6 September 2014

Ujian Ramadhan

Ujian Ramadhan

By: Belladieni

Aman membelalakkan mata melihat isi amplop coklat yang ia pegang. Lembaran rupiah bergambar dua Bapak Proklamator bangsa. Ia menghitung dengan cepat, jumlahnya dua juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit untuknya. Dengan cepat ia menutup amplop itu, menggulungnya di dalam kaos oblong yang ada di tasnya dan meletakkan dengan hati-hati di dasar tas ranselnya. Lalu berjalan menuju gerbang kampus, meninggalkan gedung yang mulai sepi menjelang senja.

‘Mungkin ini sebuah jalan keluar dari Allah, menjawab kesusahanmu selama ini. Ambil saja.’ Bisik suara hatinya saat sebuah pemikiran untuk mengumumkan bahwa ia menemukan amplop coklat di selasar kampusnya sore tadi terlintas di benaknya.

‘Jangan ngaco! Mana mungkin Allah melakukan hal itu. Yang ada kerjaan setan. Segera umumkan. Kasian kan si pemilik amplop itu.’ Bisik bagian hati yang lain.

‘Itu urusan pemilik, mengapa sampai teledor membawa uang sebanyak ini. Jangan dikembalikan! Coba bayangkan lebaran kali ini dengan uang itu, pasti akan berbedda. Kamu bisa melunasi tunggakan uang sekolah adikmu, membelikan ibu dan adikmu baju lebaran dan kalian bisa makan enak saat lebaran.’ Suara hatinya sungguh meyakinkan pikirannya. Bayangan senyum adik dan ibunya berkelebat di benak Aman, membuat keyakinannya untuk mengembalikan uang itu agak tergoyahkan.

‘Sebentar lagi itu lebaran. Hari kemenangan umat Islam. Bagaimana mungkin kamu merayakan hari suci itu menggunakan uang haram!’ Nuraninya masih mencoba berargumen.

Aman bergumam resah, memegang kepalanya yang tidak sakit namun mendadak pening karena kedua sisi hatinya terus menyuarakan keinginan masing-masing, mempengaruhinya untuk mengikuti saran mereka.

Sudah setengah jam ia memandangi amplop coklat yang sekarang ia letakkan di atas meja belajarnya. Uang itu tidak sedikit. Pasti pemiliknya merasa sangat sedih kehilangan uang itu. Ia teringat bagaiamana susahnya ibu bekerja menjadi guru sekolah dasar dan menjadi tutor di bimbingan belajar agar memenuhi kebutuhannya dan adiknya. Terbayang pias di wajah ibu jika sampai harus kehilangan uang sebanyak itu.

Sebuah ketukan halus di pintu membuyarkan lamunannya. Sita, adiknya, yang sudah duduk di kelas tiga SMP mengingatkan sudah waktunya berbuka puasa. Aman mengamati sekali lagi amplop coklat itu. Keputusannya sudah bulat. Besok ia akan mengumumkan telah menemukan amplop itu, dan berjanji akan mengembalikan kepada sang pemilik. Ia melangkah dengan riang menuju ruang makan.

***

Kuis Fisika Dasar II yang diadakan dadakan membuat ingatan Aman akan ampolp coklat itu terlupakan sampai siang. Mungkin akan berlanjut sampai pelajaran usai jika saja Lily tidak mengajaknya bergosip.

“Sudah dengar belum? Si nona besar baru kehilangan uang.” Lily, sahabatnya memberitahu soal gosip terbaru di kampus.

“Nona besar?” tanya Aman tak mengerti siapa yang dimaksud.

“Aura.” Desis gadis itu gemas akan kelambatan otak pria berkacamata yang sedang sibuk membereskan diktat Fisika miliknya.

“Kenapa dia?” aman penasaran. Biasanya ia tidak pernah mau perduli dengan gosip yang beredar di kampus. Namun karena topiknya tentang kehilangan uang, nalurinya berkata lain, untuk mendengarkan cerita Lily.

“Dia kan bendahara acara buka puasa Jurusan tahun ini. Kemarin dia lupa di mana meletakkan uang yang diperoleh dari Sekretaris Jurusan, dan baru manyadari tadi pagi!” Lily bergaya bak reporter gosip di tivi.

Aman teringat amplop coklat yang ada di tasnya, berniat akan menghampiri Aura setelah jam kuliah usai.

“Lalu? Dia sedih dong,” ujar Aman merasa sedikit bersalah.

“Ha? Nona besar itu mana mungkin sedih kehilangan duit segitu. Dia bahkan tidak menyadari sama sekali.” Lily mengalihkan pandangannya ke dosen Fisika yang masih menulis jawaban kuis barusan di papan tulis.

