3 September 2019

Nyanyian Luxo


Nyanyian Luxo

By: Umi Kulsum

Luxo,  si anak kuda suka sekali menyanyi. Saat antri mandi, ia menyanyi. Saat antri makan, ia menyanyi. Saat berjalan-jalan keliling kompleks peternakan, ia menyanyi. Tak ada binatang lain di peternakan itu yang meributkan kegemarannya menyanyi.

Hari ini sangat panas. Semua binatang bermalas-malasan di dalam kandang. Luxo mulai bernyanyi. Kama, si kambing putih yang baru, tiba-tiba berkata, “Adakah yang mengatakan bahwa suaramu sangat bagus, Luxo?” 

Ilutsrasi: Tyo


Luxo berusaha mengingat-ingat. “Seingatku, tak, ada,” jawab Luxo.

“Kalau begitu, mengapa kau masih saja menyanyi?” tanya Kama sinis.

“Karena aku suka...” jawab Luxo ragu-ragu.

“Kau suka, tapi yang lain belum tentu suka. Menurutku, suaramu biasa saja. Aku punya teman yang memiliki suara jauh lebih indah dari suaramu. Tapi dia tidak suka pamer sepertimu!” ejek Kama.

“Aku tidak bermaksud pamer,” jawab Luxo.

“Menyanyi keras-keras begitu, sama saja dengan pamer!” cetus Kama, kemudian pergi. Luxo sedih memikirkan kata-kata Kama.

Diam-diam, Luxo menyingkir ke belakang kandang. Luxo memperhatikan teman-temannya. Tobi anjing, Heni ayam dan anak-anaknya. Momo sapi, Cici kelinci, serta hewan lainnya tampak tak peduli. Jangan-jangan ucapan Kama benar. Tak ada teman yang suka pada nyanyiannya.

Esok pagi, Luxo mendekati Tobi yang sedang berjaga di luar pagar kandang. Luxo mulai bernyanyi. Mendengar suara Luxo, Tobi menoleh.

“Hai, Luxo. Selamat pagi!” sapa Tobi ramah.

“Pagi, Tobi. Giliran jaga, ya? Mau kutemani?” tawar Luxo. Tobi mengangguk. Luxo menemani sambi bernyanyi. Sesekali Tobi meninggalkan Luxo, berlari-lari memeriksa sekeliling komplek peternakan.

“Apa pendapatmu tentang nyanyianku, Tobi?” tanya Luxo hati-hati.

“Lumayan!” jawab Tobi pendek. Mendadak Tobi berlari ke dalam hutan sambil menyalak keras.

Luxo terlonjak kaget dan meringkik keras. Mendengar ringkikan Luxo dan salakan Tobi, binatang lain terkejut panik. Mereka bergegas lari masuk ke kandang karena mengira ada bahaya. Suasana sangat kacau. Semua binatang meringkuk tegang di dalam kandang. Tak lama kemudian, Tobi si anjing muncul.

“Kalian semua kenapa lari ketakutan? Ada apa?” tanya Tobi.

Para binatang saling bertukar pandang. “Kau menyalak dan Luxo meringkik keras. Kami pikir ada bahaya!” jawab Cici.

“Aku... meringkik karena terkejut dengan salakanmu!” kata Luxo gugup.

“Aku menyalak karena senang melihat kedatangan Taba. Apa kau tidak melihat Taba di pinggir hutan tadi? Dia itu anjing betina di peternakan sebelah hutan,” cerita Tobi.

Semua binatang di dalam kandang menatap Luxo. Luxo mendehem gugup. “Maaf, aku sudah membuat keributan,” katanya lirih.

“Bukan kali ini saja kau membuat keributan. Tapi sering, dengan nyanyianmu itu! Kau saja yang tidak sadar!” tukas Kama sinis.

Luxo merasa sedih dan beringsut keluar kandang. Tobi hendak menyusul, namun Kama mencegahnya.

“Tidak usah, biar dia tahu akibat perbuatannya!” kata Kama.

