Ujian Ramadhan
By: Belladieni
Aman membelalakkan mata melihat isi amplop coklat
yang ia pegang. Lembaran rupiah bergambar dua Bapak Proklamator bangsa. Ia
menghitung dengan cepat, jumlahnya dua juta rupiah. Bukan jumlah yang sedikit
untuknya. Dengan cepat ia menutup amplop itu, menggulungnya di dalam kaos
oblong yang ada di tasnya dan meletakkan dengan hati-hati di dasar tas
ranselnya. Lalu berjalan menuju gerbang kampus, meninggalkan gedung yang mulai
sepi menjelang senja.
‘Mungkin ini sebuah jalan keluar dari Allah,
menjawab kesusahanmu selama ini. Ambil saja.’ Bisik suara hatinya saat sebuah
pemikiran untuk mengumumkan bahwa ia menemukan amplop coklat di selasar
kampusnya sore tadi terlintas di benaknya.
‘Jangan ngaco! Mana mungkin Allah melakukan hal itu.
Yang ada kerjaan setan. Segera umumkan. Kasian kan si pemilik amplop itu.’
Bisik bagian hati yang lain.
‘Itu urusan pemilik, mengapa sampai teledor membawa
uang sebanyak ini. Jangan dikembalikan! Coba bayangkan lebaran kali ini dengan
uang itu, pasti akan berbedda. Kamu bisa melunasi tunggakan uang sekolah
adikmu, membelikan ibu dan adikmu baju lebaran dan kalian bisa makan enak saat
lebaran.’ Suara hatinya sungguh meyakinkan pikirannya. Bayangan senyum adik dan
ibunya berkelebat di benak Aman, membuat keyakinannya untuk mengembalikan uang itu agak tergoyahkan.
‘Sebentar lagi itu lebaran. Hari kemenangan umat
Islam. Bagaimana mungkin kamu merayakan hari suci itu menggunakan uang haram!’
Nuraninya masih mencoba berargumen.
Aman bergumam resah, memegang kepalanya yang tidak
sakit namun mendadak pening karena kedua sisi hatinya terus menyuarakan
keinginan masing-masing, mempengaruhinya untuk mengikuti saran mereka.
Sudah setengah jam ia memandangi amplop coklat yang
sekarang ia letakkan di atas meja belajarnya. Uang itu tidak sedikit. Pasti
pemiliknya merasa sangat sedih kehilangan uang itu. Ia teringat bagaiamana
susahnya ibu bekerja menjadi guru sekolah dasar dan menjadi tutor di bimbingan
belajar agar memenuhi kebutuhannya dan adiknya. Terbayang pias di wajah ibu
jika sampai harus kehilangan uang sebanyak itu.
Sebuah ketukan halus di pintu membuyarkan
lamunannya. Sita, adiknya, yang sudah duduk di kelas tiga SMP mengingatkan
sudah waktunya berbuka puasa. Aman mengamati sekali lagi amplop coklat itu.
Keputusannya sudah bulat. Besok ia akan mengumumkan telah menemukan amplop itu,
dan berjanji akan mengembalikan kepada sang pemilik. Ia melangkah dengan riang
menuju ruang makan.
***
Kuis Fisika Dasar II yang diadakan dadakan membuat
ingatan Aman akan ampolp coklat itu terlupakan sampai siang. Mungkin akan
berlanjut sampai pelajaran usai jika saja Lily tidak mengajaknya bergosip.
“Sudah dengar belum? Si nona besar baru kehilangan
uang.” Lily, sahabatnya memberitahu soal gosip terbaru di kampus.
“Nona besar?” tanya Aman tak mengerti siapa yang
dimaksud.
“Aura.” Desis gadis itu gemas akan kelambatan otak
pria berkacamata yang sedang sibuk membereskan diktat Fisika miliknya.
“Kenapa dia?” aman penasaran. Biasanya ia tidak
pernah mau perduli dengan gosip yang beredar di kampus. Namun karena topiknya
tentang kehilangan uang, nalurinya berkata lain, untuk mendengarkan cerita
Lily.
“Dia kan bendahara acara buka puasa Jurusan tahun
ini. Kemarin dia lupa di mana meletakkan uang yang diperoleh dari Sekretaris
Jurusan, dan baru manyadari tadi pagi!” Lily bergaya bak reporter gosip di
tivi.
Aman teringat amplop coklat yang ada di tasnya,
berniat akan menghampiri Aura setelah jam kuliah usai.
“Lalu? Dia sedih dong,” ujar Aman merasa sedikit
bersalah.
