Janji Amel
By: Lin Mulyati Suryo
Pulang sekolah Amel nampak kesal.
Wajahnya ditekuk. Bibirnya cemberut. Ia melempar tas sekolahnya ke kursi.
Sampai bukunya berantakan di lantai. Mamanya sampai heran melihatnya.
“Lo, ada
apa dengan Tante Lina?” kening Mama mengernyit. “Tante Lina pelit!” gerutu Amel
lagi sambil cemberut. “Tadi ulangan Matematika aku cuma dikasih nilai enam!”
“Kenapa
Tante Lina yang disalahkan, Mel? Mungkin Amel salah mengisi soal-soal ulangan.
Lagi pula, kamu, kan, memang malas belajar Matematika. Katanya kamu ingin
seperti Tante Lina, jadi guru Matematika,” Mama malah menyalahkan Amel.
“Tapi, Ma!
Amel, kan, keponakan kesayangan Tante Lina. Kok, tega, ngasih nilai enam?
Pokoknya, lihat saja! Kalau Tante ke sini, Amel enggak mau ketemu!” kata Amel
sambil berlari masuk ke kamarnya.
Besoknya,
di sekolah, Amel kembali bertemu Tante Lina. Walau sebenarnya masih kesal, tak
mungkin Amel bolos pelajaran Matematika. Namun ia tidak mungkin keluar di jam
pelajaran Matematika. Tante Amel baru beberapa bulan menjadi guru baru di
kelasnya. Ia menggantikan guru Matematika yang sedang cuti melahirkan.
Awalnya
Amel sangat senang Tante Lina menjadi guru di kelasnya. Ia berpikir, pasti
Tante Lina akan selalu memperhatikannya. Selama ini, nilai Matematika Amel
selalu rendah. Itu sebabnya Amel berharap Tante Lina akan memberinya nilai yang
tinggi, Amel, kan, keponakan kesayangan Tante Lina.
Amel kurang
suka pada pelajaran Matematika yang dianggap rumit. Kemarin, seperti biasa, ia
tidak akan belajar untuk menghadapi ulangan Matematika. Ia mengira Tante Lina
pasti tidak akan tega memberinya nilai yang kecil.
“Kamu pasti
tidak belajar dan latihan, ya?” tanya Tante Lina ketika memberikan kertas hasil
ulangan kemarin. Alangkah terkejutnya Amel ketika melihat nilai enam di
kertasnya. Ah, tega sekali Tante Lina.
Amel masih
kesal pada tantenya itu. Sore itu, ketika Tante Lina berkunjung di rumahnya,
Amel tak mau keluar dari kamarnya. Setelah Mama memaksanya keluar kamar,
barulah ia menemui Tante Lina di ruang tamu.
llustrasi: Dhian |
“Sini Amel,
kita bicara, ya,” Tante Lina tersenyum sambil menggamit tangan Amel. Mereka
duduk bersebelahan di kursi.
“Iya, Bu!” jawab
Amel pendek.
“Lo, kok,
Tante dipanggil Ibu?” Tante Lina tersenyum manis. Jemari tangannya kini
mengelus rambut Amel dengan sayang.
“Biasanya
juga Amel panggil ibu di sekolah,” ucap Amel ketus.
Kalau di
rumah, panggil Tante aja, deh, kata
Tante Lina lagi sambil tersenyum. “Oh iya! Kata Mama, kamu marah sama Tante,
ya, karena nilai ulanganmu kecil?” Tante Lina kini menatap wajah Amel yang
merah.
Ah. Mengapa
Mama harus cerita sama Tante Lina sih? Gerutu Amel di dalam hati.
“Amel tidak
marah, kok. Cuma kesal...” jawab Amel sambil menunduk.
“Amel,
Tante sayang banget sama Amel. Tapi untuk masalah nilai, Tante tidak bisa
menolong Amel. Sebagai guru, Tante harus bersikap adil. Kalau Amel ingin
mendapat nilai bagus, ya, harus rajin belajar,” Tante Lina kembali mengelus
rambut Amel.
“Tapi
Tante...” Amel menghela napas dalam-dalam.
“Amel.
Tante tidak boleh membeda-bedakan murid. Nanti orang lain akan berprasangka
buruk. Bisa saja mereka mengira Amel mendapat nilai bagus karena Amel adalah
keponakan Tante. Makanya, tunjukkan pada teman-teman sekelasmu kalau kamu
mendapat nilai bagus karena rajin belajar,” kata Tante Lina panjang lebar.
“Tapi
Tante, belajar Matematika itu sangat sulit...” Amel mengeluh.
“Tidak
juga. Asalkan Amel mau belajar menyukai pelajaran Matematika itu. Bila sudah
suka, Amel pasti jadi semangat untuk belajar. Dan lama-lama, Amel jadi pintar
Matematika,” Tante Lina memberi semangat.
Amel
tersenyum mulai mendapat harapan.
“Kamu bisa
ke rumah Tante tiga kali seminggu. Nanti Tante akan mengajari Amel sampai Amel
pintar dan mahir Matematika,...” kata Tante Lina lagi.
“Benar,
Tante?” mata Amel semakin berbinar bahagia.
“Ya. Tapi
Amel janji ya, untuk tetap belajar sendiri juga di rumah!”
“Ya, Tante,
Amel janji! Lihat saja, nanti Amel pasti jadi jagoan Matematika,” kata Amel
lagi sambil tertawa senang.
“Jadi,
sekarang Amel tidak marah lagi sama Tante, kan?” Tante Lina tertawa.
“Enggak,
dong, Tante. Maafkan Amel, ya, Tante,” kata Amel lagi sambil memeluk tantenya.
Amel betul-betul menyesal telah kesal pada tantenya. Padahal tantenya yang
pintar itu ternyata sangaaat baik! Aku akan rajin belajar agar bisa menjadi
pintar seperti Tante Lina. Itulah janji Amel di dalam hati!
Ilustrasi: Dhian |
(Sumber: Bobo edisi 36. Tahun XXXVII. 17
Desember 2009. Hal. 18-19)
0 komentar:
Posting Komentar