20 Juni 2014

Papi Dangdut

PAPI DANGDUT

By: Lonyenk

Jumat pagi kehebohan melanda rumah kami. Aku yang lagi nyaman meringkuk di bawah selimut hangat terpaksa bangun mendengar ‘alarm’ yang keluar dari mulut Mami. Hari ini kamu sekeluarga mau mudik ke tempat Wak Ramli di kampung. Wak Ramli adalah sepupu jauh papi. Beliau akan menikahkan Kak Mira, anak sulungnya. Yang kelihatan paling antusias untuk perjalanan ini adalah Papi. Dari semalam beliau sudah kasak-kusuk memberi intruksi pada kami, barang apa saja yang harus dibawa. Maklum, selain sebagai tamu undangan, Papi juga dapat order video syuting dan foto untuk acara kawinan atau sunatan, selain jadi PNS di salah satu instansi pemerintah. Karena ini bisnis keluarga, so yang jadi pegawai Papi cukup aku dan adikku, Romi. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai ‘pekerjaan’ yang diberikan Papi. Bukannya tidak mau berbakti sama orang tua, tapi aku seringkali tersiksa kalau sedang menjalankan tugas. Kau tau, setiap acara hajatan di kampung, selalu menyuguhkan musik dangdut dari organ tunggal. Dan itulah masalahnya. Aku anti sama musik dangdut. Aku risih kalau mendengar lagu dengan lirik yang terus-terusan di ulang-ulang itu. Dan aku terpaksa harus mengkonsumsinya karena telingaku masih normal. Ironisnya, Papi, Mami dan Romi sangat mengandrungi musik dangdut.

Hari ini penyiksaan kupingku mulai babak baru. Sejak mobil kami meluncur meninggalkan rumah, Papi sudah menyetel musik dangdut di dalam mobil. Suaranya memang tidak terlalu kencang, tapi telinga orang normal pasti tidak dapat menangkap suara itu dengan jelas. Apalagi yang telinganya sensitif sepertiku. Dan musik itu terdengar tanpa jeda. Dari suaranya Rhoma Irama, Mansyur S, A Rafiq, Cucu Cahyati sampai Ridho Rhoma habis dilibas Papi. Begadang, Dawai Asmara, sampai Pengorbanan berjoged-joged memenuhi telinga kami. Aku muak,. Mana Romi ikut-ikutan nyanyi lagi. Sia-sia telinga ini kusumpal dengan earphone, mendengar lagu hip-hop dari i-pod. Tapi suaranya masih kalah kenceng. Akhirnya aku tak tahan. Aku harus segera berontak kalau masih mau hidup.

“Ganti dong, Pi,” pintaku sambil menyodorkan kepingan CD Usher. Aku rasa Papi tak keberatan memberiku kesempatan untuk membersihkan telingaku. Karena sudah satu jam lebih Cucu Cahyati meraung-raung di dalam mobil. Dengan wajah datar, papi mengambil dan memasukkannya ke dalam CD player. Tapi belum semenit lagu Of Your Chest berkumandang, Papi buru-buru mematikannya.

“Lho kok?” tanyaku bingung.

“Lagu apaan, nih? Kayak orang yang ngajak berantem aja,” gumam Papi dan segera menggantinya dengan lagu Pagar Makan Tanaman-nya Mansyur S. Aku melongo, hanya bisa menahan kejengkelan di hati. Amarahku kian terbakar ketika kulihat Romi terkikik menertawaiku. So, sepanjang perjalanan kami ke kampung, lagu-lagu itu sukses membuat kupingku pecah. Tak heran setiba di rumah Wak Ramli aku nyaris pingsan kehabisan udara.

