19 November 2017

Jejak Hadiah Ayah


Jejak Hadiah Ayah

By: Ribkaria Lumban Gaol

Teeet!! Bel pulang sekolah berbunyi. Aku langsung merapikan tas dan segera pulang. Dalam perjalanan, aku sibuk menerka-nerka apa yang telah disiapkan Ayah untukku. Karena hari ini aku berulang tahun.

Sesampainya di rumah, aku mendapati suasana rumah sepi seperti biasanya. Aku memang hanya tinggal bertiga dengan Mama dan si Mbok, pembantu setia keluargaku sejak aku masih bayi.

Ayahku seorang nakhoda kapal. Beliau jarang pulang ke rumah. Akan tetapi, Ayah tidak pernah lupa memberi kabar kepadaku dan Mama. Ayah juga selalu mengirim hadiah setiap aku berulang tahun.

Tahun ini, adalah tahun ketiga kau merayakan ulang tahun tanpa Ayah. Sebenarnya, aku cuma berharap bisa merayakan ulang tahunku yang kesepuluh ini bersama Ayah di sampingku.

   “Mikha,” suara Mama yang lembut tiba-tiba memanggilku. “Ini surat dari Ayah,” lanjut Mama sambil menyodorkan surat berwarna biru tua. 

Ilustrasi: Jali

Aku bingung. Apakah tahun ini tidak ada kado untukku seperti tahun-tahun sebelumnya? Dengan perasaan sedih bercampur heran, aku membaca surat dari Ayah perlahan.

Hai, bajak laut! Temukanlah harta karun yang tersebar di lautan Nusantara! Ikuti setiap petunjuk, gunakan kecerdasan, dan kalahkan perahu yang menghadang! 

Ilustrasi: Jali

Aku hanya bengong membacanya. Apa maksud Ayah dengan bajak laut? Apakah ia sedang ingin bermain bajak laut denganku? Dari dulu, itu memang permainan favoritku dengan Ayah. Tetapi, Ayah, kan, sedang berlayar. Dengan kening mengernyit, kuteruskan juga membaca surat Ayah ke baris berikutnya. Di situ tertulis: Harta karun yang pertama ada di tempat yang digunakan suku Lamalera untuk memburu paus.

Aku berpikir sejenak. Detik berikutnya, aku segera berlari ke kamarku di lantai dua dan mencari buku tentang perahu yang dulu pernah dibelikan Ayah. Ternyata jawabannya: perahu pledang! Ya, perahu pledang adalah perahu suku Lamalera untuk memburu paus.

Ilustrasi: Jali

 Aku buru-buru mencari miniatur perahu pledang di koleksi perahu miniaturku. Begitu mendapat perahu itu, aku menemukan sebuah kunci. Aku langsung bertanya-tanya. Ini kunci apa, ya? Oh, iya! Ini, kan, kunci laci Ayah.

Segera saja kubuka laci Ayah sambil membayangkan kado yang sudah menungguku. Nafasku terengah-engah karena berlarian ke sana ke mari. Aku sudah tidak sabar membuka kadoku. Klik! Laci Ayah terbuka. Ternyata yang menyambutku hanyalah surat yang berisi tulisan tangan Ayah.

Sudah merasa puas? Tidak, pencarian baru dimulai. Tetaplah semangat dan jangan menyerah sampai jawaban terungkap. 

Aku merasa tertantang membacanya. Ayah benar, aku merasa gampang puas dan mudah lengah.

Aku pun mengikuti saran Ayah untuk membaca petunjuk berikutnya. Lestarikanlah aku, sang pejuang yang ikut berperang dengan masyarakat Banda.

Tak perlu pikir panjang. Aku langsung tahu kalau jawabannya pasti perahu kora-kora yang jadi kebanggaan masyarakat Banda. Masalahnya, aku tidak punya koleksi perahu mainan kora-kora. Dari kamar kerja Ayah, aku kembali ke kamarku. Aku sudah lelah dan kehilangan semangat.

