1 November 2014

Surat-Suratku Untuk Adinda

SURAT-SURATKU UNTUK  ADINDA

By: Abdillah Farkhan (Nominasi LCCG 2009)

London, September 14th 2005

Apa kabarmu, Adinda?

Maaf, baru kali ini kutulis surat untukmu. Setelah dua bulan aku merasa kita tak pernah lagi berkomunikasi lewat handphone ataupun berkomunikasi lewat email. Mungkin dengan cara ini akan lebih baik walaupun lama sekali proses penyampaiannya. Melalui suratku ini, aku ingin menyampaikan sebuah berita yang baik untukmu.

Dinda, kau pernah berkeinginan untuk mengunjungiku di London, bukan? Aku ingat. Kalimat itu kau ucapkan lima bulan yang lalu saat kita baru berkenalan. Tapi .... mengapa sampai sekarang kabarmu tidak pernah kudengar? Jangankan itu, dua bulan ini pun komunikasi kita sudah merenggang. Terakhir kau mengirm pesan hanya untuk memberitahuku tentang nilai rapor sekolahmu yang memuaskan.

Kau tak perlu mengunjungiku di sini, Dinda. Aku yang akan datang mengunjungimu. Ya, Februari nanti aku akan pulang ke Tanah Air, aku berjanji, Dinda. Kaulah orang pertama yang akan kukunjungi. Bukankah itu kabar yang sangat menyenangkan, Dinda?

Itu saja isi suratku kali ini sekaligus sebagai kabar menyenangkan untukmu. Dinda, aku ingin waktu cepat berputar ke bulan Februari nanti. Sampai jumpa, Dinda. Bulan depan akan kukirim surat lagi untukmu.

Sam.

Dear Adinda,

Bagaimana? Kau sudah baca surat pertamaku? Kau senang bukan? Aku suda janji padamu tentang dua hal: Pertama, mengenai kedatanganku ke Indonesia bulan Februari nanti. Kedua, mengenai surat yang aku tulis setiap bulannya untukmu. Dengan itu, kau mengerti sifatku, bukan? Aku bukan tipe orang yang suka ingkar janji pada orang lain. Apalagi pada temanku sendiri. Apa kau senang memiliki teman sepertiku, dinda? Aku senang sekali memiliki teman sepertimu. Apalagi kita bertemu. Kita kan bisa bisa saling mengenal.

Adinda, minggu depan nanti akan ada pertandingan basket antar sekolah di kotaku. Sebagai pecinta olahraga apalagi untuk basket, aku tentu takkan melewati kesempatan ini. Apalagi aku ini ketua tim basket putra di sekolahku. Dinda, doakan aku, ya semoga sekolah kami yang akan memenangkan pertandingan itu.

Sekian dulu suratku, Dinda. Aku jamin, bulan depan suratku sudah kau genggam dan kau simpan di meja kamarmu.

Your Friend, Sam.

London, November 14th 2005

Adinda, it’s me, Sam. Apa kabarmu?

“Kabar baik”, semoga itu yang kau katakan di sana. Apalagi aku ini. Semakin hari, aku semakin bersemangat melakukan apa pun jika aku ingat padamu. Ingat dengan sebuah kata ‘Dinda’ tentunya.

Dinda, tim sekolahku memenangkan pertandingan basket di London. Kau tahu, aku sungguh tak menyangka saat timku mendapat point lebih tinggi saat babak final. Dinda, ini semua tak lepas dari doa dan dukunganmu selama ini. Terima kasih, Dinda. Kau memang teman yang sangat baik.

Dinda, ada hal yang ingin aku tanyakan padamu. Mengapa meskipun aku menulis surat kau tak pernah membalasnya? Mengapa saat kucoba hubungi nomor Hp mu malah gagal karena nomormu tidak aktif? Mengapa akhir-akhir ini kamu tidak pernah membalas emailku? Mengapa, dinda? Apa sekarang dirimu sedang bermasalah? Kalau memang iya, setidak-tidaknya kau masih bisa cerita padaku. Sebagai teman, aku tentu akan selalu membantumu menyelesaikan semua masalah-masalahmu. Tolong, Dinda...tolong jangan pendam masalahmu sendiri. Maaf, Dinda. Apa kau masih menganggapku teman? Jujur saja, aku ingin persahabatan kita ini tidak hanya dilukiskan dengan kata-kata sebuah surat ataupun diucapkan dalam mulut saja. Aku ingin hubungan ini benar-benar kita jalani. Aku sudah sering bercerita banyak tentangku, namun bagaimana denganmu? Jangankan itu. Kabarmu saja tidak pernah lagi kudengar. Sebenarnya ada apa, Dinda? Ada apa dengan dirimu sekarang? Aku sudah mencoba menjadi teman yang baik untukmu. Dan aku yakin kau pun akan berkata seperti itu padaku.