“Maksudnya?”

“Aura itu kan anak orang kaya di kota ini. Mana mungkin ia sedih cuma karena duit dua juta. Memang kamu belum pernah dengar soal dia merusakkan alat percobaan di laboratorium saat pratikum yang bernilai belasan juta?” Lily mendekatkan wajahnya pada Aman berniat bergosip lebih lanjut. Aman menggelang.

“Bapaknya langsung datang ke sini dan memberikan cek senilai dua puluh juta rupiah tanpa berpikir panjang karena nona besar itu menangis ketakutan dan tidak mau keluar dari kamar mandi laboratorium.”

“Benarkah?” tanya Aman tak mempercayai pendengarannya. Ia melemparkan pandangannya ke gadis berkulit putih dan berhidung mancung yang duduk di deretan paling depan yang sekarang sedang tekun mencatat jawaban kuis.

“Kebanyakan dong, gampang bagi dia untuk merengek minta dua juta kepada papanya,” jawab Lily mengakhiri acara gosipnya.

“Lalu?” Aman masih penasaran dengan kelanjutan cerita Lily.

“Lalu apa?” Sekarang gadis berkulit coklat yang duduk di sebelahnya itu mulai sibuk mencatat dan bersikap acuh menanggapi pertanyaannya.

“Lalu bagaimana reaksinya setelah kehilangan uang itu?”

“Siapa?”

“Si nona besar.” Aman mengulangi dengan sabar. Ia cukup hapal kebiasaan sahabatnya itu yang suka iseng bertele-tele dan membuat orang penasaran.

“Aman. Ini bulan suci Ramadhan, dilarang bergosip tau,” jawabnya telak. Ia senang sekali membuat cowo berkacamata itu keki.

***

Aman mengamati Aura yang duduk di bangku kayu depan laboratorium. Semua orang tau gadis cantik itu merupakan anak tunggal seorang pengusaha ternama di kota Surabaya. Penampilannya termasuk mentereng di kampus teknik negeri itu. Di tengah kebanyakan mahasiswa dari daerah yang berpenampilan sederhana Aura selalu tampil dengan trendy, dengan busana bermerek dan tas mahal yang menemaninya ke kampus. Mobil yang ia gunakan pun berganti-ganti. Cantik, keren dan kaya. Mungkin perpaduan ini yang membuat Aura menjadi sosok yang congkak, ia hanya mau bergaul dengan orang-orang yang dianggapnya setara. Aura sungguh tampak seperti nona besar di kalangan rakyat jelata, demikian komentar pedas Lily soal penampilan dan sikap Aura.

Aura sedang berbicara di telpon, lagi-lagi membuat Aman mengelus dada, menggunakan ponsel qwerty trendy yang sedang in di kalangan siapa pun yang ingin dianggap eksis, yang sering ia lihat di televisi. Dari penglihatannya tidak ada raut gundah sedikitpun di wajah gadis itu, bahkan ia tidak tampak seperti orang yang baru saja kehilangan uang. Pasti lain kejadiannya jika hal itu yang terjadi padanya, mungkin Aman bisa stres seperti orang gila, berpikir bagaimana cara mengganti uang sebanyak itu. Uang itu setara dengan honornya mengajar les privat selama 4 bulan. Hati Aman diliputi kebimbangan. Apa masih perlu ia mengembalikan uang ini.

***

‘Anggap aja ini jalan dari Allah untukmu.’ Suara hatinya membela diri saat sebuah pikiran melintas, untuk menggunakan saja uang itu.

‘Bagaimanapun menyebalkannya dia, tetap saja ia pemilik sah uang ini. Jangan mendengarkan omongan setan!’ balas bagian jiwanya yang lain.

“Sore-sore kok melamun, Man?” teguran ibu menyadrkan Aman dari lamunannya. Ibu baru saja pulang mengajar. Membawa plastik hidangan untuk berbuka puasa. Aman beranjak ke dapur, mengambil piring untuk menyajikan makanan yang dibawa ibu.

“Lagi ada masalah di kampus?” tanya ibu penuh kasih setelah selesai berganti pakaian. Aman menggeleng.

“Lalu kenapa melamun sore-sore?” Ibu masih menyimpan rasa penasaran.

“Lagi capek aja bu,” jawab Aman tak ingin membebani. Ibu tersenyum maklum lalu duduk membaca koran di depan televisi.

“Oh iya, Bu, bagaimana dengan tunggakan spp Sita?” Aman teringat persolan uang sekolah adiknya yang sudah dua bulan ini menunggak. Aman baru saja menguras tabungannya untuk membayar uang pratikum, tak tega rasanya meminta ibu, sehingga ia tak bisa membantu soal tunggakan SPP adiknya. Ibu tersenyum teduh.

