14 Januari 2016

Turbo Pizza Collection - Free Download Full Version for Games PC

Turbo Pizza
Run a pizzeria and attract customers in the time management game Turbo Pizza! Here you will help Rebecca and Robert build the café and get nice profit. You are to work hard to serve all the customers and meet their needs – some of them want a glass of cola, others coffee, ice-cream, delicious cake or pizza. Upgrade your pizzeria and don’t leave your competitors any chance! Be friendly and quick not to make your clients irritated and have fun in the game Turbo Pizza! 

Link Download: TheFilesLocker | Yandex Disk | Mediafire | Files | Uptobox
Link Alternative: Mega | TheFilesLocker | Yandex Disk | Mediafire | Files | Uptobox

Screenshots: 






Sumber   : www.myplaycity.com



Turbo Subs (Turbo Pizza 2)
Big Farm
Try your hand at running the greatest burger empire in the game Turbo Subs! Here you will meet your friends Robert and Rebecca who are at all pains to expand their business. And now their core target is to conquer New York City. They are really ambitious and why not joining their stunning adventures? Even if you are a poor cook, you may be a talented manager who can make their restaurant the real sensation in New York. Try your luck in the game Turbo Subs and have fun! Robert and Rebecca have a lot to do – they should invent something new that will impress the citizens. They won’t be surprised by a pizza or burgers but a new sauce will cause a great interest without fail. Do your best to create novelties that will turn a small restaurant into a sensation in New York! Train your skills in cooking, entertain your visitors and your restaurant will be beyond comparison. Keep in mind that irritated visitors don’t pay for their order so move quickly to provide all of them with tasty pizza, hot burgers or delicious cakes. Change the interior and buy new machines for making cappuccino, ice-cream and cotton candy to impress the customers. Lots of visitors are ready to taste your mouth-watering burgers, serve them quickly because they are hungry. There are several kinds of burgers: provide all your visitors with a burger they want and try not to mix the orders up! Soon you’ll be able to buy special machines for making chips, homemade cookies and various soft drinks. You can also pass chef cook courses as well! Everything depends on you! If you are not satisfied with your result in the game Turbo Subs, replay the level and try to make combo service to get extra points. At first, it’s rather easy to cope with all the tasks quickly but later on there will be several simultaneous orders and you are to do your best not to lose reputation! In the time management game Turbo Subs you will train your reaction and multitasking, so brace yourself to the dynamic work at the counter. The impressions are unforgettable!

Link Download: TheFilesLocker | Yandex Disk | Mediafire | Files | Uptobox 
Link Alternative: Mega | TheFilesLocker | Yandex Disk | Mediafire | Files | Uptobox

Screenshots




Turbo Fiesta (Turbo Pizza 3)

Cook delicious dishes to satisfy your extraterrestrial clients in the time management game Turbo Fiesta! Here you will train your skills in cooking and invent new dishes to entertain your visitors. Do your best to move quickly not to waste time and you’ll get extra money and points. Serve interplanetary customers in spectacular, far-away locations and run your fast food empire properly in the game Turbo Fiesta!

Link Download: TheFilesLocker |
Yandex Disk | Mediafire | Files | Uptobox 
Link Alternative: Mega | TheFilesLocker | Yandex Disk | Mediafire | Files | Uptobox

Screenshots








Sumber: www.myplaycity.com

15 Desember 2015

Dibalik Dusta

Di Balik Dusta

By: Evie

Memangnya orang sepertiku tidak boleh sekolah di sini? Memangnya cuma anak orang kaya aja yang boleh sekolah di SMU terkenal? Memangnya aku tidak layak mendapat teman sebaik Reva? Kenapa mereka selalu bersikap sinis terhadapku. Aku tidak pernah melakukan hal yang membuat mereka jadi benci atau tidak suka padaku.

“Udahlah, Adit dan Virni itu kan cs banget, cuekin aa kalo mereka lagi ngeledek kamu,” ujar Reva saat melihat teman-teman sekelas mulai meledekku.

