Parsel Lebaran
By:
Anton WP
Setiap menjelang Lebaran, ada sesuatu yang selalu
ditunggu-tunggu Andi. Apalagi kalau bukan datangnya parsel Lebaran. Ya, parsel
bingkisan Lebaran. Biasanya dua minggu sebelum Lebaran, mulailah berdatangan
orang-orang mengantarkan parsel ke rumahnya.
Andi bersama ketiga adiknya biasanya
berebut. Mereka saling mendahului mengambil makanan kecil dan minuman ringan di
dalam keranjang parsel. Ayah dan Ibu biasanya hanya tertawa melihat tingkah
laku mereka berempat.
“Sudah, jangan berebut. Andi, kamu
sudah kelas enam. Mengalah, dong, sama adik-adikmu!” Begitu kata Ayah biasanya.
Dengan rela, Andi juga akan memberikan
makanan ringan yang diinginkan Didi. Andi memang hanya ingin meramaikan acara
rebutan itu. Adik bungsunya, yang baru duduk di kelas nol besar itu, biasanya
melonjak girang menerima makanan ringan itu.
Suatu hari Andi sedang membaca buku
cerita di teras depan bersama Noval, teman sekelasnya. Membaca bisa membuat
mereka melupakan rasa lapar karena sedang berpuasa.
Sedang asyik keduanya membaca, sebuah
mobil memasuki halaman. Andi beranjak dari duduknya melihat siapa yang datang.
“Dik, benar ini rumah Pak Asdi?” tanya
seorang lelaki yang turun dari mobil tadi.
“Benar, Pak,” jawab Andi.
“Mat, benar. Ayo turunkan parselnya,”
suruh lelaki itu pada temannya.
Segera teman lelaki itu membawa turun
sebuah parsel dari mobil dan menaruhnya di teras rumah.
“Tolong ditandatangani, Dik,” pinta
lelaki itu pada Andi seraya menyodorkan sebuah kertas dan pulpen.
Andi menandatangani kertas tanda terima
itu.
“Terima kasih, Dik,” kata lelaki itu
dan melangkah kembali ke dalam mobil. Mobil pun melaju meninggalkan halaman
rumah Andi.
“Wah, hadiah dari mana, Ndi?” tanya
Noval melihat-lihat keranjang parsel yang dibungkus plastik bening itu.
“Bukan hadiah, Val. Ini namanya parsel
Lebaran,” ujar Andi. “Parsel itu, kata ayahku, berasal dari bahasa Inggris.
Artinya bingkisan Lebaran,” jelas Andi lagi.
“Bingkisan ini dari saudaramu ya, Ndi?”
tanya Noval lagi.
“Bukan, dari teman-teman ayahku. Ayo,
bantu aku mengangkatnya masuk ke rumah, Val,” kata Andi.
Dua sahabat itu mengangkat parsel
bersama-sama dan menaruhnya di ruang tengah. Parsel yang baru datang itu
bergabung dengan deretan parsel lainnya yang sudah lebih dulu datang.
“Wah, banyak juga teman ayahmu yang
memberi bingkisan ya, Ndi,” kata Noval kagum.
“Iya, biasanya masih banyak lagi yang
akan datang, sampai hari terakhir puasa,” cerita Andi tanpa bermaksud menyombong.
“Ayahmu juga dapat kiriman parsel kan, Val?” tanya Andi kemudian.
“Eng..., nggak ada, Ndi. Tapi seminggu
sebelum Lebaran, biasanya Ayah membawa sekotak minuman kaleng pemberian Pak
Haji Umar, majikan ayahku,” kata Noval.
“Ooh,” hanya itu yang keluar dari mulut
Andi.
Malamnya ketika pulang dari shalat
tarawih di masjid, Andi menemui ayahnya yang juga baru pulang dari masjid. Ayah
sedang duduk-duduk sambil makan kurma dan membaca koran di teras belakang.
“Yah, ternyata tidak semua orang dapat
parsel tiap menjelang Lebaran, ya,” kata Andi.
Ayah heran mendengar kata-kata anak
sulungnya itu. Diletakkannya koran yang sedang dibacanya di meja.
“Memangnya kenapa, Ndi?” tanya Ayah.
Andi lalu bercerita tentang Noval yang
tidak pernah menerima parsel Lebaran. Ayah terdiam mendengar cerita Andi.
“Bagimana kalau kita berikan salah satu
parsel untuk temanmu itu,” usul Ayah kemudian.
“Benar, Yah?” tanya Andi seakan tak
percaya.
“Iya. Besok kita antar bersama-sama
parsel buat keluarga temanmu itu,” ujar Ayah.
“Terima kasih, Yah,” seru Andi sambil
memeluk ayahnya.
Andi senang bisa berbagi dengan
temannya yang berasal dari keluarga tak mampu. Ayah Noval juga bahagia, karena
mempunyai anak yang berhati baik seperti Noval.
Ilustrasi: Bondhan |
Ilustrasi: Bondhan |
(Sumber : Bobo Edisi 24. Tahun XXXVII. 29
September 2009. Hal. 18-19)