24 September 2014

Maafkan Kami Yoga...

Maafkan Kami, Yoga...


        By: Moch. Noorrohman, Sag


        Baru satu bulan ini Yoga pindah sekolah ke SD Harapan 1. Sekolah itu berada di kampung kakeknya. Awalnya, Yoga sulit menyesuaikan diri dengan lingkungan baru. Selain karena ia terbiasa bersekolah di kota besar, Yoga juga kurang cocok dengan teman-teman barunya.

Ilustrasi : Yan
Sejak ayah Yoga meninggal, Kakek selalu mengkhwatirkan Ibu dan Yoga. Itu sebabnya, kakek meminta mereka untuk tinggal bersamanya di kampung. Sayangnya, Yoga jadi sering termenung di tempat baru itu. Sebetulnya, Yoga tidak keberatan tinggal di kampung. Ia sedih karena beberapa temannya sering meledeknya. Terutama Rangga, ketua kelasnya.

“Biasanya, ada dua alasan, mengapa anak kota pindah bersekolah ke desa itu. Otaknya kurang mampu, atau modalnya kurang. Sekolah di kota, kan, mahal!” ejek Rangga, disambut tawa teman-temannya.


Yoga hanya diam. Ia memang tak ingin mencari musuh. Dan Rangga betul. Ibunya memang tak mampu membiayainya bersekolah di kota.


Yoga juga hanya diam, saat ia hanya ditempatkan sebagai pemain cadangan. Sekolahnya akan mengikuti turnamen sepak bola pelajar antar kecamatan. Rangga mendesak Pak Rudi, guru olahraga mereka, agar tidak memakai Yoga sebagai pemain inti. Alasannya, Yoga jarang latihan. Yoga menurut saja.


Hari Final Kejuaraan Sepak Bola antar kecamatan akhirnya tiba. Juara bertahan SD Harapan 1 melawan SD Putra Tunggal. Di lapangan, para penonton telah ramai berkumpul. Peluit dibunyikan, tanda babak pertama dimulai. Kedua kesebelasan mulai memeragakan permainan terbaik mereka.


Tampak si kulit bundar mengelinding ditendang ke sana ke mari. Tim pendukung masing-masing kesebelasan berteriak memberi semangat. Sementara itu, tempo pertandingan semakin tinggi. Sayangnya, belum satupun gol tercipta. Kedudukan imbang ini bertahan hingga turun minum.


Memasuki babak kedua, SD Harapan 1 mulai kehilangan kepercayaan diri. Berkali-kali tendangan SD Putra Tunggal mengancam gawang mereka. Firman sang penjaga gawang, harus jatuh bangun menyelamatkan gawangnya.


Tepat di menit ke 15, akhirnya SD Putra Tunggal berhasil membobol gawang SD Harapan 1. Tepuk sorak pendukung membahana di lapangan. Pendukung SD Harapan 1 bungkam. Rangga yang dipercaya sebagai kapten, sering membuat kesalahan. Bahkan, ia sempat mendapat peringatan keras dari wasit karena permainannya menjurus kasar.


Permainan SD Harapan 1 mulai kedodoran. Pak Rudi, guru sekaligus pelatih mereka, mulai panik. Apalagi, pada menit ke 25, Rangga harus ditandu keluar lapangan karena cedera lutut. Sisa waktu tinggal beberapa menit lagi.


“Kamu gantikan Rangga, tidak ada pilihan lain. Meskipun saya belum tahu permainanmu, tapi kita harus menyelesaikan pertandingan ini!” Pak Rudi akhirnya mengambil keputusan.


Yoga segera melakukan pemanasan sebelum memasuki lapangan. Ia bertekad memenangkan pertandingan, meski banyak yang meremehkannya.


“Ah, Rangga saja nggak mampu, kok, Pak Rudi menurunkan Yoga. Dia, kan, enggak pernah datang latihan!” celutuk Fina, salah satu teman Rangga.


“Ayo, Yoga, kamu pasti bisa!” teriak Hardi dari tepi lapangan. Hardi adalah sahabat Yoga, yang sering menemaninya berangkat dan pulang sekolah.


Kesebelasan SD Harapan 1 semakin hidup setelah Yoga mulai menyerang. Banyak mata terbelalak melihat permainan Yoga, lebih-lebih Pak Rudi. Bola itu seolah lengket di kaki Yoga. Pendukung SD Harapan 1 yang sejak tadi bungkam, mulai bersemangat kembali. Yoga mampu mengobrak-abrik pertahanan lawan.


Ilustrasi : Yan
“Goooooool!...”

Pada menit ke 30, Yoga berhasil menyamakan kedudukan 1-1. Kini, barisan SD Putra Tunggal yang kedodoran. Yoga semakin bersemangat menyerang. Menjelang akhir pertandingan, ia berhasil membuat gol kedua. Yoga membuat SD Harapan 1 berhasil mempertahankan piala bergengsi itu.


“Kamu memang hebat, pahlawan penyelamat,” sambut Pak Rudi. “Hidup Yoga! Hidup Yoga!” teriak pendukung SD Harapan 1.

Sore itu, Rangga, Setyo, Agung, Fina, Wati berkunjung ke rumah Yoga. Ibu Yoga mempersilakan mereka masuk. Di rumah yang sederhana dan rapi itu, terpampang foto Yoga dengan kostum biru putih. Ia tampak gagah dengan bola dan piala. Di bawah foto itu tertulis Tim Sepak Bola Pelajar Terbaik – Tingkat DKI tahun 2008.


Rangga dan teman-temannya ternganga melihat foto Yoga. Mereka tak menduga kalau Yoga yang pendiam itu, pemain hebat. Anggota tim pelajar tingkat propinsi.


“Hai, tumben, main-main ke sini?” kaa Yoga, yang baru selesai mandi.


Rangga tersipu malu, “Eh, Yoga... Aku, aku ke sini mau mengucapkan selamat atas prestasimu tadi. Maaf, selama ini aku meremehkanmu. Padahal, prestasimu luar biasa,” ujar Rangga sambil menunjuk ke foto Yoga.


“Ah, jangan terlalu memujiku. Aku biasa saja,” jawab Yoga merendah.


“Wah, kamu ternyata tidak suka pamer, Yoga, aku pikir, kamu sombong karena tidak mau ikut latihan,” tambah Fina.


“Maafkan, aku. Selama ini, aku tidak pernah ikut latihan sepak bola karena harus membantu Ibu berjualan. Kakekku, kan, hanya petani. Kasihan kakek, kalau aku dan Ibu bergantung hidup pada kakek,” ceria Yoga.


Rangga semakin bersalah karena sering mengejek Yoga. Di dalam hati, Rangga kagum pada Yoga yang berprestasi namun tetap sabar dan rendah hati.


(Sumber: Majalah Bobo edisi 24 tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 18-19)

0 komentar:

Posting Komentar