17 September 2019

Sinyal-Sinyal Kereta Api



Suatu hari Tut Tut main ke stasiun. Ia ingin tahu rambu-rambu lalu lintas kereta api. Di sana, ia berbincang-bincang dengan Pak Kepala Stasiun. Kata Pak Kepala Stasiun, yang paling penting dalam perjalanan kereta api adalah patuh pada sinyal. Inilah hasil bincang-bincang mereka.

Sinyal Penunjuk Masinis


Kalau jalan raya punya lampu lalu lintas atau traffic light, jalan kereta api punya sinyal. Yup! Sinyal itu sama dengan lampu lalu lintas. Warna yang digunakan juga sama. Merah, kuning, dan hijau. Artinya juga sama. Merah untuk berhenti, kuning hati-hati, dan hijau jalan.

Nah, saat mengemudikan kereta api, masinis harus memperhatikan betul warna sinyal yang ada di jalan. Karena kereta hanya punya satu jalan, jadi tidak ada istilah saling menyalip. Makanya, sinya-sinyal lampu di jalan harus betul-betul dipatuhi. Supaya tidak terjadi tabrakan beruntun.

Menyala Otomatis
Sinyal-sinyal ini menyala dan mengatur lajunya kereta dengan otomatis. Sinyal itu terpasang di semua petak jalan dan petak blok.


Apa, sih, maksudnya petak jalan? Petak jalan adalah jalan kereta yang berada di antara 2 stasiun. Nah, satu petak jalan terbagi lagi dalam beberapa petak blok. Jadi, petak blok ini jauh lebih pendek dari petak jalan. Dalam aturan perkeretapian, tidak boleh ada dua kereta dalam satu blok.


Begini contohnya, kalau ada kereta api yang tertahan atau berhenti di salah satu blok, maka dengan otomatis kereta yang ada di blok belakangnya harus berhenti. Secara otomatis pula, lampu sinyal di blok belakangnya akan menyala merah.


Di blok belakangnya lagi, lampu akan kuning. Sehingga kereta api yang di belakangnya tidak akan menabrak kereta yang sedang berhenti di depannya.

Tidak Bisa Berangkat Tanpa Semboyan
Selain sinyal, semboyan juga penting di dunia kereta api. Semboyan itu rambu-rambu lalu lintas kereta api. Rambu-rambu atau semboyan kereta dilambankan dengan angka. Seperti semboyan 40, 35, 7, 2, dan seterusnya.

Hmm, untuk yang suka naik kereta pasti pernah lihat semboyan 40. Yang mana, ya? Itu, tuh, saat kereta akan berangkat, ada petugas kereta yang mengangkat papan bulat hijau di depan kereta. Tanda itu artinya semboyan 40, kondektur harus menjawab dengan membunyikan peluit. Tuuuit..... Suara peluit itu namanya semboyan 41. Nah, kalau masinis sudah siap, maka ia akan menekan klakson kereta “teeeet..”

Suara klaskon itu namanya semboyan 35. Sahut menyahut antar semboyan itu menandakan, kereta akan segara diberangkatkan.

O ya, untuk kereta jarak dekat, semboyan 40 bisa diganti dengan semboyan suara. Begini misalnya, “Kereta jurusan Bekasi aman silakan berangkat,” semboyan suara seperti itu juga dibalas dengan semboyan 35 oleh masinis.

Tuuuit..... “Eh, itu suara peluit kondektur. Sebentar lagi pasti bunyi teeet... Berarti ada kereta yang mau berangkat, ya, Pak,” ujar Tut Tut pada Pak Kepala Stasiun. Aaah... Tut Tut sekarang tahu arti suara peluit dan klakson di stasiun.

(Sumber: Bobo Edisi 23. Tahun XXXVII. 17 September 2009. Hal. 30-31)
Foto: Ricky Martin. Teks: Yanti. Ilustrasi: Iwan D.

Bobo - Menjaga Cimut




Bapak dan Emak sedang pergi. Anak-anak disuruh menjaga Cimut. “Oooh, pekerjaan paling melelahkan di dunia,” keluh Upik. “Cimut anak manis,” bela Bobo.


Upik ingin memberi Cimut permen supaya tidak rewel. Tetapi, Upik tidak menemukan permennya. “Ya, ampun, Cimut makan semua permenku!” Upik marah.


Cimut menangis dimarahi Upik. “Jangan galak-galak, Pik! Cimut takut,” tegur Bobo. “Cimut masih kecil. Dia belum tahu kalau tidak boleh makan banyak permen.”
 

Bobo meminjamkan mobil-mobilannya supaya Cimut tenang. Eh, Cimut merusaknya. Bobo kesal, lalu memarahi Cimut. Lagi-lagi Cimut menangis.


“Kalian memang tidak bisa menjaga Cimut!” omel Coreng. Cimut diam setelah bermain lari-larian bersama Coreng. Cimut tertawa mengejar Coreng. Coreng senang.


Lama-lama, Coreng capek. Tetapi, Cimut menariknya, mengajaknya lari-lari. “Aduuuh, aku capek, Cimut!” keluh Coreng. Cimut malah menangis.


“Ssst, kita pura-pura tidur saja.” Usul Bobo memejamkan mata. Coreng dan Upik berbaring. Melihat saudara-saudaranya tidur, Cimut mengikuti.


