|
Ilustrasi: Yan B |
Bu Ussi mengirim Niken mengikuti lomba vokal. Nila dipilh mengikuti Olimpiade IPA. Sementara Wikan
mengikuti Olimpiade Matematika. Sahabat-sahabatnya memang pandai. Alma menghela
napas panjang. Sesungguhnya, Alma sangat ingin mempunyai prestasi seperti
sahabat-sahabatnya.
Alma termenung di depan teras rumahnya. Ia
berpikir apa yang dapat dilakukannya untuk keluarga dan
sekolahnya. Ia ingin mejadi kebanggaan Bu Ussi, teman-teman dan mamanya.
|
“Mikir
apa sih, Al? Ada masalah?” tegur Mama sambil meletakkan sepiring pisang goreng
di hadapan Alma.
Dengan
sedih, Alma menceritakan keinginannya.
“Kenapa
tidak Alma tanyakan saja pada Bu Ussi? Pasti ada alasannya, Bu Ussi memilih
teman-temanmu. Setiap orang kan, punya kelebihan masing-masing. Mama yakin,
Alma juga punya kelebihan. Dan yang penting, Alma harus jaga kesehatan,”
Mama menjentik hidung Alma.
Esok
harinya, di sekolah, Alma mendekati Diana. Ia komandan peleton baris berbaris
di sekolah.
“Di, aku
ikut, dong, lomba baris berbaris,” rayu Alma.
“Jangan Al, lombanya berat, lo! Nanti asmamu ambuh,” kata Diana sambil
meminta maaf pada Alma. Alma sedih mendengarnya.
|
Ilustrasi: Yan B |
Asma Alma
memang sering kambuh. Hari Sabtu lalu, ia memaksakan diri
berlari mengelilingi lapangan. Alma ingin bisa mewakili kelasnya
dalam lomba lari antar kelas. Namun akhirnya... ngik .. ngik ..Alma
gemetar bersandar di pagar sekolahnya. Pak Yasin bergegas membawa
Alma ke ruang UKS.
Waktu
itu, Bu Ussi segera memberi obat pada Alma. Juga berpesan, agar Alma tidak
memaksakan diri. Alma sangat sedih memikirkan tubuhnya yang begitu
lemah. Ia mengerti, semua orang peduli padanya. Namun, ia tidak ingin
dianggap lemah. Ia tidak ingin penyakitnya menjadi halangan untuk maju.
Alma ingin membuktikan bahwa ia juga mampu.
Suatu
hari, Bu Ussi mengumumkan siswa yang akan tampil mengikuti Pesta Besar Siaga
kali ini. Alma kecewa karena ia tidak terpilih. Alma menuangkan kekesalannya
saat membuat tugas menulis puisi. Goresan penanya di kertas mengungkapkan
perasaannya. Alma tidak sadar apa saja yang telah ditulisnya. Saat bel
berbunyi, Alma mengumpulkan tugasnya di meja Bu Ussi.
“Puisimu
bagus sekali, Al!” puji Bu Ussi keesokan harinya, saat membagikan kertas tugas
yang sudah dinilai.
“Dapat
berapa, Al?” tanya Desi yang duduk di sebelahnya.
“Sembilan
puluh,” jawab Alma takjub memandangi puisinya.
“Wah ...
hebat kamu, Al!” seru Niken, Nila dan Wikan bersamaan.
“Coba
tulis puisi yang lain. Kirim ke majalah sekolah kita,” saran Bu Ussi pada Alma.
Alma
mengangguk gembira. Ia tak sabar ingin menceritakan pengalamannya pada mama.
Beberapa
minggu kemudian, Alma, Wikan, dan Niken berjalan memasuki perpustakaan. Nila
tiba-tiba menarik tangan Alma.
“Al...,
coba lihat ini!” tegur Niken, menunjuk salah satu artikel di majalah dinding
tepat di depan perpustakaan.
Alma tak mempercayai apa yang dilihatnya. Itu puisi yang dikirimnya
beberapa minggu lalu. Secercah Harapan! Alma sangat gembira dan
menceritakan hal itu pada Bu Ussi.
|
Ilustrasi: Yan |
“Prestasi
bukan hanya bagi mereka yang pandai atau berbakat di bidang olahraga. Kamu
sudah membuktikan bahwa dirimu berprestasi. Puisi-puisimu itu, adalah karya
yang membanggakan,” puji Bu Ussi.
Dua
minggu kemudian, puisi Alma kembali dimuat. Kali ini majalah Kuntum,
majalah bulanan sekolahnya. Bu Ussi memanggil Alma.
“Tulisanmu
bagus. Puisimu banyak menghiasi mading dan majalah kita. Ibu ingin kamu
mengikuti lomba membaca puisi pada perayaan Hari Kartini minggu depan.”
“Tapi
saya belum pernah melakukannya, Bu!”
“Tunjukkan
kemampuanmu. Masih ada kesempatan, Alma!”
Setiba di
rumah, Alma menceritakan tawaran Bu Ussi pada mamanya.
“Betul,
Al! Jangan berkata tidak bisa, sebelum mencoba. Kesempatan sudah di
depan mata. Tunjukkan pada setiap orang, bahwa Alma pantas
dibanggakan,” ujar Mama memberi semangat.
Betul,
masih ada kesempatan! Selalu ada harapan, seperti puisi yang pernah ditulisnya.
Secercah Harapan! Alma tersenyum penuh keyakinan dan harapan.
(Sumber:
Majalah Bobo edisi 24 tahun XXXVIII 23 September 2010 hal. 10-11)
|
0 komentar:
Posting Komentar