Kado Ulang Tahun Untuk Mama
By: Sri Fatimah A.S
Sepulang sekolah, Safa terlihat melamun
di kamar.
“Hayo,
kecil-kecil sudah melamun!” teriak Kak Zulvan mengagetkan Safa.
“Aku lagi
memikirkan tugas dari Bu Guru,” jawab Safa sambil melepas sepatunya. “Sebentar
lagi, kan, Hari Ibu. Bu Guru menyuruh kami mengarang tentang apa saja yang
telah kami perbuat untuk membahagiakan Ibu. Karangan itu harus dikumpulkan
minggu depan.”
|
Ilustrasi: Yoyok |
“Itu, kan,
tugas yang mudah,” komentar Kak Zulvan.
“Masalahnya,
Kak... Safa belum pernah membahagiakan Mama. Malah lebih sering membuat Mama
jengkel karena kalau asyik bermain aku sering lupa makan, bahkan lupa mandi...”.
Kak Zulvan
tersenyum, “Ya, sudah! Kalau begitu, mulai sekarang kamu jangan bikin Mama
jengkel lagi. Apalagi, setelah Papa meninggal, Mama, kan, lelah bekerja untuk
menghidupi kita.”
Safa
menganggukkan kepalanya dengan penuh rasa sesal.
“Lusa, kan,
Mama berulang tahun. Kamu bisa memberi kado kecil untuk Mama. Selama ini, kamu
belum pernah memberi hadiah buat Mama, kan? Nah, setelah itu, kami bisa membuat
karangan,” saran Kak Zulvan.
“Wah,
makasih, ya, Kak, atas idenya,” Safa tersenyum manis.
Setelah
kakaknya keluar kamar, Safa mulai memikirkan kado yang cocok untuk Mama. Ia
lalu teringat, kalau dompet Mama sudah kusam. Namun Safa ragu. Apa ada dompet
yang murah harganya? Safa melirik ke celengan gajahnya.
Sore hari,
ketika Mama pergi ke arisan, Safa membuka celengannya itu. Setelah ia
menghitung semua uangnya, jumlahnya ternyata hanya Rp 20.000,00.
“Mungkin,
di toko serba ada, di depan sekolah, ada dompet yang harganya Rp 20.000,00,”
gumamnya.
Besok
siangnya, sepulang sekolah, Safa pergi ke toko serba ada itu. Harga dompet di
toko itu bermacam-macam. Ada yang mahal, ada juga yang murah. Sebenarnya Safa
tertarik pada dompet berwarna cream. Bentuknya cantik sekali. Sayang harganya
Rp 40.000,00. Uang Safa tidak cukup.
|
Ilustrasi: Yoyok |
Safa
teringat kata-kata kakaknya. Tidak usah yang mahal-mahal, asalkan ikhlas. Ia
lalu melihat-lihat dompet yang harganya lebih murah. Akhirnya, safa menemukan
sebuah dompet cokelat muda. walau harganya murah, namun bentuknya cukup
menarik. Dengan lega, Safa membayar di kasir.
Setelah
makan siang, Safa sibuk membungkus kadonya. Hadiah itu lalu ia simpan di laci
meja belajarnya. Ia punya rencana untuk ulang tahun Mama. Ketika jam
menunjukkan pukul 7.30 malam, Safa bersiap-siap tidur. Sebelum tidur, ia
menyetel jam wekernya agar ia bisa berbunyi pukul 12 malam nanti.
Jam weker
Safa tepat waktu. Deringannya berbunyi kencang tepat pada pukul 12 malam.
KRIIING... KRIIING...
Awalnya
Safa malas bangun. Namun ia teringat pada rencananya. Buru-buru ia bangun dan
mengambil kadonya. Dengan hati-hati dia mengetuk pintu kamar Mama. Mama membuka
pintu dan terkejut melihat Safa di depan pintu.
“Ada apa
Safa?” tanya Mama.
Safa
tersenyum malu lalu mengulurkan kado.
“Safa cuma
mau kasih kado kecil ini, Ma! Selamat Ulang Tahun!”
Mata Mama
yang semula mengantuk, kini terbuka lebar. Mama tersenyum haru dan menerima
kado itu. Ia lalu memeluk Safa.
“Terima
kasih, Sayang. Mama senang sekali. Tapi sekarang Safa tidur lagi, ya. Ini, kan,
masih malam, Sayang!” kata Mama.
Safa
mengangguk dan segera kembali ke kamarnya. Tak lupa menyetel wekernya agar
berbunyi pada pukul lima pagi.
Tepat pukul
lima pagi, weker Safa berbunyi. Safa segera bangun dan mandi. Ketika masuk
kembali ke kamar dan melintasi meja belajarnya, betapa terkejutnya Safa. Ada
uang dua puluh ribu dan secarik kertas di atas meja itu. Safa segera membaca
tulisan kertas itu.
Safa
sayang, terimakasih, ya, kadonya. Mama sangat senang dan terharu. Ini uang dua
puluh ribu dari Mama. Ditabung, ya!
Safa
tersenyum. Namun ia penasaran juga karena Mama tahu harga dompet itu. Setelah
memakai seragam, Safa bergegas mencari mamanya untuk bertanya.
“Ma, kenapa
mengembalikan uang Safa?”
“Mama
bukannya mengembalikan uangmu. Uang dari Mama itu, untuk menambah tabunganmu.
Mama, kan, tahu kamu sedang menabung untuk membeli sepatu baru,” jawab Mama
penuh sayang.
Safa
terharu mendengar ucapan Mama. “Makasih, ya, Ma,” ucap Safa, lalu mencium
tangan mamanya.
Baru
beberapa langkah meninggalkan halaman rumahnya, tiba-tiba Safa lari berbalik
lagi.
“Apa yang
ketinggalan, Fa?” tanya Mama. “Nggak ada, Ma. Safa cuma ingin tahu. Dari mana
Mama tahu kalau harga dompet itu dua puluh ribu?” tanya Safa malu-malu.
|
Ilustrasi: Yoyok |
Sambil
tertawa Mama menjawab, “Ya, dari dompetnya. Kamu lupa mencabut stiker
harganya.” Mereka tertawa bersama-sama.
Hari itu,
Safa berangkat ke sekolah dengan riang. Keinginannya untuk membahagiakan Mama
sudah tercapai. Dan siang nanti, sepulang sekolah, ia sudah bisa mengerjakan
tugas mengarangnya.
(Sumber: Bobo edisi 36. Tahun XXXVII. 17
Desember 2009. Hal. 10-11)