Misteri Hilangnya Tintin
By: Wiryadi
“Bu Sita, apa murid kelas kita boleh membawa
komik ke sekolah?” tanya Akbar. Bu Sita adalah guru wali kelas mereka.
“Boleh
saja. Asal, buku itu tidak kalian baca selama jam belajar. Kalau ketahuan ada
yang membaca komik di jam belajar, pasti ibu hukum. Jelas semuanya?”
“Jelas,
Bu!” jawab anak-anak serempak.
“Tapi
omong-omong,” Bu Sita melanjutkan, “Siapa yang membawa komik?”
“Putri,
Bu!” jawab Akbar.
Bu Sita
berpaling pada Putri dan bertanya, “Putri, komik apa yang kamu bawa?”
“Tintin,
Bu.” Jawab Putri, “Tapi ... saya baru tahu, komik saya itu hilang. Benar-benar
hilang, Bu. Padahal saya menyimpannya di tas.”
“Hilang?”
Bu Sita mengerutkan dahinya. “Kapan hilangnya?”
“Mungkin
saat istirahat,” jawab Putri. “Sepertinya ada yang mengambilnya.”
Ilustrasi: Yoan |
Aku dan
Dewi saling berpandangan. Tadi pagi, memang kulihat Putri sedang membaca komik
Tintin, dan dirubung beberapa teman. Komik itu memang sangat lucu dan seru
sehingga banyak yang menyukainya.
Pertama-pertama,
Bu Sita menyuruh anak-anak bertukar tempat dengan teman sebangkunya. Aku pun
bertukar duduk dengan Dewi. Kemudian, anak-anak diharuskan memeriksa laci serta
tas temannya masing-masing. Namun, aku hanya menemukan kertas-kertas contekan
di laci Dewi, dan tak menemukan apa pun di dalam tasnya. Begitu pula Dewi.
“Nah,
apa ada yang menemukan buku itu?” tanya Bu Sita kemudian.
Tak seorang
pun menjawab ya. Artinya, buku itu tak ditemukan. Tiba-tiba Bu Sita ingat
sesuatu dan segera menghampiri tempat dudukku.
“Mulan,
coba panggilkan anak kelas 5B yang bernama Pandu itu.”
Anak
kelas 5C, Bu, aku mengoreksi.
“Oh,ya,
pokoknya panggil Pandu ke sini sebentar. Katakan pada Bu Risa di 5C, Bu Sita meminjam
Pandu sebentar untuk memecahkan kasus ini. Akbar, coba kau temani Mulan.”
Aku dan
Akbar bergegas ke kelas 5C. Kami menjelaskan pada Bu Risa, bahwa Bu Sita
memanggil Pandu sebentar. Bu Risa sama sekali tidak tahu jika Pandu sangat
berbakat jadi detektif.
“Wah,
ada apa ini?” tanya Pandu setelah keluar dari kelas.
“Apa
kau tak dapat memecahkannya?” Pandu bertanya padaku.
Aku tak
perlu menjawab. Sebab pasti Pandu sedang bercanda. Sebaliknya, aku langsung
mencubit lengannya, dan tak melepaskannya sampai ia mengaduh minta ampun
padaku.
Setiba di
kelasku, Bu Sita langsung menceritakan duduk persoalannya. Aku dan Akbar
kembali ke bangku masing-masing.
“Bu
Sita,” akhirnya Pandu bertanya, “Jadi buku tersebut tidak menemukan setelah tas
dan laci diperiksa semuanya?”
“Benar,”
Bu Sita mengangguk, “Apa kau berpendapat mungkin pencurinya dari kelas lain?”
“Saya
berpendapat belum semua laci diperiksa,” jawab Pandu.
Bu Sita
pun bertanya ke seisi kelas, “Mm, siapa yang belum memeriksa laci temannya?”
Tentu saja
tak ada yang menjawab.
“Maksud
saya,” Pandu menyahut. “Laci Bu Sita-lah yang belum diperiksa.”
Sudah barang
tentu Bu Sita terperanjat. Aku pun tak menyangka. Namun ketika Bu Sita merogoh-rogoh
lacinya, astaga, buku tersebut ditemukan!
“Jadi
siapa ini yang menyembunyikannya di sini?” Bu Sita kembali bertanya ke seisi
kelas.
Sementara
itu, kulihat Putri sangat gembira sebab buku Tintin-nya telah ditemukan. Namun,
siapa yang melakukannya? Pikirku.
Ilustrasi: Yoan |
“Nah,
siapa yang piket besok pagi?” Bu Sita bertanya.
Tiba-tiba
saja Yosi mengangkat tangannya. “Sa... saya yang melakukan semuanya, Bu,”
katanya. “Ta... tapi saya sebenarnya ... hanya bercanda ...” “Kau harus
dihukum, sebab telah mengakibatkan semua kekacauan ini!” sahut Bu Sita tegas. “Dan
kau Putri, Ibu beri waktu maju ke depan untuk mengucapkan terima kasih pada
Pandu.”
Oh,
tampaknya Pandu tersipu, karena cukup lama Putri menjabat tangannya.
(Sumber: Majalah Bobo edisi 24
tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 42-43)
0 komentar:
Posting Komentar