“Aku tahu, aku sadar diri kok,” jawabku pelan.

“Jangan dimasukin ke hati ya, nanti juga mereka capek sendiri,” hibur Reva.

Aku tersenyum tipis. Dari ratusan anak yang bersekolah di sini cuma Reva yang baik hati. Beasiswa yang kudapat dari orang tua-asuh akulah yang membuatku bisa sekolah. Ayahku hanya penjaga rel kereta api sedang ibu tidak bekerja. Kalo bukan karena kebaikan Pak Surya, sahabat ayah yang sudah sukses, mungkin aku dan kedua adikku tidak bisa sekolah setinggi ini.

Kadang aku tidak kuat mendengar ledekan teman-teman sekelas. Mereka selalu memanggilku Neng cewek kampung atau Neng penjaga rel kereta. Keinginanku untuk belajar dan kebaikan Reva lah yang membuatku bertahan melewati semua ini. Tidak jarang Reva harus adu mulut jika sedang membelaku. Ia memang sahabat yang baik dan tak pernah sekalipun malu berteman denganku. Meski cantik, kaya dan cukup poluler di sekolah tapi ia sering mengajakku makan di kantin sekolah atau jalan ke mal. Aku senang sekali berteman dengannya.

“Neng, nanti pulang duluan aja ya, aku ada janji sama Ryan.”

“Iya, salam ya buat Ryan.”

Aku memandang kagum sosok di hadapanku ini. Sudah cantik, baik, pintar punya pacar ganteng dan baik seperti Ryan pula. Ryan juga tidak sombong padaku jika kami bertemu, ia selalu ramah dan baik. Mereka memang pasangan yang serasi.

***

Sudah tiga hari ini ibu sakit. Walau sudah di bawa ke dokter tapi panas yang dideritanya tetap tidak turun. Aku takut ibu terkena tipes. Persediaan uang di rumah semakin menipis. Anjuran Bule Ratmi tetanggaku, ibu harus di bawa ke rumah sakit untuk menghindari hal-hal yang membahayakan. Ayah sudah pusing mencari uang. Ia berusaha untuk cari pinjaman dari kantor tapi tidak dapat karena potongan hutang ayah belum selesai. Kedua adikku masih kecil, mereka belum bisa aku ajak berunding untuk mengatasi masalah ini.

Satu-satunya jalan, aku harus bekerja. Tapi kerja apa? Aku masih harus sekolah. Kucoba bertanya pada toko-toko di pasar yang kulewati tiap pulang sekolah. Apakah mereka membutuhkan karyawan tapi hasilnya nihil. Aku semakin bingung. Keadaan ibu semakin parah, aku malu untuk pinjam ke tetangga karena udah banyak hutang keluargaku pada mereka.

“Berapa hari ini kamu sering melamun, ada apa Neng?” tanya Reva menyandarkanku dari lamunan.

“Eh, gak ada apa-apa,” jawabku bohong.

“Cerita aja kali, siapa tahu aku bisa bantu,” ujarnya seperti tidak percaya dengan jawabanku.

Aku tersenyum tipis. Apa aku harus cerita pada Reva? Ah tidak! Sudah puluhan kali ia membantu keluargaku. Minggu kemarin, ia baru membelikan baju seragam dan sepatu baru untuk kedua adikku. Kalau cerita ia pasti akan membantu. Tidak boleh! Ia sudah terlalu baik.

Siang yang panas, aku dan Reva menunggu bus di halte depan sekolah. Biarpun ia kaya tapi tetap tidak mau diantar jemput. Ia lebih suka naik bus ke sekolah.

“Neng, aku duluan ya!” sserunya setelah melihat bus jurusannya datang.

“Hati-hati!” teriakku melihatnya berlari mengejar bus.

Tiba-tiba mataku tertuju pada amplop putih yang jatuh seiring dengan tubuh Reva yang loncat ke dalam bus. Aku segera mendekati dan mengambilnya. Benar ini milik Reva karena tertulis namanya di sana. Amplop cukup tebal itu dilem. Kulihat isinya ternyata lembaran uang lima puluh ribuan yang lumayan banyak. Huh, untung saja jatuhnya di dekatku bukan di atas bus. Segera kumasukkan uang itu ke dalam tas.

