SURAT-SURATKU UNTUK ADINDA
By: Abdillah Farkhan
(Nominasi LCCG 2009)
London, September 14th
2005
Apa
kabarmu, Adinda?
Maaf,
baru kali ini kutulis surat untukmu. Setelah dua bulan aku merasa kita tak
pernah lagi berkomunikasi lewat handphone ataupun berkomunikasi lewat email.
Mungkin dengan cara ini akan lebih baik walaupun lama sekali proses penyampaiannya.
Melalui suratku ini, aku ingin menyampaikan sebuah berita yang baik untukmu.
Dinda,
kau pernah berkeinginan untuk mengunjungiku di London, bukan? Aku ingat.
Kalimat itu kau ucapkan lima bulan yang lalu saat kita baru berkenalan. Tapi
.... mengapa sampai sekarang kabarmu tidak pernah kudengar? Jangankan itu, dua
bulan ini pun komunikasi kita sudah merenggang. Terakhir kau mengirm pesan
hanya untuk memberitahuku tentang nilai rapor sekolahmu yang memuaskan.
Kau tak
perlu mengunjungiku di sini, Dinda. Aku yang akan datang mengunjungimu. Ya,
Februari nanti aku akan pulang ke Tanah Air, aku berjanji, Dinda. Kaulah orang
pertama yang akan kukunjungi. Bukankah itu kabar yang sangat menyenangkan,
Dinda?
Itu saja
isi suratku kali ini sekaligus sebagai kabar menyenangkan untukmu. Dinda, aku
ingin waktu cepat berputar ke bulan Februari nanti. Sampai jumpa, Dinda. Bulan
depan akan kukirim surat lagi untukmu.
Sam.
Dear
Adinda,
Bagaimana?
Kau sudah baca surat pertamaku? Kau senang bukan? Aku suda janji padamu tentang
dua hal: Pertama, mengenai kedatanganku ke Indonesia bulan Februari nanti.
Kedua, mengenai surat yang aku tulis setiap bulannya untukmu. Dengan itu, kau
mengerti sifatku, bukan? Aku bukan tipe orang yang suka ingkar janji pada orang
lain. Apalagi pada temanku sendiri. Apa kau senang memiliki teman sepertiku,
dinda? Aku senang sekali memiliki teman sepertimu. Apalagi kita bertemu. Kita
kan bisa bisa saling mengenal.
Adinda,
minggu depan nanti akan ada pertandingan basket antar sekolah di kotaku.
Sebagai pecinta olahraga apalagi untuk basket, aku tentu takkan melewati
kesempatan ini. Apalagi aku ini ketua tim basket putra di sekolahku. Dinda,
doakan aku, ya semoga sekolah kami yang akan memenangkan pertandingan itu.
Sekian
dulu suratku, Dinda. Aku jamin, bulan depan suratku sudah kau genggam dan kau
simpan di meja kamarmu.
Your
Friend, Sam.
London, November 14th 2005
Adinda,
it’s me, Sam. Apa kabarmu?
“Kabar
baik”, semoga itu yang kau katakan di sana. Apalagi aku ini. Semakin hari, aku
semakin bersemangat melakukan apa pun jika aku ingat padamu. Ingat dengan
sebuah kata ‘Dinda’ tentunya.
Dinda,
tim sekolahku memenangkan pertandingan basket di London. Kau tahu, aku sungguh
tak menyangka saat timku mendapat point lebih tinggi saat babak final. Dinda,
ini semua tak lepas dari doa dan dukunganmu selama ini. Terima kasih, Dinda.
Kau memang teman yang sangat baik.
Dinda,
ada hal yang ingin aku tanyakan padamu. Mengapa meskipun aku menulis surat kau
tak pernah membalasnya? Mengapa saat kucoba hubungi nomor Hp mu malah gagal
karena nomormu tidak aktif? Mengapa akhir-akhir ini kamu tidak pernah membalas
emailku? Mengapa, dinda? Apa sekarang dirimu sedang bermasalah? Kalau memang
iya, setidak-tidaknya kau masih bisa cerita padaku. Sebagai teman, aku tentu
akan selalu membantumu menyelesaikan semua masalah-masalahmu. Tolong,
Dinda...tolong jangan pendam masalahmu sendiri. Maaf, Dinda. Apa kau masih menganggapku
teman? Jujur saja, aku ingin persahabatan kita ini tidak hanya dilukiskan
dengan kata-kata sebuah surat ataupun diucapkan dalam mulut saja. Aku ingin
hubungan ini benar-benar kita jalani. Aku sudah sering bercerita banyak
tentangku, namun bagaimana denganmu? Jangankan itu. Kabarmu saja tidak pernah
lagi kudengar. Sebenarnya ada apa, Dinda? Ada apa dengan dirimu sekarang? Aku
sudah mencoba menjadi teman yang baik untukmu. Dan aku yakin kau pun akan
berkata seperti itu padaku.