***

Ironis! Kata yang tepat untuk menggambarkan diriku. Namaku Roma Perdana, pemberian Papi. Kau pasti sudah dapat mengira. Ya, nama itu memang terinspirasi dari idola Papi sepanjang masa, Rhoma Irama. Kata mami, aku memang diharapkan bakal meneruskan cita-cita Papi yang tak sempat terwujud, jadi penyanyi dangdut. Dulu Papi punya orkes melayu yang lumayan kesohor di kampungnya. Tapi garis hidup berkata lain. Papi malah bekerja di instansi pemerintah dan meninggalkan orkesnya. Makanya Papi ingin anak-anaknya kelak bisa mewujudkan mimpinya yang terpendam. Tapi aku memang berbakat menjadi anak durhaka. Bukannya mengikuti jejak papi, aku malah ‘menentangnya’ dengan menyenangi music hip-hop. Entah kenapa aku tak pernah bisa mencerna musik dangdut apalagi menyukainya. Sia-sia usia Papi. Sejak aku masih dalam kandungan, Papi selalu mendengarkan lagu-lagu dangdut dengan menempelkan earphone walkman ke perut mami. Tapi tetap saja rama itu tak familiar di kupingku.

Ambisi Papi meracuniku dengan musik kesayangannya berlanjut hingga aku lahir. Menurut Mami, setiap malam sebelum tidur lagu-lagu itu selalu menina bobo-kanku hingga kuterlelap. Dan itu terjadi sampai aku berumur 10 tahun. Sejak duduk di SMP, aku mulai berontak. Genre musik lain mulai menginvasi telingaku, menggeser kedudukan musik dangdut yang memang tak pernah bisa singgah di hatiku. Kalau Papi menonton acara tayangan dangdut di teve, aku malah memilih masuk ke kamar dan menyetel musik hip-hop kesayanganku. Gagal dengan ‘proyek’ pertama, Papi tak lantas putus asa. Ketika Mami mengandung Romi, terapi musik itu lagi-lagi dijalankan. Dan kali ini papi benar-benar berhasil. Romi begitu mencintai dangdut. Papi adalah orang pertama yang mendaftarkan anaknya di sana.

Sekedar info, saking addict-nya dengan musik dangdut, di dinding rumah kami nyaris semuanya ditutupi dengan poster Rhoma Irama. Baik yang sedang memegang gitar berkepala bunting, ataupun lagi bergelayut di batang pohon dengan aktris Yati Octavia. Aku ingat, di masa kecil dulu Papi senang bercerita tentang masa mudanya. Menurut Papi, di daerahnya tak ada orang yang tak menyukai Rhoma Irama. Bahkan masyarakat di sana rela tidak membeli beras asal dapat membeli tiket film Rhoma Irama. Sampai sekarang, Papi juga tak pernah bosan menonton film Rhoma Irama di teve. Melodi Cinta, Camelia, Pengorbanan sampai Satria Bergitar terus menduduki rating teratas di hati Papi. Padahal seingatku film-film itu sudah 13 kali tayang. Sungguh terlalu!

***

Sabtu pagi di rumah Wak Ramli benar-benar membuatku tersiksa, baru melek saja telingaku sudah disuguhi lagu dangdut yang diputar keras di ruang depan. Keperkasaan ipod yang selama ini setia menemaniku tak mampu meredam suara-suara mendayu yang diputar dengan double speaker raksasa. Aku jadi merasa aneh sendiri. Seperti Alien. Kurasa tak ada tempat yang aman untukku di sini. Kalau tak ingat tugas yang akan aku emban besok, mau rasanya aku pulang ke rumah sendirian sekarang. Untung tak lama Bang Dayat, anak kedua Wak Ramli, mengajakku pergi. Ada beberapa peralatan yang harus diambil di rumah tukang rias pengantin untuk resepsi besok, katanya. Tanpa banyak tanya aku mengangguk dengan sukacita. Setidaknya untuk beberapa waktu ke depan telingaku bisa bebas dari virus mematikan. Jarak rumah Wak Ramli ke rumah tukang rias pengantin tak terlalu jauh. Sepuluh menit dengan memakai mobil sudah sampai. Ketika kami masuk, rumah dalam keadaan sepi. Hanya ada ibu perias dengan anak gadisnya yang sedang nonton teve.