Panas ibu makin tinggi. Kedua adikku mulai menangis. Mereka takut kehilangan ibu, sedang ayah hanya terpekur menatap wajah ibu yang pucat pasi. Hatiku resah, apakah uang milik Reva harus kugunakan untuk membawa ibu ke rumah sakit lalu nanti baru kujelaskan bahwa aku meminjamnya. Tanpa pikir panjang aku segera menyuruh ayah memapah tubuh ibu dan membawanya ke rumah sakit. Saat ayah tanya aku dapat uang darimana, aku bilang pinjam dari teman.

Syukurlah, ibu tidak terlambat ditolong. Kata dokter kalau sehari lagi ibu tidak dirawat mungkin nyawanya sudah hilang. Lega sekali rasanya melihat ibu bisa lebih segar walaupun masih lemah. Kecemasanku seminggu ini sedikit demi sedikit berangsur hilang.

***

“Duh Neng, aku lagi bete nih!” seru Reva sesaat baru datang.

“Kenapa? Berantem sama Ryan, ya?” godaku.

“Bukan, kemarin pulang sekolah aku kecopetan.”

“Kecopetan? Di mana? Apanya yang dicopet?” berondongku.

“Bukan dompet tapi uang dalam amplop, tadinya uang itu mau aku bayarin buat pendaftaran kursus eh dicopet dalam bus, apes deh!” keluhnya.

Uang dalam amplop? Berarti uang yang kemarin aku temukan. Bukankah hari ini aku messti bilang padanya kalau uang itu ada padaku dan aku pakai untuk berobat ibu. Tapi tadi Reva bilang uang itu dicopet, apa berarti ia menganggap uang itu sudah hilang?

“Trus dimarahin sama mama dong?” tanyaku memancing reaksinya.

“Gak terlalu sih, aku dibilang sembrono taruh uang sembarangan, padahal naik angkutan umum,” ujarnya setengah menggerutu.

“Kamu kesal gak sama pencopetnya?”

“Kamu nanyanya aneh deh! Ya kesel lah emang cari uang gampang. Mencuri itu kan dosa, biarin ajalah mau marah juga gak bikin uang balik.”

“Kalo tiba-tiba pencopet itu balikin uangnya gimana?”

“Neng... Neng, kamu tuh lucu banget deh. Hari gini gitu loh! Mana ada tukang copet dengan rela hati mau balikin barang yang sudah dicurinya,” serunya seraya menertawakan pertanyaanku.

Kutatap kembali wajahnya yang terlihat santai. Aku yakin, buat keluarga Reva kehilangan uang segitu tidak terlalu berarti. Tapi, walau bagaimanapun aku tidak ada bedanya dengan pencopet. Uang Reva yang seharusnya aku kembalikan malah kupakai. Hatiku gundah, perasaan bersalah mulai muncul dalam hatiku. Apakah aku harus terus terang padanya? Tapi melihat Reva tidak terlalu risau atas kehilangan itu, hatiku jadi ragu. Apa kubiarkan saja ia menganggap uang telah hilang?

“Neng, kamu kenapa sih bengong terus?” tegur Reva sambil menyentil hidungku.

Aku tersenyum tipis menanggapi gurauannya.

Setelah tiga hari diopname akhirnya ibu diperbolehkan pulang. Seluruh uang milik Reva terpakai untuk melunasi biaya pengobatan ibu.

“Neng, gimana kita mengganti uang milik teman kamu itu?” tanya ayah setelah melihat ibu sudah beristirahat.

“Teman Neng baik, yah! Katanya kita bisa kembalikan kapan saja,” jawabku berbohong.

“Apa Reva lagi yang menolong kita?”

“Bukan, Yah! Kita sudah terlalu banyak ditolong reva. Neng malu untuk terus-terusan minta bantuan darinya.”