Tobi menatap Kama tajam. “Kenapa kau membenci Luxo? Apa salahnya? Kau baru di sini, tapi sudah membuat Luxo terluka. Keterlaluan!” bentak Tobi.

Tobi bergegas mengejar Luxo. Binatang lain mengikuti Tobi. Menurut mereka, Kama seharusnya tidak kasar pada Tobi.

Esok harinya, Luxo bangun pagi dengan senang. Kejadian kemarin telah ia lupakan. Barangkali Kama benar, pikir Luxo. Tidak semua binatang menyukai nyanyiannya. Luxo memutuskan, ia hanya akan menyanyi di saat ia sendirian.

Luxo melangkah ke halaman belakang, tempat semua binatang berkumpul di pagi hari. Mereka berjemur sambi bersenda gurau.

“Hei, Luxo! Ayo, menyanyi!” sapa Tobi ketika melihat Luxo datang.

“Ayolah, Luxo! Nyanyikan lagu tentang peternakan kita yang kau buat dulu. Aku suka lagu itu,” kata Momo sapi.

“Betulkah?” tanya Luxo tak percaya.

“Ya, kami suka lagu itu!” teriak lainnya.

Luxo menyanyikan lagunya dengan gembira.

“Peternakan kami sangat istimewa. Karena kami selalu gembira. Peternakan kami luar biasa. Karena kami seperti saudara. Berbagi cinta, berbagi ceria. Peternakan kami. Pasti kau suka...”

Itu syair yang dikarang oleh Luxo sendiri. Binatang-binatang lain ikut menyanyi. Suasana gaduh dan gembira. Luxo mendekati Kama yang ada di sudut halaman.

Ilutsrasi: Tyo


“Mari ikut, Kama!” ajak Luxo.

“Tidak. Teman-teman tidak menyukaiku!” Kama menjawab lirih.

“Bukan, bukan tidak suka padamu. Merea hanya tidak suka sikapmu. Kalau kau mengubah sikapmu, pasti mereka menyukaimu!” kata Luxo.

“Maafkan aku, Luxo,” bisik Kama.

“Sudahlah, lupakan saja. Ayolah, nyanyi denganku!” Luxo menggandeng Kama menuju kerumunan binatang yang tengah bernyanyi.

Ilutsrasi: Tyo


Beberapa binatang menyambut Kama dan mengajaknya bernyanyi dan menari. Menikmati persaudaraan yang indah.

(Sumber: Bobo Edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 46-47)

2 September 2019

Rahasia Petir yang Mengerikan






Cahaya petir berkelebat menyilaukan. Mirip garpu dari langit. Suara petir bergemuruh mengerikan. Mirip ledakan besar. Apa sih petir itu? Kenapa petir sangat mengerikan?

Selalu Bikin Takut
Petir membuat manusia takut. Kilatan cahayanya mirip tombak cahaya yang dilempar dari langit ke bumi. Kilatan petir sering juga mirip garpu yang menghujam ke permukaan Bumi. Mengerikan!

Saking takutnya, manusia di zaman kuno berpikir petir adalah dewa langit yang marah. Orang Inggris kuno menganggap petir terjadi karena Dewa Thor marah dan memukul palunya. Orang zaman kuno hanya bisa ketakutan dan bertanya-tanya apakah petir itu. Misteri petir terkuak setelah Benjamin Franklin menerbangkan layang-layang basah di tahun 1752. Wow, ternyata petir adalah listrik. Untung, Pak Franklin tidak kesetrum saat itu!

Gara-Gara Gesekan

Petir terjadi saat ada awan mendung yang tebal. Awan terbentuk dari uap air. Uap air terjadi karena panas sinar matahari. Ssst, sinar matahari yang panas juga merangsang uap air bergerak, lo. Uap air pun bergerak dari bawah ke atas. Saat bergerak uap air saling bergesekan.

Gara-gara gesekan, uap air jadi bermuatan listrik. Hmm, kejadiannya mirip saat kamu menggosok balon dengan rambutmu. Balon jadi bermuatan listrik saat bergesekan dengan rambut. Nah, saat bergesekan, uap air mendapat muatan listrik. Muatan listrik ini berkumpul di awan bagian atas.