Maafkan aku, Dinda. Aku sudah lancang menikam perasaanmu. Sekali lagi, maafkan aku.

Sam

London, December 14th 2005

Dinda, kau masih marah dengan kata-kata di suratku bulan lalu? Aku tahu kata-kataku kemarin terlalu memaksa. Maafkan aku, Dinda. Aku sudah terlanjur membuatmu tersinggung. Padahal sebenarnya aku tidak ingin melakukan itu padamu. Namun perlu kamu tahu, aku tidak dapat menyembunyikan betapa rindunya aku akan kehadiranmu meskipun hanya sebuah kabar darimu.

Dinda, melalui surat kali ini, aku ingin berkata jujur padamu. Dengan surat inilah aku ingin mengungkapan bagaimana sebenarnya perasaanku kepadamu setelah aku didera rasa rindu berkepanjangan. Dinda, sebenarnya aku amat menyayangimu. Bukan sayang sebagaimana seorang sahabat. Namun rasa sayang seorang laki-laki kepada perempuan sebagaimana mestinya. Kau pasti mengerti maksudku tanpa harus kujelaskan. Aku mencintaimu, Adinda ....

Itulah sebabnya aku selalu saja merasa muram karena menunggu balasanmu yang tak kunjung datang. Yang pasti, Dinda... aku ingin hubungan ini jauh lebih baik dari hubungan kita sebelumnya. Aku ingin kita berdua saling terbuka akan semua masalah kita. Aku ingin kita bersama-sama melewati rintangan demi rintangan dengan suka dan penuh kasih sayang. Aku janji, Dinda... akan kulakukan apapun untukmu. Hanya untukmu.
Cintamu, Sam.
London, January 14th 2006

Apa kabarmu di tahun baru ini, Kasih? Pasti semakin hari semakin baik-baik selalu keadaanmu, iya, kan? Apalagi bulan depan adalah bulan yang sangat dinanti-nantikan untuk kita. Aku akan datang tepat di tanggal yang sama dengan suratku kali ini. Sungguh, aku senang sekali, Dinda. Aku akan bertatap muka langsung denganmu. Aku...ah, aku sungguh tak sanggip lagi menanti bulan depan?

Dinda, setelah lulus sekolah aku akan melanjutkan kuliah di Indonesia. Ya, ayahku mengijinkan bersekolah tinggi di sini. Itu artinya, aku dan kamu bisa akan sering bersama-sama. Tidak seperti saat-saat yang lalu. Dimana aku sangat merasa kesepian....

Dinda, jangan kemana-mana ya? Kalau saat bahagia itu datang, tunggu aku. Aku pasti akan menemanimu. Dan satu lagi. Selama aku ada di Tanah Air nanti, aku ingin kau selalu menemaniku. Percayalah, Dinda.... cintaku suci umtukmu.
Cintamu, Sam.

Jakarta, 14 Februari 2006, 08.35 WIB

Jakarta, kota dimana aku mulai menyapa dunia.

Jakarta, kota dimana aku menghabiskan masa kecilku bersama orang-orang yang sangat menyayangiku.

Jakarta, kota yang selalu hadir dalam mimpiku begitu aku ingat mereka-mereka.

Jakartaku, aku datang.

Ayah, Ibu, sahabat-sahabat kecilku, aku datang.

Dan Adinda.... aku datang!!!

“SAM!!!” salah seorang pria berteriak memanggilku begitu aku keluar dari Bandara. Ternyata Ayah.

