15 November 2014

Healthy Life ala Maharani

Healthy Life ala Maharani

By: Widya Rosanti

Maharani menatap menu dihadapannya. Steak iga, sepiring nasi, plus Apple Milkjus. Bibir kirinya sedikit terangkat. Matanya kedap-kedip. Iga sapi. Udah pasti berlemak. Kuah steaknya dipenuhi vetsin, saus, plus kecap. Nggak bagus buat tubuh. Nasi, High carbohydrate. Bikin perut jadi kayak belut. Bergelut-gelut nggak kenceng. Apple Milkjus. Meski berasal dari buah, namun gula dan susunya, bisa menjadi salah satu sumber kegemukan. Huff.. Maharani menghela nafas enggan. Nafsu makannya lenyap seketika.

“Kok Cuma diliatin? Makan dong... aku pengen, kencan pertama kita bener-bener berkesan buat kamu. Menua yang aku pilihin tuh enak loh,” ucap Danang sembari menatap ke arah Maharani.

Gadis itu menggeleng. “Kenapa? Nggak suka menunya? Kalo mau, tambah lagi aja. Makanan di sini enak-enak kok,” lanjut Danang berusaha meyakinkan.

Tatapan Maharani beralih pada hidangan di hadapan Danang. Iga bakar saus pedas. Sepiring nasi. Jus alpukat campur susu coklat. Maharani bergidik.

“Danang.. kalo kita pindah cafe, gimana?” tawar Maharani.

Danang bengong nggak ngerti. “Kenapa? Makanan di sini lezat lho. Cobain deh..,” elaknya.

“Enak, tapi nggak sehat. Aku nggak mau makan ginian. Kamu juga sebaiknya menghindari junk food seperti ini. Nggak baik. Sekarang banyak orang meninggal muda. aku sayang kamu, Dan.. Aku nggak pengen kamu jantungan selagi muda. ntra cepet mati, aku sendri. Pleasssssee.. Jangan sentuh hidangan ini. Kita pindah aja. Oke??,” pinta Maharani.

Danang melongo. Matanya mengerjap-ngerjap. Dia pengen nolak. Dia pengen bilang nggak mau. Secara, makanan yang tersaji benar-benar bikin lidah berkecap-kecap enak sampe lupa diri. Apalagi dirinya tipikal cowok doyan makan. Tapi demi Maharani. Cewek cantik yang udah jadi inccerannya selama setahun itu, Danang nurut. Dia nggak mau penantiannya gagal hanya karena belain makanan. Akhirnya dengan berat hati ia memasrahkan kepalanya untuk mengangguk.

“Oke, deh. Kamu aja yang nentuin tempatnya. Yukkk..,” ajaknya setengah hati.

Mereka cabut dari cafe dengan menu “tidak sehat” itu. Maharani memilih resto yang menyajikan masakan Sunda. Restonya cukup artistik. Ditata sedemikian rupa hingga menimbulkan kesan nyaman dan alami. Suasananya sejuk lagi. Karena banyak pepohonan dan bunga di halamannya. Seorang pelayan berpakaian ala Sunda menyodori mereka daftar menu. Maharani berbinar-binar. Danang jadi yakin. Makanan di situ pasti nggak kalah cantik dengan cafe sebelumnya.

“Mmm.. Pepes ikan mas tiga, cah kangkung dua, cah toge dua, kentang rebus dua, tempe ama tahu kukus satu. Sambel juga dua. Tapi cabe ama tomatnya mentah mas, ya.. Trus minumnya, jus apel tanpa gula ato susu. Dua juga. Udah itu aja,” ujar Maharani enteng.

“Nggak pake nasi, Mbak?” tanya mas pelayan. 

“Oh, ngga,. Nggak pake,” tegas Maharani.

 Maharani menyerahkan daftar menu pada pelayan tanpa ngasih kesempatan ke Danang. Danang nelen ludah. Dugaannya salah. Sebenarnya daftar menunya lumayan menarik. Tapi makanan yang bentar lagi dateng sama sekali nggak ia minati. Nafsu makan Danang mendadak surut. Dia membatin. Makan cuma modal kentang mana bisa perutnya berkompromi. Dijamin nggak bakal kenyang. Beberapa saat kemudian pesenan datang. 