“Iya juga, Reva itu baik sekali. Bersyukurlah kamu punya teman seperti dia.” Kata-kata ayah menghantam hatiku. Reva memang sangat baik, akulah bukan teman yang baik. Kebaikannya kubalas dengan dusta. Harusnya aku jujur padanya dari awal. Aku yakin ia pasti membantuku. Tapi nasi sudah jadi bubur, kalau aku ceritakan padanya sekarang bisa jadi ia malah berprasangka buruk padaku.

Setiap melihat Reva aku selalu ingat akan hal itu. Perasaan bersalah kian hari kian menggunung di hati. Meski Reva nampaknya sudah melupakan peristiwa itu tapi tidak denganku. Melihat kebaikannya, aku semakin terkungkung dengan perasaan berdosa. Apa yang harus kulakukan?

Perasaan itu akhirnya membuatku takut untuk berdekatan dengannya. Sekarang aku lebih sering menghindar dan menolak tiap kali ia mengajakku jalan atau bercanda seperti biasanya. Aku takut ia bisa membaca kebogonganku. Aku takut ia marah padaku. Aku takut ia benci padaku jika tahu akulah yang memakai uangnya.

“Sebenarnya aku salah apa sama kamu, Neng?” tanyanya saat memaksaku makan bareng di kantin.

“Salah? Kamu gak punya salah apa-apa sama aku,” jawabku heran.

“Udah beberapa minggu ini sikap kamu berubah, kamu jarang ngobrol denganku, kamu sering nolak bila aku ajak pergi, kamu larang aku main ke rumah kamu, apa aku melakukan tindakan yang bikin kamu sakit hati?” tanyanya panjang lebar.

“Bukan... bukan itu, kamu gak pernah punya salah apa-apa sama aku, cuma memang akhir-akhir ini aku sedang sedikit gelisah,” ujarku gugup.

“Gelisah? Kenapa? Kamu lagi jatuh cinta?” guraunya.

“Bukan, aku... aku...,” lidahku kelu untuk berkata jujur tentang hal yang sebenarnya.

“Ya udah kalo belum siap cerita, tapi yang penting bukan karena kau kan?”

Aku menggeleng lemah. Duuh... Tuhan, kenapa kejujuran itu sangat mahal harganya. Sampai kapan aku harus menanggung perasaan bersalah ini? Sampai kapan aku harus terus berpura-pura tidak ada apa-apa di hadapannya? Maafkan aku, Reva. Aku tidak bisa menjadi sahabat yang baik buat kamu. Sekali lagi maafkan aku.

***

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 48 tahun VIII . 14 – 20 Desember 2009 . Hal 26)

2 November 2015

Reinkarnasi Ubi


Reinkarnasi Ubi

By: Swistien Kustantyana

Kalian percaya reinkarnasi? Well, aku tidak. Setidaknya dulu aku nggak percaya reinkarnasi. Bagaimana aku akan percaya kalau yang bilang itu Bimbim, sahabatku.

Dulu, Bimbim yang tinggi besar pernah dengan sangat serius mengatakan ini ke aku, “Ubi, kamu pingin tahu nggak, di kehidupanku yang dulu aku ini apa?”

Aku menatapnya heran, Bimbim jarang sekali serius, “Memang kamu percaya reinkarnasi?”

“Oh, pasti dong,” Bimbim menatapku tanpa berkedip.

“Oh ya?” tanyaku penasaran. Ide tentang kehidupan kita yang dulu sebelum kita yang sekarang memang terdengar gila bagi telingaku.

“Iya,” Bimbim berusaha meyakinkanku.

“Trus kamu siapa di kehidupanmu yang dulu?” Aku masih penasaran.

“Kulkas dua pintu,” jawab Bimbim pasti.

“Huk, huk,” aku tersedak.

Bimbim menepuk-nepuk punggungku. “Jangan cepet-cepet minumnya...”

“Ya Tuhan.... Kulkas dua pintu? Kok lebih bagus kehidupan kamu yang dulu ya Bim, daripada yang sekarang....”

