PAPI DANGDUT
By: Lonyenk
Jumat pagi
kehebohan melanda rumah kami. Aku yang lagi nyaman meringkuk di bawah selimut
hangat terpaksa bangun mendengar ‘alarm’ yang keluar dari mulut Mami. Hari ini
kamu sekeluarga mau mudik ke tempat Wak Ramli di kampung. Wak Ramli adalah
sepupu jauh papi. Beliau akan menikahkan Kak Mira, anak sulungnya. Yang
kelihatan paling antusias untuk perjalanan ini adalah Papi. Dari semalam beliau
sudah kasak-kusuk memberi intruksi pada kami, barang apa saja yang harus
dibawa. Maklum, selain sebagai tamu undangan, Papi juga dapat order video
syuting dan foto untuk acara kawinan atau sunatan, selain jadi PNS di salah
satu instansi pemerintah. Karena ini bisnis keluarga, so yang jadi pegawai Papi
cukup aku dan adikku, Romi. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai ‘pekerjaan’
yang diberikan Papi. Bukannya tidak mau berbakti sama orang tua, tapi aku
seringkali tersiksa kalau sedang menjalankan tugas. Kau tau, setiap acara
hajatan di kampung, selalu menyuguhkan musik dangdut dari organ tunggal. Dan
itulah masalahnya. Aku anti sama musik dangdut. Aku risih kalau mendengar lagu
dengan lirik yang terus-terusan di ulang-ulang itu. Dan aku terpaksa harus
mengkonsumsinya karena telingaku masih normal. Ironisnya, Papi, Mami dan Romi
sangat mengandrungi musik dangdut.
Hari ini penyiksaan
kupingku mulai babak baru. Sejak mobil kami meluncur meninggalkan rumah, Papi
sudah menyetel musik dangdut di dalam mobil. Suaranya memang tidak terlalu
kencang, tapi telinga orang normal pasti tidak dapat menangkap suara itu dengan
jelas. Apalagi yang telinganya sensitif sepertiku. Dan musik itu terdengar
tanpa jeda. Dari suaranya Rhoma Irama, Mansyur S, A Rafiq, Cucu Cahyati sampai
Ridho Rhoma habis dilibas Papi. Begadang, Dawai Asmara, sampai Pengorbanan
berjoged-joged memenuhi telinga kami. Aku muak,. Mana Romi ikut-ikutan nyanyi
lagi. Sia-sia telinga ini kusumpal dengan earphone, mendengar lagu hip-hop dari
i-pod. Tapi suaranya masih kalah kenceng. Akhirnya aku tak tahan. Aku harus
segera berontak kalau masih mau hidup.
“Ganti dong,
Pi,” pintaku sambil menyodorkan kepingan CD Usher. Aku rasa Papi tak keberatan
memberiku kesempatan untuk membersihkan telingaku. Karena sudah satu jam lebih
Cucu Cahyati meraung-raung di dalam mobil. Dengan wajah datar, papi mengambil
dan memasukkannya ke dalam CD player. Tapi belum semenit lagu Of Your Chest
berkumandang, Papi buru-buru mematikannya.
“Lho kok?”
tanyaku bingung.
“Lagu apaan,
nih? Kayak orang yang ngajak berantem aja,” gumam Papi dan segera menggantinya
dengan lagu Pagar Makan Tanaman-nya Mansyur S. Aku melongo, hanya bisa
menahan kejengkelan di hati. Amarahku kian terbakar ketika kulihat Romi
terkikik menertawaiku. So, sepanjang perjalanan kami ke kampung, lagu-lagu itu
sukses membuat kupingku pecah. Tak heran setiba di rumah Wak Ramli aku nyaris pingsan
kehabisan udara.
***
Ironis! Kata
yang tepat untuk menggambarkan diriku. Namaku Roma Perdana, pemberian Papi. Kau
pasti sudah dapat mengira. Ya, nama itu memang terinspirasi dari idola Papi
sepanjang masa, Rhoma Irama. Kata mami, aku memang diharapkan bakal meneruskan
cita-cita Papi yang tak sempat terwujud, jadi penyanyi dangdut. Dulu Papi punya
orkes melayu yang lumayan kesohor di kampungnya. Tapi garis hidup berkata lain.