Maafkan
aku, Dinda. Aku sudah lancang menikam perasaanmu. Sekali lagi, maafkan aku.
Sam
London, December 14th 2005
Dinda,
kau masih marah dengan kata-kata di suratku bulan lalu? Aku tahu kata-kataku
kemarin terlalu memaksa. Maafkan aku, Dinda. Aku sudah terlanjur membuatmu
tersinggung. Padahal sebenarnya aku tidak ingin melakukan itu padamu. Namun
perlu kamu tahu, aku tidak dapat menyembunyikan betapa rindunya aku akan
kehadiranmu meskipun hanya sebuah kabar darimu.
Dinda,
melalui surat kali ini, aku ingin berkata jujur padamu. Dengan surat inilah aku
ingin mengungkapan bagaimana sebenarnya perasaanku kepadamu setelah aku didera
rasa rindu berkepanjangan. Dinda, sebenarnya aku amat menyayangimu. Bukan
sayang sebagaimana seorang sahabat. Namun rasa sayang seorang laki-laki kepada
perempuan sebagaimana mestinya. Kau pasti mengerti maksudku tanpa harus
kujelaskan. Aku mencintaimu, Adinda ....
Itulah
sebabnya aku selalu saja merasa muram karena menunggu balasanmu yang tak
kunjung datang. Yang pasti, Dinda... aku ingin hubungan ini jauh lebih baik
dari hubungan kita sebelumnya. Aku ingin kita berdua saling terbuka akan semua
masalah kita. Aku ingin kita bersama-sama melewati rintangan demi rintangan
dengan suka dan penuh kasih sayang. Aku janji, Dinda... akan kulakukan apapun
untukmu. Hanya untukmu.
Cintamu,
Sam.
London, January 14th 2006
Apa
kabarmu di tahun baru ini, Kasih? Pasti semakin hari semakin baik-baik selalu
keadaanmu, iya, kan? Apalagi bulan depan adalah bulan yang sangat
dinanti-nantikan untuk kita. Aku akan datang tepat di tanggal yang sama dengan
suratku kali ini. Sungguh, aku senang sekali, Dinda. Aku akan bertatap muka
langsung denganmu. Aku...ah, aku sungguh tak sanggip lagi menanti bulan depan?
Dinda,
setelah lulus sekolah aku akan melanjutkan kuliah di Indonesia. Ya, ayahku
mengijinkan bersekolah tinggi di sini. Itu artinya, aku dan kamu bisa akan
sering bersama-sama. Tidak seperti saat-saat yang lalu. Dimana aku sangat
merasa kesepian....
Dinda,
jangan kemana-mana ya? Kalau saat bahagia itu datang, tunggu aku. Aku pasti
akan menemanimu. Dan satu lagi. Selama aku ada di Tanah Air nanti, aku ingin
kau selalu menemaniku. Percayalah, Dinda.... cintaku suci umtukmu.
Cintamu,
Sam.
Jakarta, 14 Februari 2006, 08.35 WIB
Jakarta, kota dimana aku mulai menyapa dunia.
Jakarta, kota dimana aku menghabiskan masa kecilku
bersama orang-orang yang sangat menyayangiku.
Jakarta, kota yang selalu hadir dalam mimpiku begitu aku
ingat mereka-mereka.
Jakartaku, aku datang.
Ayah, Ibu, sahabat-sahabat kecilku, aku datang.
Dan Adinda.... aku datang!!!
“SAM!!!” salah seorang pria berteriak memanggilku begitu
aku keluar dari Bandara. Ternyata Ayah.