***

Punya kakak cowok itu ada enak dan enggaknya. Enggak enaknya itu aku nggak bisa pinjam baju, aksesoris, dan lainnya. Aku nggak bisa milih bra bareng dia. Dan dia nggak bakalan ngerti kalau aku nyengir kesakitan pas mens.

Oh ya, kakakku satu-satunya itu cowok. Namanya Robby dan umurnya 24 tahun. Panggilan sayang buat dia tentu saja Obi. Sedangkan aku baru kelas satu SMA. Namaku Ruby. Bagus kan? Tapi sayangnya aku harus pasrah dapat panggilan sayang Ubi. Jadilah kami berdua kakak adik Obi dan Ubi.

Sore tadi aku baru ngerasain enaknya punya kakak cowok. Kak Obi pulang bawa temannya. Dan O Mai Got, temannya itu keren abis. Kulitnya putih, rambutnya gondrong, hidungnya mancung, wuih pokoknya keren!

“Lagi ngapain sih kamu?” suara Kak Obi membuyarkan kosentrasiku menatap si Keren.

“Eh, Oh, mau pinjem CD Lady Gaga,” kataku sekenanya. Aku yang membuka pintu kamar Kak Obi dengan sembrono langsung tertegun melihat si Keren ini duduk manis di tempat tidur.

Kak Obi mengambil CD itu dan mengulurkannya padaku. “Oh iya, Gab, kenalin nih adik gue,” ucap Kak Obi sambil melirik Gab.

“Gabriel,” Pangeran tampan itu mengenalkan diri sebagai Gabriel.

“Ruby,” senyuman termanisku kutampilkan.

Setelah aku berlari masuk kamarku, aku memikirkan kata-kata Bimbim tentang reinkarnasi. Kalau dulu pernyataan Bimbim tentang kulkas dua pintu sangat meragukan, sekarang aku yakin seyakin-yakinnya Gabriel itu reinkarnasi Galang Rambu Anarki.

Kalian tahu dia? Galang, maksudku. Dia anak Iwan Fals yang digosipkan meninggal karena overdosis tahun 1997. Loh kok aku tahu? Ya karena Kak Obi salah satu fans beratnya. Poster Galang tertempel di salah satu bagian dinding kamar Kak Obi. Dan tadi baru saja kulihat reinkarnasi Galang. Gabriel benar-benar mirip Galang. Wajahnya, gayanya, semuanya deh. Nama mereka pun berawal dengan huruf G. Reinkarnasi itu benar-benar ada ya?

***

Sore itu setelah pulang dari ekstrakulikuler jurnalistik, aku dan Bimbim mampir ke sebuah kedai hamburger. Aku betul-betul penasaran pada reinkarnasi. Aku ingi bertanya banyak kepada Bimbim. Aku juga ingin cerita tentang Gabriel. Intinya, aku ingin curhat.

“Bim, dia itu beneran mirip Galang Rambu Anarki!” Celotehku bersemangat. Kedua tanganku memagang Teriyaki yang tinggal separuh. Sausnya meleleh keluar. “Aku yakin seyakin-yakinnya, Bim. Kalau si Gabriel itu reinkarnasi Galang,” kataku mantap. Kutatap Bimbim yang sibuk mengunyah Onion Ring.

Bimbim tertawa. “Jadi ceritanya, kamu sekarang percaya reinkarnasi, nih?” Bimbim mencomot satu lagi Onion ring, menyelupkannya ke saus, dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Sebetulnya ya nggak begitu percaya sih. Dari kulkas dua pintu trus jadi kamu. Mungkin di kehidupan selanjutnya kamu jadi gajah kali ya, Bim?”

“Iya, kali.” Bimbim menyahut sambil terus melahap Onion Ring. Itulah enaknya punya teman Bimbim. Dicela sejuta kali tiap hari pun dia tabah dan pasrah. Bimbim tak pernah marah.