Papi malah bekerja di instansi pemerintah dan meninggalkan orkesnya. Makanya
Papi ingin anak-anaknya kelak bisa mewujudkan mimpinya yang terpendam. Tapi aku
memang berbakat menjadi anak durhaka. Bukannya mengikuti jejak papi, aku malah
‘menentangnya’ dengan menyenangi music hip-hop. Entah kenapa aku tak pernah
bisa mencerna musik dangdut apalagi menyukainya. Sia-sia usia Papi. Sejak aku
masih dalam kandungan, Papi selalu mendengarkan lagu-lagu dangdut dengan
menempelkan earphone walkman ke perut mami. Tapi tetap saja rama itu tak
familiar di kupingku.
Ambisi Papi
meracuniku dengan musik kesayangannya berlanjut hingga aku lahir. Menurut Mami,
setiap malam sebelum tidur lagu-lagu itu selalu menina bobo-kanku hingga
kuterlelap. Dan itu terjadi sampai aku berumur 10 tahun. Sejak duduk di SMP,
aku mulai berontak. Genre musik lain mulai menginvasi telingaku, menggeser
kedudukan musik dangdut yang memang tak pernah bisa singgah di hatiku. Kalau
Papi menonton acara tayangan dangdut di teve, aku malah memilih masuk ke kamar
dan menyetel musik hip-hop kesayanganku. Gagal dengan ‘proyek’ pertama, Papi
tak lantas putus asa. Ketika Mami mengandung Romi, terapi musik itu lagi-lagi
dijalankan. Dan kali ini papi benar-benar berhasil. Romi begitu mencintai
dangdut. Papi adalah orang pertama yang mendaftarkan anaknya di sana.
Sekedar info,
saking addict-nya dengan musik dangdut, di dinding rumah kami nyaris semuanya
ditutupi dengan poster Rhoma Irama. Baik yang sedang memegang gitar berkepala
bunting, ataupun lagi bergelayut di batang pohon dengan aktris Yati Octavia.
Aku ingat, di masa kecil dulu Papi senang bercerita tentang masa mudanya.
Menurut Papi, di daerahnya tak ada orang yang tak menyukai Rhoma Irama. Bahkan
masyarakat di sana rela tidak membeli beras asal dapat membeli tiket film Rhoma
Irama. Sampai sekarang, Papi juga tak pernah bosan menonton film Rhoma Irama di
teve. Melodi Cinta, Camelia, Pengorbanan sampai Satria Bergitar
terus menduduki rating teratas di hati Papi. Padahal seingatku film-film itu
sudah 13 kali tayang. Sungguh terlalu!
***
Sabtu pagi di
rumah Wak Ramli benar-benar membuatku tersiksa, baru melek saja telingaku sudah
disuguhi lagu dangdut yang diputar keras di ruang depan. Keperkasaan ipod yang
selama ini setia menemaniku tak mampu meredam suara-suara mendayu yang diputar
dengan double speaker raksasa. Aku jadi merasa aneh sendiri. Seperti Alien.
Kurasa tak ada tempat yang aman untukku di sini. Kalau tak ingat tugas yang
akan aku emban besok, mau rasanya aku pulang ke rumah sendirian sekarang.
Untung tak lama Bang Dayat, anak kedua Wak Ramli, mengajakku pergi. Ada
beberapa peralatan yang harus diambil di rumah tukang rias pengantin untuk
resepsi besok, katanya. Tanpa banyak tanya aku mengangguk dengan sukacita.
Setidaknya untuk beberapa waktu ke depan telingaku bisa bebas dari virus
mematikan. Jarak rumah Wak Ramli ke rumah tukang rias pengantin tak terlalu
jauh. Sepuluh menit dengan memakai mobil sudah sampai. Ketika kami masuk, rumah
dalam keadaan sepi. Hanya ada ibu perias dengan anak gadisnya yang sedang
nonton teve.
Ketika Bang
Dayat beranjak ke dalam, memilih peralatan yang mau dibawa, aku menunggu sambil
menonton teve bersama cewek itu. Tak lama kami pun berkenalan dan berbasa-basi.
