19 November 2017

Kisah Kupu-Kupu Sombong

Kisah Kupu-Kupu Sombong

By: Yoga Triana

Ada seekor kupu-kupu kecil, badannya ramping mungil. Sepasang sayapnya berwarna kelabu bergaris-garis biru. Sayapnya bercorak titik-titik berwarna kuning kemilau, dihiasi totol-totol warna hitam.

 Karena keindahan sayapnya, Kupu-Kupu Kecil jadi sombong, ia suka membanggakan diri dan mengolok-olok binatang lain. Waktu bertemu dengan seekor kumbang hitam, Kupu-Kupu Kecil meledek,

“Tubuhmu jelek, hitam pekat seperti arang!”

Saat melihat seekor katak sedang berjemur di pinggir kali, Kupu-Kupu Kecil juga mengejek,

“Punggungmu menjijikan, mulutmu juga lebar sekali!”

Suatu malam, Kupu-Kupu Kecil melihat sinar berkedip-kedip mendekat ke arahnya. Sinar itu memancar dari tubuh seekor binatang kecil. Rupanya, binatang itu adalah kunang-kunang. Dipandanginya Kunang-Kunang dengan perasaan kagum.

“Oh, sungguh indah binatang itu. Dia mempunyai sinar terang di tubuhnya.”

Kupu-Kupu Kecil ingin memiliki cahaya seperti Kunang-Kunang. Ia ingin tubuhnya menjadi lebih indah dengan cahaya itu. Kupu-Kupu Kecil lalu bertanya, “Kunang-Kunang, dari mana kamu mendapatkan sinar itu? Aku ingin sekali memilikinya, agar aku bisa berkeliaran di waktu malam.”

“Aku sejak lahir sudah begini,” Kunang-Kunang menjelaskan. “Tetapi, setahuku, ada benda lain yang juga selalu bersinar, yaitu api.”

“Di mana api itu berada?”

“Di rumah manusia pada malam hari.”

Kupu-Kupu Kecil sangat gembira mendengar penjelasan Kunang-Kunang. Segera ia terbang menuju ke rumah manusia. Kupu-Kupu Kecil berhasil masuk melalui celah angin di atas jendela.

Kupu-Kupu Kecil langsung terpesona saat melihat api menyala di sebuah pelita. Pelita adalah lampu sederhana yang menggunakan minyak. Api itu memancarkan sinar yang menerangi seluruh ruangan.

Ilustrasi: Mono

Dengan penuh semangat, Kupu-Kupu Kecil mendekati pelita itu dan menyambar apinya. Ia ingin mengambil sedikit api untuk ditempelkan di tubuhnya. Tetapi malang, api itu malah membakar sayapnya.

“Awww!” Kupu-Kupu Kecil terbang menjauh sambil berteriak kesakitan.

Sayapnya yang indah terbakar. Kupu-Kupu Kecil menyesal karena tak puas pada keindahan yang telah dimilikinya. Kini, ia tak bisa menyombongkan diri lagi.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal 2)

18 November 2017

Yang Tak Diundang


Yang Tak Diundang

By: Boyke Abdillah

Mama mendapat Alia tengah melamun di kamar. Wajahnya kelihatan sedih. Padahal biasanya setiap pulang sekolah, Alia langsung mengganti pakaian dan makan siang tanpa perlu diingatkan.   

 “Alia, kenapa murung begitu? Kamu sakit?” Mama menyentuh kening Alia. Alia berusaha tersenyum saat menyadari kehadiran Mama.

“Ah, tidak ada apa-apa, Ma,” jawab Alia singkat.

Mama menarik napas panjang. Kemudian berkata lagi.

“Alia, wajahmu tak bisa berbohong. Sekarang ceritakan, apa kamu punya masalah di sekolah tadi?”

Alia tak langsung menjawab. Ia bimbang mengatakan yang sebenarnya. Tetapi, apa salahnya kalau ia cerita?

“Mama tahu Regi, teman sebangkuku, kan? Tiga hari lagi ia merayakan ulang tahun. Semua anak di kelasku diundang. Tapi aku tidak,” ujar Alia sedih.

“Kenapa kamu tidak diundang?”

“Justru itu, Alia tidak tahu. Mungkin dia masih marah karena Alia mendapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris. Regi, kan, anak yang paling jago bahasa Inggris di kelas.”