“Nah, ini baru healthy food. Aman dikonsumsi. Bagus untuk kesehatan dan kecantikan. Aku hobi banget makan beginian,” kata Maharani seolah nengahin pergulatan batin Danang.

Danang nggak mampu berkutik. Otaknya dipaksa mikir jenuh. Penantian setahun nggak boleh raib begitu aja karena makanan. Lagian udah resikonya jatuh cinta ama cewek seperti Maharani. Cewek pembela panji-panji kesehatan dan kecantikan. Dia harus bisa maklum. Ibarat pepatah roman, cinta selalu siap menerima kelebihan dan kekurangan pasangan. Dan saat ini, Danang emang lagi kekurangan. Kurang makan maksudnya. Tapi demi cinta, ia pun pasrah. Ia mulai menyantap hidangannya tanpa selera. Maharani menatapnya seolah minta pendapat.

“Iya bener. Ini baru makanan bener-bener sehat,” cetus Danang terpaksa.

***

“Janji ya, Dan.. Jangan berperilaku nyeleneh. Terapkan pola hidup sehat. Kalo kamu emang beneran sayang ama aku. Aku nggak mau sakit-sakitan,” celoteh Maharani sepulang dari gym. Seminggu tiga kali mereka emang nge-gym bareng.

“Ah iya sayang.. Trus besok nonton ya? Filmnya bagus loh.. Sang Pencerah. Ada Giring Nidji ikutan maen,” usul Danang.

Bola mata Maharani membeliak. “Nonton? Kan aku udah daftarin kamu futsal. Daripada duduk melempem nikmatin film sambil ngemil popcorn, mendingan maen futsal say. Bikin sehat pula. Nontonnya sebulan sekali aja.” Sahut Maharani manja.

Danang terdiam. Pandangannya menatap lurus ke depan. Seolah-olah ia beneran konsen ama jalan. Tapi sebenarnya nggak sama sekali. Udah sebulan dia jalan ama Maharani. Dalam sebulan itu pula, dia ngerasa blom kenal Maharani. Buktinya, dia nggak tau hobinya apa, cita-citanya pengen jadi apa, idolanya siapa, pernah liburan kemana aja, ato buku favoritnya apa. Pembicaraan mereka tiap harinya seputar kesehatan terus. Tentang bayam, wortel, jus, buah, serat, jantung koroner, diabetes, kanker, olahraga yang tepat. Seperti sekarang ini. Tanpa sepengetahuannya, Maharani malah udah ngedaftarin dirinya maen futsal. Danang mulai jengah.

“Kok diem aja sih?” protes Maharani.

“Capek. Kayaknya aku nggak bisa ikutan futsal deh,” ceplos Danang pelan.

“Gimana sih? Kan demi kesehatan kamu,” desak Maharani.

Hening.

“Kalo jaga sendiri aja nggak bisa, gimana kamu mau ngejaga aku, Dan? Kalo kamu nggak sayang ama dirimu, gimana kamu bisa sayang aku?” imbuh Maharani.

“Iya tau. Tapi jaga kesehatan bukan berarti kita fokus terus-terusan ama kesehatan. Ada hal lain untuk dibahas, ada makanan enak buat dicicipi, ada saatnya buat relax. Ada hal lain yang juga enak buat diobrolin. Semua ada waktunya, Ran,” sanggah Danang putus asa.

“Jadi kamu ngerasa terbebani, gitu?” tantang Maharani.

Danang terdiam.

“Ya udah kalo gitu. Kita putus ada. Aku nggak mau ngebebanin orang. Mulai sekarang kita jalan sendiri-sendiri. Dan hidupmu bebas,” lanjut Maharani. Suaranya sarat dengan emosi.

***

Air mata Maharani tumpah menggenangi bantal. Kelopak matanya bengkak dan merah. Benaknya nggak habis pikir. Kenapa banyak banget cowok ngarepin cintanya namun setelah jadi pacar mereka justru jengah. Menjauh. Nyari-nyari alasan agar diputusin. Apa karena pola hidupnya yang terlalu memegang teguh prinsip-prinsip kesehatan? Bukankah itu baik? Bukankah itu salah satu bentuk perhatian ekstra? Kenapa cowok-cowok itu malah malas menerapkan sesuatu yang baik bagi diri mereka?