Loncat, Yuk!

Muatan listrik di awan bisa sangat besar hingga terjadi perbedaan muatan listrik antara awan dan permukaan bumi. Perbedaan itu membuat muatan listrik di awan ingin pindah ke permukaan Bumi. Untungnya, udara di sekeliling awan menghalangi perpindahan muatan listrik.

Tetapi, kadang udara berubah jadi lembap atau mengandung banyak air. Kamu tahu, kan, air adalah penghantar listrik yang baik? Nah, sebelum hujan turun, udara penuh air. Wow... air di udara jadi jalan bagi muatan listrik ke permukaan Bumi. Muatan listrik pun mengalir dari awan ke permukaan Bumi. Slereet....zet... zet! Saat itulah kamu melihat petir!

Zig-Zag Mirip Garpu

Uniknya, muatan listrik di awan selalu mencari jalan yang paling mudah saat pindah. Jalan mudah itu berupa celah udara yang paling lembap. Kelembaban udara tidak selalu rata. Selalu ada celah udara yang lebih lembap dan kurang lembap. Wuah, jalan petir pun jadi berliku. Petir jadi berjalan zig-zag, bengkok atau mirip garpu.

Kilat Dulu, Baru Guntur
Kilatan cahaya petir selalu mendahului suara petir. Cahaya berjalan cepat daripada suara. Kecepatan berjalan cahaya petir mencapai 3000 kilometer per detik. Kecepatan suara petir adalah 0,3 kilometer per detik. Tentu saja, suara petir jadi kalah cepat dari kilatan cahaya petir! Sleret....Zet... Zet! Duar! Duar!

Awan Pemantul
Suara petir dihasilkan dari udara yang memuai dan bergerak tiba-tiba. Suara itu bergerak di udara dan menabrak awan-awan sekitarnya. Awan-awan lalu memantulkan suara petir. Saat awan memantulkan suara petir, kamu mendengar suara petir bergemuruh dan bersahutan. Suara petir yang bergemuruh sering disebut guntur. Gluduk, gluduk, gluduk....


Fakta Petir di Indonesia
* Awan petir di Indonesia bisa naik sampai 15 kilometer. Awan petir Indonesia bisa mencapai lapisan ionosfer, yaitu lapisan atmosfer terluar Planet Bumi. Bandingkan, awan petir di negara lain hanya menjulang sampai 3 kilometer
* Kota Bogor di Indonesia adalah kota petir nomor satu di dunia.

(Narasumber: Prof. Dr. Mezak Ratag. Institut Sains Kebumian dan Antariksa. Lembaga Litbang Lokon. Jakarta, Tomohon yang dikutip dalam Bobo Edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 36-37)
Ilustrasi: Odenion. Teks: rna

Bona Gajah Kecil Berbelalai Panjang - Lilu Mengambil Layangan





Bona tertidur di bawah pohon. Tiba-tiba, Lilu membangunkannya. “Bona! Bonaaa! Tolong buatkan tangga dengan belalaimu!”


Bona membentuk belalainya jadi tangga. Lilu kemudian mengambil layangan yang tersangkut di pohon dengan tangga itu.


Bona yang masih mengantuk, tiba-tiba ketiduran. Syuuut... Belalai Bona langsung terkulai lemas. “Hwaaa!” Lilu terjatuh.


Bona segera terbangun. Dia membentuk kasur empuk dengan belalainya. Thuiiing! Lilu jatuh membal di kasur belalai.


“Maaf Lilu, aku ngantuk sekali. Untuk apa, sih, tangga belalaiku?” tanya Bona. “Aku mau mengambil layangan, Bona...” kata Lilu sambil menangis.


