Healthy Life ala Maharani
By: Widya Rosanti
Maharani
menatap menu dihadapannya. Steak iga, sepiring nasi, plus Apple Milkjus. Bibir
kirinya sedikit terangkat. Matanya kedap-kedip. Iga sapi. Udah pasti berlemak.
Kuah steaknya dipenuhi vetsin, saus, plus kecap. Nggak bagus buat tubuh. Nasi, High
carbohydrate. Bikin perut jadi kayak belut. Bergelut-gelut nggak kenceng.
Apple Milkjus. Meski berasal dari buah, namun gula dan susunya, bisa menjadi
salah satu sumber kegemukan. Huff.. Maharani menghela nafas enggan. Nafsu
makannya lenyap seketika.
“Kok Cuma
diliatin? Makan dong... aku pengen, kencan pertama kita bener-bener berkesan
buat kamu. Menua yang aku pilihin tuh enak loh,” ucap Danang sembari menatap ke
arah Maharani.
Gadis itu
menggeleng. “Kenapa? Nggak suka menunya? Kalo mau, tambah lagi aja. Makanan di
sini enak-enak kok,” lanjut Danang berusaha meyakinkan.
Tatapan
Maharani beralih pada hidangan di hadapan Danang. Iga bakar saus pedas.
Sepiring nasi. Jus alpukat campur susu coklat. Maharani bergidik.
“Danang.. kalo
kita pindah cafe, gimana?” tawar Maharani.
Danang bengong
nggak ngerti. “Kenapa? Makanan di sini lezat lho. Cobain deh..,” elaknya.
“Enak, tapi
nggak sehat. Aku nggak mau makan ginian. Kamu juga sebaiknya menghindari junk
food seperti ini. Nggak baik. Sekarang banyak orang meninggal muda. aku sayang
kamu, Dan.. Aku nggak pengen kamu jantungan selagi muda. ntra cepet mati, aku
sendri. Pleasssssee.. Jangan sentuh hidangan ini. Kita pindah aja. Oke??,”
pinta Maharani.
Danang
melongo. Matanya mengerjap-ngerjap. Dia pengen nolak. Dia pengen bilang nggak
mau. Secara, makanan yang tersaji benar-benar bikin lidah berkecap-kecap enak
sampe lupa diri. Apalagi dirinya tipikal cowok doyan makan. Tapi demi Maharani.
Cewek cantik yang udah jadi inccerannya selama setahun itu, Danang nurut. Dia
nggak mau penantiannya gagal hanya karena belain makanan. Akhirnya dengan berat
hati ia memasrahkan kepalanya untuk mengangguk.
“Oke, deh.
Kamu aja yang nentuin tempatnya. Yukkk..,” ajaknya setengah hati.
Mereka cabut
dari cafe dengan menu “tidak sehat” itu. Maharani memilih resto yang menyajikan
masakan Sunda. Restonya cukup artistik. Ditata sedemikian rupa hingga
menimbulkan kesan nyaman dan alami. Suasananya sejuk lagi. Karena banyak
pepohonan dan bunga di halamannya. Seorang pelayan berpakaian ala Sunda menyodori
mereka daftar menu. Maharani berbinar-binar. Danang jadi yakin. Makanan di situ
pasti nggak kalah cantik dengan cafe sebelumnya.
“Mmm.. Pepes
ikan mas tiga, cah kangkung dua, cah toge dua, kentang rebus dua, tempe ama
tahu kukus satu. Sambel juga dua. Tapi cabe ama tomatnya mentah mas, ya.. Trus
minumnya, jus apel tanpa gula ato susu. Dua juga. Udah itu aja,” ujar Maharani
enteng.
“Nggak pake
nasi, Mbak?” tanya mas pelayan.
“Oh, ngga,.
Nggak pake,” tegas Maharani.
Maharani menyerahkan daftar menu pada pelayan
tanpa ngasih kesempatan ke Danang. Danang nelen ludah. Dugaannya salah.
