Sopir Becak Misterius
By: Eko Pri Maryanto
Rapor
berisi nilai hasil belajar telah dibagikan. Anto puas dengan hasil yang diraih.
Selain naik ke kelas VI, gelar juara kelas juga masih dipegangnya. Walaupun
berstatus juara kelas, Anto tetap tidak sombong. Nia, adik Anto, juga naik ke
kelas IV. Ayah dan Ibu bangga pada mereka.
Pagi itu,
Anto dan Nia sudah bersiap melakukan perjalanan. Berkunjung ke rumah Kakek.
Mereka sudah terbiasa pergi berdua ke rumah Kakek naik bus, dilanjutkan naik
becak. Sudah lama mereka tidak ke rumah Kakek. Anto ingin melihat kolam ikan
milik Kakek, sementara Nia ingin membantu Nenek berkebun.
Di dalam
bus, Anto menjaga adiknya. Selain pandai, dia juga kakak yang bertanggung
jawab. Bus terus melaju sampai di depan pasar kecamatan. Setelah membayar pada
kondektur, mereka turun.
Baru
beberapa langkah berjalan, seorang abang becak menghampiri mereka. Ia memakai
caping.
“Mau kemana,
Den? Butuh becak?” sapanya halus.
“Iya, pak.
Kami mau ke Desa Keraseni,” jawab Anto.
“Mari,
silakan, Den,” kata si abang becak yang wajahnya sedikit tertutup caping.
“Ongkosnya
berapa, Pak?”
“Sudah, naik
saja. Soal ongkos, gampang.”
“Tidak bisa
begitu, Pak.”
“Ya sudah,
tarif seperti biasanya saja.”
Karena
mereka sudah terlanjur naik, Anto mengalah. Lagi pula, dia sudah diberitahu
Ibu. Ongkos becak ke rumah Kakek kira-kira sepuluh ribu rupiah.
“Mau ke
rumah siapa, Den?” tanya abang becak memulai pembicaraan.
“Pak, jangan
panggil saya Raden. Saya enggak enak. Nama saya Anto dan ini adik saya, Nia.
Kami mau ke rumah Kakek,” jawab Anto.
“Liburan
kenaikan kelas, ya? Dik Anto kelas berapa?”
“Saya naik
ke kelas VI dan Nia kelas IV. Iya, Pak, kami sedang liburan.”
“Bapak juga
punya cucu seusia kamu. Anaknya pintar, selalu juara kelas, baik hati, dan
tidak sombong. Nilai rapormu bagaimana, Dik?”
“Ah, biasa
aja, Pak,” jawab Anto merendah. Padahal, dia juara kelas dengan nilai tertinggi
sekabupaten.
“Kalau cucu
Bapak, nilai rata-ratanya 9. Dia mendapat beasiswa dan selalu menang lomba
cerdas cermat. Tidak seperti kakeknya yang bodoh ini. Bapak bangga padanya.”
Abang becak
itu panjang lebar menceritakan cucunya. Anto hanya diam mendengarkan. Anto
enggan bercerita tentang dirinya yang sebenarnya juga mempunyai nilai rata-rata
9 dan mendapat beasiswa dari Bapak Bupati. Dia tak mau bercerita karena tidak
ingin dianggap sombong.
“Kelak,
kalau cucu Bapak datang dari kota, Bapak akan memberinya hadiah. Apa yang dia
minta, akan Bapak beri,” kata si abang becak. Anto jadi semakin ingin cepat
bertemu kakeknya.
Ilustrasi: Yan B |
Karena
lelah, Nia tertidur bersandar. Sementara, abang becak masih terus bercerita
tentang cucunya. Sebenarnya, Anto penasaran dengan abang becak itu. Setiap kali
Anto menoleh ke belakang, dia selalu menunduk, sehingga wajahnya tertutup
caping.
Tak terasa,
mereka memasuki Desa Keraseni.
“Jika cucu
Bapak datang, Bapak akan memberinya apa?”
“Ya, apa
saja, asal Bapak mampu. Tahun kemarin, dia Cuma minta korek api antik. Katanya,
agar Bapak berhenti merokok.”
Mendengar
kata itu, Anto terbelalak. Dulu, ia juga berkata seperti itu pada kakeknya.
Dengan refleks, dia meloncat turun, lalu memperhatikan wajah si abang becak.
Anto mengenalinya.
“Kakek
nakaaal!” seru Anto seraya memeluk abang becak yang ternyata kakeknya itu. Nia
terbangun karena mendengar teriakan kakaknya. Di jalan itu, mereka berpelukan.
“Ayo, kita
pulang dulu! Nenek sudah menunggu,” ajak Kakek. Mereka melanjutkan perjalanan.
“Kenapa
Kakek pakai menyamar segala?”
Ilustrasi: Yan B |
“Kemarin
ibumu menelpon Tante Neni. Katanya, kamu mai datang. Kemudian, Kakek putuskan
menyewa becak Pak Hadi untuk menjemput sang juara.”
“Kakek
ada-ada saja. Pantas, waktu belok di tikungan tadi, becaknya hampir terbalik,”
kata Anto.
“Ternyata,
abang becak gadungan! Ha ha ha...” sambung Nia. Semua tertawa.
“Ayah ibu
kalian sudah cerita tentang kalian pada Kakek. Ternyata, cucu-cucu Kakek tumbuh
hebat. Tidak sombong serta selalu ingat kakek dan neneknya.”
Mereka pun
sampai di rumah lalu saling melepas rindu.
(Sumber: Bobo edisi 35. Tahun XXXVIII. 9
Desember 2010. Hal. 32-33)