Dengan sedih, kulihat foto kesayanganku bersama Ayah dan mama di dinding itu. Itu adalah foto sekeluarga ketika di Dufan. Latar belakang foto itu adalah wahana Kora-Kora. Ya, ampun! Pasti itu jawaban berikutnya! Segera kubalik foto itu. Ternyata, di baliknya tertempel sebuah kunci lagi.

Aku bingung. Ini kunci apa, ya? Sambil berpikir, kulihat jam di meja belajarku. Wah! Sudah jam empat sore rupanya. Nanti saja kutanya pada Mama tentang kunci ini. Lebih baik aku mandi dulu biar segar.

Selesai mandi dan berpakaian, aku mencari Mama utnuk menanyakan kunci misterius itu. Tetapi, kok, rumahku kosong, ya? Walau kupanggil Mama dan si Mbok, tetap tak ada yang menyahut. Setengah jam kemudian, aku memutuskan untuk mencari di kebun belakang, siapa tahu mereka ada di sana. Aku genggam kunci rumahku erat-erat. Aku agak takut juga sebenarnya tinggal sendirian. Saat akan membuka pintu ke kebun belakang, pintunya terkunci. Aneh. Pintu kebun, kan, tidak pernah dikunci. Mana kuncinya, ya?

Sebuah ide terlintas dibenakku. Kenapa tidak kubuka saja dengan kunci misterius? Dengan deg-degan, aku pun membuka kunci, klik! Ternyata berhasil! Pelan-pelan, kuputar gagang pintu dan membuka ke arah luar.

Ilustrasi: Jali

Tiba-tiba, terdengar suara orang banyak berteriak,

“Selamat ulang tahun!!”

Aku hanya melongo dan terkejut. Kebun belakang telah disulap menjadi arena pesta penuh balon dan pita. Selain itu, di kebun sudah penuh dengan teman-teman sekelasku, Mama, dan si Mbok. Itu Ayahku! Aku segera berlari memeluk Ayah dengan gembira.

“Selamat ulang tahun, Nak!” kata Ayahku bangga. “Kau telah berhasil memecahkan setiap teka-teki. Nah, inilah harta karunmu, hadiah ulang tahun dari Ayah dan Mama,” lanjutnya sambil memberi hadiah besar sekali.

Aku tersenyum lebar. Menurutku, inilah hari ulang tahunku yang paling membahagiakan!

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 32-33)

Cahaya Lemon


Cahaya Lemon

By: Maudy Rizqi Maghfirlana

Dimas baru saja pulang dari sekolah. Siang itu, sangatlah terik. Dimas memutuskan untuk pulang cepat. Saat ia membuka pagar, sepucuk surat terselip di antara pagar rumahnya. Surat tersebut ditujukan kepada dirinya. Tak ada alamat, juga nama pengirim. Amplop surat tersebut sedikit lebih besar dari amplop yang biasa beredar. Dimas membawanya masuk ke rumah. Rumah Dimas kosong. Ibunya sedang menjemput adiknya di sekolah. Mbak Iyah, pembantunya, mungkin ke warung, pikir Dimas. Setelah ganti baju dan makan siang, Dimas masuk ke kamarnya dan membuka surat tadi.

Ilustrasi: Xiu

Amplop tersebut berisi dua helai kertas. Kertas pertama berisi tulisan dan kertas kedua... kosong! Kertas pertama bertuliskan:

Apa kabar Dimas? Sudah 2 tahun kita tidak bertemu. Keluargaku memutuskan kembali ke kota, tetapi rumahku berbeda dengan yang dulu. Aku ingin sekali bertemu denganmu, maka kunjungilah aku.

Tertanda: teman percobaan.

Di pojok surat terdapat note yang bertuliskan: Kertas kosong yang kau terima adalah peta menuju rumahku. Lakukan percobaan cahaya lemon, maka peta tersebut akan terbaca.