Ayah dan Ibu menjemputku di Bandara. Mereka melambaikan
tangan kepadaku dengan muka penuh haru saat tubuhku menyembul dari pintu keluar
Bandara. Mereka berdua tersenyum manis menatap ke arahku tanda mereka menyambut
hangat kedatanganku. Padahal sejujurnya, ada satu orang lagi yang sangat aku
nanti-nantikan kehadirannya. Seseorang yang selalu hadir di dalam mimpiku,
Adinda.
“Ayah, Ibu...,” kataku sambil memberi mereka buah tangan
berupa peluk dan cium.
“Gimana sekolahmu, Sam?”
“Siiip... juara satu olimpiade basket di London. Kapten
lagi,” jawabku pamer. Ayah dan Ibu hanya dapat tersenyum geli mendengarnya.
“Capek ya, Sam?”
“Lumayan sih. Tapi...,” ucapanku tersendat. Oh, untung
saja tidak kulanjutkan. Sebenarnya yang akan kuucapkan tadi aku tidak akan
pernah capek untuk menemui cintaku di sini. Di negara ini.
“Tapi apa?”
“Eh...anu, tapi Sam .... laper! Iya! Sam laperrrrrr
banget. Kita mau makan dimana?” fuhh.... untung saja aku bisa bersandiwara pada
Ayah Ibuku. Kalau ketahuan dan dipaksa jujur.... ketahuan deh! Malunya aku.
“Oh....kamu laper? Tenang aja, Sayang.... Ibu udah
siapin gado-gado kesukaan kamu.”
“Wah... gado-gado?” tanyaku sambil melotot.
“Iya, dong... di London nggak ada, kan?” ledek Mama.
Aku terseyum nyinyir. Sesaat kemudian kami bertiga
segera naik ke mobil dan langsung meluncur menuju kediaman kami terlebih dahulu.
Di dalam mobil, aku lebih banyak diam dan melamun.
Begitupula dengan Ayah dan Ibu. Mereka sedikit sekali mengajakku bicara.
Mungkin mereka pikir aku kelelahan. Namun, sesungguhnya, aku sedang memikirkan
Adinda. Aku membayangkan gadis itu. Aku amat ingin bertemu dengannya. Adinda,
aku benar-benar rindu padamu. Apa di sana kau juga sedang menanti kehadiranku?
***
12.00 WIB
Aku mengendarai mobil yang kupinjam pada Ayah. Ya,
inilah saat yang aku tunggu-tunggu. Baju mewah dan rapi sudah kukenakan. Seikat
bunga mawar merah dan puisi cinta sudah kupersiapkan. Kado untuk si dia sudah
kutata rapi sejak di London sebelum kedatanganku ke Tanah Air. Berbagai macam
perasaan rindu, bahagia, romantis, semuanya sudah aku ekspresikan untuknya.
Semua itu untuk Adinda, kekasihku.
Aku menyetel musik lewat radio yang kukendarai. Sebuah
siaran kutangkap lewat pendengaranku. Ah, sial. Ternyata itu berita kematian.
Jenuh juga aku dengan radio itu. Kuganti kemudian dengan tape mobil dan musik
hip-hop dari kaset itu kudengarkan. Kepalaku tak henti-hentinya
bergoyang-goyang mengikuti alunan musik hip-hop itu.
Hingga akhirnya aku sampai di kawasan tempat gadisku
tinggal. Aku segera memperlambat kelajuan mobilku. Kemudian segera kumatikan
musik dari tape mobil. Jarak mobilku dan rumahnya hanya tinggal beberapa puluh
meter saja. Sementara hati ini tak henti-hentinya mengatakan ‘aku datang
untukmu, Dinda, lihatlah ke depan, aku sudah sampai di depan rumahmu’.
Namun, ada yang aneh dari rumah itu saat kali pertama
aku mengunjunginya. Rumah ini memancarkan kesan muram dan kesedihan. Banyak
orang bergantian ke sana dengan busana serba hitam. Bukan hanya itu, sehelai
bendera kuning berkibar pad kayu yang dikaitkan dengan tiang listrik. Oh....ada
apa ini? Aku sendiri malah menyimpulkan, ada yang meninggal di rumah itu.
Apakah Ayahnya? Ibunya? Neneknya? Atau
salah satu saudara Dinda? Entahlah....
