23 September 2014

Misteri Hilangnya Tintin

Misteri Hilangnya Tintin

By: Wiryadi

“Bu Sita, apa murid kelas kita boleh membawa komik ke sekolah?” tanya Akbar. Bu Sita adalah guru wali kelas mereka.

“Boleh saja. Asal, buku itu tidak kalian baca selama jam belajar. Kalau ketahuan ada yang membaca komik di jam belajar, pasti ibu hukum. Jelas semuanya?”

“Jelas, Bu!” jawab anak-anak serempak.

“Tapi omong-omong,” Bu Sita melanjutkan, “Siapa yang membawa komik?”

“Putri, Bu!” jawab Akbar.

Bu Sita berpaling pada Putri dan bertanya, “Putri, komik apa yang kamu bawa?”

“Tintin, Bu.” Jawab Putri, “Tapi ... saya baru tahu, komik saya itu hilang. Benar-benar hilang, Bu. Padahal saya menyimpannya di tas.”

“Hilang?” Bu Sita mengerutkan dahinya. “Kapan hilangnya?”


“Mungkin saat istirahat,” jawab Putri. “Sepertinya ada yang mengambilnya.” 

Ilustrasi: Yoan
Aku dan Dewi saling berpandangan. Tadi pagi, memang kulihat Putri sedang membaca komik Tintin, dan dirubung beberapa teman. Komik itu memang sangat lucu dan seru sehingga banyak yang menyukainya.

Bu Sita sebenarnya akan mengajarkan Bahasa Indonesia siang itu. Namun, karena ada laporan kehilangan, pelajaran tersebut tertunda. Bu Sita ingin menyelidiki siapa yang telah mencuri komik milik Putri.

Pertama-pertama, Bu Sita menyuruh anak-anak bertukar tempat dengan teman sebangkunya. Aku pun bertukar duduk dengan Dewi. Kemudian, anak-anak diharuskan memeriksa laci serta tas temannya masing-masing. Namun, aku hanya menemukan kertas-kertas contekan di laci Dewi, dan tak menemukan apa pun di dalam tasnya. Begitu pula Dewi.

“Nah, apa ada yang menemukan buku itu?” tanya Bu Sita kemudian.

Tak seorang pun menjawab ya. Artinya, buku itu tak ditemukan. Tiba-tiba Bu Sita ingat sesuatu dan segera menghampiri tempat dudukku.

“Mulan, coba panggilkan anak kelas 5B yang bernama Pandu itu.”

Anak kelas 5C, Bu, aku mengoreksi.

“Oh,ya, pokoknya panggil Pandu ke sini sebentar. Katakan pada Bu Risa di 5C, Bu Sita meminjam Pandu sebentar untuk memecahkan kasus ini. Akbar, coba kau temani Mulan.”

Aku dan Akbar bergegas ke kelas 5C. Kami menjelaskan pada Bu Risa, bahwa Bu Sita memanggil Pandu sebentar. Bu Risa sama sekali tidak tahu jika Pandu sangat berbakat jadi detektif.

“Wah, ada apa ini?” tanya Pandu setelah keluar dari kelas.

“Ada perkara pendurian di kelasku,” Akbar yang menjawab. “Dan Bu Sita ingin minta bantuanmu.”
Ilustrasi: Yoan

“Apa kau tak dapat memecahkannya?” Pandu bertanya padaku.

Aku tak perlu menjawab. Sebab pasti Pandu sedang bercanda. Sebaliknya, aku langsung mencubit lengannya, dan tak melepaskannya sampai ia mengaduh minta ampun padaku.

Setiba di kelasku, Bu Sita langsung menceritakan duduk persoalannya. Aku dan Akbar kembali ke bangku masing-masing.

“Bu Sita,” akhirnya Pandu bertanya, “Jadi buku tersebut tidak menemukan setelah tas dan laci diperiksa semuanya?”

“Benar,” Bu Sita mengangguk, “Apa kau berpendapat mungkin pencurinya dari kelas lain?”

“Saya berpendapat belum semua laci diperiksa,” jawab Pandu.

Ah, apa kira-kira maksud Pandu, pikirku.
Ilustrasi: Yoan

Bu Sita pun bertanya ke seisi kelas, “Mm, siapa yang belum memeriksa laci temannya?”

Tentu saja tak ada yang menjawab.

“Maksud saya,” Pandu menyahut. “Laci Bu Sita-lah yang belum diperiksa.”

Sudah barang tentu Bu Sita terperanjat. Aku pun tak menyangka. Namun ketika Bu Sita merogoh-rogoh lacinya, astaga, buku tersebut ditemukan!

“Jadi siapa ini yang menyembunyikannya di sini?” Bu Sita kembali bertanya ke seisi kelas.

Sementara itu, kulihat Putri sangat gembira sebab buku Tintin-nya telah ditemukan. Namun, siapa yang melakukannya? Pikirku.

“Jika pulang sekolah, biasanya guru-guru adalah orang yang paling akhir meninggalkan ruang kelas,” ujar Pandu, “Jadi, pasti salah seorang yang akan piket membersihkan kelas besok pagilah yang mungkin telah melakukannya ....”
Ilustrasi: Yoan

“Nah, siapa yang piket besok pagi?” Bu Sita bertanya.

Tiba-tiba saja Yosi mengangkat tangannya. “Sa... saya yang melakukan semuanya, Bu,” katanya. “Ta... tapi saya sebenarnya ... hanya bercanda ...” “Kau harus dihukum, sebab telah mengakibatkan semua kekacauan ini!” sahut Bu Sita tegas. “Dan kau Putri, Ibu beri waktu maju ke depan untuk mengucapkan terima kasih pada Pandu.”

Oh, tampaknya Pandu tersipu, karena cukup lama Putri menjabat tangannya.

(Sumber: Majalah Bobo edisi 24 tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 42-43)

0 komentar:

Posting Komentar