Dimas masih belum mengerti isi dari note tersebut. Ia juga masih mencari nama si pengirim. Dimas mencoba mengingat-ingat nama teman-temannya dua tahun yang lalu, saat ia masih kelas 4 SD. Ia masih belum menemukan siapakah ‘teman percobaan’ tersebut. Dimas pun bertanya-tanya, apakah percobaan lemon itu?

  Saat berpikir tentang percobaan cahaya lemon, tiba-tiba Dimas melihat ke atas meja belajarnya. Terdapat sebuah pigura kecil di atasnya. Dalam pigura itu, terdapat foto dua anak laki-laki sedang berangkulan. Mereka tampak akrab sekali.

Mungkinkah dia ‘teman percobaan’ tersebut? Dimas bertanya dalam hati.

 Mungkinkah dia pindah ke kota ini lagi? Yang tahu tentang percobaan cahaya lemonn adalah dia... tidak salah lagi! Dimas mulai ingat, bagaimana cara membaca peta di atas kertas kosong tersebut. Dimas tersenyum senang.

Saat ini, hari masih siang. Tidak mungkin surat tersebut dapat dibaca. Masih terlalu banyak cahaya yang masuk. Alat pembaca peta tersebut tidak akan berguna. Dimas menunggu sampai malam menjelang.

Matahari mulai terbenam. Orang tua Dimas telah berada di rumah, begitu pula adiknya. Setelah makan malam, Dimas bergegas masuk ke kamarnya dan mematikan lampu kamar. Kini, kamar itu gelap gulita. Dimas berjalan menuju meja belajarnya. Ia kemudian menyalakan lampu belajarnya. Dimas mengambil kertas kosong yang tadi disimpannya. Perlahan, Dimas mendekatkan kertas kosong tersebut ke arah cahaya lampu belajarnya.

Ilustrasi: Xiu

Tiba-tiba, perlahan, muncul goresan-goresan di kertas kosong tersebut. Semakin dekat dengan sinar lampu, goresan-goresan semakin terlihat jelas. Setelah kertas kosong cukup dekat dengan lampu, goresan-goresan itu membentuk sebuah peta. Dimas tersenyum puas dengan hasil yang ia kerjakan.

“Percobaan cahaya lemon. Air lemon yang dituliskan atau digoreskan di atas kertas, akan terbaca bila didekatkan ke arah lampu,” Dimas bergumam.

Di peta tersebut, Dimas melihat tanda silang yang menunjukkan rumah si ‘teman percobaan’.

“Rupanya, rumahnya tidak jauh dari sini. Cukup dengan bersepeda, aku bisa sampai di rumahnya. Baiklah, hari Minggu besok, aku akan mendatanginya,” gumam Dimas lagi.

Dimas segera menyimpan kembali kertas tersebut. Saat ditarik dari cahaya lampu, peta kembali terlihat samar dan akhirnya menghilang. Dimas tidak sabar menunggu sampai keesokan hari. Ia akan bertemu dengan sahabat lamanya lagi.

Matahari baru saja memendarkan cahaya merahnya. Dimas bersepeda menuju tempat yang ditunjukkan peta yang ia baca tadi malam. Beberapa gang dan belokan telah dilewatinya. Sekarang, Dimas telah berdiri di depan sebuah rumah sederhana yang cukup asri. Jantungnya berdegup keras. Ia sudah tidak sabar melihat sahabat yang pernah menemaninya melakukan berbagai percobaan.

Dimas memencet bel di samping pagar. Tak berapa lama, pintu rumah terbuka. Muncul seorang anak laki-laki sebayanya berlari ke arahnya. Anak laki-laki tersebut sama girangnya dengan Dimas. Mereka saling berpelukan.

Ilustrasi: Xiu

“Tak kusangka kamu akan mengunjungiku secepat ini,” kata anak laki-laki tersebut.

“Pesan yang kamu tinggalkan terlalu mudah untuk aku pecahkan, Irfan. Bagaimana kabarmu?” tanya Dimas.

