20 Desember 2016

Janji Amel


Janji Amel

By: Lin Mulyati Suryo

Pulang sekolah Amel nampak kesal. Wajahnya ditekuk. Bibirnya cemberut. Ia melempar tas sekolahnya ke kursi. Sampai bukunya berantakan di lantai. Mamanya sampai heran melihatnya.

“Tante Lina jahat, Ma!” gerutu Amel kesal.


Ilustrasi: Dhian


“Lo, ada apa dengan Tante Lina?” kening Mama mengernyit. “Tante Lina pelit!” gerutu Amel lagi sambil cemberut. “Tadi ulangan Matematika aku cuma dikasih nilai enam!”

“Kenapa Tante Lina yang disalahkan, Mel? Mungkin Amel salah mengisi soal-soal ulangan. Lagi pula, kamu, kan, memang malas belajar Matematika. Katanya kamu ingin seperti Tante Lina, jadi guru Matematika,” Mama malah menyalahkan Amel.

“Tapi, Ma! Amel, kan, keponakan kesayangan Tante Lina. Kok, tega, ngasih nilai enam? Pokoknya, lihat saja! Kalau Tante ke sini, Amel enggak mau ketemu!” kata Amel sambil berlari masuk ke kamarnya.

Besoknya, di sekolah, Amel kembali bertemu Tante Lina. Walau sebenarnya masih kesal, tak mungkin Amel bolos pelajaran Matematika. Namun ia tidak mungkin keluar di jam pelajaran Matematika. Tante Amel baru beberapa bulan menjadi guru baru di kelasnya. Ia menggantikan guru Matematika yang sedang cuti melahirkan.  

Awalnya Amel sangat senang Tante Lina menjadi guru di kelasnya. Ia berpikir, pasti Tante Lina akan selalu memperhatikannya. Selama ini, nilai Matematika Amel selalu rendah. Itu sebabnya Amel berharap Tante Lina akan memberinya nilai yang tinggi, Amel, kan, keponakan kesayangan Tante Lina.

Amel kurang suka pada pelajaran Matematika yang dianggap rumit. Kemarin, seperti biasa, ia tidak akan belajar untuk menghadapi ulangan Matematika. Ia mengira Tante Lina pasti tidak akan tega memberinya nilai yang kecil.  

“Kamu pasti tidak belajar dan latihan, ya?” tanya Tante Lina ketika memberikan kertas hasil ulangan kemarin. Alangkah terkejutnya Amel ketika melihat nilai enam di kertasnya. Ah, tega sekali Tante Lina.

Amel masih kesal pada tantenya itu. Sore itu, ketika Tante Lina berkunjung di rumahnya, Amel tak mau keluar dari kamarnya. Setelah Mama memaksanya keluar kamar, barulah ia menemui Tante Lina di ruang tamu.


llustrasi: Dhian


“Sini Amel, kita bicara, ya,” Tante Lina tersenyum sambil menggamit tangan Amel. Mereka duduk bersebelahan di kursi.  

“Iya, Bu!” jawab Amel pendek.

“Lo, kok, Tante dipanggil Ibu?” Tante Lina tersenyum manis. Jemari tangannya kini mengelus rambut Amel dengan sayang.

“Biasanya juga Amel panggil ibu di sekolah,” ucap Amel ketus.  

Kalau di rumah, panggil Tante aja, deh,  kata Tante Lina lagi sambil tersenyum. “Oh iya! Kata Mama, kamu marah sama Tante, ya, karena nilai ulanganmu kecil?” Tante Lina kini menatap wajah Amel yang merah.

Ah. Mengapa Mama harus cerita sama Tante Lina sih? Gerutu Amel di dalam hati.

“Amel tidak marah, kok. Cuma kesal...” jawab Amel sambil menunduk.

“Amel, Tante sayang banget sama Amel. Tapi untuk masalah nilai, Tante tidak bisa menolong Amel. Sebagai guru, Tante harus bersikap adil. Kalau Amel ingin mendapat nilai bagus, ya, harus rajin belajar,” Tante Lina kembali mengelus rambut Amel.

“Tapi Tante...” Amel menghela napas dalam-dalam.

“Amel. Tante tidak boleh membeda-bedakan murid. Nanti orang lain akan berprasangka buruk. Bisa saja mereka mengira Amel mendapat nilai bagus karena Amel adalah keponakan Tante. Makanya, tunjukkan pada teman-teman sekelasmu kalau kamu mendapat nilai bagus karena rajin belajar,” kata Tante Lina panjang lebar.  

“Tapi Tante, belajar Matematika itu sangat sulit...” Amel mengeluh.

“Tidak juga. Asalkan Amel mau belajar menyukai pelajaran Matematika itu. Bila sudah suka, Amel pasti jadi semangat untuk belajar. Dan lama-lama, Amel jadi pintar Matematika,” Tante Lina memberi semangat.

Amel tersenyum mulai mendapat harapan.

“Kamu bisa ke rumah Tante tiga kali seminggu. Nanti Tante akan mengajari Amel sampai Amel pintar dan mahir Matematika,...” kata Tante Lina lagi.

“Benar, Tante?” mata Amel semakin berbinar bahagia.

“Ya. Tapi Amel janji ya, untuk tetap belajar sendiri juga di rumah!”

“Ya, Tante, Amel janji! Lihat saja, nanti Amel pasti jadi jagoan Matematika,” kata Amel lagi sambil tertawa senang.

“Jadi, sekarang Amel tidak marah lagi sama Tante, kan?” Tante Lina tertawa.

“Enggak, dong, Tante. Maafkan Amel, ya, Tante,” kata Amel lagi sambil memeluk tantenya. Amel betul-betul menyesal telah kesal pada tantenya. Padahal tantenya yang pintar itu ternyata sangaaat baik! Aku akan rajin belajar agar bisa menjadi pintar seperti Tante Lina. Itulah janji Amel di dalam hati!
Ilustrasi: Dhian


(Sumber: Bobo edisi 36. Tahun XXXVII. 17 Desember 2009. Hal. 18-19)

0 komentar:

Posting Komentar