“Mama lihat, Regi anak yang baik. Masa cuma gara-gara itu kamu tak diundang? Bisa jadi dia lupa. Kamu enggak coba bertanya padanya?”

“Buat apa? Enggak diundang, kok, malah nanya? Aku enggak mau!” cetus Alia dengan suara meninggi. Mama membelai rambut Alia.

“Ya sudah. Tak usah dimasukkan ke dalam hati. Berbesar hati saja kalau memang tak diundang. Sekarang kamu ganti baju dulu, terus makan. Mama sudah siapkan menu kesukaanmu,” ujar Mama akhirnya.

Wajah Alia masih memberengut. Tetapi, ia turuti saja nasehat Mama dan beranjak dari tempat tidur. Terasa perutnya semakin keroncongan.

Hari ini Regi kelihatan sibuk dengan persiapan pesta ulang tahunnya. Dia mengingatkan teman-teman agar datang. Dengar-dengar, pestanya pun diselenggarakan oleh jasa event organizer. Maksudnya, dikerjakan oleh sekelompok orang yang ahli dalam membuat acara. Anak-anak semakin penasaran. Seperti apa, sih, acaranya nanti?
Ilustrasi: Agus

Regi memang anak orang kaya. Semua anak senang bergaul dengannya. Ia sering membagi-bagikan makanan, permen, cokelat, atau buku-buku cerita pada teman-teman. Prestasinya pun pantas diacungi jempol. Ia selalu juara kelas.

Alia hanya mendengarkan kehebohan teman-temannya tanpa semangat. Hati kecilnya bertanya-tanya. Benarkah Regi tak mengundangnya hanya karena Alia mendapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris tempo hari? Alia masih ingat ekspresi kekecewaan di wajah Regi saat ia hanya mendapat nilai 83. Waktu mengetahui Alia dapat nilai 100, raut tak senang jelas terpancar di wajahnya. Alia tak menyangka kalau Regi tak sebaik yang ia kenal.

Malam itu, Alia duduk gelisah di depan TV. Tak satu pun acara di TV menarik perhatiannya. Sebentar-sebentar, saluran TV dipindahkannya dengan menggunakan remote. Mama yang dari tadi memperhatikan, datang menghampiri.

“Kamu masih memikirkan ulang tahun Regi, ya?”

 “Ah, kenapa mesti dipikirin?” ujar Alia asal saja.

Alia bangkit dan beranjak menuju kamar. Ia tak ingin Mama membahas itu lagi. Semakin membuat Alia bersedih. Dari tadi, pikirannya terus melayang membayangkan suasana pesta di rumah Regi. Tadi siang di sekolah, mereka sudah janjian untuk datang sama-sama.

Di kamar, Alia memandangi kado yang telah ia siapkan seminggu lalu. Alia menyorongkan kepalanya di balik bantal, mencoba menghilangkan rasa sedih di hatinya. Tak lama, akhirnya ia pun tertidur.
Ilustrasi: Agus

“Alia, ada yang datang, nih,” suara Mama memanggil. Alia tersentak. Ia mengucek-ucek matanya dan berjalan menuju pintu.

“Siapa?”

“Lihat saja sendiri.” Mama pun berlalu.

Alia penasaran, bergegas ke ruang tamu. Di sana, ia melihat Regi. Masih memakai baju pesta. Cantik sekali. Tetapi raut khawatir tampak dari wajahnya.

“Alia, kamu sakit? Sedih melihatmu tak datang ke acaraku.”

Alia memandang Regi dengan tatapan tak mengerti. Sejenak ia merasa bingung dengan ucapan Regi itu. Lama baru ia menjawab.

“Maaf, Regi, aku... aku, kan, tak diundang.”

“Tak mungkin! Semuanya aku undang, kok. Apalagi, kamu, kan, teman sebangku aku.”

“Aku pikir, kamu masih marah padaku karena aku dapat nilai tertinggi ulangan bahasa Inggris tempo hari. Makanya aku tak diundang,” ujar Alia.

Mendengar ucapan itu, Regi terlihat kaget.

“Alia, masa aku marah karena itu? Aku cuma kecewa tidak bisa konsentrasi waktu belajar. Waktu itu, aku terlalu memikirkan acara ultaku ini,” jawab Regi. “Maafkan aku ya, Alia. Mungkin aku yang lupa memeriksa semua undangan. Ini aku bawakan sesuatu untukmu.”