Anak laki-laki tersebut bernama Irfan. Dulu, dia dan Dimas bersahabat. Tetapi, Irfan harus pindah sekolah saat kelas 4 SD.

“Rupanya, kamu masih ingat dengan percobaan cahaya lemon yang sering kita lakukan dulu. Aku baik-baik saja, dan aku akan menetap di kota ini. Aku akan menemanimu lagi. Kita akan terus melakukan percobaan.”

Kedua sahabat tersebut tertawa senang dan saling berangkulan. Mereka menuju ke dalam rumah untuk saling bertukar cerita.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 46-47)

Nyanyian Katrina

Nyanyian Katrina

By: Dian Kristiani

Katrina adalah seorang gadis kecil, putri bangsawan yang kaya. Ia gemar sekali bernyanyi. Ia juga suka bermain gitar. Permainan gitarnya indah sekali. Sayang, nyanyian Katrina tidak seindah permainan gitarnya.

Ilustrasi: Melani

Orang-orang menjuluki Katrina dengan sebutan “Si Suara Gagak”. Sebab, suara Katrina lebih mirip teriakan burung gagak. Mereka selalu menutup telinga saat mendengar Katrina bernyanyi. Namun, mereka tak berani melakukannya di depan Katrina. Mereka takut Katrina akan marah. Katrina bahkan sudah tiga kali memecat pengasuhnya karena para pengasuh itu berkata jujur.

“Sebaiknya, kau jangan bernyanyi terlalu keras. Nanti orang-orang akan mengejekmu,” kata Nyonya Linda, pengasuh pertama.

“Permainan gitarmu sungguh indah, sayang suaramu tidak seindah itu,” kata Nyonya Grace, pengasuh kedua.

“Apa? Kau ingin menghibur korban banjir dengan nyanyian? Sebaiknya jangan Katrina, atau mereka akan semakin merana,” kata Nyonya Jane, pengasuh ketiga.

Ilustrasi: Melani

Akhirnya, tidak ada lagi yang berani melamar menjadi pengasuh Katrina. Ibu Katrina pusing memikirkannya. Lagi-lagi, ia harus memasang pengumuman lowongan kerja sebagai pengasuh Katrina.

Nun jauh di desa terpencil, tinggallah seorang wanita tua bernama Nyonya Edelweiss. Dulu, Nyonya Edelweiss adalah seorang guru musik. Ia juga pandai menyanyi. Nyonya Edelweiss mendengar tentang lowongan kerja itu. Ia tertarik untuk melamar. Setelah menjalankan serangkaian tes, Nyonya Edelweiss pun resmi menjadi pengasuh Katrina yang baru.

Katrina senang mendapat pengasuh yang juga suka bermain musik dan bernyanyi. Katrina lalu mengajak Nyonya Edelweiss berlatih musik di taman. Saat Katrina mulai bernyanyi, Nyonya Edelweiss terkejut. Itu suara terburuk yang pernah ia dengar.

“Bagaimana Bu Edelweiss, apakah suaraku sudah cukup bagus untuk lagu ini?” tanya Katrina.

Nyonya Edelweiss diam, ia tak menjawab. Ia malah menyuruh Katrina untuk memainkan gitarnya dan mengiringinya bernyanyi.

“Wah, suaramu sungguh merdu, Bu Edelweiss. Bagaimana jika kita berduet di pesta tahun baru?”

Nyonya Edelweiss tersenyum dan menjawab.

“Boleh saja. Untuk itu, kita harus rajin berlatih. Akan lebih baik jika kita berlatih di dekat gua di atas bukit di sana. Di sana, suasananya sunyi dan tidak akan ada yang mengganggu kita.”

Keesokan harinya, Nyonya Edelweiss mengajak Katrina menaiki bukit. Di atas bukit itu, terdapat banyak gua. Katrina amat senang. Latihan pun dimulai.

Nyonya Edelweiss meminta Katrina untuk bernyanyi sendiri. Katrina pun dengan percaya diri mulai bernyanyi. Tak lupa, ia memetik senar gitarnya.

