17 September 2016

Chocolate Shop Frenzy - Free Download Full Version for Games PC

Are you ready to become a chocoholic? Get ready for the fast-paced life of the chocolate business, and help Emma achieve her life long dream to become a chocolate shop owner. Emma just quit her marketing job and she now has to successfully run the chocolate shop for 12 months to pay back the loan. Evil competitors and other special events are not making her job any easier.

Link Alternative: Mega | TheFilesLocker | Yandex Disk | Mediafire | Files | Uptobox

Screenshots

Sumber
: www.bigfishgames.com

11 September 2016

Ruti Siput dan Ciki Ayam


Ruti Siput dan Ciki Ayam

By: Deny Wibisono
        Ruti siput adalah siput yang ramah dan rajin menyapa teman-temannya.

                “Selamat pagi, Ciki!” sapa Ruti pada Ciki Ayam di suatu pagi.  

            Ciki Ayam sangat sombong. Bukannya balas menyapa, ia malah mengejek Ruti.

             “Hei, hewan lamban! Aku penasaran ingin melihat cara kau berlari! Kalau ada banjir, kau pasti yang tenggelam lebih dulu. Hahaha...” ledek Ciki.

           Ruti hanya tersenyum kecil, lalu merayap meninggalkan tempat itu.

             “Tidak baik mengejek sesama makhluk hidup, Ciki,” nasihat Pak Robi Kelinci yang kebetulan ada di situ.

         “Memangnya kenapa? Dia memang lamban, kan?” Ciki Ayam tak peduli.

                “Ciki, semua binatang punya kelebihan dan kekurangan.”

          “Hahaha... memangnya apa kelebihan si Ruti lamban itu? Tidak ada!”

            “Pasti Ruti punya kelebihan. Kau berani bertanding dengannya?” tantang Pak Robi Kelinci.

            “Aku bersedia bertanding apa pun dengan Ruti. Asal jangan adu lari paling lamban saja! Hahaha...” Ciki kembali tertawa mengejek.

            Pak Robi kelinci segera pergi menemui Ruti. Ia lalu menanyakan, apa kelebihan Ruti. Pak Robi ingin agar Ruti bertanding dengan Ciki, agar Ciki berhenti mengejek.

           “Biarkan saja Ciki mengejekku. Nanti juga dia capek sendiri. Aku memang tidak punya kelebihan apa-apa,” jawab Ruti pelan.

            “Ciki perlu diberi pelajaran. Coba pikir baik-baik. Kau pasti punya kelebihan Ruti!” bujuk Pak Robi.

              Ruti terharu mendengar ucapan Pak Robi.

        “Apa, ya, kelebihanku? Aku cuma bisa merayap pelan. Tubuhku selalu dipenuhi lendir. Aku bisa merayap di tanah dan memanjat pohon,” ucap Ruti.

           “Ah, itu dia!” teriak Pak Robi Kelinci dengan senyum mengembang. 

        “Kita tantang Ciki lomba memanjat pohon. Bagaimana menurutmu?”

          Ruti tersenyum setuju. Saat itu juga Pak Robi menemui Ciki. Semula Ciki bingung mendengar tantangan Pak Robi. Namun karena sudah terlanjur berjanji, ia pun terpaksa setuju.

Ilustrasi: Benny
          Semua binatang berkumpul menyaksikan pertandingan memanjat pohon itu. Pak Robi sengaja memilih pohon kelapa. Pohon yang tinggi dan tak bercabang, agar Ciki tidak bisa meloncat.

         Pertandingan pun dimulai. Semua binatang tertawa melihat Ciki yang kebingungan memanjat pohon. Ciki malu sekali karena dikalahkan seekor siput.

              Setelah pertandingan, Ciki meminta maaf pada Ruti. Ciki dan Ruti pun menjadi sahabat baik. Ciki kini sadar, semua makhluk mempunyai kelebihan dan kekurangan. Mulai hari itu ia berjanji untuk menghargai makhluk lain.