“Sudah selesai kok, tadi ibu sudah ke sekolah melunasi tunggakannya.”

“Ibu dapat uang dari mana?” tanya Aman heran, mengingat itu bukan tanggal gajian ibu.

“Pinjam dari koperasi.”

Aman mendesah. Semakin banyak saja pinjaman ibu di koperasi. Aman teringat akan uang yang ada di tasnya sekarang. Mungkinkah memang benar ini jalan dari Allah untuknya?

‘Jangan ngaco kamu! Bagaimanapun juga duit itu bukan duit halal!’ Bisik batinyya. ‘Tapi Aman tidak mencuri, ia menemukan uang itu secara kebetulan.’ Logikanya membela.

‘Tetap saja itu uang haram! Apa kamu mau ibu dan adikmu makan uang haram itu? Itu dosa!’ Putus suara hatinya tak mau berkompromi.

“Man, tolong antarkan kolak ini untuk nek Wati ya?” pinta Ibu mengangsurkan bungkusan kolak dalam plastik. Nek Wati teman dekat almarhum nenek Aman dulu, beliau tinggal dua blok dari rumah mereka. Ibu sudah menganggap Nek Wati seperti ibunya sendiri. Saat Ramadhan seperti ini hampir setiap sore ibu mengantarkan hidangan berbuka puasa untuknya. Aman mengangguk, ia mengambil bungkusan plastik lalu berjalan keluar rumah. Waktu berbuka puasa tinggal beberapa saat lagi. Di pinggir jalan banyak sekali orang yang menjual hidangan berbuka puasa. Aman paling suka suasana saat bulan Ramadhan. Semua orang bergegas pulang ke rumah menjelang waktu berbuka untuk berbuka puasa bersama keluarga tercinta. Sepeluh menit menjelang azan magrib, Aman mempercepat langkahnya untuk menyeberangi jalan, hingga ia tidak memperhatikan sebuah Avanza metalik meluncur dengan kencang dari seberang jalan. Kejadiannya begitu cepat, suara decit ban dan pekikan orang-orang di sekeliling bercampur menjadi satu di telinganya. Ia tidak ingat apa yang terjadi, tau-tau tubuhnya terpelanting sejauh lima meter ke tengah jalan. Si pengendara mobil turun dengan panik dan menghampirinya, bertanya apa ia baik-baik saja. Aman melihat kedua tangan dan kakinya, tidak ada darah sama sekali. Ia bahkan tidak merasa sakit atau nyeri, namun badannya menggigil, gemetar hebat. Bisa saja ia terluka akibat tabrakan tadi, atau bisa lebih parah. Namun Allah masih menyelamatkannya.

Sesaat Aman tidak bisa berkata apa-apa waktu pengendara itu menawarkan diri mengantar Aman ke rumah sakit. Ia menggeleng, tersenyum menenangkan karena melihat raut wajah si pengendara yang masih tegang. Selintas pemikiran menghampiri benaknya, bagaimana jika ia tertabrak dan tidak sempat mengembalikan uang yang ia temukan kemarin. Bagaimana perasaan Ibu dan Sita jika menemukan amplop berisikan uang banyak di tasnya. Bagaimana jika ia tidak diselamatkan oleh Yang Maha Kuasa dalam keadaan menuruti saran dari setan. Aman bergidik. Suara Azan magrib berkumandang. Orang-orang masih berkerumun di sekitarnya karena ia tak kunjung bersuara.

Seolah mendapat kekuatan, Aman berdiri, mengatakan ia baik-baik saja lalu berlari menuju rumahnya. Ada satu hal yang ia harus lakukan, mengambil amplop itu dan mengembalikannya kepada Aura saat iu juga. Ia tidak mau berdosa karena hal ini. Hati dan pikirannya sekarang sejalan, kehadiran amplop coklat itu merupakan sebuah ujian untuknya. Ujian di bulan Ramadhan dan ia sudah tau apa penyelesaiannya.


(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX . 30 Agst – 5 Sept 2010 . Hal 26)

31 Agustus 2014

Printernya Nggak Ketemu


Printernya Nggak Ketemu

Baim baru aja belajar komputer di sekolahnya. Ia suka banget ngutak-ngatik komputer, tapi sayangnya Baim lebih suka main game daripada mempergunakannya buat mengerjakan tugas sekolah. Saking sukanya make komputer, Baim mendesak orangtuanya buat beli komputer. Ayahnya setuju karena berpikir komputer bisa banyak berguna buat Baim ngerjain tugas-tugas sekolahnya.