Maharani mulai berpikir terbalik. Mungkin dirinya terlalu strict. Seperti ucapan Danang, bukan berarti dirinya terus-terusan fokus ama kesehatan. Ada waktunya sendiri untuk break. Sekedar memenuhi keinginan diri kita. Bersantai melakukan apa pun tanpa beban. Makan enak. Nonton film. Nggak olahraga. Minum milkjus. Mungkin hidup gitu yang dimaksud Danang.

Maharani mengusap air matanya. Dia bertekad untuk berubah. Maharani segera bangkit dan ganti pakaian. Ia menyambar sepedanya menuju rumah Danang. Dia pengen ngajak cowoknya itu nonton sambil ngemil popcorn.

Maharani berhenti di depan rumah Danang. Ia turun dari sepeda. Pas hendak masuk, mendadak dia tertegun bagai melihat hantu. Dilihatnya di teras, Danang tengah berjalan bergandengan tangan dengan seorang cewek, lalu keduanya masuk ke mobil. Maharani seperti tersedak sebuah apel utuh. Ia tak menyangka sama sekali begitu cepat Danang melupakan dirinya. Tak mau kehadirannya diketahui, Maharani mengowes sepedanya dengan cepat meninggalkan tempat itu.

Ia mengayuh sepedanya tak tentu arah. Ia ingin jalan-jalan sendiri sore itu. Rumah coklat. Secara nggak sengaja tatapan Maharani membaca sebuah nama kedai kue dan coklat. Ia berhenti. Maharani bimbang. Setahunya, coklat berkhasiat untuk ngilangin stress. Tapi kalo coklat olahan banyak mengandung gula. Berlemak tinggi karena dicampur susu, krim, keju dan kacang. Enak sih. Tapi nggak sehat. Maharani terus menimbang-nimbang. Masuk nggak masuk nggak. Akhirnya cewek itu mantap memasuki Rumah Coklat. Ia nggak peduli lagi dengan lemak, karbohidrat, gemuk, diabetes, jantung koroner, atau obesitas. Toh selama nggak disantap tiap hari, pasti juga nggak akan berbahaya.

Es krim coklat blueberry. Cheese chocolate cake. Pesanan Maharani telah tiba. Tanpa ragu ia mencicipinya satu per satu. Mata Maharani berkedip-kedip takjub. Lidahnya mengunyah tanpa jeda. Kesedihannya menguap.

“Benar-benar lezat,” gumamnya.

Belum lima menit dia duduk, kedua menu tadi udah tandas. Ucapan Danang kembali menggema di ruang kepalanya. Segala sesuatu ada waktunya. Ia membenarkan dalam hati. Dan kali ini ia bertekad menyediakan waktu memanjakan diri, makan sepuasnya tanpa dikekang aturan kesehatan. Ia ingin belajar hidup normal seperti orang lain.

“Mbak tambah lagi. Chocolate milkshake, tiramisu, chocolate muffin, dan ice cream chocolate sundae,” pintanya tanpa ragu.

***

 (Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 43 tahun IX . 8 – 14 November 2010 . Hal 26)

9 November 2014

Kiper Jagoan

Kiper Jagoan

Maul lagi berjalan-jalan di Depok, tiba-tiba dia mendengar seorang ibu berteriak-teriak di sebuah gedung. Di sekitarnya asap mengepul-ngepul. Maul buru-buru lari menuju ke rumah itu, ternyata terjadi kebakaran. Banyak orang berdiri dan melihat pemandangan memilukan itu.

Di pinggir jendela dari bangunan tingkat 10 itu, ibu bernama Siti dengan bayinya, berteriak minta tolong, supaya bayinya ada yang selametin.

Maul : “Lempar bayimu ke bawah, aku akan menangkapnya.”
Siti : “Tidak! Tidak! Kamu akan gagal menangkap bayiku, dan dia bisa mati!”
Maul “Nggak bakalan! Aku Maul Horizontal. Akulah penjaga gawang terkenal. Aku tidak pernah gagal selama 10 tahun ini dalam menangkap apapun, dan aku tidak pernah membiarkan satu bola pun masuk ke gawangku!”
Siti  : “Apa? Tidak sau pun?”
Maul : “Tidak! Tak satu pun! Setiap pemain bola di dunia tahu siapa aku, dan mereka mengakui, akulah penjaga gawang terbaik seluruh dunia yang pernah ada!”

Kemudian Maul menunjukkan gayanya menangkap bola, yang membuat kagum orang-orang di sekitarnya.

