Tampilkan postingan dengan label Cerpen Anak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerpen Anak. Tampilkan semua postingan

3 September 2019

Idola-Idola Teru


Idola-Idola Teru

By: Yuniar Khairani

Teru  menarik ke atas rambutnya yang telah dioles dengan styling foam. Rambutnya kini tampak berdiri. Ia lalu meraih hair dryer Mama dan menyalakannya. Hawa panas mengalir dari benda itu dan Teru mengarahkannya ke rambutnya. Sesaat kemudian, selesailah tatanan rambutnya yang terbaru. Ia pun siap berangkat ke sekolah setelah memakai gelang akar-akaran di pergelangan tangannya.

“Astaga Teruuu!” jerit Mama dari meja makan ketika melihat penampilan Teru. “Kamu apakan rambutmu?” 

Ilutsrasi: Yoyok


Teru meraba rambut berdirinya dengan wajah tersipu. “Hehe, aku ingin punya rambut keren seperti Ugi, Ma!” jawabnya.

Mama mengerutkan kening. “Ugi, siapa? Dia pakai gelang seperti itu juga?” Mama merasa tak mengenal nama itu. Teru cengengesan.

“Ugi penyanyi lagu Yang Pertama itu, lo, Ma!”

Mama menggelengkan kepala dengan wajah yang tak senang, “Jangan dandan seperti itu di sekolah, dong!” Teru hanya nyengir.

“Jangan khawatir, Ma! Enggak apa-apa, kok!”

Ternyata di sekolah, Teru ditegur Pak Guru.

Ilutsrasi: Yoyok


“Boleh-boleh saja berdandan seperti ini kalau kamu mau jalan-jalan atau menyanyi di panggung. Tapi kalau ke sekolahm tidak perlu menata rambut seperti itu. Apalagi pakai gelang-gelang seperti itu!”

Teru menceritakan teguran gurunya itu pada Mama. Bukannya membela Teru, Mama malah menyerahkan sehelai kertas padanya.

“Mama tadi download berita tentang Ugi dari internet. Ugi itu tertangkap basah berpesta narkoba di rumah temannya!” Mama bergidik ngeri.

“Kamu boleh saja mengidolakan lagu dan hasil karyanya. Tapi tidak perlu meniru gaya hidupnya...” Mama berusaha menasehati Teru.

Akan tetapi, Teru tidak bisa menghentikan kebiasaannya. Begitu menyukai penyanyi atau bintang film tertentu, ia berusaha meniru dandanannya, sepatu kesukaannya, gaya rambutnya. Mama jadi agak kesal pada Teru.

Suatu hari, Mama menunjukkan daftar berisi nama-nama artis. Teru membacanya. “Kenal nama-nama itu?” tanya Mama.

Teru mengangguk yakin, “Kenal, dong, Ma! Memangnya kenapa?”

Mama mengambil kembali daftar nama-nama itu dan membuat tiga kolom yang baris teratasnya bertuliskan Nama, Negatif, dan Positif. Teru melihat Mama dengan terheran-heran. “Apa itu Ma?”

Mama hanya berujar, “lihat saja sendiri!”

Lalu Mama menyuruh Teru memilih nama-nama artis yang disukainya dari daftar. Ia juga boleh menambahkan sendiri nama artis idolanya yang belum ada di daftar. Teru menuliskan nama artis-artis idolanya di kolom Nama.

Mama mulai bertanya, apa saja yang membuat Teru suka pada artis itu.

“Lagunya bagus, Ma!” ujar Teru. “Orangnya sopan, Ma,” ujarnya lagi. “Jaketnya juga selalu keren!” tambahnya. 

Ilutsrasi: Yoyok


Mama menuliskan semuanya pada daftar kolom positif. Selanjutnya Mama menanyakan berita negatif tentang artis itu yang Teru tahu.

“Dia meninggalkan istrinya, Ma!” jawab Teru. “Pernah tertangkap karena pakai narkoba juga!” tambahnya. “Bicaranya juga kurang sopan, Ma!” ujar Teru lagi. Dengan tekun Mama menuliskan semua itu pada daftar kolom negatif.

Mama lalu menunjukkan catatan itu pada Teru. Betapa terkejutnya Teru ketika melihat daftar yang dibuat Mama. Dari 20 nama artis idolanya, hanya seorang saja yang menurut Teru memiliki akting yang bagus, juga sopan pada orang lain dan hormat pada orangtuanya.