(Sumber: Bobo Edisi 22. Tahun XXXVII. 10 September 2009. Hal 2)

10 September 2016

Nat's Secret


Nat’s Secret

By: L. Heni Susilowati

Di antara teman-teman barunya, Nat tampak sangat berbeda. Cantik, berkulit bersih, dengan seragam dan sepatu yang bagus. Namun ia merasa sendirian. Itu sebabnya, di hari pertama masuk sekolalah, ia tidak merasa gembira.

Di awal pelajaran, Bu Naning sudah memperkenalkan dia. Bu Naning meminta anak-anak menjadi temannya. Namun, Nat hanya punya satu teman. Sandra, teman sebangkunya. Itu pun kalau Nat tahan berteman dengannya.

Sandra bukanlah teman yang menyenangkan. Ia egois dan sombong. Saat istirahat, hanya dia dan Nat yang tidak diajak bermain teman-teman lain.

“Nat mau pindah sekolah saja, Ma. Enggak enak sekolah di situ,” keluh Nat dalam perjalanan pulang ke rumah.

“Hm,” terdengar suara Mama. “Kita bicarakan di rumah saja, ya.”

Nat sudah hafal jawaban Mama. Sejak pindah ke kota ini, Mama benar-benar konsentrasi mengemudi. Menghafal jalan, kata Mama.

Nat tahu, namun tidak mau mengerti. Apa susahnya menyetir sambil bicara. Kan, enak, tidak diam saja seperti ini. Ia memonyongkan mulutnya.

Mama melirik.

“Natalie!” Mama menyebut nama panjangnya.

Buru-buru Nat menarik mulutnya ke posisi sebenarnya.

Hhh, makin panjang saja deret keluh Nat tentang kepindahan mereka ke kota itu...

Mama menepati janji. Sampai rumah, sambil makan siang, Mama mendengarkan keluh kesah Nat. 
Ilustrasi: Bondhan

“Tidak usah pindah sekolah, Nat,” kata Mama. “Kamu sudah tahu, kan, mengapa Papa dan Mama memilih sekolah itu untukmu.”

“Iya, sekolahnya bermutu, tak jauh dari rumah. Tapi kampungan,” jawab Nata asal
.
Mama tersenyum mendengar jawaban Nat.

“Sebenarnya, ada secret-nya untuk mendapatkan teman,” kata Mama sambil lalu.

Sepasang alis Nata terangkat mendengar kata secret. Rahasia. Belakangan ini, Nat senang sekali belajar bahasa Inggris. Kak Muti, sepupunya, mendapat beasiswa kuliah di luar negeri. Wow, Kak Muti cas cis cus kalau bicara! Nat jadi benar-benar ingin seperti sepupunya itu.

“Bagi ke, Nat, dong, Ma, secret-nya.”

Hari masih pagi, ketika Nat sampai di sekolah. Sekolah sepi. Baru dia sendiri yang datang. Damai rasanya. Nat duduk di bawah pohon, di depan kelas, memperhatikan halaman sekolah yang lapang.

Anak-anak lain lalu mulai berdatangan.

“Kamu piket?” tanya Ami heran, melihat Nat yang sudah datang.

Nat menggeleng tanpa suara. Ia ingat pandangan tak bersahabat Ami kemarin. Namun tiba-tiba ia ingat kata secret. Buru-buru ia tersenyum manis pada Ami.
Ilustrasi: Bondhan

Melihat senyum Nat, Ami berkata,” Aku piket dulu, ya. nanti kutemani mengobrol.”

Aha, Nat terperangah senang!

Ketika Nuri datang dan melihatnya, Nat cepat-cepat tersenyum.

“Kamu pagi sekali. Kukira tak bisa bangun pagi,” sapa Nuri.

“Bisa, dong,” Nat tertawa.

Diam-diam Nat malu. Memang ini pertama kalinya ia bangun pagi. Hari ini sungguh ajaib. Teman-temannya menjadi ramah. Padahal kemarin mereka seperti menganggap dia tidak ada.

Saat dijemput Mama siang itu, wajah Nat berseri.

“Aku senang Mama sekolahkan aku di sini. Temanku baik-baik. Terima kasih secret-nya, Ma.”

Hm, apa ya secret-nya!?

Tak kenal maka tak sayang.

