20 Desember 2016

Tangisan di Malam Hari


Tangisan di Malam Hari

By: Yoga T

Tak seperti biasanya, pagi itu, Eci melihat kesibukan di rumah yang berada di seberang rumahnya. Rumah yang telah lama kosong itu kini berpenghuni. Tampak seorang ibu sibuk membersihkan lantai dan ruangan.

“Ma, siapa yang menempati rumah kosong itu?” tanya Eci penasaran.

“Mama dengar-dengar, sih, rumah itu ditempati Pak Anto dan keluarganya. Mereka pindahan dari Yogyakarta,” jawab Mama.  

“Syukurlah. Rumah itu sekarang tidak terlihat angker lagi. Soalnya Eci sering merinding kalau melihat rumah yang kosong,” tutur Eci.

Mama tersenyum geli mendengar perkataan Eci.

Malamnya, Eci tidak bisa tidur. Di keheningan larut malam itu, ia mendengar suara tangisan yang menyayat hati. Suara anak perempuan! Eci menduga suara itu berasal dari rumah tetangga barunya. Padahal setahu Eci, keluarga itu tidak memiliki anak perempuan. Iiih... Eci jadi merinding.   

Ilustrasi: Piet. O


Malam berikutnya, Eci kembali mendengar suara tangisan yang sama. Kali ini terdengar lebih nyaring memecah keheningan. Meskipun penasaran, Eci tidak berani memeriksa asal suara itu. Bagaimana kalau tiba-tiba muncul wajah yang menyeramkan di jendela kamarnya? Membayangkan itu, seketika Eci melompat dari tempat tidurnya dan berlari masuk ke kamar mamanya.

Pagi harinya, Eci bercerita pada mamanya tentang suara-suara yang didengarnya.  

“Tapi, Mama tidak mendengar suara tangisan, kok,” komentar Mama Eci.

“Mama sudah tidur pulas, sih. Suara itu baru terdengar saat sudah larut malam,” ujar Eci dengan wajah tegang.

Dari jendela, Eci lalu memperhatikan rumah tetangganya dengan seksama. Keluarga Pak Anto tidak terlihat. Pintu rumahnya tertutup rapat. Aneh? Pikir Eci.  

Sore harinya, Eci mencari-cari kucing kesayangannya.

“Caty! Caty!” panggilnya.

Sekilas Eci melihat kucingnya masuk ke halaman rumah Pak Anto. Dengan sedikit ragu Eci melangkah membuntutinya. Dari balik pagar tembok, ia melongok-longok ke dalam halaman. Tampak sepi.   

Ketika menengok ke arah samping rumah, Eci melihat ada seorang anak perempuan sedang duduk di kursi. Anehnya anak itu berpakaian serba tertutup. Wajahnya pun memakai cadar. Tentu saja Eci kaget. Namun karena penasaran ia mencoba menegurnya.

“Hai...” sapanya dengan gugup.

Secepat kilat anak itu malah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh. Eci semakin penasaran. Sekarang ia baru tahu kalau di rumah itu ada anak perempuan yang misterius.

Pada kesempatan lain, Eci menghampiri Bu Anto yang sedang menyiram bunga. Bu Anto ramah menyambut Eci. Setelah bercakap beberapa waktu, Eci memberanikan diri bertanya. 


Ilustrasi: Piet. O


“Maaf, ya, Bu Anto. Apa Ibu punya seorang anak perempuan?”

Sejenak Ibu Anto terdiam. Perlahan, ia meletakkan selang airnya di tanah. Matanya menerawang jauh. Matanya mulai berkaca-kaca.  

“Sebelum-nya, ibu mau minta maaf. Ibu memang punya seorang puteri yang kira-kira sebaya denganmu. Namanya Tari. Bukannya Ibu tidak mau memperkenalkan putri Ibu pada para tetangga... Tapi, Tari sekarang sedang mendapat cobaan... ” Bu Anto berhenti.

“Cobaan? Maksud Ibu?” tanya Eci.

“Wajah Tari tersiram minyak goreng panas. Kulit pipinya melepuh. Itu sebabnya dia selalu mengurung diri dan tidak mau bertemu orang. Hampir setiap malam Tari menangis sedih. Sebetulnya Tari akan menjalani operasi. Tapi, mentalnya belum siap,” tutur Bu Anto lagi dengan sedih.

Bu Anto kemudian mengajak Eci masuk ke rumahnya. Di dalam sebuah kamar, Eci mendapati seorang anak perempuan bercadar yang dijumpainya tempo hari. Itulah Tari.

“Mau apa kamu ke sini? Pergi!” bentak tari.

“Ini Eci, tetangga kita. Ia mau berkenalan denganmu, Tari,” terang Bu Anto.

“Hai, aku Eci! Aku ingin berteman denganmu. Ibumu sudah bercerita tentang kamu. Aku turut prihatin. Tapi aku yakin, kamu pasti akan sembuh kembali bila dioperasi. Nanti kita bisa ke sekolah sama-sama,” Eci menjabat tangan Tari. Ia mencoba menghibur dan memberi semangat kepada Tari. 

Ilustrasi: Piet. O


Sejak kejadian itu, Eci selalu bermain ke rumah Tari. Ternyata setelah berkenalan dengan Eci, perlahan-lahan Tari bersemangat lagi. Ia tidak murung, apalagi menangis di malam hari. Eci membujuk Tari supaya mau dioperasi. Sampai akhirnya Tari mau dioperasi. Semua mendoakannya.

Beberapa bulan kemudian, wajah Tari benar-benar sembuh. Wajahnya cantik kembali. Namun yang penting, Tari menjadi anak yang ceria lagi. Eci turut bahagia.

(Sumber: Bobo edisi 36. Tahun XXXVII. 17 Desember 2009. Hal. 26-27)

0 komentar:

Posting Komentar