Teru termangu-mangu menatap daftar yang dibuat Mama.

“Jadi, artis seperti ini yang menjadi idola Teru?” Mama pura-pura terkejut.

“Mama, kan, hanya bikin daftarnya. Teru sendiri yang mengisinya, kan?”

Teru tersenyum dan mengangguk. Kini ia mengerti maksud Mama. Boleh-boleh saja ia punya idola artis terkenal. Boleh-boleh saja ia menyukai karya mereka. Namun, teru harus memilih gaya hidup yang cocok dengannya sebagai anak sekolah.

“Ma, aku sebaiknya menjadi diriku sendiri, kan? Tidak ikut-ikutan gaya idolaku?” ujar Teru kemudian.

Mama tersenyum sambil mengacak rambut Teru. “Betul, anak pintar!”

(Sumber: Bobo Edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 32-33)

Indera Keenam


Indera Keenam

By: Deny Wibisono

Namaku Dina. Dina Purnaning Ratri. Aku berusia 11 tahun. Aku duduk di kelas 5 SD. Aku ingin menceritakan seorang guru kelasku. Namanya Bu Sonya. Menurutku, ia punya indera keenam. Soalnya, ia tahu apa yang dipikirkan murid-muridnya!

Ilustrasi: Iwan D.


Coba dengarkan cerita-cerita ini, ya. Ada temanku yang bernama Nina. Ia anak yang cukup pandai. Namun, nilainya akhir-akhir ini merosot. Ternyata, Nina memang kesulitan melihat. Semua anak tidak ada yang tahu, kecuali Bu Sonya.

Lain pula cerita Damian dan Roni. Damian dan Roni bertengkar. Mereka saling menantang dan berjanji akan berkelahi sepulang sekolah. Namun, saat pulang sekolah, Damian dan Roni tidak dibolehkan pulang dulu oleh Bu Sonya.

Mereka dinasihati Bu Sonya, bahwa berkelahi tidak akan menyelesaikan masalah. Akhirnya, Damian dan Roni tak jadi berkelahi. Mereka bersalaman.

“Aku tidak pernah bercerita pada seorang pun,” jelas Damian waktu itu, pada teman-teman.

“Aku juga,” sahut Roni.

Lagi-lagi, anak-anak menyimpulkan Bu Sonya punya indera keenam.

Aku juga begitu heran ketika Bu Sonya mengetahui permasalahan Lidia dan Belinda. Waktu itu, Belinda ingin menolong Lidia. Belinda hendak memberi Lidia uang untuk bayar SPP. Tetapi, uang Belinda hilang. Esok harinya, Lidia malah memakai sepatu baru. Belinda marah, karena mengira Lidia-lah yang mengambil uangnya untuk beli sepatu.

Belinda dan Lidia tak saling tegur sapa selama dua hari. Sampai hari ketiga, Belinda dan Lidia dipanggil Bu Sonya. Rupanya, Bu Sonya tahu semua permasalahan mereka. Bu Sonya meminta Lidia menjelaskan dari mana ia mendapat sepatu barunya.

Lidia menjelaskan bahwa sepatu barunya dibelikan Tiwi. Tiwi adalah teman sekelas kami juga. Lalu, kemana uang Belinda menghilang? Aku tidak menyangka, ternyata Bu Sonya juga tahu. Bu Sonya menyuruh Belinda mencari uangnya di dalam buku catatan. Dan memang, uang itu ada di sana.

Pernah juga suatu kali Odi menusuk ban sepeda Bu Sonya. Odi melakukan hal itu karena dendam. Ia baru saja dihukum Bu Sonya berdiri di depan kelas. Esok harinya, Bu Sonya memanggil Odi. Dengan malu, Odi mengaku salah. Bagaimana mungkin Bu Sonya bisa tahu? Pikirku heran. Ini semakin memperkuat dugaanku kalau Bu Sonya memang punya indera keenam.

Suatu hari, tanpa sengaja tanganku tertusuk jarum. Aku kurang hati-hati saat menjahit kancing bajuku sebelum berangkat sekolah. Entah kenapa, tiba-tiba aku teringat Bu Sonya. Apa mungkin, ya, dia juga tahu kalau aku baru saja kena jarum? Sepertinya tidak mungkin Bu Sonya tahu. Luka ini, kan, kecil sekali.