Beberapa menit kemudian kami sudah akrab dan terlibat obrolan seru. Namanya
Rika. Dia sebaya denganku dan kuliah di semeter lima jurusan Sastra Inggris.
Rika tak hanya cantik tapi juga pintar. Wawasannya luas. Apalagi soal musik.
Referensi musiknya banyak dari berbagai genre. Sayang waktu terasa cepat
berlalu. Bang Dayat kemudian muncul mengajakku pulang. Ketika berlalu aku sadar
kalau sepotong hatiku telah tertinggal di sana. Untuk Rika.
***
Malam Minggu aku
memberanikan diri main ke rumah Rika. Langkahku berjalan dengan mulus. Rika ada
di rumah lagi baca majalah di ruang tamu. Rumahnya dalam keadaan sepi. Ibunya
lagi di rumah Wak Ramli menyiapkan segala sesuatu untuk prosesi akad nikah
besok pagi. Awalnya aku mau mengajak keluar. Tapi aku bingung mau kemana? Di
sini hanya ada hutan, gunung dan sawah. Mau malam mingguan apa hiking, sih?
Akhirnya kami putuskan mengobrol di teras depan saja sambil memandang gemerlap
bintang dan mendengarkan suara jangkrik yang sibuk bernyanyi.
“Kamu nggak lagi
nunggu seseorang, kan?” tanyaku basa basi. Melempar umpan.
“Siapa?”
“Pacar kamu.”
“Aku belum punya
pacar,” jawabnya malu-malu.
Aha... tiba-tiba
ribuan harap terbentang lebar di sini. Sepertinya episode cintaku akan segera
dimulai. Tapi aku tak mau gegabah dengan langsung menembak hatinya. Aku harus
lebih mengenal medan kalau mau meraih kemenangan. Ketika Rika masuk ke dalam
mengambil minuman, aku juga ikut masuk sambil melihat foto-foto berbagai ukuran
tertempel di sana. Tapi ada satu yang menarik perhatianku. Foto seorang pria
era 70-an yang lagi memetik gitar di atas panggung.
“Ini siapa?”
tanyaku pada Rika ketika dia keluar membawa minuman.
“Almarhum
ayahku.”
“Beliau
pemusik?”
“Ya. Gitaris
sebuah orkes melayu di sini,” jawabnya sambil tersenyum. Perasaanku mulai tak
enak.
“Kamu suka
dangdut?” tanyaku cemas.
“Suka. Kenapa?
Aku tak pernah mengkotak-kotakkan jenis musik. Sama-sama di telingaku,”
jawabnya diplomatis.
Glek! Aku merasa
tersindir mendengarnya.
***
Rumah Wak Ramli
masih ramai ketika aku pulang dari rumah Rika pada pukul 9 malam. Ada yang
membantu bikin janur, ada juga yang sekedar menjadi penggembira sembari main
kartu dan menghabiskan kue konsumsi. Tapi lagi-lagi gempa melanda telingaku.
Konser dadakan digelar. Mereka pada ramai karokean lagu dangdut. Dan para
remaja sampai manula bau tanah semua menyumbangkan suaranya. Mending suaranya merdu.
Kebanyakan dari mereka bersuara fals dan menyimpang dari kaidah-kaidah
bernyanyi yang berlaku. Aku lantas memilih bergabung dengan beberapa anak
sebayaku yang lagi membuat janur. Papi berada tak jauh dari tempatku, lesehan
main kartu bersama bapak-bapak yang tak henti-hentinya mengisap rokok sembari
menyesap kopi gratis.
“Mustahil
menyanyi di atas panggung dangdut tanpa menyanyikan lagu-lagu bang haji, karena
semua menyukai lagu-lagunya,” ujar Papi pada seorang bapak yang ada di
sampingnya. Bapak itu hanya manggut-manggut membenarkan. Mulutnya tak bisa
bicara karena lagi disumpal dengan segepok kue apem.
Romi benar-benar
menjadi bintang malam ini. Suaranya yang kata Papi mirip Rhoma Irama itu menuai
banyak perhatian. Cewek-cewek sontak menoleh padanya. Tentu saja Romi senang.