Baru saja ia mendendangkan satu baris syair, terdengar suara yang buruk di telinganya. Suara itu mirip suara burung gagak. Katrina menajamkan telinganya, namun suara itu telah hilang. Ia bernyanyi lagi.... Heran, lagi-lagi suara itu muncul. Setiap kali Katrina bernyanyi, suara itu terus muncul menirukan nyanyiannya! Katrina mulai jengkel. Ia berteriak.

“Hei... siapa yang menyanyikan laguku?”

“Hei... siapa yang menyanyikan laguku?” terdengar suara yang sama menyahutnya.

Ilustrasi: Melani

Nyonya Edelweiss meletakkan keranjang bunganya. Ia mendekati Katrina dan duduk di sebelahnya. Dengan hati-hati, Nyonya Edelweiss berkata, “Tidak ada yang menirukanmu, Katrina. Suara yang kau dengar tadi adalah suaramu sendiri.”

“Suaraku sendiri? Tak mungkin! Suara yang kudengar tadi lebih mirip suara burung gagak. Bukankah suaraku indah?” jawab Katrina marah.

Nyonya Edelweiss kemudian menggandeng tangan Katrina dan mengajaknya mendekati gua. Ia menyuruh Katrina kembali berteriak. Lagi-lagi suara itu bergema menirukannya. Sekarang, sadarlah Katrina bahwa suara yang buruk itu memang suaranya sendiri.

“Ya ampun... begitu jeleknya suaraku!” Katrina menangis. “Berarti selama ini para pengasuhku benar.”

Nyonya Edelweiss tersenyum.

“Katrina, suaramu mungkin tidak indah. Tetapi permainan gitarmu sungguh indah. Sebagai manusia, kita tidak mungkin mampu melakukan semua hal dengan sempurna. Tuhan sudah memberi kita kelebihan masing-masing.”

“Tetapi aku suka sekali bernyanyi,” sergah Katrina.

“Aku tahu. Kau pasti bisa bernyanyi dengan indah jika kau mau rajin berlatih. Aku tak keberatan melatihmu. Tetapi sebaiknya, untuk acara tahun baru nanti, kau bermain gitar dan aku yang bernyanyi. Pasti para tamu akan senang. Aku yakin tahun depan, kau sudah bisa tampil bernyanyi dengan baik. Tentu jika kau mau berlatih dengan sungguh-sungguh,” kata Nyonya Edelweiss.

Katrina tersenyum mendengarnya. Siang itu, dari atas bukit, terdengar lantunan merdu suara Nyonya Edelweiss diiringi petikan gitar yang indah dari Katrina.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal 10-11)

Kisah Kupu-Kupu Sombong

Kisah Kupu-Kupu Sombong

By: Yoga Triana

Ada seekor kupu-kupu kecil, badannya ramping mungil. Sepasang sayapnya berwarna kelabu bergaris-garis biru. Sayapnya bercorak titik-titik berwarna kuning kemilau, dihiasi totol-totol warna hitam.

 Karena keindahan sayapnya, Kupu-Kupu Kecil jadi sombong, ia suka membanggakan diri dan mengolok-olok binatang lain. Waktu bertemu dengan seekor kumbang hitam, Kupu-Kupu Kecil meledek,

“Tubuhmu jelek, hitam pekat seperti arang!”

Saat melihat seekor katak sedang berjemur di pinggir kali, Kupu-Kupu Kecil juga mengejek,

“Punggungmu menjijikan, mulutmu juga lebar sekali!”

Suatu malam, Kupu-Kupu Kecil melihat sinar berkedip-kedip mendekat ke arahnya. Sinar itu memancar dari tubuh seekor binatang kecil. Rupanya, binatang itu adalah kunang-kunang. Dipandanginya Kunang-Kunang dengan perasaan kagum.

“Oh, sungguh indah binatang itu. Dia mempunyai sinar terang di tubuhnya.”