Teman-teman baru, yang belum mengenal Nat, pasti mengira dia anak yang manja, pilih-pilih, sombong. Itu karena dia anak tunggal, kaya, pindahan dari kota besar. Mama ajarkan di the power of smile. Kekuatan tersenyum. Itulah secret dari Mama.
Ilustrasi: Bondhan

(Sumber: Bobo Edisi 22. Tahun XXXVII. 10 September 2009. Hal. 30-31)

Misteri Hilangnya Jam Tangan Dokter Ho


Misteri Hilangnya Jam Tangan Dokter Ho

By: Sevira Eliza


Jam tangan dokter Ho hilang. Dokter Ho adalah dokter keturunan Tionghoa yang ramah. Para tetangga biasa berobat padanya. Dokter Ho selalu memeriksa nadi pergelangan tangan pasiennya. Ia menghitung detak jantung pasien di dalam hati, sambil melihat jam tangan kesayangannya.    
Ilustrasi: Bondhan

Sayangnya, sudah seminggu ini jam tangan itu hilang. Jam antik itu warisan dari kakek buyutnya. Terbuat dari emas putih dan tidak perlu menggunakan baterai. Bentuknya bundar dengan ukiran naga yang indah sekali.

Dokter Ho sudah membongkar laci meja prakteknya, mengeluarkan buku-buku dari lemari kacanya, untuk mencari jam itu. Bahkan ia meminta istri dan pembantunya untuk ikut mencari. Namun jam itu seperti hilang ditelan bumi.

Cucu dokter Ho, Ali Ho, menceritakan masalah ini pada abangku. Koko Ali sudah kelas 3 SMP, satu sekolah dengan abangku.

Abangku, Bang Hasyieb, memang terkenal sebagai detektif sekolah. Ia disegani di sekolah sejak berhasil menemukan Nakula-Sadewa yang hilang. Mereka adalah dua ekor kura-kura mini yang ada di laboratorium Biologi. Kasus kura-kura ini cukup heboh, karena keduanya adalah sumbangan Bapak Bupati.

Ternyata kedua kura-kura itu lolos dari akuarium. Selama dua hari mereka terjebak di saluran air washtafel yang lubangnya tak tertutup. Pantas saja, menurut Pak Mori, penjaga sekolah kami, setiap malam terdengar suara-suara aneh menggema di laboratorium. Sempat muncul isu, ada hantu di laboratorium sekolah.

Kembali pada kasus hilangnya jam tangan dokter Ho...

Selepas sholat Ashar, abangku meminta ijin pada Ibu untuk berkunjung ke rumah dokter Ho. Jaraknya hanya tiga blok dari rumah kami.
Ilustrasi: Bondhan

Koko Ali menyambut kami dengan bergembira. Ia lalu mengajak kami menemui kakeknya, yaitu dokter Ho. Tak lama kemudian, kami bertiga sudah duduk manis, mendengarkan cerita dokter Ho. Menurut dokter Ho, ia merasa kehilangan jam itu saat menerima pasien di hari Rabu sore. Ketika akan memeriksa nadi pasien, ternyata jam tangannya tidak ada di pergelangan tangannya. Dokter Ho terpaksa memeriksa nadi sambil melihat jam meja. Setelah tidak ada pasien lagi, dokter Ho kembali mencari jam tangannya. Semula ia mengira jam itu tertinggal di washtafel, namun ternyata tidak ada. Ia, istri dan pembantunya lalu sibuk mencari. Namun tetap tak menemukan jam itu.

“Apa kegiatan dokter sebelum menerima pasien hari itu?” tanya Bang Hasyieb.

“Saya minum teh hijau di teras rumah sambil makan camilan. Itu biasa saya lakukan sebelum jam 4 sore,” jawab dokter Ho. “Kemudian, datanglah Prof. Ridho, kenalan lama saya. Ia ilmuwan terkenal, peneliti tanaman obat. Dua puluh tahun lalu, kami sempat membuat karya ilmiah mengenai tanaman obat asli Indonesia,” cerita dokter Ho.