Apalagi Baim bisa meyakinkan ayahnya kalau ia udah cukup pintar memakai komputer. Nggak lama kemudian, sebuah perangkat komputer lengkap dengan printernya udah ada di rumah Baim. Bisa ditebak, Baim betah berlama-lama memakainya buat main game. Tapi kalau ada orang tuanya, terutama ayahnya, Baim langsung pura-pura ngerjain tugas. Suatu hari ia dapet tugas dari gurunya buat ngerjain karya tulis. Dengan pedenya, Baim mengetik di komputer miliknya.

Karena lebih sering main game, ia jadi kurang tahu fungsi-fungsi tombol dan kabel di komputer. Pas ada ayahnya di rumah, Baim kebingungan melihat layar komputer. Ia beberapa kali mengotak-atik komputer dan printernya. Ayahnya ikutan bingung melihat tingkah anaknya.

Ayah Baim : “Baim, kamu kenapa kayak orang bingung gitu, apa ada yang rusak?”
Baim           : “Iya nih yah, aku kan udah selesai ngetik trus mau diprint tapi dari tadi nggak bisa-bisa.”
Ayah Baim : “Emangnya kamu pencet tombol apa? Kertasnya  udah disiapin belom?”
Baim            : “Wah, udah dari tadi. Kayaknya emang ada yang rusak nih. Soalnya tiap aku mencet tombol ‘print’ pasti keluar tulisan ‘can’t find printer’ kan artinya printer nggak ditemukan. Padahal printernya ada, aku taruh persis di depan monitor, lho.”
Ayah Baim : “Waduh maksudnya bukan itu, emang kabel printernya udah disambungin ke komputer belom?”
Baim             : “Belom yah. Emang harus disambungin ya, soalnya kalo aku maen game nggak usah pake nyambung kabel.”
Ayah Baim    : ???!!!

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX. 30 Agst – 5 Sept 2010. Hal 7)

Kuliner: Sluruuup....


Kuliner: Sluruuup....

Kalau dulu urusan masak-memasak bahkan bikin roti atau segala macam makanan jajanan banyak didominasi cewek, sekarang udah gak lagi. Bukannya lagi meniru-niru acara kuliner yang bertaburan di TV-tv, tapi Bu Jayus, nyokapnya Entong emang lagi mengkader si Entong biar jadi Chef sejati.

Hari itu, omnya si Entong, yang bernama Jojon lagi main ke rumah Bu Jayus, adiknya. Jangan salah, Om Jojon ini paling doyan makan. Di kantornya, cowok yang badannya lebih gede dari truk tronton ini emang ngegawangin rubrik kuliner. Dia penanggung jawab halaman kuliner.

Bu Jayus yang super ramah itu akhirnya larut dalam obrolan seputar kuliner dengan abangnya. Kalo orang Jawa bilang, ‘tumbu ketemu tutup’ yang artinya kira-kira cocok banget kerjaan dia bikin kue yang tinggal menghiasi bagian atasnya dengan gula warna-warni diserahkannya sama Entong.

“Entong............”
“Ya Bu............”
“Tolong selesein kue bikinan ibu ya, tinggal ngolesin gula aja...”
“Beres Bu............”

Bu Jayus pun nerusin ngobrolnya sama Jojon, makin kental. Sampe beberapa waktu kemudian keluarlah Entong dengan kue hasil karyanya. Om Jojon yang ngerti banget soal makanan, kaget begitu melihat kue yang wangi dan rapi. Air liurnya sampe hampir menetes saking kepengennya.

“Ayo.... dicicipi... kue buatan Entong” kata Bu Jayus sambil mengiris kue dan dikasihkannya ke Om Jojon.

“Mmmm... enak banget. Lezat sekali,” kata Om Jojon yang tau-tau mau nambah.

“Silakan loh, jangan sungkan-sungkan saya tinggal dulu mo ke warung, beli tepung. Mo bikin roti pesenenan Bu RW,” kata Bu Jayus sambil ngeloyor ninggalin Om Jojon sama Entong di ruang tamu.

Om Jojon segera mengiris lagi kuenya. Kali ini lebih gede irisannya. Gak Cuma rasanya yang enak, bentuk tulisan dan gambarnya rapi dan gak belepotan, membuat selera Om Jojon makin menjadi.

“Tong! Kamu benar-benar hebat... bisa menghias kue serapi ini dan gak ada yang belepotan sedikit pun. Kok bisa sih?” tanya Om Jojon sambil nyuap kue ke mulutnya.

“Gampang Om! Gula yang belepotannya, udah saya jilat.”