Aku lalu hanya memberikan obat pada jariku. Aku sengaja tidak membungkus jariku dengan perban. Jika dibungkus perban, Bu Sonya bisa tahu nanti. Usai istirahat, Bu Sonya tiba-tiba mengajakku ke kantor. Ada apa? Pikirku heran.

“Dina, ini ada plester buat kamu. Biar lukanya tidak tambah parah kalau terkena air,” ucap Bu Sonya saat aku duduk. Deg! Jantungku berpacu cepat. Bagaimana Bu Sonya bisa tahu? Pasti karena indera keenamnya!

Aku tak bisa menahan rasa penasaranku.

“Bu, apa Ibu punya indera keenam?” tanyaku. Bu Sonya memandangku dengan serius. Sejenak kemudian ia tersenyum.

“Indera keenam? Kenapa kamu tanya begitu?” Bu Sonya balik bertanya.

“Kenapa Ibu bisa tahu kalau Nina butuh kacamata? Dari mana Ibu tahu Damian dan Roni akan bertengkar? Dari mana Ibu tahu Belinda salah paham pada Lidia? Bagaimana juga Ibu tahu Odi yang menusuk ban sepeda Ibu? Bagaimana juga Ibu bisa tahu jariku terluka?”

Bu Sonya mengangguk-angguk usai mendengar pertanyaanku. 

Ilustrasi: Iwan D.


“Ibu tahu Nina butuh kacamata karena ia kesulitan melihat tulisan pada papan. Ibu tahu Damian dan Roni akan berkelahi karena mereka saling bertatapan dengan mata tidak bersahabat. Lalu, Ibu tahu Belinda salah paham karena mereka saling tidak bertegur sapa. Mereka, kan, sahabat dekat. Jadi tidak mungkin mereka saling diam selama dua hari. Ibu tahu permasalahan mereka, karena Belinda selalu memandangi sepatu Lidia dengan tatapan benci.”

“Lalu, masalah Odi dan letak uang Belinda?”

“Odi baru saja Ibu hukum. Mata Odi tampak dendam pada Ibu. Karena itu Ibu memanggilnya perihal ban sepeda itu. Tapi, di kantor, Ibu tidak menuduhnya. Odi mengaku sendiri. Dan Ibu sangat menghargai hal itu. Mengenai letak uang Belinda, Ibu melihat uang itu saat memeriksa buku catatannya.”

“Lalu jari saya?” tanyaku.

“Ketika menulis tadi, jari tengahmu tampak tidak ditekuk. Jadi pasti terjadi sesuatu pada jari tengahmu. Bagaimana? Kamu masih mengira Ibu punya indera keenam?” Bu Sonya tersenyum.

Aku merasa puas dengan jawaban Bu Sonya. Aku dan anak-anak ternyata salah menduga. Bu Sonya tidak punya indera keenam. Akan tetapi, ia punya perhatian yang super besar pada muridnya. Karena itu, ia tahu keadaanku dan teman-teman.

(Sumber: Bobo Edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 18-19)

Semua Bingung Sekali


Semua Bingung Sekali

By: Maria Wiedyaningsih

Wajah Chrisna cemberut. Benar-benar tidak sesuai untuk Minggu pagi yang cerah ini. Waktu makan pagi tadi, sebenarnya Chrisna sudah gelisah. Sekarang, saat cuma bertiga dengan Li-El dan Deni, cemberut Chrisna bertambah. 

Ilustrasi: Yoan


“Uuuh... seharusnya Mama dan kalian saja yang menginap di tempat kami,” gerutu Chrisna.

Li-El dan Deni berpandangan bingung. “Minggu ini memang Oom Gi dan kamu yang harus di sini,” balas Li-El.  

Keluarga Li-El memang belum bisa tinggal bersama. Untuk sementara, mereka hanya berkumpul saat akhir pekan. Tapi sepertinya tinggal di rumah Li-El membuat Chrisna kesal.

“Aku terpaksa berdesakan dengan Deni,” keluh Chrisna.

Li-El tahu, luas kamar Chrisna sekitar tiga kali luas kamarnya dan Deni. Sekarang Chrisna harus tidur di kamar yang jauh lebih sempit. Bahkan harus berbagi dengan Deni.   

“Sama sekali tidak berdesakan, Deni saja tidak keberatan,” ujar Li-El akhirnya. Dia agak jengkel. Li-El tahu, Deni bahkan langsung menawarkan tempat tidurnya, agar Chrisna lebih nyaman. Deni menarik tempat tidur di bawahnya, dan tidur di sana.