Sebenarnya daftar menunya lumayan menarik. Tapi makanan yang bentar lagi dateng
sama sekali nggak ia minati. Nafsu makan Danang mendadak surut. Dia membatin.
Makan cuma modal kentang mana bisa perutnya berkompromi. Dijamin nggak bakal
kenyang. Beberapa saat kemudian pesenan datang.
“Nah, ini baru
healthy food. Aman dikonsumsi. Bagus untuk kesehatan dan kecantikan. Aku hobi
banget makan beginian,” kata Maharani seolah nengahin pergulatan batin Danang.
Danang nggak
mampu berkutik. Otaknya dipaksa mikir jenuh. Penantian setahun nggak boleh raib
begitu aja karena makanan. Lagian udah resikonya jatuh cinta ama cewek seperti
Maharani. Cewek pembela panji-panji kesehatan dan kecantikan. Dia harus bisa
maklum. Ibarat pepatah roman, cinta selalu siap menerima kelebihan dan
kekurangan pasangan. Dan saat ini, Danang emang lagi kekurangan. Kurang makan
maksudnya. Tapi demi cinta, ia pun pasrah. Ia mulai menyantap hidangannya tanpa
selera. Maharani menatapnya seolah minta pendapat.
“Iya bener.
Ini baru makanan bener-bener sehat,” cetus Danang terpaksa.
***
“Janji ya,
Dan.. Jangan berperilaku nyeleneh. Terapkan pola hidup sehat. Kalo kamu emang
beneran sayang ama aku. Aku nggak mau sakit-sakitan,” celoteh Maharani sepulang
dari gym. Seminggu tiga kali mereka emang nge-gym bareng.
“Ah iya
sayang.. Trus besok nonton ya? Filmnya bagus loh.. Sang Pencerah. Ada
Giring Nidji ikutan maen,” usul Danang.
Bola mata
Maharani membeliak. “Nonton? Kan aku udah daftarin kamu futsal. Daripada duduk
melempem nikmatin film sambil ngemil popcorn, mendingan maen futsal say. Bikin
sehat pula. Nontonnya sebulan sekali aja.” Sahut Maharani manja.
Danang
terdiam. Pandangannya menatap lurus ke depan. Seolah-olah ia beneran konsen ama
jalan. Tapi sebenarnya nggak sama sekali. Udah sebulan dia jalan ama Maharani.
Dalam sebulan itu pula, dia ngerasa blom kenal Maharani. Buktinya, dia nggak
tau hobinya apa, cita-citanya pengen jadi apa, idolanya siapa, pernah liburan
kemana aja, ato buku favoritnya apa. Pembicaraan mereka tiap harinya seputar
kesehatan terus. Tentang bayam, wortel, jus, buah, serat, jantung koroner,
diabetes, kanker, olahraga yang tepat. Seperti sekarang ini. Tanpa
sepengetahuannya, Maharani malah udah ngedaftarin dirinya maen futsal. Danang
mulai jengah.
“Kok diem aja
sih?” protes Maharani.
“Capek.
Kayaknya aku nggak bisa ikutan futsal deh,” ceplos Danang pelan.
“Gimana sih?
Kan demi kesehatan kamu,” desak Maharani.
Hening.
“Kalo jaga
sendiri aja nggak bisa, gimana kamu mau ngejaga aku, Dan? Kalo kamu nggak
sayang ama dirimu, gimana kamu bisa sayang aku?” imbuh Maharani.
“Iya tau. Tapi
jaga kesehatan bukan berarti kita fokus terus-terusan ama kesehatan. Ada hal
lain untuk dibahas, ada makanan enak buat dicicipi, ada saatnya buat relax. Ada
hal lain yang juga enak buat diobrolin. Semua ada waktunya, Ran,” sanggah
Danang putus asa.
“Jadi kamu
ngerasa terbebani, gitu?” tantang Maharani.
Danang
terdiam.