Dengan tulus, Regi menyerahkan bingkisan ulang tahun dan kue-kue pada Alia. Raut muka Alia pun berubah jadi sedikit malu.

“Justru aku yang minta maaf karena telah berburuk sangka,” Alia merangkul teman sebangkunya itu. “O ya, aku telah menyiapkan kado untukmu. Tunggu sebentar, ya.” Alia berlari ke kamarnya.

Di luar, Mama, Papa, dan supir Regi tersenyum melihat tingkah keduanya. 

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 26-27)

Upacara Pagi Itu


Upacara Pagi Itu

By: Titiek Limarty

Setiap kali melihat Pak Danu, hatiku langsung berdebar-debar. Badan kekar, kulit hitam, kumis tebal, dan suara yang menggelegar, cukup membuatku takut. Pak Danu terkenal karena kegalakannya. Semua siswa di SD Prestasi ini pasti tidak mau berurusan dengan Pak Danu.

Sebagai Wakil Kepala Sekolah, Pak Danu sebenarnya sangat berwibawa. Apabila ada siswa yang nakal, biasanya bila ditangani oleh Pak Danu, segera berubah menjadi lebih baik. Guru-guru pun kelihatan segan dan hormat padanya. Namun, aku tetap takut bila berpapasan dengannya. Di dalam hati, aku berjanji untuk tidak nakal, agar tidak perlu berurusan dengan beliau.

Pagi itu, matahari bersinar sangat cerah. Hari Senin, sekolah kami selalu mengadakan upacara bendera. Kelasku, kelas 4 A, mendapat jadwal sebagai petugas upacara. Aku ditugaskan oleh Bu Sandra, wali kelasku, sebagai pemimpin upacara. Karena terbiasa melihat kelas lain melaksanakan upacara, aku merasa sanggup untuk melaksanakan tugas dengan baik.

Upacara pagi itu, sama sekali tidak berjalan seperti harapanku. Teman-teman pengibar bendera berjalan tidak serempak. Riana yang membawa bendera berjalan tegap. Namun, Andri dan Banu di samping kiri dan kanannya melakukan kesalahan. Tangan dan kaki mereka maju ke depan secara bersamaan. Terlihat sangat janggal. Kudengar suara beberapa teman yang tak kuasa menahan tawa. Tak berani kutatap wajah guru-guru di hadapanku. Aku yakin mereka sedang menahan rasa kecewa dan marah.
Ilustrasi: Roedyriff

Saat tiba giliran pembaca Pembukaan UUD 1945, Adam maju dengan langkah tegap. Bagus, bisikku di dalam hati memuji Adam. Tak berapa lama kemudian, Adam mulai membaca dengan tergagap. Bahkan, ada beberapa kalimat yang terlewatkan. Kemudian, Adam mengulangnya dengan menggunakan kata “eh”. Kali ini, hampir seluruh peserta upacara tertawa terkikik.

Aku hampir saja menundukkan kepala tak kuasa menahan malu. Tetapi, sebagai pemimpin upacara yang baik, seharusnya aku tidak melakukan itu.

Tiba saatnya menyanyikan lagu nasional Satu Nusa Satu Bangsa dan Mars SD Prestasi. Tari, temanku yang cantik, memimpin seluruh peserta upacara untuk menyanyi bersama.
Ilustrasi: Roedyriff

“Marilah kita menyanyikan lagu Satu Nusa Satu Bangsa dengan birama 4 per 4, jatuh pada ketukan yan ke-4! Suara Tari meyakinkan. Ini pasti berhasil, kataku dalam hati.”

“Saatuuu nuuusaaa saaatuuu baaangsaaa...” suara Tari bergetar hebat, terdengar menggigil.

Semua peserta tidak kuasa menahan tawa. Ledakan tawa hebat menggelegar di lapangan upacara.

Dadaku sesak, hampir aku menangis saat itu. Aku ingin segera lari dari tempatku dan menangis sepuasnya entah di mana. Tetapi, aku pemimpin upacara, tak mungkin aku meninggalkan tanggung jawabku. Kutatap Tari yang wajahnya sangat ketakutan. Kuanggukan kepalaku padanya agar dia melanjutkan tugasnya. Tari memandangku pasrah dan melanjutkan tugasnya sebagai dirigen. Lagu demi lagu akhirnya dapat dibawakannya dengan baik.

Akhirnya, upacara selesai dan aku harus memberikan laporan kepada Pembina Upacara.