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX. 30 Agst–5 Sept 2010. Hal 7)

Pretty But Not Happy

Pretty But Not Happy

Zaman sekarang anak sekolah yang bandel udah beda banget dibanding beberapa tahun lalu, biarpun banyak juga siswa yang berprestasi. Salah satunya, seorang siswi dari SMA Harapan Bunda bernama Pretty. Cewek yang punya wajah cantik dan body sexy ini memang seneng banget gaul sampe lupa belajar. Jangan kaget kalo kamu ketemu dia di mal pas di jam-jam belajar.

Gak heran nilai ujian bahasa Indonesia pun jeblok. Jangan kan matematika dan bahasa Inggris, pelajaran kesenian yang rata-rata kelas A dan B aja, Pretty cuma dapat C. Sayang banget emang, wajahnya yang cantik dan body yang sempurna gak seimbang sama otaknya yang pendek.

Sampai suatu hari, Pak Joko, guru bahasa Indonesia di SMA Harapan Bunda yang mengajar Pretty, memanggil Pretty ke kantor karena ada hal penting sehubungan dengan nilai ujian bahasa Indoneseia Pretty yang jeblok. Bapak yang tongkrongannya seperti pembawa acara Kultum di TV itu, menunjukkan lembar kertas ujian yang ada tulisan angka 4 pake spidol merah.

Pretty yang memang nyadar udah asal-asalan menjawab saat ujian itu, buru-buru berlutut di depan Pak Joko yang duduk di kursi sambil bilang.

“Plis Pak. Saya jangan sampe gak lulus Pak. Apa kata orang tua saya kalo bahasa Indonesia saya sampe gak lulus. Saya akan melakukan apa aja yang bapak mau. Asal saya lulus bahasa Indonesia.”

Pak Joko yang tenang itu, tetap tenang dan tidak memberikan reaksi apa-apa sampe Pretty gregetan sendiri dan sekali lagi menegaskan kalimat yang barusan dia ucapkan. Pretty berdiri mendekati Pak Joko sambil mengedipkan matanya, menyibakkan rambutnya dan membisikkan kalimat yang susah ditolak oleh seorang guru bahasa sekalipun.

“Saya bersedia melakukan apa  saja yang Bapak minta. Apa saja! Asal saya bisa lulus ujian bahasa Indonesia.”

Begitulah akhirnya Pak Joko ga bisa menahan diri tetap diam mendengar tawaram yang diajukan cewek yang paling cantik seantero sekolah.

“Benar kamu mau melakukan apa aja yang bapak minta?”

“APAPUN! Apapun yang bapak minta saya akan lakukan.”

“Baiklah nak .... Bapak minta kamu belajar.”

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX. 30 Agst–5 Sept 2010. Hal 7)

20 Juni 2014

Papi Dangdut

PAPI DANGDUT

By: Lonyenk

Jumat pagi kehebohan melanda rumah kami. Aku yang lagi nyaman meringkuk di bawah selimut hangat terpaksa bangun mendengar ‘alarm’ yang keluar dari mulut Mami. Hari ini kamu sekeluarga mau mudik ke tempat Wak Ramli di kampung. Wak Ramli adalah sepupu jauh papi. Beliau akan menikahkan Kak Mira, anak sulungnya. Yang kelihatan paling antusias untuk perjalanan ini adalah Papi. Dari semalam beliau sudah kasak-kusuk memberi intruksi pada kami, barang apa saja yang harus dibawa. Maklum, selain sebagai tamu undangan, Papi juga dapat order video syuting dan foto untuk acara kawinan atau sunatan, selain jadi PNS di salah satu instansi pemerintah. Karena ini bisnis keluarga, so yang jadi pegawai Papi cukup aku dan adikku, Romi. Aku sebenarnya tidak terlalu menyukai ‘pekerjaan’ yang diberikan Papi. Bukannya tidak mau berbakti sama orang tua, tapi aku seringkali tersiksa kalau sedang menjalankan tugas. Kau tau, setiap acara hajatan di kampung, selalu menyuguhkan musik dangdut dari organ tunggal. Dan itulah masalahnya. Aku anti sama musik dangdut. Aku risih kalau mendengar lagu dengan lirik yang terus-terusan di ulang-ulang itu. Dan aku terpaksa harus mengkonsumsinya karena telingaku masih normal. Ironisnya, Papi, Mami dan Romi sangat mengandrungi musik dangdut.

