Maafkan Kami, Yoga...
By: Moch.
Noorrohman, Sag
Baru satu
bulan ini Yoga pindah sekolah ke SD Harapan 1. Sekolah itu berada di kampung
kakeknya. Awalnya, Yoga sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Selain
karena ia terbiasa bersekolah di kota besar, Yoga juga kurang cocok dengan
teman-teman barunya.
Ilustrasi : Yan |
Sejak ayah Yoga meninggal, Kakek selalu
mengkhwatirkan Ibu dan Yoga. Itu sebabnya, kakek meminta mereka untuk tinggal
bersamanya di kampung. Sayangnya, Yoga jadi sering termenung di tempat baru
itu. Sebetulnya, Yoga tidak keberatan tinggal di kampung. Ia sedih karena
beberapa temannya sering meledeknya. Terutama Rangga, ketua kelasnya.
“Biasanya, ada dua alasan, mengapa anak kota
pindah bersekolah ke desa itu. Otaknya kurang mampu, atau modalnya kurang.
Sekolah di kota, kan, mahal!” ejek Rangga, disambut tawa teman-temannya.
Yoga hanya diam. Ia memang tak ingin mencari
musuh. Dan Rangga betul. Ibunya memang tak mampu membiayainya bersekolah di
kota.
Yoga juga hanya diam, saat ia hanya ditempatkan
sebagai pemain cadangan. Sekolahnya akan mengikuti turnamen sepak bola pelajar
antar kecamatan. Rangga mendesak Pak Rudi, guru olahraga mereka, agar tidak
memakai Yoga sebagai pemain inti. Alasannya, Yoga jarang latihan. Yoga menurut
saja.
Hari Final Kejuaraan Sepak Bola antar kecamatan
akhirnya tiba. Juara bertahan SD Harapan 1 melawan SD Putra Tunggal. Di
lapangan, para penonton telah ramai berkumpul. Peluit dibunyikan, tanda babak
pertama dimulai. Kedua kesebelasan mulai memeragakan permainan terbaik mereka.
Tampak si kulit bundar mengelinding ditendang ke
sana ke mari. Tim pendukung masing-masing kesebelasan berteriak memberi
semangat. Sementara itu, tempo pertandingan semakin tinggi. Sayangnya, belum
satupun gol tercipta. Kedudukan imbang ini bertahan hingga turun minum.
Memasuki babak kedua, SD Harapan 1 mulai
kehilangan kepercayaan diri. Berkali-kali tendangan SD Putra Tunggal mengancam
gawang mereka. Firman sang penjaga gawang, harus jatuh bangun menyelamatkan
gawangnya.
Tepat di menit ke 15, akhirnya SD Putra Tunggal
berhasil membobol gawang SD Harapan 1. Tepuk sorak pendukung membahana di
lapangan. Pendukung SD Harapan 1 bungkam. Rangga yang dipercaya sebagai kapten,
sering membuat kesalahan. Bahkan, ia sempat mendapat peringatan keras dari
wasit karena permainannya menjurus kasar.
Permainan SD Harapan 1 mulai kedodoran. Pak
Rudi, guru sekaligus pelatih mereka, mulai panik. Apalagi, pada menit ke 25,
Rangga harus ditandu keluar lapangan karena cedera lutut. Sisa waktu tinggal
beberapa menit lagi.
“Kamu gantikan Rangga, tidak ada pilihan lain. Meskipun
saya belum tahu permainanmu, tapi kita harus menyelesaikan pertandingan ini!”
Pak Rudi akhirnya mengambil keputusan.
Yoga segera melakukan pemanasan sebelum memasuki
lapangan. Ia bertekad memenangkan pertandingan, meski banyak yang meremehkannya.
“Ah, Rangga saja nggak mampu, kok, Pak Rudi
menurunkan Yoga. Dia, kan, enggak pernah datang latihan!” celutuk Fina, salah
satu teman Rangga.
“Ayo, Yoga, kamu pasti bisa!” teriak Hardi dari
tepi lapangan. Hardi adalah sahabat Yoga, yang sering menemaninya berangkat dan
pulang sekolah.
Kesebelasan SD Harapan 1 semakin hidup setelah
Yoga mulai menyerang. Banyak mata terbelalak melihat permainan Yoga,
lebih-lebih Pak Rudi. Bola itu seolah lengket di kaki Yoga. Pendukung SD
Harapan 1 yang sejak tadi bungkam, mulai bersemangat kembali. Yoga mampu
mengobrak-abrik pertahanan lawan.
Ilustrasi : Yan |
“Goooooool!...”
Pada menit ke 30, Yoga berhasil menyamakan
kedudukan 1-1. Kini, barisan SD Putra Tunggal yang kedodoran. Yoga semakin
bersemangat menyerang. Menjelang akhir pertandingan, ia berhasil membuat gol
kedua. Yoga membuat SD Harapan 1 berhasil mempertahankan piala bergengsi itu.
“Kamu memang hebat, pahlawan penyelamat,” sambut
Pak Rudi. “Hidup Yoga! Hidup Yoga!” teriak pendukung SD Harapan 1.
Sore itu, Rangga, Setyo, Agung, Fina, Wati
berkunjung ke rumah Yoga. Ibu Yoga mempersilakan mereka masuk. Di rumah yang
sederhana dan rapi itu, terpampang foto Yoga dengan kostum biru putih. Ia
tampak gagah dengan bola dan piala. Di bawah foto itu tertulis Tim Sepak Bola
Pelajar Terbaik – Tingkat DKI tahun 2008.
Rangga dan teman-temannya ternganga melihat foto
Yoga. Mereka tak menduga kalau Yoga yang pendiam itu, pemain hebat. Anggota tim
pelajar tingkat propinsi.
“Hai, tumben, main-main ke sini?” kaa Yoga, yang
baru selesai mandi.
Rangga tersipu malu, “Eh, Yoga... Aku, aku ke
sini mau mengucapkan selamat atas prestasimu tadi. Maaf, selama ini aku
meremehkanmu. Padahal, prestasimu luar biasa,” ujar Rangga sambil menunjuk ke
foto Yoga.
“Ah, jangan terlalu memujiku. Aku biasa saja,”
jawab Yoga merendah.
“Wah, kamu ternyata tidak suka pamer, Yoga, aku
pikir, kamu sombong karena tidak mau ikut latihan,” tambah Fina.
“Maafkan, aku. Selama ini, aku tidak pernah ikut
latihan sepak bola karena harus membantu Ibu berjualan. Kakekku, kan, hanya
petani. Kasihan kakek, kalau aku dan Ibu bergantung hidup pada kakek,” ceria
Yoga.
Rangga semakin bersalah karena sering mengejek
Yoga. Di dalam hati, Rangga kagum pada Yoga yang berprestasi namun tetap sabar
dan rendah hati.
(Sumber: Majalah Bobo edisi 24 tahun
XXXVIII 23 September 2010 hal. 18-19)
0 komentar:
Posting Komentar