“Tentu saja, sebelumnya Deni tinggal ...,” Chrisna berhenti. Dengan salah tingkah, diliriknya Deni. Dia takut membuat Deni tersinggung. Sebelumnya, Deni tinggal di panti asuhan.  

Suasana benar-benar tidak nyaman di sisa hari Minggu itu. Chrisna tampak lega sekali saat kembali ke rumahnya sendiri.

Uh, kenapa keluarga baru Li-El jadi aneh begini, sih? Mama dan Oom Gi sudah sebulan menikah. Li-El tahu ada keluarga yang terpaksa tinggal terpisah karena pekerjaan ayah atau ibu mereka. Tapi keluarga Li-El sama-sama di Jakarta. Kenapa mesti tinggal terpisah?

Li-El tahu, Mama dan Oom Gi kebingungan mencari jalan keluar. Kalau Li-El, Mama dan Deni yang pindah ke rumah Oom Gi, sekolah Li-El dan Deni jauh sekali. Kalau Oom Gi dan Chrisna yang pindah ke rumah Li-El, sulit juga. Mama dan Oom Gi sedang terlalu sibuk. Susah membuat kamar baru untuk Chrisna.  

Lagipula, meskipun ada kamar baru, mungkin Chrisna akan merasa bosan. Dia kan terbiasa tinggal di rumah yang luas.

“Uh, aku jadi malas tinggal di tempat yang sama dengan Chrisna,” pikir Li-El. 

Ilustrasi: Yoan

 
Li-El dan Chrisna makin tegang saja. Deni merasa terjepit di tengah-tengah. Kalau mesti pindah ke rumah Chrisna, dia akan susah. Repot sekali tinggal jauh dari sekolah. Namun, Deni tidak bisa bilang menyetujui Li-El. Jangan-jangan Chrisna marah.   

Minggu berikutnya, ganti Mama, Li-El dan Deni yang menginap di rumah Oom Gi. Oom Gi bilang Chrisna sedang sibuk, jadi sulit selalu bersama mereka. Namun, akhirnya Li-El merasa kalau Chrisna malas bertemu dengannya.

Kejengkelan Li-El bertambah saja. Dia mencari-cari Chrisna. Ternyata Chrisna sedang ada di tepi kolam. Li-El langsung menyembunyikan diri begitu melihat ada Mama juga. Kelihatannya mereka sedang serius.

“Chrisna suka menang sendiri, ya, Ma?” tanya Chrisna

Mama memandang Chrisna. Li-El tahu apa yang akan terjadi. Pasti Mama akan mengangguk-angguk sok serius. Tebakannya benar. Chrisna cemberut.

Li-El menduga Chrisna akn protes. Ternyata Chrisna diam saja.

“Mama cuma bercanda,” ujar Mama geli. “Chrisna, kan, sejak lahir tinggal di sini. Tentu tidak mudah meninggalkan rumah ini begitu saja.”  

Wow, Li-El tidak pernah memikirkannya. Barangkali Chrisna juga baru menyadarinya. Dia sangat sayang pada rumahnya. Itulah alasannya kenapa dia keberatan pindah. Bukan karena rumah Li-El terlalu kecil untuknya. Tetapi, kalau dia tidak mengalah, dia akan sangat menyusahkan Li-El dan Deni.  

“Chrisna dan Papa pindah secepatnya, Ma,” ujar Chrisna setelah merenung.

Mama tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk-angguk bahagia.

“Kenapa Papa dan Mama tidak minta Chrisna mengalah?” Chrisna bingung.

Mama tertawa geli, “Kira-kira kenapa, ya?”

“Pasti Mama dan Papa mengira Chrisna akan ngambek berhari-hari,” tebak Chrisna.

“Itu, kan, anak Mama yang lain,” ujar Mama geli.

Chrisna ikut-ikutan tertawa geli.

“Sebenarnya, Mama dan Papa ingin Chrisna yang memutuskan,” ujar Mama setelah tawa mereka mereda.

Ilustrasi: Yoan


Tapi, ada yang cemberut di tengah tawa itu. Lo, masalah rumah, kan, sudah selesai? Soalnya, siapa lagi yang dimaksud suka ngambek oleh Mama dan Chrisna kalau bukan dirinya? Padahal seharusnya Li-El tidak perlu protes. Sekarang saja, dia sedang ngambek, hi hi hi ...

(Sumber: Bobo edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 10-11)