Ternyata benar. Di sana memang ada yang meninggal. Namun
siapa? Dinda... Dinda... kasihan kau! Di saat seperti ini kau malah sedang
mendapat musibah. Tak ada yang dapat kulakukan untuknya kecuali...
menghiburnya. Membuat ia tertawa dan melupakan semua kesedihannya karena
kehilangan seseorang yang mungkin dekat dengannya.
Aku tak dapat mengurungkan niatku untuk menemuinya.
Bagaimanapun juga Dinda adalah kekasihku. Apalagi di saat-saat begini dan
dalam keadaan seperti ini. Dinda pasti membutuhkanku. Aku juga telah berjanji
padanya bahwa aku akan datang menemuinya hari ini juga. Aku tentu tak boleh
ingkar janji pada janjiku.
Tanpa pikir panjang aku segera keluar dari mobil sambil
membawa rangkaian bunga mawar. Paling tidak dengan bunga ini, aku sudah
membuatnya terhibur.
“Maaf Dinda ada?” tanyaku pada salah seorang yang
bertakziah di rumah gadis yang baru saja kusebut namanya. Aneh, orang kutanyai
bukannya menjawab atas tanyaku, namun malah heran melihatku disusul kemudian
malah menghindariku. Ada apa sebenarnya?
Aku tak peduli pada orang itu. Aku tetap saja
melangkahkan kakiku ke depan. Salah seorang sedang mengurus tenda akhirnya
kutanyai.
“Maaf, ini rumahnya Adinda, kan?”
“Iya, benar. Memangnya kenapa?”
Aku masih bisa tersenyum karena memang benar kalau ini
rumah Adinda, gadis yang selama ini selalu hadir di dalam pikiranku.
“Memangnya mas ini siapa, ya?”
“Saya Samuel. Pacar Adinda.”
“Oh...yang dari London, ya?”
“Yah, anda benar! Maaf memangnya siapa yang meninggal
ya, Mas?”
“Apa? Sebagai pacar kamu tidak tahu siapa yang
meninggal.”
“Mmm...saya baru datang dari London pagi tadi. Bisa saya
ketemu sama Adinda?”
Lagi-lagi jawabannya menggeleng. Dan anehnya lagi, orang
yang kutanyai kali ini malah menyuruhku duduk di kursi yang dekat dengan pohon
palm. Orang itu bukannya masuk untuk memanggil Adinda, malah tetap di tempat
dan melanjutkan pekerjaannya mengurus tenda. Aku menurut saja. Di dekat pohon
palm itu memang ada dua buah kursi. Akhirnya aku duduk di salah satu kursi
tersebut.
Sepasang benda berukuran setengah meter dan bercat biru
bersandar di pohon palm itu. Bagai disambar petir aku melihat benda tersebut.
Saat itu pula baru kuketahui kenyataannya. Tiba-tiba saja, kakiku saat itu
lemas sekali untuk kugerakkan. Mulutku seperti terkunci rapat. Dan mataku
berkunang-kunang.
Ya Tuhan!!! Batinku berteriak. Nama ‘Adinda’ terpampang
pada benda itu. Adinda? Adinda? Adinda? Hatiku bertanya-tanya tak percaya. Air
mata mulai menggumpal kemudian menitik perlahan. Jadi inikah tujuannya orang
itu menyuruhku duduk di sini? Lalu aku menoleh ke arah orang itu. Pria yang
sedang mengurus tenda itupun menatapku seraya mengangguk. Suatu anggukan yang
berarti bahwa kau harus menerima semua ini. Kemudian...
Sebuah tangan halus membelai bahuku. Aku pun menengok.
Ternyata seorang wanita. Lalu dengan segera kuusap air mataku.
“Sam?”
Aku hanya dapat mengangguk karena memang itulah
jawabannya.
“Aku Marsyellia, kakak Adinda,” ujar wanita yang mengaku
kakak dari pacarku itu duduk di sebelahku.
“Sungguh tak disangka ya, Sam? Tanggal yang seharusnya
bertaburan kata cinta malah berubah menjadi hari yang penuh duka,” ucapnya
lembut.
“Kedatanganku terlambat.”
“Tidak, Sam. Kau datang di saat waktu yang tepat.”
“Aku datang di saat yang pas? Di saat Dinda sedang pergi
itukah yang dimaksud dengan saat yang pas? Mengapa dia tidak bercerita sesuatu
padaku? Aku yakin, dia pasti merahasiakan sesuatu dariku. Iya, kan? Dan sesuatu
itu pasti berat baginya untuk ia terima. Benar begitu, Marsyellia?”