Ayah dan Ibu menjemputku di Bandara. Mereka melambaikan tangan kepadaku dengan muka penuh haru saat tubuhku menyembul dari pintu keluar Bandara. Mereka berdua tersenyum manis menatap ke arahku tanda mereka menyambut hangat kedatanganku. Padahal sejujurnya, ada satu orang lagi yang sangat aku nanti-nantikan kehadirannya. Seseorang yang selalu hadir di dalam mimpiku, Adinda.

“Ayah, Ibu...,” kataku sambil memberi mereka buah tangan berupa peluk dan cium.

“Gimana sekolahmu, Sam?”

“Siiip... juara satu olimpiade basket di London. Kapten lagi,” jawabku pamer. Ayah dan Ibu hanya dapat tersenyum geli mendengarnya.

“Capek ya, Sam?”

“Lumayan sih. Tapi...,” ucapanku tersendat. Oh, untung saja tidak kulanjutkan. Sebenarnya yang akan kuucapkan tadi aku tidak akan pernah capek untuk menemui cintaku di sini. Di negara ini.

“Tapi apa?”

“Eh...anu, tapi Sam .... laper! Iya! Sam laperrrrrr banget. Kita mau makan dimana?” fuhh.... untung saja aku bisa bersandiwara pada Ayah Ibuku. Kalau ketahuan dan dipaksa jujur.... ketahuan deh! Malunya aku.

“Oh....kamu laper? Tenang aja, Sayang.... Ibu udah siapin gado-gado kesukaan kamu.”

“Wah... gado-gado?” tanyaku sambil melotot.

“Iya, dong... di London nggak ada, kan?” ledek Mama.

Aku terseyum nyinyir. Sesaat kemudian kami bertiga segera naik ke mobil dan langsung meluncur menuju kediaman kami terlebih dahulu.

Di dalam mobil, aku lebih banyak diam dan melamun. Begitupula dengan Ayah dan Ibu. Mereka sedikit sekali mengajakku bicara. Mungkin mereka pikir aku kelelahan. Namun, sesungguhnya, aku sedang memikirkan Adinda. Aku membayangkan gadis itu. Aku amat ingin bertemu dengannya. Adinda, aku benar-benar rindu padamu. Apa di sana kau juga sedang menanti kehadiranku?

***
12.00 WIB

Aku mengendarai mobil yang kupinjam pada Ayah. Ya, inilah saat yang aku tunggu-tunggu. Baju mewah dan rapi sudah kukenakan. Seikat bunga mawar merah dan puisi cinta sudah kupersiapkan. Kado untuk si dia sudah kutata rapi sejak di London sebelum kedatanganku ke Tanah Air. Berbagai macam perasaan rindu, bahagia, romantis, semuanya sudah aku ekspresikan untuknya. Semua itu untuk Adinda, kekasihku.

Aku menyetel musik lewat radio yang kukendarai. Sebuah siaran kutangkap lewat pendengaranku. Ah, sial. Ternyata itu berita kematian. Jenuh juga aku dengan radio itu. Kuganti kemudian dengan tape mobil dan musik hip-hop dari kaset itu kudengarkan. Kepalaku tak henti-hentinya bergoyang-goyang mengikuti alunan musik hip-hop itu.

Hingga akhirnya aku sampai di kawasan tempat gadisku tinggal. Aku segera memperlambat kelajuan mobilku. Kemudian segera kumatikan musik dari tape mobil. Jarak mobilku dan rumahnya hanya tinggal beberapa puluh meter saja. Sementara hati ini tak henti-hentinya mengatakan ‘aku datang untukmu, Dinda, lihatlah ke depan, aku sudah sampai di depan rumahmu’.

Namun, ada yang aneh dari rumah itu saat kali pertama aku mengunjunginya. Rumah ini memancarkan kesan muram dan kesedihan. Banyak orang bergantian ke sana dengan busana serba hitam. Bukan hanya itu, sehelai bendera kuning berkibar pad kayu yang dikaitkan dengan tiang listrik. Oh....ada apa ini? Aku sendiri malah menyimpulkan, ada yang meninggal di rumah itu. Apakah  Ayahnya? Ibunya? Neneknya? Atau salah satu saudara Dinda? Entahlah....