“Upacara selesai! Laporan selesai!” teriakku lantang menghapus rasa sedihku.

“Siap! Bubarkan!”

Upacara telah benar-benar usai. Seperti biasa, Pak Danu memberikan komentar berhubungan dengan pelaksanaan upacara pagi itu. Aku merasa ketakutan, karena pasti beliau akan menghukum kelas kami. Selain itu, aku juga merasa malu atas kesalahan yang kami lakukan. Kami semua menunduk ketika Pak Danu mulai memberi komentarnya.
Ilustrasi: Roedyriff

“Anak-anakku, semua orang pasti pernah melakukan kesalahan. Tak terkecuali dengan teman-teman kita dari kelas 4A. Apalagi bagi mereka, ini adalah pengalaman pertama menjadi petugas upacara. Yang Bapak sesalkan adalah tanggapan kalian semua! Dengan menertawakan mereka, berarti kita menganggap diri kita lebih hebat dari mereka. Bapak berharap kita bersikap wajar saja, bila ada kesalahan seperti tadi. Jangan menertawakan teman!” suara Pak Danu yang menggelegar membuat aku semakin berdebar-debar. Aku mulai memberanikan diri menatapnya.

“Baiklah. Kita semua memang perlu belajar. Belajar untuk menjadi petugas upacara yang baik.”

Hening sejenak. Semua menunggu keputusan Pak Danu.

“Minggu depan, petugas upacara tetap kelas 4A. Bapak harap dapat lebih baik dari hari ini! Buat semua peserta, harap lebih tertib dan menghargai petugas upacara. Sekian! Silakan kembali ke kelas!”

Semua bertepuk tangan dengan keputusan Pak Danu. Kulihat wajah-wajah penuh tekad dari teman-temanku untuk bertugas lebih baik minggu depan. Wajah teman dari kelas lain tak kalah bersungguh-sungguh untuk menjadi peserta upacara yang lebih baik lagi.

Hatiku riang bukan kepalang. Sementara teman-teman kembali ke kelas, aku berlari mengejar Pak Danu. Sosok yang selama ini kutakuti, berubah menjadi orang yang paling kukagumi. Kuambil tangannya, kucium dengan penuh hormat.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 42-43)

Kasus Reuni Papa


Kasus Reuni Papa

By: Rina Budiati

Sore ini, rumah Dion dangat ramai. Papa mengadakan reuni bersama teman-teman SMU-nya. Sekitar tiga puluh orang datang. Teman-teman papanya sangat ramah. Dion bisa mengobrol santai dengan mereka. Dion sangat tertarik pada salah satu teman Papa. Om Danang namanya.  

“Dari dulu, kau masih saja gemuk,” ujar Papa bercanda dengan Om Danang.
Ilustrasi: Yan B

Selain bertubuh gemuk, penampilan Om Danang juga lebih menarik dibanding tamu yang lain. Acara sore ini merupakan pesta santai. Kebanyakan teman Papa memakai baju lengan pendek. Akan tetapi, Om Danang terlihat kepayahan dengan baju lengan panjangnya. Pendingin ruangan sepertinya tidak terlalu berpengaruh baginya.

 “Sepertinya, kau salah kostum,” Papa geleng-geleng kepala. “Mau kupinjami bajuku, agar tidak terlalu gerah?”

“Kau ada-ada saja,” ujar Om Danang tertawa.

Setelah seperempat jam beramah tamah dengan teman-teman Papa, Dion berniat pergi ke kamar. Namun, langkah Dion terhenti.

“Sepertinya ada yang aneh waktu aku bersalaman dengan salah satu teman Papa.”

Dion menepis perasaan itu dan melanjutkan langkahnya. Baru sebentar Dion berada di kamar, didengarkan ketukan pintu. Mama muncul dengan wajah cemas.

“Gawat Dion,” ujar Mama, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Patung kuda Papa hilang!”

Patung antik satu-satunya milik Papa, hilang? Papa pernah cerita, harganya mencapai belasan juta rupiah. Pasti ada seseorang yang diam-diam mengambilnya dari kamar Papa dan Mama. Padahal, pintu kamar mereka tidak terlihat dari ruang keluarga, tempat pesta berlangsung.

“Papa sudah tahu?”

Mama mengangguk.

“Siapa kira-kira yang mengambilnya, Ma?” tanya Dion buru-buru.

