.

“Selamat pagi, Rajawali,” sapa Pipit ramah.

Rajawali melirik sedikit pada Pipit. Lalu dengan kepala yang terangkat tinggi ia menjawab, “Selamat pagi juga.”

“Semoga hari ini semua pekerjaanmu berjalan lancar,” kata Pipit.

“Memang sudah seharusnya begitu,” kata Rajawali dengan angkuh. “Aku ingatkan! Kami adalah raja di antara semua burung. Karena itu, lain kali, sebelum kami bicara, kau jangan menyapa kami dulu!”

“Tapi, kita, kan, satu keluarga?” Pipit memandang Rajawali dengan heran.

Rajawali menatap kesal Pipit. “Kata siapa, kita adalah satu keluarga?” bentaknya, meremehkan Pipit.

Dengan tenang Pipit berkata, “Aku ingatkan! Aku juga bisa terbang tinggi seperti kamu. Bahkan aku bisa melakukan hal yang tidak bisa kau lakukan, seperti bernyanyi. Aku bisa menghibur makhluk lain di bumi.”

Perkataan Pipit membuat Rajawali sangat marah.

“Berani-beraninya kau membandingkan dirimu dengan aku, makhluk kecil! Apa kau tidak lihat? Ukuran tubuhmu hanya sebesar batang kakiku! Begitu kuinjak, melayanglah nyawamu!”
Ilustrasi: Mono

Burung Pipit tidak berkata apa-apa. Dengan tenang ia terbang ke atas punggung Rajawali dan hinggap di sana. Kemudian ia mulai mematuk-matuki bulu Rajawali.

Betapa kesalnya Rajawali. Ia segera terbang ke angkasa. Dengan berbagai macam gerakan, ia berusaha menjatuhkan Pipit dari punggungnya. Namun tidak berhasil. Pipit melekat di punggungnya seperti dilem. Rajawali terpaksa hinggap kembali di batu besar tadi. Namun Pipit tetap tidak mau turun.
Ilustrasi: Mono

Pada saat itu, lewatlah Kura-kura. Ia tertawa terbahak-bahak melihat pemandangan itu.

“Apa yang kau tertawakan, hai makhluk yang lamban?” bentak Rajawali pada Kura-kura.

Sambil masih tertawa, Kura-kura berkata, “Sepertinya, kau telah menjadi kuda tunggangan bagi Pipit! Hahaha....”

“Ini adalah urusanku dengan saudaraku. Jangan campuri urusan keluarga kami. Pergi sana, uruslah urusanmu sendiri!” bentak Rajawali dengan marah. Karena malu ditertawakan, ia terpaksa berkata begitu.

Setelah itu Rajawali terbang tinggi lagi, dengan Pipit masih berada di punggungnya.

Disadur oleh Djoni, dari Bie He Lao Shu Guo Bu Qu

(Sumber: Bobo Edisi 24. Tahun XXXVII. 24 September 2009. Hal 2)

18 September 2016

Paman Dermawan


Paman Dermawan

By: L. Heni Susuilowati

Bentuk roti-roti Paman Pablo seperti badan sang pemilik nama. Besar-besar. Mantap. Pas untuk orang yang banyak makan. Harganya pun mahal. Lebih-lebih mereka membelinya dengan uang sakunya sendiri. Bibi Pablo menyarankan Paman Pablo untuk membuat roti dengan ukuran kecil juga. Namun, Paman Pablo keras kepala. Bila sudah membuat keputusan, tidak ada yang bisa menggoyahkannya. Itulah sebabnya, sejak toko rotinya buka, hanya roti besar-lah yang memenuhi toko miliknya.

“Seperti ini saja sudah laris, mengapa mesti membuat yang lain? Lagi pula, aku hanya mau berurusan dengan orang kaya,” begitu katanya.

Begitulah, toko roti Paman Pablo terkenal dengan roti besar yang lezat. Sayangnya, tidak semua orang mampu membelinya.

Suatu hari, hari masih pagi saat toko buka. Di depan pintu toko roti, berdiri seorang anak perempuan. Kurus, berbaju lusuh, berambut merah, dan berkulit gelap.
Ilustrasi: Dhian

“Mau apa?!” Paman Pablo mengira anak itu peminta-minta.

“Beli roti, satu, Paman,” sahut anak itu dengan takut.

Paman Pablo tidak senang mendengar jawaban tersebut.

Satu. Astaga! Pelanggan toko rotinya belum pernah ada yang hanya membeli atu potong.

“Tapi dia beli, bukan minta,” usik hati kecil Paman Pablo.

Maka Paman Pablo membiarkan anak itu masuk.

Setelah mengambil sebuah roti, anak tersebut memasukkan tangan ke saku, dan mengeluarkan... segenggam uang. Uang logam. Dengan nilai terkecil.

Anak itu menghitung uang logam tersebut satu demi satu di meja kasir.