Siti : “Ok! Aku percaya kamu. Daripada tidak ada pilihan lain. Ini, tangkap! ”

Maka, si Siti melemparkan bayinya ke arah Maul. Tapi sayang lemparannya gak lurus, jadinya tuh bayi muter-muter jatuhnya dan nggak tentu arah.

Siti pun berteriak ketakutan, tapi si Maul dengan sigap, menangkap bayi itu. Kemudian... diletakkannya bayi itu di atas tanah, lalu dia mundur kebelakang sejauh dua meter. Pelan tapi pasti, dia berlari ke arah bayi itu, dan.... menendangnya sejauh 60 meter.

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 43 Tahun IX. 8-14 November 2010. Hal 14)

Cita-Citaku

Cita-Citaku

Suka nggak suka, yakin pada suka, tentang anak-anak jaman sekarang. Yap, gak dibantah lagi anak-anak jaman sekarang lebih kreatif dibanding anak-anak jaman dulu, apalagi di jaman penjajahan ̶  semua anak harus menurut sama ortu ̶  tanpa perlawanan sedikit pun. Makanya nggak aneh waktu medengar cerita salah seorang teman yang nekat membuktikan dirinya menjadi guru. Katanya dia seneng melihat anak-anak sekarang yang cerdas dan kreatif. Salah satu pengalamannya begini: 

Suatu hari, di jam pelajaran bahasa Indonesia, masing-masing siswa ditanyai tentang apa yang jadi cita-cita mereka. Paling pertama ditanyai Encek. Cowok yang napsu makannya bagus banget ini waktu ditanya cita-cita, dia menjadi menjawab. Jadi wartawan. Bu guru yang hobi nulis itu pun senang bercampur penasaran. Dia gak nyangka siswanya yang keliatan cool ternyata lumayan unik. Daripada penasaran, Bu Guru pun nanya lagi, kenapa kamu ingin jadi wartawan Encek? Dengan senyum-senyum Encek menjawab dengan ringan, biar sering makan gratis.

Bu guru yang kebetulan rumahnya tetanggaan sama tempat tinggal Encek itu pun inget Henry, Kakaknya Encek yang jadi wartawan di salah satu majalah remaja. Orangnya tinggi besar dan sering banget meliput acara launching sama kuliner. Henry yang setahun lalu badannya masih langsing seperti model, saat ini udah seperti ibu-ibu yang hamil muda saking endutnya.

Siswa lainnya yang juga ingin ditanya cita-citanya adalah Desi. Cewek yang rada pendiem tapi sering senyum-senyum sendiri itu, belum ditanya udah berdiri dan bilang kalau dia bercita-cita jadi ibu rumah tangga yang baik dan sayang anak-anak. Bu Guru pun senang, dia ikut senyum-senyum mendengar Desi menerangkan apa yang jadi cita-citanya.

Belum sempat ibu guru yang gaul ini bicara, Candra seorang murid cowok yang duduk gak jauh dari Desi langsung menyambar. “Saya juga punya cita-cita Bu Guru. Cita-cita saya..., Saya akan membantu Desi meraih cita-citanya,” dan Bu Guru pun tersenyum manis sekali.

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 43 Tahun IX. 8-14 November 2010. Hal 14)

2 November 2014

Cuma Goceng


Cuma Goceng

Sampai sekarang yang namanya bebek goreng masih saja banyak yang doyan. Gak hanya bebek Yogi yang menjual bermacam-macam makanan siap makan, dengan bahan baku bebek, tetapi juga Donal Bebek, sampai Justin Bebek. Semua meramaikan bisnis bebek.

Baim, salah seorang peternak sapi yang lagi sepi di bilangan Sulawesi ini pun akhirnya banting stir bisnis ternak bebek. Usahanya sukses, banyak warung bebek yang mengambil bebek dari peternakan kepunyaan Baim. Tidak kaget kalau akhirnya petugas pemerintah pun mulai melirik Baim.

Petugas: “Hey, kamu kasih makan apa, bebek-bebek ini?”
Baim     : “Ya, makanan sisa-sisa Pak.”
Petugas: “Gak bisa, kalo kamu masih kasih bebek ini makanan asal-asalan, ijin kamu kami cabut!”