Ketika Bang Dayat beranjak ke dalam, memilih peralatan yang mau dibawa, aku menunggu sambil menonton teve bersama cewek itu. Tak lama kami pun berkenalan dan berbasa-basi. Beberapa menit kemudian kami sudah akrab dan terlibat obrolan seru. Namanya Rika. Dia sebaya denganku dan kuliah di semeter lima jurusan Sastra Inggris. Rika tak hanya cantik tapi juga pintar. Wawasannya luas. Apalagi soal musik. Referensi musiknya banyak dari berbagai genre. Sayang waktu terasa cepat berlalu. Bang Dayat kemudian muncul mengajakku pulang. Ketika berlalu aku sadar kalau sepotong hatiku telah tertinggal di sana. Untuk Rika.

***

Malam Minggu aku memberanikan diri main ke rumah Rika. Langkahku berjalan dengan mulus. Rika ada di rumah lagi baca majalah di ruang tamu. Rumahnya dalam keadaan sepi. Ibunya lagi di rumah Wak Ramli menyiapkan segala sesuatu untuk prosesi akad nikah besok pagi. Awalnya aku mau mengajak keluar. Tapi aku bingung mau kemana? Di sini hanya ada hutan, gunung dan sawah. Mau malam mingguan apa hiking, sih? Akhirnya kami putuskan mengobrol di teras depan saja sambil memandang gemerlap bintang dan mendengarkan suara jangkrik yang sibuk bernyanyi.

“Kamu nggak lagi nunggu seseorang, kan?” tanyaku basa basi. Melempar umpan.

“Siapa?”

“Pacar kamu.”

“Aku belum punya pacar,” jawabnya malu-malu.

Aha... tiba-tiba ribuan harap terbentang lebar di sini. Sepertinya episode cintaku akan segera dimulai. Tapi aku tak mau gegabah dengan langsung menembak hatinya. Aku harus lebih mengenal medan kalau mau meraih kemenangan. Ketika Rika masuk ke dalam mengambil minuman, aku juga ikut masuk sambil melihat foto-foto berbagai ukuran tertempel di sana. Tapi ada satu yang menarik perhatianku. Foto seorang pria era 70-an yang lagi memetik gitar di atas panggung.

“Ini siapa?” tanyaku pada Rika ketika dia keluar membawa minuman.

“Almarhum ayahku.”

“Beliau pemusik?”

“Ya. Gitaris sebuah orkes melayu di sini,” jawabnya sambil tersenyum. Perasaanku mulai tak enak.

“Kamu suka dangdut?” tanyaku cemas.

“Suka. Kenapa? Aku tak pernah mengkotak-kotakkan jenis musik. Sama-sama di telingaku,” jawabnya diplomatis.

Glek! Aku merasa tersindir mendengarnya.

***

Rumah Wak Ramli masih ramai ketika aku pulang dari rumah Rika pada pukul 9 malam. Ada yang membantu bikin janur, ada juga yang sekedar menjadi penggembira sembari main kartu dan menghabiskan kue konsumsi. Tapi lagi-lagi gempa melanda telingaku. Konser dadakan digelar. Mereka pada ramai karokean lagu dangdut. Dan para remaja sampai manula bau tanah semua menyumbangkan suaranya. Mending suaranya merdu. Kebanyakan dari mereka bersuara fals dan menyimpang dari kaidah-kaidah bernyanyi yang berlaku. Aku lantas memilih bergabung dengan beberapa anak sebayaku yang lagi membuat janur. Papi berada tak jauh dari tempatku, lesehan main kartu bersama bapak-bapak yang tak henti-hentinya mengisap rokok sembari menyesap kopi gratis.

“Mustahil menyanyi di atas panggung dangdut tanpa menyanyikan lagu-lagu bang haji, karena semua menyukai lagu-lagunya,” ujar Papi pada seorang bapak yang ada di sampingnya. Bapak itu hanya manggut-manggut membenarkan. Mulutnya tak bisa bicara karena lagi disumpal dengan segepok kue apem.

