Minggat itu bikin repot
By: Palris Jaya
Bel pulang
sekolah sudah berdentang sejak dua jam lalu. Sekolah sudah sepi. Pak Damar, penjaga sekolah, sudah
membersihkan kelas. Tanto melangkah gontai ke kantin. Tampak Bu Damar sibuk
membereskan dagangannya.
“Lo, Tanto,
kok, belum pulang?” sapa Bu Damar.
“Lagi malas
pulang, Bu,” kata Tanto lemah.
“Nanti
dicari mamamu, lo!” ujar Bu Damar, lalu mulai menghitung uang hasil jualannya.
Tanto hanya
melengos. Ia lalu menawarkan bantuan pada Bu Damar untuk menghitung uang.
Dengan senang hati, Bu Damar mengizinkan. Usai menghitung, Tanto diberinya
sepotong roti cokelat.
Di depan
sekolah, Tanto bingung mau pergi ke mana. Ia melangkah ke halte. Entah sudah
berapa bus jurusan ke rumahnya yang lewat. Namun ia membiarkannya saja. Tanto
memang tidak berniat pulang. Ia mau minggat!
Ilustrasi: Piet. O |
“Aku sebaiknya ke mana, ya? Perutku sudah lapar. Harusnya sekarang aku sudah makan siang, lalu beristirahat sambil mendengarkan musik. Ah, tapi beberapa hari ini, kegiatanku tidak begitu, kok!” gumam Tanto.
Kemarin,
sepulang sekolah, Tanto mampir dulu di warung sewa play station di dekat
rumah Gunar. Demikian juga hari-hari sebelumnya. Ia hampir selalu tiba di rumah
pada pukul enam sore. Ia lupa makan, lupa mengerjakan PR, lupa pergi mengaji...
uang jajan yang ditabungnya selama seminggu pun habis! Akibatnya, tadi malam,
Mama marah besar.
Sebagai
hukuman, Tanto tidak diberi uang jajan selama satu minggu. Hanya ongkos bus. Ia
juga tidak boleh keluyuran pulang sekolah. Selama satu minggu ke depan, Mama
akan melihat kelakuannya. Jika sudah tidak melakukan pelanggaran lagi, barulah
ia akan mendapatkan uang jajannya kembali.
“Mama pasti
tidak sayang padaku!” keluh Tanto. “Kok, tega menghukumku seberat ini. Betapa
enaknya Gunar, yang bebas pulang jam berapa saja. Uang jajannya juga banyak.
Apalagi, Gunar punya PS sendiri di rumah. Walau Gunar memang lebih suka main di
warung play station. Lebih ramai dan seru!”
Akhirnya
Tanto memilih berjalan kaki ke warung PS. Mungkin sekarang Gunar sedang main PS
di sana, pikirnya. Dengan bercucuran keringat, Tanto tiba di warung PS. Tampak
beberapa anak sedang bermain PS. Sebagian menunggu giliran. Akan tetapi, Gunar
tidak ada di situ.
Tanto
semakin gelisah. Ia akhirnya pergi ke rumah Gunar yang tak jauh dari warung
itu. Namun Gunar tidak ada di rumah. Kata pembantunya, Gunar pergi ke mall
bersama mamanya. Tanto kehabisan akal.
Hari sudah
menjelang sore. Perut Tanto semakin keroncongan. Uangnya sakunya tinggal untuk
ongkos pulang. Tiba-tiba Tanto ingat roti cokelat pemberian Bu Damar tadi. Ia
melahap roti itu setelah tiba di halte lagi.
Apakah Mama
sekarang sedang mencariku? Batinnya. Apakah Mama sekarang memikirkan aku yang
belum pulang? Mungkin saja. Buktinya kemarin-kemarin, ketika aku terlambat
pulang, Mama marah-marah. Marah itu, pertanda sayang, bukan? Mama marah, bukan
karena Mama membenciku! Tiba-tiba pikiran seperti itu muncul di benak Tanto.
Ilustrasi: Piet. O |
Sekarang
giliran Tanto memikirkan Mama. Bagaimana kalau Mama menyangka aku diculik? Lalu
Mama melapor ke polisi sambil menangis? Tanto tidak tahan membayangkan kalau
dirinya benar-benar diculik. Ia akhirnya naik ke bus jurusan rumahnya. Ia ingin
cepat-cepat pulang dan minta maaf pada Mama.
Tanto
menyesali kebodohannya hendak minggat. Bukankah lebih baik kalau langsung
pulang ke rumah usai jam sekolah? Lalu makan siang dengan sop kepiting asparagus.
Minum jus jeruk yang segar. Setelah itu tidur siang sebelum berangkat mengaji?
Tanto
berlari kencang masuk ke halaman rumah. Namun rumahnya sepi. Biasanya, di sore
seperti ini, Mama dan Bik Marti sibuk mengurusi tanaman. Tanto masuk ke rumah
dan mencari Mama di kamar. Tidak ada siapa-siapa di rumah. Tanto jadi cemas.
Jangan-jangan Mama sedang berada di kantor polisi.
Tenggorokan
Tanto jadi kering. Ia segera menuju kulkas untuk mengambil minuman. Saat itu ia
melihat pesan Mama yang ditempel di pintu kulkas,
Tanto,
Mama Papa pergi ke rumah Om Herman. Dia baru pulang dari Kanada. Mama sudah
tunggu kamu dari tadi. Karena belum pulang juga, kamu Mama tinggal. Bik Marti
sedang menjenguk keponakannya yang melahirkan. Makanan sudah disiapkan. Supnya
mungin sudah dingin.
Ilustrasi: Piet. O |
Tanto merasa ingin menangis. Ternyata Mama masih memperhatikannya. Kenapa tadi ia bisa berpikiran buruk kepada Mama? Sampai ingin minggat segala. Bukankah minggat itu bikin repot dirinya sendiri? Mondar-mandir tak karuan. Menahan lapar seharian. Bahkan ditinggal Mama ke rumah Om Herman.
Rencana
minggat yang gagal total! Tanto malu sendiri. Namun perutnya yang kelaparan
minta segera diisi. Sup kepiting asparagus kesukaaannya, meski sudah dingin,
kali ini terasa seribu kali lebih nikmat. Nyam... nyam...
(Sumber: Bobo edisi 24. Tahun XXXVII.
24 September 2009. Hal. 48-49)