Hari ini penyiksaan kupingku mulai babak baru. Sejak mobil kami meluncur meninggalkan rumah, Papi sudah menyetel musik dangdut di dalam mobil. Suaranya memang tidak terlalu kencang, tapi telinga orang normal pasti tidak dapat menangkap suara itu dengan jelas. Apalagi yang telinganya sensitif sepertiku. Dan musik itu terdengar tanpa jeda. Dari suaranya Rhoma Irama, Mansyur S, A Rafiq, Cucu Cahyati sampai Ridho Rhoma habis dilibas Papi. Begadang, Dawai Asmara, sampai Pengorbanan berjoged-joged memenuhi telinga kami. Aku muak,. Mana Romi ikut-ikutan nyanyi lagi. Sia-sia telinga ini kusumpal dengan earphone, mendengar lagu hip-hop dari i-pod. Tapi suaranya masih kalah kenceng. Akhirnya aku tak tahan. Aku harus segera berontak kalau masih mau hidup.

“Ganti dong, Pi,” pintaku sambil menyodorkan kepingan CD Usher. Aku rasa Papi tak keberatan memberiku kesempatan untuk membersihkan telingaku. Karena sudah satu jam lebih Cucu Cahyati meraung-raung di dalam mobil. Dengan wajah datar, papi mengambil dan memasukkannya ke dalam CD player. Tapi belum semenit lagu Of Your Chest berkumandang, Papi buru-buru mematikannya.

“Lho kok?” tanyaku bingung.

“Lagu apaan, nih? Kayak orang yang ngajak berantem aja,” gumam Papi dan segera menggantinya dengan lagu Pagar Makan Tanaman-nya Mansyur S. Aku melongo, hanya bisa menahan kejengkelan di hati. Amarahku kian terbakar ketika kulihat Romi terkikik menertawaiku. So, sepanjang perjalanan kami ke kampung, lagu-lagu itu sukses membuat kupingku pecah. Tak heran setiba di rumah Wak Ramli aku nyaris pingsan kehabisan udara.

***

Ironis! Kata yang tepat untuk menggambarkan diriku. Namaku Roma Perdana, pemberian Papi. Kau pasti sudah dapat mengira. Ya, nama itu memang terinspirasi dari idola Papi sepanjang masa, Rhoma Irama. Kata mami, aku memang diharapkan bakal meneruskan cita-cita Papi yang tak sempat terwujud, jadi penyanyi dangdut. Dulu Papi punya orkes melayu yang lumayan kesohor di kampungnya. Tapi garis hidup berkata lain. Papi malah bekerja di instansi pemerintah dan meninggalkan orkesnya. Makanya Papi ingin anak-anaknya kelak bisa mewujudkan mimpinya yang terpendam. Tapi aku memang berbakat menjadi anak durhaka. Bukannya mengikuti jejak papi, aku malah ‘menentangnya’ dengan menyenangi music hip-hop. Entah kenapa aku tak pernah bisa mencerna musik dangdut apalagi menyukainya. Sia-sia usia Papi. Sejak aku masih dalam kandungan, Papi selalu mendengarkan lagu-lagu dangdut dengan menempelkan earphone walkman ke perut mami. Tapi tetap saja rama itu tak familiar di kupingku.

Ambisi Papi meracuniku dengan musik kesayangannya berlanjut hingga aku lahir. Menurut Mami, setiap malam sebelum tidur lagu-lagu itu selalu menina bobo-kanku hingga kuterlelap. Dan itu terjadi sampai aku berumur 10 tahun. Sejak duduk di SMP, aku mulai berontak. Genre musik lain mulai menginvasi telingaku, menggeser kedudukan musik dangdut yang memang tak pernah bisa singgah di hatiku. Kalau Papi menonton acara tayangan dangdut di teve, aku malah memilih masuk ke kamar dan menyetel musik hip-hop kesayanganku. Gagal dengan ‘proyek’ pertama, Papi tak lantas putus asa. Ketika Mami mengandung Romi, terapi musik itu lagi-lagi dijalankan. Dan kali ini papi benar-benar berhasil. Romi begitu mencintai dangdut. Papi adalah orang pertama yang mendaftarkan anaknya di sana.

Sekedar info, saking addict-nya dengan musik dangdut, di dinding rumah kami nyaris semuanya ditutupi dengan poster Rhoma Irama. Baik yang sedang memegang gitar berkepala bunting, ataupun lagi bergelayut di batang pohon dengan aktris Yati Octavia. Aku ingat, di masa kecil dulu Papi senang bercerita tentang masa mudanya. Menurut Papi, di daerahnya tak ada orang yang tak menyukai Rhoma Irama. Bahkan masyarakat di sana rela tidak membeli beras asal dapat membeli tiket film Rhoma Irama. Sampai sekarang, Papi juga tak pernah bosan menonton film Rhoma Irama di teve. Melodi Cinta, Camelia, Pengorbanan sampai Satria Bergitar terus menduduki rating teratas di hati Papi. Padahal seingatku film-film itu sudah 13 kali tayang. Sungguh terlalu!