Ternyata benar. Di sana memang ada yang meninggal. Namun siapa? Dinda... Dinda... kasihan kau! Di saat seperti ini kau malah sedang mendapat musibah. Tak ada yang dapat kulakukan untuknya kecuali... menghiburnya. Membuat ia tertawa dan melupakan semua kesedihannya karena kehilangan seseorang yang mungkin dekat dengannya.

Aku tak dapat mengurungkan niatku untuk menemuinya. Bagaimanapun juga Dinda adalah kekasihku. Apalagi di saat-saat begini dan dalam keadaan seperti ini. Dinda pasti membutuhkanku. Aku juga telah berjanji padanya bahwa aku akan datang menemuinya hari ini juga. Aku tentu tak boleh ingkar janji pada janjiku.

Tanpa pikir panjang aku segera keluar dari mobil sambil membawa rangkaian bunga mawar. Paling tidak dengan bunga ini, aku sudah membuatnya terhibur.

“Maaf Dinda ada?” tanyaku pada salah seorang yang bertakziah di rumah gadis yang baru saja kusebut namanya. Aneh, orang kutanyai bukannya menjawab atas tanyaku, namun malah heran melihatku disusul kemudian malah menghindariku. Ada apa sebenarnya?

Aku tak peduli pada orang itu. Aku tetap saja melangkahkan kakiku ke depan. Salah seorang sedang mengurus tenda akhirnya kutanyai.

“Maaf, ini rumahnya Adinda, kan?”

“Iya, benar. Memangnya kenapa?”

Aku masih bisa tersenyum karena memang benar kalau ini rumah Adinda, gadis yang selama ini selalu hadir di dalam pikiranku.

“Memangnya mas ini siapa, ya?”

“Saya Samuel. Pacar Adinda.”

“Oh...yang dari London, ya?”

“Yah, anda benar! Maaf memangnya siapa yang meninggal ya, Mas?”

“Apa? Sebagai pacar kamu tidak tahu siapa yang meninggal.”

“Mmm...saya baru datang dari London pagi tadi. Bisa saya ketemu sama Adinda?”

Lagi-lagi jawabannya menggeleng. Dan anehnya lagi, orang yang kutanyai kali ini malah menyuruhku duduk di kursi yang dekat dengan pohon palm. Orang itu bukannya masuk untuk memanggil Adinda, malah tetap di tempat dan melanjutkan pekerjaannya mengurus tenda. Aku menurut saja. Di dekat pohon palm itu memang ada dua buah kursi. Akhirnya aku duduk di salah satu kursi tersebut.

Sepasang benda berukuran setengah meter dan bercat biru bersandar di pohon palm itu. Bagai disambar petir aku melihat benda tersebut. Saat itu pula baru kuketahui kenyataannya. Tiba-tiba saja, kakiku saat itu lemas sekali untuk kugerakkan. Mulutku seperti terkunci rapat. Dan mataku berkunang-kunang.

Ya Tuhan!!! Batinku berteriak. Nama ‘Adinda’ terpampang pada benda itu. Adinda? Adinda? Adinda? Hatiku bertanya-tanya tak percaya. Air mata mulai menggumpal kemudian menitik perlahan. Jadi inikah tujuannya orang itu menyuruhku duduk di sini? Lalu aku menoleh ke arah orang itu. Pria yang sedang mengurus tenda itupun menatapku seraya mengangguk. Suatu anggukan yang berarti bahwa kau harus menerima semua ini. Kemudian...

Sebuah tangan halus membelai bahuku. Aku pun menengok. Ternyata seorang wanita. Lalu dengan segera kuusap air mataku.

“Sam?”

Aku hanya dapat mengangguk karena memang itulah jawabannya.

“Aku Marsyellia, kakak Adinda,” ujar wanita yang mengaku kakak dari pacarku itu duduk di sebelahku.

“Sungguh tak disangka ya, Sam? Tanggal yang seharusnya bertaburan kata cinta malah berubah menjadi hari yang penuh duka,” ucapnya lembut.

“Kedatanganku terlambat.”

“Tidak, Sam. Kau datang di saat waktu yang tepat.”

“Aku datang di saat yang pas? Di saat Dinda sedang pergi itukah yang dimaksud dengan saat yang pas? Mengapa dia tidak bercerita sesuatu padaku? Aku yakin, dia pasti merahasiakan sesuatu dariku. Iya, kan? Dan sesuatu itu pasti berat baginya untuk ia terima. Benar begitu, Marsyellia?”