Akhirnya Baim sadar, dia pun terburu-buru memberikan uang 10 ribu ke petugas dan berjanji akan mengganti makanan bebeknya dengan yang lebih baik.

Baim : “Buat beli rokok. Nanti makanan bebeknya saya ganti yang bagus.”

Kira-kira sebulan berikutnya, petugas itu pun datang lagi dan menanyakan hal yang sama, makanan bebek.

Petugas: “Hey, kamu kasih makan apa, bebek-bebek ini?”
Baim   : “Makanan bergizi Pak. 4 sehat 5 sempurna!”
Petugas: “Gila kamu. Masih banyak orang yang kelaparan di luar sana, kamu ngasih makan bebek dengan makanan 4 sehat 5 sempurna? Kamu mau ijin peternakan bebek kamu dicabut?!”
Baim : “Buat beli rokok. Nanti makanan bebeknya saya ganti yang cocok.”

Kira-kira sebulan berikutnya, petugas itu pun datang lagi dan menanyakan hal yang sama, makanan bebek.

Petugas: “Hey, kamu kasih makan apa, bebek-bebek ini?”
Baim   : “Aku bingung, mau kasih makanan tapi takut salah. Akhirnya masing-masing aku kasih goceng!
Petugas:????

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 42 tahun IX. 1–7 November 2010. Hal 14)

Biar Dapat Sejuta

Biar Dapat Sejuta

Minggu lalu, salah seorang keponakan teman, namanya Via lagi merayakan ulang tahun ke-6. Yang datang banyak banget, dari Mbah Kung, Mbah Uti, Pak De-nya, Pak Lik-nya, Om dan Tante yang entah dari mana asalnya semua mendadak seleb. Semuanya ingin melihat keponakan yang memang imut seperti marmut.

Di sela-sela acara, Pakde Gondrong yang doyan ngomong itu, mengajak Via cerita apa aja. Dari sekolah, kasir tokoserba ada di sebelah rumah yang dia taksir karena katanya alisnya tebal seperti Shinchan, sampai rencana ketemuan sama calon besan yang harus bebas dari kesalahan sekecil apa pun.

Akhirnya setelah beberapa jam mereka mengobrol dan kelihatannya mulai capek dan kehabisan kata-kata, Pakde Gondrong mengeluarkan uang 50 ribuan dan 100 ribuan. Pak gede yang tampangnya mirip paranormal itu, menawarkan Via memilih uang 50 ribuan atau 100 ribuan sebagai hadiah ultah. Gak pake mikir panjang keponakan yang lebih senang dipanggil kepon itu pun, langsung menyambar 50 ribuan.

Bingung, heran dan nggak mengerti semua berkutat di kepala Pakde Gondrong, keponakan semata wayang yang di matanya begitu cerdas kayak kancil di Istana Bogor itu ternyata nggak mengerti duit! Disuruh memilih duit 100 ribu atau 50 ribu, yang dipilih malah 50 ribunya. Parah!

Penasaran sama kelebihan yang dipunyai sang keponakan, Pakde Gondrong pun cerita sama Paklik Gundul, dan buat menegaskan ceritanya, Via disuruh pilih lagi, duit 50 ribu atau 100 ribu yang diambil dari dompet Pakde, dan benar, Sang Kepon memilih duit 50 ribu!

Masih penasaran, Pakde Gondrong cerita lagi sama saudara-saudaranya yang lain, yang kalau dihitung-hitung ada 20 orang dan semuanya dapat cerita yang sama. Keponakan yang doyan banget makan bakpao isi kacang hijau itu, selalu memilih 50 ribuan dari pada uang bewarna merah bergambar presiden dan wakil presiden pertama Indonesia.

Akhirnya... pesta ultah ke-6 yang padat meriah itu pun selesai. Pak Bulet, bapaknya Via yang dari tadi melihat kelakuan anaknya yang bunder itu lebih memilih uang 50 ribuan dibanding 100 ribuan itu pun bertanya. “Kenapa kamu memilih 50 ribu, bukan yang 100 ribu nak?” dengan wajah yang cerah berbunga-bunga, Via menjawab. “Kalau aku memilih 100 ribu aku gak baka dapat uang 1 juta!” dan Pak Bulet pu tertawa senang. Dia kagum dengan anaknya lebih cerdas dari bayangannya.

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 42 tahun IX. 1–7 November 2010. Hal 14)