Mama menggeleng. Dion bisa menebak pikiran Mama. Hari ini ada begitu banyak orang di rumah. Namun mereka tidak boleh mencurigai seseorang begitu saja. Apalagi kenalan mereka.

“Mungkin ada pencuri menyelinap tanpa kita ketahui,” ujar Mama.

Dion berpikir keras. Untuk masuk ke ruang dalam rumah Dion, harus melewati ruang tamu. Kalau ada pencuri, pasti mereka bisa melihatnya.

Di sekeliling rumah Dion, ada halaman sempit yang berbatasan dengan rumah tetangga. Pagarnya lumayan tinggi. Kalau ada pencuri masuk ke rumah Dion, dia harus melompat lebih dulu ke halaman rumah tetangga. Kalau begitu, sih, pencurinya pasti lebih memilih mencuri di rumah tetangga.

Kalau pun pencuri itu tetap nekat ke rumah Dion, dia harus melompati pagar pembatas. Lalu, dia bisa ke halaman belakang dan masuk ke rumah melalui dapur. Tetapi, itu tindakan yang sangat mencolok. Pasti ada yang memergokinya. Tidak mungkin ada pencuri di rumahku, putus Dion. Mama kelihatannya juga berpikir begitu.

Dion dan Mama kembali ke tempat pesta. Tidak ada orang yang membawa tas yang cukup besar untuk menyimpan patung itu. Tamu perempuan semuanya membawa tas tangan mungil. Sedangkan tamu laki-laki, tidak ada yang membawa tas sama sekali.

Lalu, Dion minta izin pada Mama untuk masuk ke kamar Mama dan Papa. Dion meneliti ke sana ke mari. Tiba-tiba, Dion melihat sesuatu. Ada yang menyembul di bawah lemari. Dion menariknya.

“Bola?”

Dion kebingungan memegang bola plastik kempis itu. Ukurannya lebih kecil dari bola untuk bermain sepakbola. Dion yakin, bola itu bukan miliknya.

“Jangan-jangan... ini ada hubungannya dengan hilangnya patung Papa?” pikir Dion.

Dion berusaha keras mencari hubungan itu dengan teman-teman Papa. Satu-satunya cara untuk mencari tahu adalah dengan kembali mengamati mereka. Tanpa Dion sadar, matanya terpaku pada Om Danang.

“Pa, jari-jari Om Danang ....,” bisik Dion hati-hati.

Sekarang Dion mengerti, kenapa tadi perasaannya aneh saat bersalaman dengan Om Danang. Jari-jari Om Danang terlalu kurus untuk tubuh gemuknya.

Papa tersenyum sedih. Dion bingung. Dia sudah menemukan petunjuk, namun sepertinya Papa tidak menyambutnya. Dion jadi ragu-ragu memperlihatkan temuannya. Dia tambah tidak mengerti saat Papa membiarkan Om Danang pulang.

“Trims, Dion,” Papa menepuk bahu Dion. “Kamu detektif yang sangat hebat.”

Papa tertunduk lesu di ruang keluarga. Sesaat kemudian, Papa tampak menelepon seseorang. Dion jadi penasaran.

Ia semakin penasaran ketika beberapa saat kemudian Om Danang kembali ke rumah mereka. Papa dan Om Danang berbicara serius. Tiba-tiba Om Danang mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya. Dion terkejut. Ternyata, Om Danang memakai tas pinggang khusus di balik bajunya. Pasti Om Danang menyimpan bola yang tadi ditemukan Dion di kamar. Bola itu dibuang setelah dikempiskan, lalu diganti dengan... patung kuda Papa!
Ilustrasi: Yan B

“Terima kasih karena kau tidak melaporkanku ke polisi,” kata Om Danang pada Papa.

Papa tersenyum penuh pengertian. Ditepuk-tepuknya bahu Om Danang yang kelihatan malu dan sedih. Rupanya tadi Papa menelepon Om Danang dan meminta baik-baik agar ia mengembalikan patung kuda Papa.

“Papaku memang teman yang baik,” gumam Dion di dalam hati.

(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII. 18 November 2010. Hal. 18-19)

2 November 2017

Brain Challenge - Free Download Full Version for Games PC


Exercise various area of cognitive function in this game, including logic, math, memory, and visual thinking. 

Link Alternative Mega | TheFilesLocker | Yandex Disk | Mediafire | Sendit | Files | Uptobox

Screenshots



Sumber: www.bigfishgames.com