Di sini dia bisa melampiaskan hobinya yang tak pernah tersalurkan selama ini.
Romi mendadak ngetop dan menjadi idola baru kampung Wak Ramli. Setelah Romi
menyelasaikan lagunya, tiba-tiba Papi maju ke depan. Oh no, rupanya Papi ingin
ikutan menyumbang lagu juga. Melihat itu seseorang nyeletuk padaku.
“Wah, kalian
sekeluarga benar-benar pecinta dangdut rupanya,” serunya terkagum-kagum.
Aku speechless,
tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menyunggingkan senyum hambar. Sebelum Papi
beraksi aku sudah menyingkir ke belakang. Aku mau dicap sebagai keluarga
pecinta dangdut. Itu fitnah besar. Aku kemudian masuk ke kamar Bang Dayat,
bersekutu dengan hape sambil sms-an sama Rika. Tak lupa kupasang earphone,
mendengarkan musik dari folder mp3. Namun dari dalam kamar aku masih bisa
mendengar suara baritone Papi yang lantang berkumandang.
“Begadang jangan
begadaaang... kalau tiada artinya... begadang boleh sajaaaaa, kalau ada
artinya....”
Dan tak ada satu
pun yang mampu menandingi gelegar suara Papi saat ini.
***
Hari minggu
cuaca sangat cerah. Rumah Wak Ramli telah menjelma menjadi gedung yang megah.
Tenda-tenda sudah terpasang dengan kokoh. Meja-meja hidangan dan kursi pun telah
tersusun rapi. Pelaminan untuk mempelai bagaikan sebuah singgasana di sebuah
kerajaan. Di sana telah duduk raja dan ratu sehari yang diapit kedua orang tua
masing-masing. Kak Mira dan suaminya terus saja mengumbar senyum pada semua
tamu yang datang. Keduanya tampak bahagia bersanding di pelaminan. Senyum
mereka kian merekah ketika melihat para undangan menyelipkan amplop di kotak
uang. Dari tadi pagi aku dan Romi sudah sibuk mengemban tugas negara dari Papi.
Nge-shoot momen-momen bahagia bagi kedua mempelai, mengabdikannya dengan
bidikan kamera video dan kamera digital. Makin sore tamu yang datang semakin
banyak. Entah sudah berapa ratus orang yang lalu lalang yang gambarnya bisa
dilihat di View Finder kamera videoku.
Di sebelah
pelaminan ada tenda yang dikhususkan untuk pemain organ tunggal. Bentuknya pun
telah disulap menjadi panggung mini lengkap dengan sound system-nya. Dari
sanalah kosentrasiku terbelah. Di panggung kecil itu sang pemain organ terus
menggempur tamu-tamu tanpa ampun dengan lagu-lagu dangdut yang dilantunkan sama
beberapa biduannya. Sebenarnya aku bisa saja fokus pada tugasku tapi tetap saja
tidak bisa. Lagu-lagu mendayu itu terus saja bergentayangan di telingaku. Namun
kemudian ada yang beda. Tiba-tiba telingaku terusik dengan sebuah intro dari
lagu More Than Word-nya Extreme. Aku seperti mendapat suntikan energi mendengar
lagu itu. Akan tambah surprise ketika mendengar suara Papi yang berduet dengan
seorang cewek. Ada rasa bangga mendengar suara Papi yang (baru kusadari)
ternyata merdu. Namun di bagian chorus aransemennya tiba-tiba berubah drastis.
Musik yang tadi terdengar elegan kontan berubah menjadi ketukan irama dangdut
yang mendayu-dayu. Halah, apa-apaan ini? Aku reflex menoleh dan mengarahkan
kamera ke arah panggung mini. Oh my god! Aku sepertinya tak percaya apa yang
kulihat. Cewek yang bernyanyi sambil berjoged bersama Papi di sana ternyata
Rika. Dan cinta yang kemarin mulai tumbuh di taman hatiku tiba-tiba menjadi
layu.
(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 24
tahun X . 13-19 Juni 2011 . Hal 26)