“Ha? Nona besar itu mana mungkin sedih kehilangan
duit segitu. Dia bahkan tidak menyadari sama sekali.” Lily mengalihkan
pandangannya ke dosen Fisika yang masih menulis jawaban kuis barusan di papan
tulis.
“Maksudnya?”
“Aura itu kan anak orang kaya di kota ini. Mana
mungkin ia sedih cuma karena duit dua juta. Memang kamu belum pernah dengar
soal dia merusakkan alat percobaan di laboratorium saat pratikum yang bernilai belasan juta?” Lily mendekatkan wajahnya pada Aman berniat bergosip lebih
lanjut. Aman menggelang.
“Bapaknya langsung datang ke sini dan memberikan cek
senilai dua puluh juta rupiah tanpa berpikir panjang karena nona besar itu
menangis ketakutan dan tidak mau keluar dari kamar mandi laboratorium.”
“Benarkah?” tanya Aman tak mempercayai
pendengarannya. Ia melemparkan pandangannya ke gadis berkulit putih dan
berhidung mancung yang duduk di deretan paling depan yang sekarang sedang tekun
mencatat jawaban kuis.
“Kebanyakan dong, gampang bagi dia untuk merengek
minta dua juta kepada papanya,” jawab Lily mengakhiri acara gosipnya.
“Lalu?” Aman masih penasaran dengan kelanjutan
cerita Lily.
“Lalu apa?” Sekarang gadis berkulit coklat yang
duduk di sebelahnya itu mulai sibuk mencatat dan bersikap acuh menanggapi
pertanyaannya.
“Lalu bagaimana reaksinya setelah kehilangan uang
itu?”
“Siapa?”
“Si nona besar.” Aman mengulangi dengan sabar. Ia
cukup hapal kebiasaan sahabatnya itu yang suka iseng bertele-tele dan membuat
orang penasaran.
“Aman. Ini bulan suci Ramadhan, dilarang bergosip
tau,” jawabnya telak. Ia senang sekali membuat cowo berkacamata itu keki.
***
Aman mengamati Aura yang duduk di bangku kayu depan
laboratorium. Semua orang tau gadis cantik itu merupakan anak tunggal seorang
pengusaha ternama di kota Surabaya. Penampilannya termasuk mentereng di kampus
teknik negeri itu. Di tengah kebanyakan mahasiswa dari daerah yang
berpenampilan sederhana Aura selalu tampil dengan trendy, dengan busana
bermerek dan tas mahal yang menemaninya ke kampus. Mobil yang ia gunakan pun
berganti-ganti. Cantik, keren dan kaya. Mungkin perpaduan ini yang membuat Aura
menjadi sosok yang congkak, ia hanya mau bergaul dengan orang-orang yang
dianggapnya setara. Aura sungguh tampak seperti nona besar di kalangan rakyat
jelata, demikian komentar pedas Lily soal penampilan dan sikap Aura.
Aura sedang berbicara di telpon, lagi-lagi membuat
Aman mengelus dada, menggunakan ponsel qwerty trendy yang sedang in di
kalangan siapa pun yang ingin dianggap eksis, yang sering ia lihat di televisi.
Dari penglihatannya tidak ada raut gundah sedikitpun di wajah gadis itu, bahkan
ia tidak tampak seperti orang yang baru saja kehilangan uang. Pasti lain
kejadiannya jika hal itu yang terjadi padanya, mungkin Aman bisa stres seperti
orang gila, berpikir bagaimana cara mengganti uang sebanyak itu. Uang itu
setara dengan honornya mengajar les privat selama 4 bulan. Hati Aman diliputi
kebimbangan. Apa masih perlu ia mengembalikan uang ini.
***
‘Anggap aja ini jalan dari Allah untukmu.’ Suara
hatinya membela diri saat sebuah pikiran melintas, untuk menggunakan saja uang
itu.
‘Bagaimanapun menyebalkannya dia, tetap saja ia
pemilik sah uang ini. Jangan mendengarkan omongan setan!’ balas bagian jiwanya yang
lain.
“Sore-sore kok melamun, Man?” teguran ibu menyadrkan
Aman dari lamunannya. Ibu baru saja pulang mengajar. Membawa plastik hidangan
untuk berbuka puasa. Aman beranjak ke dapur, mengambil piring untuk menyajikan
makanan yang dibawa ibu.
“Lagi ada masalah di kampus?” tanya ibu penuh kasih
setelah selesai berganti pakaian. Aman menggeleng.
“Lalu kenapa melamun sore-sore?” Ibu masih menyimpan
rasa penasaran.
“Lagi capek aja bu,” jawab Aman tak ingin membebani.