“Dia rasa percuma saja ya, bercerita tentang
masalah-masalahnya padaku?” sambungku tanpa menunggu jawaban dari perempuan
bernama Marsyellia itu.
“Kau benar, Sam. Bulan Juli yang lalu adalah
komunikasinya denganmu untuk yang terakhir.”
“Mengapa begitu?”
“Dinda sakit, Sam. Sudah setahun dia mengidap Leukimia.
Karena itulah, Dinda hanya bisa pasrah seolah-olah hidupnya ia gunakan untuk
menunggu kematian.”
“Karena itu juga dia tidak membalas surat-suratku?
Mengapa Dinda begitu egois padaku? Mengapa Dinda mengecewakan di saat aku mengharapkan
dia untuk menjadi kekasihku? Bahkan... Dia tidak membalas cintaku,
Marsyellia.”
“Mengertilah, Sam. Apa yang Dinda lakukan karena Dinda
tidak mau kau tahu bahwa Dinda terserang penyakit ganas. Dinda tak mau
mengecewakanmu. Yang aku tahu, Dinda selalu tersenyum setiap menerima surat
darimu. Bahkan setiap kali bercerita tentangmu kepadaku, Dinda sangat
bersemangat. Tentangmu saat di London. Kau akan pulang ke Indonesia, kau juara
basket, kau mengatakan cinta padanya... itu saja sudah bisa membuat Dinda
gembira. Hanya dengan mengingatmu Dinda kembali merasa bersemangat untuk
melawan hidupnya. Namun dia juga tahu sia-sia saja begitu kalau pada
kenyataannya dia sakit. Dia lebih suka memendam perasaan, Sam.”
Aku hanya bisa menggelengkan kepala. Jangan, Sam. Jangan
menangis. Jangan buat Dinda lebih sedih.
“Kemarin adalah hari yang sangat bahagia bagi Adinda.
Kau tahu? Berkali-kali dia mengatakan ‘aku akan menunggumu, Sam.’ Tapi...tapi
malam harinya.... semua harapannya untuk bersamamu hilang, Sam,” tangis
Marsyellia pun pecah.
Marsyellia mengusap airmatanya dengan sehelai tisu yang
sedari tadi melekat di tangan kanannya. Lalu sebuah amplop berhiaskan
bunga-bunga indah ia ulurkan kepadaku. Ada namaku di sana.
“Apa ini?”
“Sebelum Dinda meninggalkan kita, dia sempat menuliskan
sesuatu, Sam. Ini...satu-satunya surat balasan untukmu yang sengaja tidak ia
layangkan padamu. Surat ini Dinda tulis tepat setelah menerima suratmu di bulan
Desember.”
Amplop itu kuterima dengan lembut. Kemudian kubuka dan
kubaca isinya. Ya Tuhan!!!
AKU MENCINTAIMU, SAM.....
Air mata ini tak berhenti mengalir dari pelipis mataku.
Maafkan aku, Dinda. Belum sempat kau rasakan kebahagiaan bersamaku. Terima
kasih, karena kau telah mencintaiku. Maafkan aku.
Aku melangkah masuk ke dalam rumah gadisku. Aku sampai
di dekat jasadnya. Dia sudah terbaring. Kemudian kubuka kain penutupnya. Aku
pandangi wajah Adinda yang selama ini belum pernah kulihat bagaimana. Sungguh
cantik rupa Adinda. Aku tersenyum menatap wajah Adinda. Aku masih menangis. Kau
cantik sekali, Dinda. Aku sangat menyayangimu.
Tak kusangka kedatanganku yang seharusnya sebagai
pertemuan pertama malah menjadi perpisahan. Bunga mawar yang seharusnya ada di
tangannya, kini harus kuletakkan di atas peristirahatannya yang terakhir.
Aku takkan bisa melupakanmu, Dinda. Kaulah orang
pertama yang singgah di hatiku. Aku akan selalu mencintaimu. Selamanya.
Dan surat-suratku untuk Adinda adalah satu-satunya
caraku...untuk dapat terus mengenang cinta pertamaku.
(Sumber:
majalah mingguan Gaul edisi 41 tahun IX . 25-31 Oktober 2010 . Hal 26)
***