***

Sabtu pagi di rumah Wak Ramli benar-benar membuatku tersiksa, baru melek saja telingaku sudah disuguhi lagu dangdut yang diputar keras di ruang depan. Keperkasaan ipod yang selama ini setia menemaniku tak mampu meredam suara-suara mendayu yang diputar dengan double speaker raksasa. Aku jadi merasa aneh sendiri. Seperti Alien. Kurasa tak ada tempat yang aman untukku di sini. Kalau tak ingat tugas yang akan aku emban besok, mau rasanya aku pulang ke rumah sendirian sekarang. Untung tak lama Bang Dayat, anak kedua Wak Ramli, mengajakku pergi. Ada beberapa peralatan yang harus diambil di rumah tukang rias pengantin untuk resepsi besok, katanya. Tanpa banyak tanya aku mengangguk dengan sukacita. Setidaknya untuk beberapa waktu ke depan telingaku bisa bebas dari virus mematikan. Jarak rumah Wak Ramli ke rumah tukang rias pengantin tak terlalu jauh. Sepuluh menit dengan memakai mobil sudah sampai. Ketika kami masuk, rumah dalam keadaan sepi. Hanya ada ibu perias dengan anak gadisnya yang sedang nonton teve.

Ketika Bang Dayat beranjak ke dalam, memilih peralatan yang mau dibawa, aku menunggu sambil menonton teve bersama cewek itu. Tak lama kami pun berkenalan dan berbasa-basi. Beberapa menit kemudian kami sudah akrab dan terlibat obrolan seru. Namanya Rika. Dia sebaya denganku dan kuliah di semeter lima jurusan Sastra Inggris. Rika tak hanya cantik tapi juga pintar. Wawasannya luas. Apalagi soal musik. Referensi musiknya banyak dari berbagai genre. Sayang waktu terasa cepat berlalu. Bang Dayat kemudian muncul mengajakku pulang. Ketika berlalu aku sadar kalau sepotong hatiku telah tertinggal di sana. Untuk Rika.

***

Malam Minggu aku memberanikan diri main ke rumah Rika. Langkahku berjalan dengan mulus. Rika ada di rumah lagi baca majalah di ruang tamu. Rumahnya dalam keadaan sepi. Ibunya lagi di rumah Wak Ramli menyiapkan segala sesuatu untuk prosesi akad nikah besok pagi. Awalnya aku mau mengajak keluar. Tapi aku bingung mau kemana? Di sini hanya ada hutan, gunung dan sawah. Mau malam mingguan apa hiking, sih? Akhirnya kami putuskan mengobrol di teras depan saja sambil memandang gemerlap bintang dan mendengarkan suara jangkrik yang sibuk bernyanyi.

“Kamu nggak lagi nunggu seseorang, kan?” tanyaku basa basi. Melempar umpan.

“Siapa?”

“Pacar kamu.”

“Aku belum punya pacar,” jawabnya malu-malu.

Aha... tiba-tiba ribuan harap terbentang lebar di sini. Sepertinya episode cintaku akan segera dimulai. Tapi aku tak mau gegabah dengan langsung menembak hatinya. Aku harus lebih mengenal medan kalau mau meraih kemenangan. Ketika Rika masuk ke dalam mengambil minuman, aku juga ikut masuk sambil melihat foto-foto berbagai ukuran tertempel di sana. Tapi ada satu yang menarik perhatianku. Foto seorang pria era 70-an yang lagi memetik gitar di atas panggung.

“Ini siapa?” tanyaku pada Rika ketika dia keluar membawa minuman.

“Almarhum ayahku.”

“Beliau pemusik?”

“Ya. Gitaris sebuah orkes melayu di sini,” jawabnya sambil tersenyum. Perasaanku mulai tak enak.

“Kamu suka dangdut?” tanyaku cemas.

“Suka. Kenapa? Aku tak pernah mengkotak-kotakkan jenis musik. Sama-sama di telingaku,” jawabnya diplomatis.

Glek! Aku merasa tersindir mendengarnya.

***

Rumah Wak Ramli masih ramai ketika aku pulang dari rumah Rika pada pukul 9 malam. Ada yang membantu bikin janur, ada juga yang sekedar menjadi penggembira sembari main kartu dan menghabiskan kue konsumsi. Tapi lagi-lagi gempa melanda telingaku. Konser dadakan digelar. Mereka pada ramai karokean lagu dangdut. Dan para remaja sampai manula bau tanah semua menyumbangkan suaranya. Mending suaranya merdu. Kebanyakan dari mereka bersuara fals dan menyimpang dari kaidah-kaidah bernyanyi yang berlaku. Aku lantas memilih bergabung dengan beberapa anak sebayaku yang lagi membuat janur. Papi berada tak jauh dari tempatku, lesehan main kartu bersama bapak-bapak yang tak henti-hentinya mengisap rokok sembari menyesap kopi gratis.