Kupu-Kupu Kecil ingin memiliki cahaya seperti Kunang-Kunang. Ia ingin tubuhnya menjadi lebih indah dengan cahaya itu. Kupu-Kupu Kecil lalu bertanya, “Kunang-Kunang, dari mana kamu mendapatkan sinar itu? Aku ingin sekali memilikinya, agar aku bisa berkeliaran di waktu malam.”

“Aku sejak lahir sudah begini,” Kunang-Kunang menjelaskan. “Tetapi, setahuku, ada benda lain yang juga selalu bersinar, yaitu api.”

“Di mana api itu berada?”

“Di rumah manusia pada malam hari.”

Kupu-Kupu Kecil sangat gembira mendengar penjelasan Kunang-Kunang. Segera ia terbang menuju ke rumah manusia. Kupu-Kupu Kecil berhasil masuk melalui celah angin di atas jendela.

Kupu-Kupu Kecil langsung terpesona saat melihat api menyala di sebuah pelita. Pelita adalah lampu sederhana yang menggunakan minyak. Api itu memancarkan sinar yang menerangi seluruh ruangan.

Ilustrasi: Mono

Dengan penuh semangat, Kupu-Kupu Kecil mendekati pelita itu dan menyambar apinya. Ia ingin mengambil sedikit api untuk ditempelkan di tubuhnya. Tetapi malang, api itu malah membakar sayapnya.

“Awww!” Kupu-Kupu Kecil terbang menjauh sambil berteriak kesakitan.

Sayapnya yang indah terbakar. Kupu-Kupu Kecil menyesal karena tak puas pada keindahan yang telah dimilikinya. Kini, ia tak bisa menyombongkan diri lagi.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal 2)

18 November 2017

Yang Tak Diundang


Yang Tak Diundang

By: Boyke Abdillah

Mama mendapat Alia tengah melamun di kamar. Wajahnya kelihatan sedih. Padahal biasanya setiap pulang sekolah, Alia langsung mengganti pakaian dan makan siang tanpa perlu diingatkan.   

 “Alia, kenapa murung begitu? Kamu sakit?” Mama menyentuh kening Alia. Alia berusaha tersenyum saat menyadari kehadiran Mama.

“Ah, tidak ada apa-apa, Ma,” jawab Alia singkat.

Mama menarik napas panjang. Kemudian berkata lagi.

“Alia, wajahmu tak bisa berbohong. Sekarang ceritakan, apa kamu punya masalah di sekolah tadi?”

Alia tak langsung menjawab. Ia bimbang mengatakan yang sebenarnya. Tetapi, apa salahnya kalau ia cerita?

“Mama tahu Regi, teman sebangkuku, kan? Tiga hari lagi ia merayakan ulang tahun. Semua anak di kelasku diundang. Tapi aku tidak,” ujar Alia sedih.

“Kenapa kamu tidak diundang?”

“Justru itu, Alia tidak tahu. Mungkin dia masih marah karena Alia mendapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris. Regi, kan, anak yang paling jago bahasa Inggris di kelas.”

“Mama lihat, Regi anak yang baik. Masa cuma gara-gara itu kamu tak diundang? Bisa jadi dia lupa. Kamu enggak coba bertanya padanya?”

“Buat apa? Enggak diundang, kok, malah nanya? Aku enggak mau!” cetus Alia dengan suara meninggi. Mama membelai rambut Alia.

“Ya sudah. Tak usah dimasukkan ke dalam hati. Berbesar hati saja kalau memang tak diundang. Sekarang kamu ganti baju dulu, terus makan. Mama sudah siapkan menu kesukaanmu,” ujar Mama akhirnya.

Wajah Alia masih memberengut. Tetapi, ia turuti saja nasehat Mama dan beranjak dari tempat tidur. Terasa perutnya semakin keroncongan.