Prof. Ridho ternyata ingin meminjam karya ilmiah itu untuk penelitian terbarunya. Kebetulan dokter Ho masih menyimpannya. Sebagai tanda terimakasih, Prof. Ridho memberika dokter Ho pena emas. Pena itu didapat Prof. Ridho sebagai penghargaan atas penelitiannya mengenai kandungan kunyit sebagai obat sakit perut.

Dokter Ho lalu menyimpan pena itu di brankas, di kamar bacanya. Brankas itu memiliki tombol yang dapat diputar. Hanya pemilik brankas yang mengetahui kode-kode nomor di tombol tersebut untuk membuka brankas.

“Apakah Dokter pernah membuka brankas itu, sejak menyimpan pena?” tanya abangku. Dokter Ho menggeleng lesu.

“Kalau dokter tidak keberatan, bolehkah saya melihat brankas tersebut?” tanya Bang Hasyieb sopan. Dokter Ho pun mengajak kami ke ruang bacanya.

“Dari dulu saya ingin sekali memakai stetoskop. Bolehkah saya pinjam stetoskop Dokter?” Bang Hasyieb memasangkan stetoskop itu ke telinganya, kemudian meletakkan sungkupnya di dadanya sendiri. “Hmm, semoga bisa untuk mendengar detak jam juga...” katanya lagi sambil tersenyum geli, lalu memindahkan sungkup stetoskop itu ke pintu brankas.

Dokter Ho tiba-tiba menyerngit.

“Astaga...” gumamnya seperti menyadari seseuatu.

Aku dan Koko Ali juga mendelik, baru mengerti. Bang Hasyieb cuma mengangguk dan tersenyum. Dokter Ho buru-buru membuka brankasnya.

Sesaat kemudian, sebuah jam tangan antik, yang telah dicari dimana-mana itu, berada dalam genggaman dokter Ho.
Ilustrasi: Bondhan

“Mungkin tali jam itu sudah mulai longgar. Jadi, saat Dokter menaruh pena emas, jam itu ikut tersimpan juga,” ujar Bang Hasyieb sambil menyerahkan stetoskop dokter Ho.

Dokter Ho tersenyum bahagia.

(Sumber: Bobo Edisi 22. Tahun XXXVII. 10 September 2009. Hal 18-19)

Bunga-Bunga Oma Lila

Bunga-Bunga Oma Lila

By: Maria Wiedyaningsih

Ilustrasi: Yoan

   Wow, kejutan! Li-El tidak menyangka akan menemukan taman bunga seindah itu. Rasa bosan Li-El karena sendirian menghilang.

     Li-El dan Petra sedang bermain ke rumah Dodo, sepupu Petra. Sekarang Dodo dan Petra sedang pergi sebentar ke tetangga. Karena malas jalan kaki, Li-El tidak ikut.

        Perhatian Li-El teralih begitu melihat lapangan basket mini. Sebentar kemudian, dia asyik bermain basket. Sekali lagi dia menembakkan bola ke arah ring. Lalu ... meleset!

      Li-El hanya bisa bergeming. Bola itu memantul dari papan ring, lalu mengenai bunga-bunga. Satu pot pecah. Belum lagi beberapa kuntum bunga langsung rontok.

      “Seenaknya saja kamu merusak bunga-bungaku!”

      Li-El berpaling cepat. Dia tidak menyangka kalau Dodo dan Petra sudah kembali.


Ilustrasi: Yoan

      “Maaf, aku ...,” ujar Li-El tergagap.

     “Bibit bunga-bunga ini berasal dari kebun Oma Lila,” Dodo melanjutkan marahnya. “Oma Lila pasti sedih kalau tahu bunga-bunga ini rusak.”

      “Aku kan benar-benar tidak sengaja!” ujar Li-El, mulai kesal. Meskipun begitu dia langsung tahu siapa Oma Lila. Pasti nenek Dodo. “Dulu kamu juga merusak istana pasirku. Aku tidak terlalu marah,”

      Waktu pertama bertemu, tanpa sengaja Dodo merusak istana pasir Li-El. Bukannya minta maaf, Dodo justru meledek. Kenapa sekarang Dodo marah begini? Padahal kesalahan mereka hampir sama.

      “Jadi sekarang kamu mau membalas?!” tanya Dodo kesal.