Paman Pablo memperhatikan gerakan tangan anak itu. Tiba-tiba sebuah perasaan sedih menyelinap ke dalam hati Paman Pablo.

Uang logam kecil-kecil. Teringat olehnya saat ia masih kecil dulu. Hidupnya susah. Ia mesti bekerja untuk mendapatkan upah yang tak seberapa. Kemiskinan membuatnya bertekad menjadi orang kaya. Dan sekarang, saat sudah berhasil, mengapa ia melupakan anak-anak yang tak beruntung seperti ia dulu?

“Kamu tak perlu membayarnya,” mata Paman Pablo berkaca-kaca.
Ilustrasi: Dhian

Ia lalu mengambil sebuah dus, mengisinya dengan setengah lusin roti, dan memberikannya pada anak perempuan itu.

“Siapa namamu?”

“Tatia, Paman.”

“Masih sekolah?”

“Ya, Paman.”

“Sekolah yang rajin, Tatia. Supaya kelak kamu bisa memiliki toko roti seperti Paman.”

“Terima kasih, Paman. Saya selalu juara kelas,” ucap Tatia dengan wajah berseri.
Ilustrasi: Dhian

Setelah Tatia pergi, Paman Pablo menyuruh karyawannya membuat roti dengan ukuran kecil. Kini, semua orang bisa membeli roti Paman Pablo. Bahkan, tidak jarang Paman Pablo membagikan roti gratis pada anak dan orang tak mampu.

Sejak itu Paman Pablo dikenal sebagai Paman Dermawan.

(Sumber: Bobo Edisi 23. Tahun XXXVII. 17 September 2009. Hal 40-41)

Pung Datang


Ilustrasi: Benny

Di tepi sebuah danau, tumbuh sebatang pohon pepaya. Di dekat pohon pepaya itu, tinggal seekor kelinci putih.

Suatu hari, sebiji pepaya yang sudah matang jatuh ke dalam danau dan menimbulkan bunyi ‘PUNG’ yang besar. Kelinci Putih terkejut mendengar bunyi ‘PUNG’ itu. Ia melihat ke sekeliling danau, namun tidak tampak apa-apa.

“Ah PUNG ini pasti makhluk yang menakutkan,” gumam Kelinci Putih. Ia pun lari ketakutan. Kebetulan Rubah melihatnya.

“Ada apa, Kelinci Putih?” tanya Rubah.

“Celaka!” kata Kelinci Putih terengah-engah. “PUNG sudah datang!”

Melihat Kelinci Putih ketakutan, Rubah mengira ‘PUNG’ adalah makhluk yang menakutkan. Ia pun ikut lari bersama Kelinci Putih. Monyet yang berada di atas pohon, melihat mereka. Monyet segera meloncat turun dan bertanya.

“Celaka! Celaka! PUNG suda datang!” jawab Rubah terbata-bata.

Rubah sudah sering menipu. Namun, saat itu Rubah tampak sangat ketakutan. Pastilah ‘PUNG’ itu memang menakutkan. Batin Monyet. Ia pun ikut lari bersama Kelinci Putih dan Rubah.

Di tengah jalan mereka bertemu dengan Kijang, Beruang, dan Harimau.

“Kenapa kalian berlari seperti ini? Apa yang terjadi?” tanya Harimau.

“Celaka! Celaka! PUNG suda datang!” jawab mereka terengah-engah.

Tanpa bertanya lebih jelas, Kijang, Beruang, dan Harimau pun ikut berlari.

Singa melihat rombongan temannya berlari ketakutan, ia menghadang mereka dan bertanya apa yang terjadi.

“Celaka! Celaka! PUNG suda datang!” jawab mereka berenam terengah-engah.

“Pung? Pung itu, apa? Ada dimana?” tanya Singa pada Harimau.

Harimau menjawab tidak tahu.

Singa bertanya pada Beruang, Kijang, Monyet, dan Rubah. Mereka tidak tahu. akhirnya Kelinci Putih menjawab, “PUNG itu ada di danau dekat rumahku.”

Singa lalu mengajak mereka ke danau. Walau agak takut, Kelinci Putih membawa mereka ke danau dekat rumahnya. Setiba di sana, ada sebuah pepaya yang terjatuh ke danau dan menimbulkan bunyi “PUNG’ yang besar. Mereka akhirnya tahu. itulah “PUNG’ yang menakutkan itu.
Ilustrasi: Benny

“Kalau belum tahu jelas tentang suatu masalah, jangan panik dulu,” kata Singa pada mereka.

Dengan malu, Harimau, Kijang, Beruang, Rubah, dan Monyet meninggalkan tempat itu. Tentu saja setelah terlebih dulu menghadiahkan sebuah jitakan untuk Kelinci Putih.

Diterjemahkan oleh Djoni, dari buku Yue Liang Ma Ma

(Sumber: Bobo Edisi 23. Tahun XXXVII. 17 September 2009. Hal 38-39)