Jejak
Hadiah Ayah
By: Ribkaria Lumban Gaol
Teeet!! Bel pulang sekolah
berbunyi. Aku langsung merapikan tas dan segera pulang. Dalam perjalanan, aku
sibuk menerka-nerka apa yang telah disiapkan Ayah untukku. Karena hari ini aku
berulang tahun.
Sesampainya di rumah, aku mendapati suasana rumah sepi
seperti biasanya. Aku memang hanya tinggal bertiga dengan Mama dan si Mbok,
pembantu setia keluargaku sejak aku masih bayi.
Ayahku seorang nakhoda kapal. Beliau jarang pulang ke
rumah. Akan tetapi, Ayah tidak pernah lupa memberi kabar kepadaku dan Mama.
Ayah juga selalu mengirim hadiah setiap aku berulang tahun.
Tahun ini, adalah tahun ketiga kau merayakan ulang
tahun tanpa Ayah. Sebenarnya, aku cuma berharap bisa merayakan ulang tahunku
yang kesepuluh ini bersama Ayah di sampingku.
“Mikha,”
suara Mama yang lembut tiba-tiba memanggilku. “Ini surat dari Ayah,” lanjut
Mama sambil menyodorkan surat berwarna biru tua.
Ilustrasi: Jali |
Aku bingung. Apakah tahun ini tidak ada kado untukku
seperti tahun-tahun sebelumnya? Dengan perasaan sedih bercampur heran, aku
membaca surat dari Ayah perlahan.
Hai,
bajak laut! Temukanlah harta karun yang tersebar di lautan Nusantara! Ikuti
setiap petunjuk, gunakan kecerdasan, dan kalahkan perahu yang menghadang!
Ilustrasi: Jali |
Aku hanya bengong membacanya. Apa maksud Ayah dengan
bajak laut? Apakah ia sedang ingin bermain bajak laut denganku? Dari dulu, itu
memang permainan favoritku dengan Ayah. Tetapi, Ayah, kan, sedang berlayar.
Dengan kening mengernyit, kuteruskan juga membaca surat Ayah ke baris
berikutnya. Di situ tertulis: Harta
karun yang pertama ada di tempat yang digunakan suku Lamalera untuk memburu
paus.
Aku berpikir sejenak. Detik berikutnya, aku segera
berlari ke kamarku di lantai dua dan mencari buku tentang perahu yang dulu
pernah dibelikan Ayah. Ternyata jawabannya: perahu pledang! Ya, perahu pledang
adalah perahu suku Lamalera untuk memburu paus.
Ilustrasi: Jali |
Aku buru-buru
mencari miniatur perahu pledang di koleksi perahu miniaturku. Begitu mendapat
perahu itu, aku menemukan sebuah kunci. Aku langsung bertanya-tanya. Ini kunci
apa, ya? Oh, iya! Ini, kan, kunci laci Ayah.
Segera saja kubuka laci Ayah sambil membayangkan kado
yang sudah menungguku. Nafasku terengah-engah karena berlarian ke sana ke mari.
Aku sudah tidak sabar membuka kadoku. Klik! Laci Ayah terbuka. Ternyata
yang menyambutku hanyalah surat yang berisi tulisan tangan Ayah.
Sudah
merasa puas? Tidak, pencarian baru dimulai. Tetaplah semangat dan jangan
menyerah sampai jawaban terungkap.
Aku merasa tertantang membacanya. Ayah benar, aku
merasa gampang puas dan mudah lengah.
Aku pun mengikuti saran Ayah untuk membaca petunjuk
berikutnya. Lestarikanlah
aku, sang pejuang yang ikut berperang dengan masyarakat Banda.
Tak perlu pikir panjang. Aku langsung tahu kalau
jawabannya pasti perahu kora-kora yang jadi kebanggaan masyarakat Banda.
Masalahnya, aku tidak punya koleksi perahu mainan kora-kora. Dari kamar kerja
Ayah, aku kembali ke kamarku. Aku sudah lelah dan kehilangan semangat.
Dengan sedih, kulihat foto kesayanganku bersama Ayah
dan mama di dinding itu. Itu adalah foto sekeluarga ketika di Dufan. Latar
belakang foto itu adalah wahana Kora-Kora. Ya, ampun! Pasti itu jawaban
berikutnya! Segera kubalik foto itu. Ternyata, di baliknya tertempel sebuah
kunci lagi.
Aku bingung. Ini kunci apa, ya? Sambil berpikir,
kulihat jam di meja belajarku. Wah! Sudah jam empat sore rupanya. Nanti saja
kutanya pada Mama tentang kunci ini. Lebih baik aku mandi dulu biar segar.
Selesai mandi dan berpakaian, aku mencari Mama utnuk
menanyakan kunci misterius itu. Tetapi, kok, rumahku kosong, ya? Walau
kupanggil Mama dan si Mbok, tetap tak ada yang menyahut. Setengah jam kemudian,
aku memutuskan untuk mencari di kebun belakang, siapa tahu mereka ada di sana.
Aku genggam kunci rumahku erat-erat. Aku agak takut juga sebenarnya tinggal
sendirian. Saat akan membuka pintu ke kebun belakang, pintunya terkunci. Aneh.
Pintu kebun, kan, tidak pernah dikunci. Mana kuncinya, ya?
Sebuah ide terlintas dibenakku. Kenapa tidak kubuka
saja dengan kunci misterius? Dengan deg-degan, aku pun membuka kunci, klik!
Ternyata berhasil! Pelan-pelan, kuputar gagang pintu dan membuka ke arah luar.
Ilustrasi: Jali |
Tiba-tiba, terdengar suara orang banyak berteriak,
“Selamat ulang tahun!!”
Aku hanya melongo dan terkejut. Kebun belakang telah
disulap menjadi arena pesta penuh balon dan pita. Selain itu, di kebun sudah
penuh dengan teman-teman sekelasku, Mama, dan si Mbok. Itu Ayahku! Aku segera
berlari memeluk Ayah dengan gembira.
“Selamat ulang tahun, Nak!” kata Ayahku bangga. “Kau
telah berhasil memecahkan setiap teka-teki. Nah, inilah harta karunmu, hadiah
ulang tahun dari Ayah dan Mama,” lanjutnya sambil memberi hadiah besar sekali.
Aku tersenyum lebar. Menurutku, inilah hari ulang
tahunku yang paling membahagiakan!
(Sumber:
Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 32-33)