      “Bukan begitu!”

      “Bunga-bunga itu bisa tumbuh lagi!” sela Petra, berusaha menengahi.

       Sepertinya Li-El dan Dodo tidak mendengar Petra.

      “Oma Lila pasti berharap bunga-bunga ini membuatmu senang,” ujar Li-El akhirnya. “Beliau pasti sedih kalau bunganya membuat kamu galak begini.”

       Dodo tertegun. Namun, wajahnya masih terlihat marah.

     Waktu pulang, Li-El masih sangat kesal. Bahkan esoknya, kekesalannya masih tersisa.

      “Masih kesal pada Dodo?”

      Li-El terkejut, tiba-tiba Petra ada di ruang keluarganya.

      “Dulu Dodo tidak terlalu suka pada Oma Lila,” cerita Petra setelah duduk di samping Li-El. “Menurutnya, Oma Lila terlalu cerewet.”

      Cerita seperti ini sudah sering didengar Li-El, membuatnya tersenyum.

      “Kira-kira setahun lalu, Oma Lila memberi Dodo biji bunga,” lanjut Petra. “Dia malas menanamnya. Meskipun sebenarnya Dodo tidak ingin membuat Oma Lila kecewa. Jadi saat ditanya, Dodo berpura-pura sudah menanam bunga matahari itu.”

      Petra terlihat ragu-ragu melanjutkan ceritanya.

     “Lalu ... Oma Lila meninggal dua minggu setelah itu.”

      Li-El terpana. Saat bertengkar dengan Dodo, dia sama sekali tidak tahu Oma Lila sudah meninggal. Li-El memang belum lama mengenal Dodo. Jadi, Li-El tidak mengenal Oma Lila.

      “Dodo baru ingat biji dari Oma Lila. Dia menanamnya,” lanjut Petra. “Dia kaget sekali waktu tahu itu ternyata biji bunga krissan.”

       Li-El kian terpana. Pasti Dodo sangat merasa bersalah. Oma Lila tidak menegurnya, meskipun tahu Dodo belum menanam biji pemberiannya. Mungkin sejak itu Dodo rajin menanam bunga-bunga.

      Setelah Petra pergi, Li-El merenung. Dia paham kenapa Dodo marah. Namun, seharusnya Dodo mengerti, Li-El sama sekali tidak sengaja. Seharusnya Dodo yang minta maaf duluan.

      Uuuh ... kalau sama-sama tidak mau mengalah, kapan mereka bisa baikan?

      “Mungkin aku yang minta maaf duluan, deh,” pikir Li-El.

     Barangkali kalau Li-El membawa bunga, Dodo jadi lebih mudah memaafkannya. Hitung-hitung mengganti bunga yang rusak kemarin. Akhirnya, Li-El memilih pot dengan bunga yang paling indah di halaman rumahnya.

      Namun, betapa terkejut Li-El. Dodo sudah menemuinya lebih dulu. Selama beberapa saat keduanya hanya berdiri canggung.


Ilustrasi: Yoan

       “Bunga tercantik, untuk anak paling baik,” ujar Dodo, menyerahkan pot berisi bunga.

         Dodo tersenyum melihat Li-El bengong.

      “Oma selalu berkata begitu kalau memberikan bunga pada seorang anak,” jelas Dodo. “Kurasa itu cara Oma menasihati semua anak yang ditemuinya. Agar menjadi anak baik.”

       Li-El tersenyum.

     “Kamu benar,” ujar Dodo lagi. “Oma pasti sedih kalau gara-gara bunganya, aku bersikap galak.”

       Senyum Li-El kian lebar. Dia tahu, Dodo selalu sayang pada neneknya. Meskipun kadang Dodo menganggap Oma Lila cerewet.

     “Bunga tercantik, untuk anak paling baik,” ujar Li-El tulus, mengulurkan pot bunganya. Li-El benar, Dodo memang anak yang baik, meskipun kadang suka iseng.
  
      Dodo terpana. Sesaat kemudian, senyumnya mengembang.

(Sumber: Bobo Edisi 22. Tahun XXXVII. 10 September 2009. Hal. 8-9)