Ibu tersenyum maklum lalu duduk membaca koran di depan televisi.
“Oh iya, Bu, bagaimana dengan tunggakan spp Sita?”
Aman teringat persolan uang sekolah adiknya yang sudah dua bulan ini menunggak.
Aman baru saja menguras tabungannya untuk membayar uang pratikum, tak tega
rasanya meminta ibu, sehingga ia tak bisa membantu soal tunggakan SPP adiknya.
Ibu tersenyum teduh.
“Sudah selesai kok, tadi ibu sudah ke sekolah
melunasi tunggakannya.”
“Ibu dapat uang dari mana?” tanya Aman heran,
mengingat itu bukan tanggal gajian ibu.
“Pinjam dari koperasi.”
Aman mendesah. Semakin banyak saja pinjaman ibu di
koperasi. Aman teringat akan uang yang ada di tasnya sekarang. Mungkinkah
memang benar ini jalan dari Allah untuknya?
‘Jangan ngaco kamu! Bagaimanapun juga duit itu bukan
duit halal!’ Bisik batinyya. ‘Tapi Aman tidak mencuri, ia menemukan uang itu
secara kebetulan.’ Logikanya membela.
‘Tetap saja itu uang haram! Apa kamu mau ibu dan
adikmu makan uang haram itu? Itu dosa!’ Putus suara hatinya tak mau
berkompromi.
“Man, tolong antarkan kolak ini untuk nek Wati ya?”
pinta Ibu mengangsurkan bungkusan kolak dalam plastik. Nek Wati teman dekat
almarhum nenek Aman dulu, beliau tinggal dua blok dari rumah mereka. Ibu sudah
menganggap Nek Wati seperti ibunya sendiri. Saat Ramadhan seperti ini hampir setiap
sore ibu mengantarkan hidangan berbuka puasa untuknya. Aman mengangguk, ia
mengambil bungkusan plastik lalu berjalan keluar rumah. Waktu berbuka puasa
tinggal beberapa saat lagi. Di pinggir jalan banyak sekali orang yang menjual
hidangan berbuka puasa. Aman paling suka suasana saat bulan Ramadhan. Semua
orang bergegas pulang ke rumah menjelang waktu berbuka untuk berbuka puasa
bersama keluarga tercinta. Sepeluh menit menjelang azan magrib, Aman
mempercepat langkahnya untuk menyeberangi jalan, hingga ia tidak memperhatikan
sebuah Avanza metalik meluncur dengan kencang dari seberang jalan. Kejadiannya
begitu cepat, suara decit ban dan pekikan orang-orang di sekeliling bercampur
menjadi satu di telinganya. Ia tidak ingat apa yang terjadi, tau-tau tubuhnya terpelanting
sejauh lima meter ke tengah jalan. Si pengendara mobil turun dengan panik dan
menghampirinya, bertanya apa ia baik-baik saja. Aman melihat kedua tangan dan
kakinya, tidak ada darah sama sekali. Ia bahkan tidak merasa sakit atau nyeri,
namun badannya menggigil, gemetar hebat. Bisa saja ia terluka akibat tabrakan
tadi, atau bisa lebih parah. Namun Allah masih menyelamatkannya.
Sesaat Aman tidak bisa berkata apa-apa waktu
pengendara itu menawarkan diri mengantar Aman ke rumah sakit. Ia menggeleng, tersenyum
menenangkan karena melihat raut wajah si pengendara yang masih tegang. Selintas
pemikiran menghampiri benaknya, bagaimana jika ia tertabrak dan tidak sempat
mengembalikan uang yang ia temukan kemarin. Bagaimana perasaan Ibu dan Sita
jika menemukan amplop berisikan uang banyak di tasnya. Bagaimana jika ia tidak
diselamatkan oleh Yang Maha Kuasa dalam keadaan menuruti saran dari setan. Aman
bergidik. Suara Azan magrib berkumandang. Orang-orang masih berkerumun di
sekitarnya karena ia tak kunjung bersuara.
Seolah mendapat kekuatan, Aman berdiri, mengatakan
ia baik-baik saja lalu berlari menuju rumahnya. Ada satu hal yang ia harus
lakukan, mengambil amplop itu dan mengembalikannya kepada Aura saat iu juga. Ia
tidak mau berdosa karena hal ini. Hati dan pikirannya sekarang sejalan,
kehadiran amplop coklat itu merupakan sebuah ujian untuknya. Ujian di bulan
Ramadhan dan ia sudah tau apa penyelesaiannya.
(Sumber:
majalah mingguan Gaul edisi 34 tahun IX . 30 Agst – 5 Sept 2010 . Hal 26)