Cahaya Lemon
By: Maudy Rizqi Maghfirlana
Dimas baru saja pulang dari sekolah. Siang itu, sangatlah
terik. Dimas memutuskan untuk pulang cepat. Saat ia membuka pagar, sepucuk
surat terselip di antara pagar rumahnya. Surat tersebut ditujukan kepada dirinya.
Tak ada alamat, juga nama pengirim. Amplop surat tersebut sedikit lebih besar
dari amplop yang biasa beredar. Dimas membawanya masuk ke rumah. Rumah Dimas
kosong. Ibunya sedang menjemput adiknya di sekolah. Mbak Iyah, pembantunya,
mungkin ke warung, pikir Dimas. Setelah ganti baju dan makan siang, Dimas masuk
ke kamarnya dan membuka surat tadi.
Ilustrasi: Xiu |
Amplop tersebut
berisi dua helai kertas. Kertas pertama berisi tulisan dan kertas kedua...
kosong! Kertas pertama bertuliskan:
Apa
kabar Dimas? Sudah 2 tahun kita tidak bertemu. Keluargaku memutuskan kembali ke
kota, tetapi rumahku berbeda dengan yang dulu. Aku ingin sekali bertemu
denganmu, maka kunjungilah aku.
Tertanda:
teman percobaan.
Di pojok surat
terdapat note yang bertuliskan: Kertas kosong yang kau terima adalah peta menuju rumahku.
Lakukan percobaan cahaya lemon, maka peta tersebut akan terbaca.
Dimas masih belum
mengerti isi dari note tersebut. Ia juga masih mencari nama si pengirim.
Dimas mencoba mengingat-ingat nama teman-temannya dua tahun yang lalu, saat ia
masih kelas 4 SD. Ia masih belum menemukan siapakah ‘teman percobaan’ tersebut.
Dimas pun bertanya-tanya, apakah percobaan lemon itu?
Saat
berpikir tentang percobaan cahaya lemon, tiba-tiba Dimas melihat ke atas meja
belajarnya. Terdapat sebuah pigura kecil di atasnya. Dalam pigura itu, terdapat
foto dua anak laki-laki sedang berangkulan. Mereka tampak akrab sekali.
Mungkinkah dia ‘teman
percobaan’ tersebut? Dimas bertanya dalam hati.
Mungkinkah dia pindah ke kota ini lagi? Yang
tahu tentang percobaan cahaya lemonn adalah dia... tidak salah lagi! Dimas
mulai ingat, bagaimana cara membaca peta di atas kertas kosong tersebut. Dimas
tersenyum senang.
Saat
ini, hari masih siang. Tidak mungkin surat tersebut dapat dibaca. Masih terlalu
banyak cahaya yang masuk. Alat pembaca peta tersebut tidak akan berguna. Dimas
menunggu sampai malam menjelang.
Matahari
mulai terbenam. Orang tua Dimas telah berada di rumah, begitu pula adiknya.
Setelah makan malam, Dimas bergegas masuk ke kamarnya dan mematikan lampu
kamar. Kini, kamar itu gelap gulita. Dimas berjalan menuju meja belajarnya. Ia
kemudian menyalakan lampu belajarnya. Dimas mengambil kertas kosong yang tadi
disimpannya. Perlahan, Dimas mendekatkan kertas kosong tersebut ke arah cahaya
lampu belajarnya.
Ilustrasi: Xiu |
Tiba-tiba,
perlahan, muncul goresan-goresan di kertas kosong tersebut. Semakin dekat
dengan sinar lampu, goresan-goresan semakin terlihat jelas. Setelah kertas
kosong cukup dekat dengan lampu, goresan-goresan itu membentuk sebuah peta.
Dimas tersenyum puas dengan hasil yang ia kerjakan.
“Percobaan
cahaya lemon. Air lemon yang dituliskan atau digoreskan di atas kertas, akan
terbaca bila didekatkan ke arah lampu,” Dimas bergumam.
Di
peta tersebut, Dimas melihat tanda silang yang menunjukkan rumah si ‘teman percobaan’.
“Rupanya,
rumahnya tidak jauh dari sini. Cukup dengan bersepeda, aku bisa sampai di
rumahnya. Baiklah, hari Minggu besok, aku akan mendatanginya,” gumam Dimas
lagi.
Dimas
segera menyimpan kembali kertas tersebut. Saat ditarik dari cahaya lampu, peta
kembali terlihat samar dan akhirnya menghilang. Dimas tidak sabar menunggu
sampai keesokan hari. Ia akan bertemu dengan sahabat lamanya lagi.
Matahari
baru saja memendarkan cahaya merahnya. Dimas bersepeda menuju tempat yang
ditunjukkan peta yang ia baca tadi malam. Beberapa gang dan belokan telah
dilewatinya. Sekarang, Dimas telah berdiri di depan sebuah rumah sederhana yang
cukup asri. Jantungnya berdegup keras. Ia sudah tidak sabar melihat sahabat
yang pernah menemaninya melakukan berbagai percobaan.
Dimas
memencet bel di samping pagar. Tak berapa lama, pintu rumah terbuka. Muncul
seorang anak laki-laki sebayanya berlari ke arahnya. Anak laki-laki tersebut
sama girangnya dengan Dimas. Mereka saling berpelukan.
Ilustrasi: Xiu |
“Tak
kusangka kamu akan mengunjungiku secepat ini,” kata anak laki-laki tersebut.
“Pesan
yang kamu tinggalkan terlalu mudah untuk aku pecahkan, Irfan. Bagaimana
kabarmu?” tanya Dimas.
Anak
laki-laki tersebut bernama Irfan. Dulu, dia dan Dimas bersahabat. Tetapi, Irfan
harus pindah sekolah saat kelas 4 SD.
“Rupanya,
kamu masih ingat dengan percobaan cahaya lemon yang sering kita lakukan dulu.
Aku baik-baik saja, dan aku akan menetap di kota ini. Aku akan menemanimu lagi.
Kita akan terus melakukan percobaan.”
Kedua
sahabat tersebut tertawa senang dan saling berangkulan. Mereka menuju ke dalam
rumah untuk saling bertukar cerita.
(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII.
18 November 2010. Hal. 46-47)