“Dia rasa percuma saja ya, bercerita tentang masalah-masalahnya padaku?” sambungku tanpa menunggu jawaban dari perempuan bernama Marsyellia itu.

“Kau benar, Sam. Bulan Juli yang lalu adalah komunikasinya denganmu untuk yang terakhir.”

“Mengapa begitu?”

“Dinda sakit, Sam. Sudah setahun dia mengidap Leukimia. Karena itulah, Dinda hanya bisa pasrah seolah-olah hidupnya ia gunakan untuk menunggu kematian.”

“Karena itu juga dia tidak membalas surat-suratku? Mengapa Dinda begitu egois padaku? Mengapa Dinda mengecewakan di saat aku mengharapkan dia untuk menjadi kekasihku? Bahkan... Dia tidak membalas cintaku, Marsyellia.”

“Mengertilah, Sam. Apa yang Dinda lakukan karena Dinda tidak mau kau tahu bahwa Dinda terserang penyakit ganas. Dinda tak mau mengecewakanmu. Yang aku tahu, Dinda selalu tersenyum setiap menerima surat darimu. Bahkan setiap kali bercerita tentangmu kepadaku, Dinda sangat bersemangat. Tentangmu saat di London. Kau akan pulang ke Indonesia, kau juara basket, kau mengatakan cinta padanya... itu saja sudah bisa membuat Dinda gembira. Hanya dengan mengingatmu Dinda kembali merasa bersemangat untuk melawan hidupnya. Namun dia juga tahu sia-sia saja begitu kalau pada kenyataannya dia sakit. Dia lebih suka memendam perasaan, Sam.”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Jangan, Sam. Jangan menangis. Jangan buat Dinda lebih sedih.

“Kemarin adalah hari yang sangat bahagia bagi Adinda. Kau tahu? Berkali-kali dia mengatakan ‘aku akan menunggumu, Sam.’ Tapi...tapi malam harinya.... semua harapannya untuk bersamamu hilang, Sam,” tangis Marsyellia pun pecah.

Marsyellia mengusap airmatanya dengan sehelai tisu yang sedari tadi melekat di tangan kanannya. Lalu sebuah amplop berhiaskan bunga-bunga indah ia ulurkan kepadaku. Ada namaku di sana.

“Apa ini?”

“Sebelum Dinda meninggalkan kita, dia sempat menuliskan sesuatu, Sam. Ini...satu-satunya surat balasan untukmu yang sengaja tidak ia layangkan padamu. Surat ini Dinda tulis tepat setelah menerima suratmu di bulan Desember.”

Amplop itu kuterima dengan lembut. Kemudian kubuka dan kubaca isinya. Ya Tuhan!!!

AKU MENCINTAIMU, SAM.....

Air mata ini tak berhenti mengalir dari pelipis mataku. Maafkan aku, Dinda. Belum sempat kau rasakan kebahagiaan bersamaku. Terima kasih, karena kau telah mencintaiku. Maafkan aku.

Aku melangkah masuk ke dalam rumah gadisku. Aku sampai di dekat jasadnya. Dia sudah terbaring. Kemudian kubuka kain penutupnya. Aku pandangi wajah Adinda yang selama ini belum pernah kulihat bagaimana. Sungguh cantik rupa Adinda. Aku tersenyum menatap wajah Adinda. Aku masih menangis. Kau cantik sekali, Dinda. Aku sangat menyayangimu.

Tak kusangka kedatanganku yang seharusnya sebagai pertemuan pertama malah menjadi perpisahan. Bunga mawar yang seharusnya ada di tangannya, kini harus kuletakkan di atas peristirahatannya yang terakhir.

Aku takkan bisa melupakanmu, Dinda. Kaulah orang pertama yang singgah di hatiku. Aku akan selalu mencintaimu. Selamanya.

Dan surat-suratku untuk Adinda adalah satu-satunya caraku...untuk dapat terus mengenang cinta pertamaku.

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 41 tahun IX . 25-31 Oktober 2010 . Hal 26)

***

0 komentar:

Posting Komentar