Tangisan di Malam Hari
By: Yoga T
Tak seperti biasanya, pagi itu, Eci
melihat kesibukan di rumah yang berada di seberang rumahnya. Rumah yang telah
lama kosong itu kini berpenghuni. Tampak seorang ibu sibuk membersihkan lantai
dan ruangan.
“Ma, siapa yang
menempati rumah kosong itu?” tanya Eci penasaran.
“Mama
dengar-dengar, sih, rumah itu ditempati Pak Anto dan keluarganya. Mereka
pindahan dari Yogyakarta,” jawab Mama.
“Syukurlah.
Rumah itu sekarang tidak terlihat angker lagi. Soalnya Eci sering merinding
kalau melihat rumah yang kosong,” tutur Eci.
Mama
tersenyum geli mendengar perkataan Eci.
Malamnya,
Eci tidak bisa tidur. Di keheningan larut malam itu, ia mendengar suara
tangisan yang menyayat hati. Suara anak perempuan! Eci menduga suara itu
berasal dari rumah tetangga barunya. Padahal setahu Eci, keluarga itu tidak
memiliki anak perempuan. Iiih... Eci jadi merinding.
Ilustrasi: Piet. O |
Malam
berikutnya, Eci kembali mendengar suara tangisan yang sama. Kali ini terdengar
lebih nyaring memecah keheningan. Meskipun penasaran, Eci tidak berani
memeriksa asal suara itu. Bagaimana kalau tiba-tiba muncul wajah yang
menyeramkan di jendela kamarnya? Membayangkan itu, seketika Eci melompat dari
tempat tidurnya dan berlari masuk ke kamar mamanya.
Pagi
harinya, Eci bercerita pada mamanya tentang suara-suara yang didengarnya.
“Tapi, Mama
tidak mendengar suara tangisan, kok,” komentar Mama Eci.
“Mama sudah
tidur pulas, sih. Suara itu baru terdengar saat sudah larut malam,” ujar Eci
dengan wajah tegang.
Dari jendela,
Eci lalu memperhatikan rumah tetangganya dengan seksama. Keluarga Pak Anto
tidak terlihat. Pintu rumahnya tertutup rapat. Aneh? Pikir Eci.
Sore harinya,
Eci mencari-cari kucing kesayangannya.
“Caty!
Caty!” panggilnya.
Sekilas Eci
melihat kucingnya masuk ke halaman rumah Pak Anto. Dengan sedikit ragu Eci
melangkah membuntutinya. Dari balik pagar tembok, ia melongok-longok ke dalam
halaman. Tampak sepi.
Ketika
menengok ke arah samping rumah, Eci melihat ada seorang anak perempuan sedang
duduk di kursi. Anehnya anak itu berpakaian serba tertutup. Wajahnya pun
memakai cadar. Tentu saja Eci kaget. Namun karena penasaran ia mencoba
menegurnya.
“Hai...”
sapanya dengan gugup.
Secepat
kilat anak itu malah masuk ke dalam rumah tanpa menoleh. Eci semakin penasaran.
Sekarang ia baru tahu kalau di rumah itu ada anak perempuan yang misterius.
Pada
kesempatan lain, Eci menghampiri Bu Anto yang sedang menyiram bunga. Bu Anto
ramah menyambut Eci. Setelah bercakap beberapa waktu, Eci memberanikan diri bertanya.
Ilustrasi: Piet. O |
“Maaf, ya,
Bu Anto. Apa Ibu punya seorang anak perempuan?”
Sejenak Ibu
Anto terdiam. Perlahan, ia meletakkan selang airnya di tanah. Matanya
menerawang jauh. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Sebelum-nya,
ibu mau minta maaf. Ibu memang punya seorang puteri yang kira-kira sebaya
denganmu. Namanya Tari. Bukannya Ibu tidak mau memperkenalkan putri Ibu pada
para tetangga... Tapi, Tari sekarang sedang mendapat cobaan... ” Bu Anto
berhenti.
“Cobaan?
Maksud Ibu?” tanya Eci.
“Wajah Tari
tersiram minyak goreng panas. Kulit pipinya melepuh. Itu sebabnya dia selalu
mengurung diri dan tidak mau bertemu orang. Hampir setiap malam Tari menangis
sedih. Sebetulnya Tari akan menjalani operasi. Tapi, mentalnya belum siap,”
tutur Bu Anto lagi dengan sedih.
Bu Anto
kemudian mengajak Eci masuk ke rumahnya. Di dalam sebuah kamar, Eci mendapati
seorang anak perempuan bercadar yang dijumpainya tempo hari. Itulah Tari.
“Mau apa
kamu ke sini? Pergi!” bentak tari.
“Ini Eci,
tetangga kita. Ia mau berkenalan denganmu, Tari,” terang Bu Anto.
“Hai, aku
Eci! Aku ingin berteman denganmu. Ibumu sudah bercerita tentang kamu. Aku turut
prihatin. Tapi aku yakin, kamu pasti akan sembuh kembali bila dioperasi. Nanti
kita bisa ke sekolah sama-sama,” Eci menjabat tangan Tari. Ia mencoba menghibur
dan memberi semangat kepada Tari.
Ilustrasi: Piet. O |
Sejak
kejadian itu, Eci selalu bermain ke rumah Tari. Ternyata setelah berkenalan
dengan Eci, perlahan-lahan Tari bersemangat lagi. Ia tidak murung, apalagi
menangis di malam hari. Eci membujuk Tari supaya mau dioperasi. Sampai akhirnya
Tari mau dioperasi. Semua mendoakannya.
Beberapa
bulan kemudian, wajah Tari benar-benar sembuh. Wajahnya cantik kembali. Namun
yang penting, Tari menjadi anak yang ceria lagi. Eci turut bahagia.
(Sumber: Bobo edisi 36. Tahun XXXVII. 17
Desember 2009. Hal. 26-27)