“Mustahil menyanyi di atas panggung dangdut tanpa menyanyikan lagu-lagu bang haji, karena semua menyukai lagu-lagunya,” ujar Papi pada seorang bapak yang ada di sampingnya. Bapak itu hanya manggut-manggut membenarkan. Mulutnya tak bisa bicara karena lagi disumpal dengan segepok kue apem.

Romi benar-benar menjadi bintang malam ini. Suaranya yang kata Papi mirip Rhoma Irama itu menuai banyak perhatian. Cewek-cewek sontak menoleh padanya. Tentu saja Romi senang. Di sini dia bisa melampiaskan hobinya yang tak pernah tersalurkan selama ini. Romi mendadak ngetop dan menjadi idola baru kampung Wak Ramli. Setelah Romi menyelasaikan lagunya, tiba-tiba Papi maju ke depan. Oh no, rupanya Papi ingin ikutan menyumbang lagu juga. Melihat itu seseorang nyeletuk padaku.

“Wah, kalian sekeluarga benar-benar pecinta dangdut rupanya,” serunya terkagum-kagum.

Aku speechless, tak tahu harus menjawab apa. Aku hanya menyunggingkan senyum hambar. Sebelum Papi beraksi aku sudah menyingkir ke belakang. Aku mau dicap sebagai keluarga pecinta dangdut. Itu fitnah besar. Aku kemudian masuk ke kamar Bang Dayat, bersekutu dengan hape sambil sms-an sama Rika. Tak lupa kupasang earphone, mendengarkan musik dari folder mp3. Namun dari dalam kamar aku masih bisa mendengar suara baritone Papi yang lantang berkumandang.

“Begadang jangan begadaaang... kalau tiada artinya... begadang boleh sajaaaaa, kalau ada artinya....”

Dan tak ada satu pun yang mampu menandingi gelegar suara Papi saat ini.

***

Hari minggu cuaca sangat cerah. Rumah Wak Ramli telah menjelma menjadi gedung yang megah. Tenda-tenda sudah terpasang dengan kokoh. Meja-meja hidangan dan kursi pun telah tersusun rapi. Pelaminan untuk mempelai bagaikan sebuah singgasana di sebuah kerajaan. Di sana telah duduk raja dan ratu sehari yang diapit kedua orang tua masing-masing. Kak Mira dan suaminya terus saja mengumbar senyum pada semua tamu yang datang. Keduanya tampak bahagia bersanding di pelaminan. Senyum mereka kian merekah ketika melihat para undangan menyelipkan amplop di kotak uang. Dari tadi pagi aku dan Romi sudah sibuk mengemban tugas negara dari Papi. Nge-shoot momen-momen bahagia bagi kedua mempelai, mengabdikannya dengan bidikan kamera video dan kamera digital. Makin sore tamu yang datang semakin banyak. Entah sudah berapa ratus orang yang lalu lalang yang gambarnya bisa dilihat di View Finder kamera videoku.

Di sebelah pelaminan ada tenda yang dikhususkan untuk pemain organ tunggal. Bentuknya pun telah disulap menjadi panggung mini lengkap dengan sound system-nya. Dari sanalah kosentrasiku terbelah. Di panggung kecil itu sang pemain organ terus menggempur tamu-tamu tanpa ampun dengan lagu-lagu dangdut yang dilantunkan sama beberapa biduannya. Sebenarnya aku bisa saja fokus pada tugasku tapi tetap saja tidak bisa. Lagu-lagu mendayu itu terus saja bergentayangan di telingaku. Namun kemudian ada yang beda. Tiba-tiba telingaku terusik dengan sebuah intro dari lagu More Than Word-nya Extreme. Aku seperti mendapat suntikan energi mendengar lagu itu. Akan tambah surprise ketika mendengar suara Papi yang berduet dengan seorang cewek. Ada rasa bangga mendengar suara Papi yang (baru kusadari) ternyata merdu. Namun di bagian chorus aransemennya tiba-tiba berubah drastis. Musik yang tadi terdengar elegan kontan berubah menjadi ketukan irama dangdut yang mendayu-dayu. Halah, apa-apaan ini? Aku reflex menoleh dan mengarahkan kamera ke arah panggung mini. Oh my god! Aku sepertinya tak percaya apa yang kulihat. Cewek yang bernyanyi sambil berjoged bersama Papi di sana ternyata Rika. Dan cinta yang kemarin mulai tumbuh di taman hatiku tiba-tiba menjadi layu.


(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 24 tahun X . 13-19 Juni 2011 . Hal 26)