Ketika Bapak dan Emak Pulang, semua anak tertidur. “Mereka pasti capek habis bermain seharian,” kata Bapak. “Anak-anak yang manis,” puji Emak. (Vero)

(Sumber: Bobo Edisi 23. Tahun XXXVII. 17 September 2009. Hal. 4-5)
Ilustrasi: Rudi, warna: Agus

Bona Gajah Kecil Berbelalai Panjang - Pohon Pita





Di depan toko aksesoris, Yaya menangis kencang. Wawa kakaknya, berusaha menenangkannya. “Yaya kenapa, Wa?” tanya Rong Rong.


“Yaya minta dibelikan pita! Padahal, pita koleksinya sudah banyak sekali!” keluh Wawa. “Hei, mau dengar dongeng pohon pita?” bujuk Rong Rong pada Yaya.


Yaya tertarik dengan bujukan Rong Rong. Rong Rong pun mendongeng tentang pohon pita. Tiba-tiba, yaya kembali menangis. “Aku mau pohon pitaaa!”


“Pohon pita cuma ada di dongeng!” jelas Wawa. Yaya tak mau tahu. Rong Rong ada Wawa jadi bingung. Untung Bona datang. Aha. Rong Rong dapat Ide!


Syuuut... Bona membuat pohon pita dengan belalainya. “Horeee!” Yaya bersorak gembira. “Boleh kupanjat pohon pita ini?” tanya Yaya. “Silakan!” jawab Bona. Yaya pun memanjat pohon itu dengan gembira. “Terima kasih, Bona, Rong Rong!” ucap Wawa lega. (Dwi)

(Sumber: Bobo Edisi 23. Tahun XXXVII. 17 September 2009. Hal. 51)
Ilustrasi: WAN’D Studio

Ceritera Dari Negeri Dongeng - Ulang Tahun Bintang Malam




Bintang Malam berulang tahun. Oki dan Nirmala diundang ke pestanya di istana. Anehnya, wajah Bintang Malam tampak murung. Padahal, tamu yang datang cukup banyak. Ada yang membawa balon-balon berwarna perak dan emas. Ada pula yang membawa keranjang-keranjang berisi cokelat dan permen.


“Aku ingin mengajak semua tamu terbang dengan karpet terbang. Sayang karpet terbangnya dipakai Ayah ke negeri tetangga. Dan Ayah belum pulang,” keluh Bintang Malam pada Oki.


Oki menceritakan itu pada Nirmala. “Apa yang harus kita lakukan, ya, untuk menghibur Bintang Malam?” Nirmala berpikir. Saat itu ia melihat-lihat hadiah Bintang Malam.


“Bintang Malam, Oki, aku ada ide!” seru Nirmala. “cepat keluarkan permen dan cokelat dari keranjang. Lalu ikat balon-balon ini di keranjang!” Oki dan Bintang Malam segera membantu.


Keranjang-keranjang yang sudah teriat balon itu lalu dibawa ke halaman. Nirmala segera menyulap, “Sim salabim!” Waaah, balon dan keranjang menjadi besar.


“Tamu-tamuku, ayo cepat naik! Kita akan terbang dengan keranjang terbang!” seru Bintang Malam girang. Tak lama kemudian, tampak keranjang-keranjang terbang di angkasa. “Ulang tahunmu hebat sekali, Bintang Malam!” puji tamu-tamu. “Ini karena Nirmala dan Oki. Terima kasih, ya!” ucap Bintang Malam gembira. (Vanda P)

(Sumber: Bobo Edisi 23. Tahun XXXVII. 17 September 2009. Hal. 42-43)
Ilustrasi: WAND Studio

Paman Kikuk, Husin dan Asta - Akrobat Udara




Paman Kikuk dan Husin bertamasya ke Puncak. Mereka berjalan-jalan menghirup udara segar di perkebunan teh. “Paman, lihat itu!” seru Husin sambil menunjuk langit.


“Biasa aja lagi, Sin! Cuma paralayang, gitu. Aku juga bisa,” tukas Paman Kikuk ketus. Husin melengos mendengar komentar pamannya. Paman Kikuk lalu mengajak Husin ke tempat penyewaan paralayang.


“Sin, perhatikan bagaimana ahli akrobat udara ini beraksi, ya,” sumbar Paman Kikuk. Tak lama kemudian, Paman Kikuk sudah meluncur bersama seorang instruktur.


Paralayang itu bergerak melayang tenang. Namun, pada saat paralayang bergerak menjauh ke tengah lembah, Paman Kikuk merasa ngeri melihat ke bawah. Paman Kikuk mulai panik.


Begitu paniknya, sampai-sampai Paman Kikuk merasa dirinya akan jatuh. Dia mulai berteriak-teriak dan meronta hendak berpegangan pada instruktur.


Paralayang Paman Kikuk terombang-ambing tak terkendali. Husin dan orang-orang yang melihatnya tampak cemas. Paman Kikuk terus meronta dan berteriak panik.


Paralayang Paman Kikuk bergerak tak beraturan dan menukik ke arah pepohonan. Paman Kikuk semakin ketakutan dan meronta lebih kuat lagi.

Akhirnya paralayang itu mendarat darurat di dahan sebuah pohon. Orang-orang segera berlarian menuju pohon itu dan berusaha menolong Paman Kikuk.

(Sumber: Bobo Edisi 23. Tahun XXXVII. 17 September 2009. Hal. 24-25)
Ilustrasi: Sabariman R.