Hari ini Regi kelihatan sibuk dengan persiapan pesta ulang tahunnya. Dia mengingatkan teman-teman agar datang. Dengar-dengar, pestanya pun diselenggarakan oleh jasa event organizer. Maksudnya, dikerjakan oleh sekelompok orang yang ahli dalam membuat acara. Anak-anak semakin penasaran. Seperti apa, sih, acaranya nanti?
Ilustrasi: Agus

Regi memang anak orang kaya. Semua anak senang bergaul dengannya. Ia sering membagi-bagikan makanan, permen, cokelat, atau buku-buku cerita pada teman-teman. Prestasinya pun pantas diacungi jempol. Ia selalu juara kelas.

Alia hanya mendengarkan kehebohan teman-temannya tanpa semangat. Hati kecilnya bertanya-tanya. Benarkah Regi tak mengundangnya hanya karena Alia mendapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris tempo hari? Alia masih ingat ekspresi kekecewaan di wajah Regi saat ia hanya mendapat nilai 83. Waktu mengetahui Alia dapat nilai 100, raut tak senang jelas terpancar di wajahnya. Alia tak menyangka kalau Regi tak sebaik yang ia kenal.

Malam itu, Alia duduk gelisah di depan TV. Tak satu pun acara di TV menarik perhatiannya. Sebentar-sebentar, saluran TV dipindahkannya dengan menggunakan remote. Mama yang dari tadi memperhatikan, datang menghampiri.

“Kamu masih memikirkan ulang tahun Regi, ya?”

 “Ah, kenapa mesti dipikirin?” ujar Alia asal saja.

Alia bangkit dan beranjak menuju kamar. Ia tak ingin Mama membahas itu lagi. Semakin membuat Alia bersedih. Dari tadi, pikirannya terus melayang membayangkan suasana pesta di rumah Regi. Tadi siang di sekolah, mereka sudah janjian untuk datang sama-sama.

Di kamar, Alia memandangi kado yang telah ia siapkan seminggu lalu. Alia menyorongkan kepalanya di balik bantal, mencoba menghilangkan rasa sedih di hatinya. Tak lama, akhirnya ia pun tertidur.
Ilustrasi: Agus

“Alia, ada yang datang, nih,” suara Mama memanggil. Alia tersentak. Ia mengucek-ucek matanya dan berjalan menuju pintu.

“Siapa?”

“Lihat saja sendiri.” Mama pun berlalu.

Alia penasaran, bergegas ke ruang tamu. Di sana, ia melihat Regi. Masih memakai baju pesta. Cantik sekali. Tetapi raut khawatir tampak dari wajahnya.

“Alia, kamu sakit? Sedih melihatmu tak datang ke acaraku.”

Alia memandang Regi dengan tatapan tak mengerti. Sejenak ia merasa bingung dengan ucapan Regi itu. Lama baru ia menjawab.

“Maaf, Regi, aku... aku, kan, tak diundang.”

“Tak mungkin! Semuanya aku undang, kok. Apalagi, kamu, kan, teman sebangku aku.”

“Aku pikir, kamu masih marah padaku karena aku dapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris tempo hari. Makanya aku tak diundang,” ujar Alia.

Mendengar ucapan itu, Regi terlihat kaget.

“Alia, masa aku marah karena itu? Aku cuma kecewa tidak bisa konsentrasi waktu belajar. Waktu itu, aku terlalu memikirkan acara ultaku ini,” jawab Regi. “Maafkan aku ya, Alia. Mungkin aku yang lupa memeriksa semua undangan. Ini aku bawakan sesuatu untukmu.”

Dengan tulus, Regi menyerahkan bingkisan ulang tahun dan kue-kue pada Alia. Raut muka Alia pun berubah jadi sedikit malu.

“Justru aku yang minta maaf karena telah berburuk sangka,” Alia merangkul teman sebangkunya itu. “O ya, aku telah menyiapkan kado untukmu. Tunggu sebentar, ya.” Alia berlari ke kamarnya.

Di luar, Mama, Papa, dan supir Regi tersenyum melihat tingkah keduanya. 

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 26-27)