“Ya udah kalo
gitu. Kita putus ada. Aku nggak mau ngebebanin orang. Mulai sekarang kita jalan
sendiri-sendiri. Dan hidupmu bebas,” lanjut Maharani. Suaranya sarat dengan
emosi.
***
Air mata
Maharani tumpah menggenangi bantal. Kelopak matanya bengkak dan merah. Benaknya
nggak habis pikir. Kenapa banyak banget cowok ngarepin cintanya namun setelah
jadi pacar mereka justru jengah. Menjauh. Nyari-nyari alasan agar diputusin.
Apa karena pola hidupnya yang terlalu memegang teguh prinsip-prinsip kesehatan?
Bukankah itu baik? Bukankah itu salah satu bentuk perhatian ekstra? Kenapa
cowok-cowok itu malah malas menerapkan sesuatu yang baik bagi diri mereka?
Maharani mulai
berpikir terbalik. Mungkin dirinya terlalu strict. Seperti ucapan Danang, bukan
berarti dirinya terus-terusan fokus ama kesehatan. Ada waktunya sendiri untuk
break. Sekedar memenuhi keinginan diri kita. Bersantai melakukan apa pun tanpa
beban. Makan enak. Nonton film. Nggak olahraga. Minum milkjus. Mungkin hidup
gitu yang dimaksud Danang.
Maharani
mengusap air matanya. Dia bertekad untuk berubah. Maharani segera bangkit dan
ganti pakaian. Ia menyambar sepedanya menuju rumah Danang. Dia pengen ngajak
cowoknya itu nonton sambil ngemil popcorn.
Maharani
berhenti di depan rumah Danang. Ia turun dari sepeda. Pas hendak masuk,
mendadak dia tertegun bagai melihat hantu. Dilihatnya di teras, Danang tengah
berjalan bergandengan tangan dengan seorang cewek, lalu keduanya masuk ke
mobil. Maharani seperti tersedak sebuah apel utuh. Ia tak menyangka sama sekali
begitu cepat Danang melupakan dirinya. Tak mau kehadirannya diketahui, Maharani
mengowes sepedanya dengan cepat meninggalkan tempat itu.
Ia mengayuh
sepedanya tak tentu arah. Ia ingin jalan-jalan sendiri sore itu. Rumah coklat.
Secara nggak sengaja tatapan Maharani membaca sebuah nama kedai kue dan coklat.
Ia berhenti. Maharani bimbang. Setahunya, coklat berkhasiat untuk ngilangin
stress. Tapi kalo coklat olahan banyak mengandung gula. Berlemak tinggi karena
dicampur susu, krim, keju dan kacang. Enak sih. Tapi nggak sehat. Maharani
terus menimbang-nimbang. Masuk nggak masuk nggak. Akhirnya cewek itu mantap
memasuki Rumah Coklat. Ia nggak peduli lagi dengan lemak, karbohidrat, gemuk, diabetes,
jantung koroner, atau obesitas. Toh selama nggak disantap tiap hari, pasti juga
nggak akan berbahaya.
Es krim coklat
blueberry. Cheese chocolate cake. Pesanan Maharani telah tiba. Tanpa ragu ia
mencicipinya satu per satu. Mata Maharani berkedip-kedip takjub. Lidahnya
mengunyah tanpa jeda. Kesedihannya menguap.
“Benar-benar
lezat,” gumamnya.
Belum lima
menit dia duduk, kedua menu tadi udah tandas. Ucapan Danang kembali menggema di
ruang kepalanya. Segala sesuatu ada waktunya. Ia membenarkan dalam hati.
Dan kali ini ia bertekad menyediakan waktu memanjakan diri, makan sepuasnya
tanpa dikekang aturan kesehatan. Ia ingin belajar hidup normal seperti orang
lain.
“Mbak tambah
lagi. Chocolate milkshake, tiramisu, chocolate muffin, dan ice cream chocolate
sundae,” pintanya tanpa ragu.
***
(Sumber:
majalah mingguan Gaul edisi 43 tahun IX . 8 – 14 November 2010 . Hal 26)