Romi benar-benar menjadi bintang malam ini. Suaranya yang kata Papi mirip Rhoma Irama itu menuai banyak perhatian. Cewek-cewek sontak menoleh padanya. Tentu saja Romi senang. Di sini dia bisa melampiaskan hobinya yang tak pernah tersalurkan selama ini. Romi mendadak ngetop dan menjadi idola baru kampung Wak Ramli. Setelah Romi menyelasaikan lagunya, tiba-tiba Papi maju ke depan. Oh no, rupanya Papi ingin ikutan menyumbang lagu juga. Melihat itu seseorang nyeletuk padaku.

“Wah, kalian sekeluarga benar-benar pecinta dangdut rupanya,” serunya terkagum-kagum.

Aku speechless, tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menyunggingkan senyum hambar. Sebelum Papi beraksi aku sudah menyingkir ke belakang. Aku mau dicap sebagai keluarga pecinta dangdut. Itu fitnah besar. Aku kemudian masuk ke kamar Bang Dayat, bersekutu dengan hape sambil sms-an sama Rika. Tak lupa kupasang earphone, mendengarkan musik dari folder mp3. Namun dari dalam kamar aku masih bisa mendengar suara baritone Papi yang lantang berkumandang.

“Begadang jangan begadaaang... kalau tiada artinya... begadang boleh sajaaaaa, kalau ada artinya....”

Dan tak ada satu pun yang mampu menandingi gelegar suara Papi saat ini.

***

Hari minggu cuaca sangat cerah. Rumah Wak Ramli telah menjelma menjadi gedung yang megah. Tenda-tenda sudah terpasang dengan kokoh. Meja-meja hidangan dan kursi pun telah tersusun rapi. Pelaminan untuk mempelai bagaikan sebuah singgasana di sebuah kerajaan. Di sana telah duduk raja dan ratu sehari yang diapit kedua orang tua masing-masing. Kak Mira dan suaminya terus saja mengumbar senyum pada semua tamu yang datang. Keduanya tampak bahagia bersanding di pelaminan. Senyum mereka kian merekah ketika melihat para undangan menyelipkan amplop di kotak uang. Dari tadi pagi aku dan Romi sudah sibuk mengemban tugas negara dari Papi. Nge-shoot momen-momen bahagia bagi kedua mempelai, mengabdikannya dengan bidikan kamera video dan kamera digital. Makin sore tamu yang datang semakin banyak. Entah sudah berapa ratus orang yang lalu lalang yang gambarnya bisa dilihat di View Finder kamera videoku.

Di sebelah pelaminan ada tenda yang dikhususkan untuk pemain organ tunggal. Bentuknya pun telah disulap menjadi panggung mini lengkap dengan sound system-nya. Dari sanalah kosentrasiku terbelah. Di panggung kecil itu sang pemain organ terus menggempur tamu-tamu tanpa ampun dengan lagu-lagu dangdut yang dilantunkan sama beberapa biduannya. Sebenarnya aku bisa saja fokus pada tugasku tapi tetap saja tidak bisa. Lagu-lagu mendayu itu terus saja bergentayangan di telingaku. Namun kemudian ada yang beda. Tiba-tiba telingaku terusik dengan sebuah intro dari lagu More Than Word-nya Extreme. Aku seperti mendapat suntikan energi mendengar lagu itu. Akan tambah surprise ketika mendengar suara Papi yang berduet dengan seorang cewek. Ada rasa bangga mendengar suara Papi yang (baru kusadari) ternyata merdu. Namun di bagian chorus aransemennya tiba-tiba berubah drastis. Musik yang tadi terdengar elegan kontan berubah menjadi ketukan irama dangdut yang mendayu-dayu. Halah, apa-apaan ini? Aku reflex menoleh dan mengarahkan kamera ke arah panggung mini. Oh my god! Aku sepertinya tak percaya apa yang kulihat. Cewek yang bernyanyi sambil berjoged bersama Papi di sana ternyata Rika. Dan cinta yang kemarin mulai tumbuh di taman hatiku tiba-tiba menjadi layu.


(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 24 tahun X . 13-19 Juni 2011 . Hal 26)

0 komentar:

Posting Komentar