“Kenapa minta dibuatkan tangga, kenapa tidak minta diambilkan saja?” Bona mengambil layangan nyangkut itu. Lilu berhenti menangis. Ah, betul juga kata Bona! (Dwi)

(Sumber: Bobo Edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 48)
Ilustrasi: WAN’D Studio

Ceritera Dari Negeri Dongeng - Kaktus




Bintang Malam datang berkunjung ke Negeri Dongeng. Pengawanya membawakan beberapa pot kaktus berbunga. Semua dibagikan pada Nirmala, Oki, dan kurcaci lainnya. “Ayo, aku ajari cara merawat kaktus,” kata Bintang Malam. “Nanti aku saja yang mengajari teman-temanku. Sekarang, kita main saja, yuk!” ajak Oki tak sabar.


Nirmala menata pot-pot kaktus itu di halaman istana. Ia juga menuliskan nama pemiiknya. “Tanaman kalian ditaruh di sini saja ya,” kata Nirmala. Semua kurcaci setuju.


Setelah Bintang Malam pulang, Oki mengajari teman-temannya cara merawat kaktus. “Sirami banyak air setiap hari, supaya bunga-bunganya tetap segar,” kata Oki sok tahu.


Beberapa minggu kemudian, bunga kaktus-kaktus itu menjadi layu. Oki panik. Pada saat itu, Nirmala sedang mengagumi bunga kaktusnya. Diam-diam Oki mengambil tongkat Nirmala.


Oki menyulap kaktus-kaktus para kurcaci. TRING! Astaga, tanaman itu malah menjadi besar. Oki terjebak di tengah, tak berani bergerak, takut tertusuk. “Tolooong...” teriak Oki panik.


Nirmala segera mengambi tongkatnya yang tergeletak di tanah. “Sim salabim!” Nirmala menyulap sehingga tanaman itu mengecil lagi. “Tanaman kaktus tidak perlu banyak air, Ki! Malah ada yang sebulan sekali saja disiramnya,” Nirmala menjelaskan. “Huuu... kamu sok tahu, sih, Ki!” ledek kurcaci lainnya sambil tertawa. Wah, Oki jadi malu. (Vanda P)

(Sumber: Bobo Edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 40-41)
Ilutsrasi: WAND Studio

Paman Kikuk, Husin dan Asta - Sang Pendaki




“Sin, dua hari lagi aku akan ikut tim pendaki gunung Jaya Wijaya,” ujar Paman Kikuk. “Wah, hebat, Paman Kikuk. Tapi... emang Paman Kikuk kuat mendaki?” canda Husin.

“Ah, kau ini memang paling suka meragukanku, ya.... Biarpun begini, aku ini jago kungfu dan mantan pendaki gunung. Aku akan buktikan padamu,” sumbar Paman Kikuk.


Keesokan paginya, Paman Kikuk mulai latihan fisik. Dia awali latihan dengan berlari keliling kompleks. Kaki dan tangan Paman Kikuk diikat dengan potongan besi.


Paman Kikuk tampak ngos-ngosan. Namun, karena takut diledek Husin, dia pura-pura kuat. “Paman, istirahat dulu. Sini, minumair jeruk segar,” goda Husin. Paman Kikuk melengos dan tetap berlatih.


Paman Kikuk melakukan Push Up. Paman Kikuk tahu Husin memperhatikan dirinya. Karena itu, dia memaksakan diri bergaya kuat. “...99,100...” ucapnya keras-keras sambil melirik Husin.


Tidak hanya push up, Paman Kikuk juga melakukan sit up dan angkat beban. Paman Kikuk terus berlatih seharian. Bahkan, dia menolak untuk istirahat.


Sore harinya, selesai mandi, Paman Kikuk mempersiapkan perlengkapan mendakinya. “Kamu sudah melihat sendiri, kan? Pamanmu ini memang punya fisik yang kuat,” pamer Paman Kikuk pada Husin.


Keesokan paginya.... “Paman, bangun. Sudah ditunggu tim pendaki, tuh,” seru Husin. “Uhhh... Sin, badanku sakit semua... sakiiit... Bilangin mereka, aku enggak jadi ikut....,” rintih Paman Kikuk.

(Sumber: Bobo Edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 24-25)
Ilustrasi: Sabariman R.