“Aku heran, Bim. Memang jaman dulu udah ada kulkas dua pintu ya?” Aku membayangkan kehidupan Bimbim di masa penjajahan Belanda. Bimbim yang berupa kulkas dua pintu tampak cantik dan berdiri di pojokan ruang makan. Setiap hari melayani satu keluarga besar sinyo-sinyo Belanda.

“Aih. Pake dipikir segala. Diterima aja kenapa sih kalau aku memang kulkas dua pintu di kehidupan yang dulu,” protes Bimbim.

“Iya, deh.” Aku meneguk lemon tea-ku. “Bim, aku jadi pengen tahu. Gabriel itu betulan reinkarnasi Galang bukan ya?” Tiba-tiba aku teringat Gabriel lagi. Aku betul-betul penasaran karena Gabriel pun banyak bakat bermain musik seperti Galang. Kak Obi yang cerita kemarin.

“Ada satu paranormal yang bisa kita tanyai. Dia bisa melihat kehidupan kita yang dulu.”

“Bim, itu paranormal yang bilang kamu kulkas dua pintu, bukan?” Tanyaku ragu. Jika jawaban Bimbim “Iya”, lebih baik aku tidak bertanya. Aku tidak mau menerima jawaban seperti, “kamu reinkarnasi panci.”

“Bukan,” sahut Bimbim.

“Syukurlah.” Aku menarik napas lega. “Kapan kita ketemu dia, Bim?”

“Besok sore aja ya. Namanya Kak Nina. Dia masih saudara sepupuku. Jadi nggak perlu bayar. Tapi kalau pelanggan lain bayarnya lumayan mahal lho.”

Aku menggangguk senang. Aku tak sabar lagi menunggu besok sore. Aku ingin tahu apakah Gabriel itu reinkarnasi Galang atau bukan. Aku juga ingin tahu aku ini sebenarnya reinkarnasi apa. Aku tersenyum sendiri saat membayangkan di kehidupanku dulu aku adalah reinkarnasi sebongkah batu ruby yang cantik. Mungkin batu itu berada dalam sebuah kotak beludru yang mewah dan disimpan di laci meja seorang puteri kerajaan. Atau mungkin aku jadi sebuah koleksi langka museum di luar negeri. Ah, Ruby yang cantik. Yang berkilauan. Yang berharga mahal. Aku tersenyum lagi.

***

“Apa?” Kak Obi memandangku tak percaya. “Reinkarnasi Galang Rambu Anarki? Gabriel?” Kak Obi mengulangi lagi kalimat yang kulontarkan beberapa menit yang lalu. Tatapan Kak Obi membuatku malu. Seolah-olah aku makhluk paling idiot yang pernah dia temui gara-gara aku bilang Gabriel reinkarnasi Galang Rambu Anarki.

“Kamu percaya reinkarnasi?” Tatapan Kak Obi masih diliputi rasa ketidak-percayaan yang sangat besar.

“Sedikit,” jawabku ragu.

“Lalu kamu sendiri reinkarnasi apa kalau begitu?” Tantang Kak Obi. Matanya bergerak-gerak. Senyumnya mulai terpasang.

“Entah. Nanti sore Ubi mau pergi sama Bimbim. Ketemu paranormal. Mau tanya tentang Gabriel dan juga reinkarnasi Ubi,” ujarku ceria. Entah mengapa ide untuk ketemu Kak Nina nanti sore menjadi sebuah ide yang sangat menyenangkan. Tak sabar rasanya.

Kak Obi tampak menahan tawa. “Oke, titip salam ya buat paranormalnya. Kalau boleh, tanyakan juga aku ini reinkarnasi apa walaupun toh sebenarnya aku sudah tahu aku ini reinkarnasi apa.”

“Memang apa?” Sahutku cepat. Tak kusangka Kak Obi juga sudah tahu reinkarnasinya dulu.

“Aku reinkarnasi Kenshin Himura.” Kak Obi terbahak-bahak.

“Kriuk. Garing. Nggak lucu,” kataku sambil cemberut. Aku ngeloyor pergi meninggalkan Kak Obi yang masih saja terbahak-bahak.

Kak Obi memang punya dua luka gores membentuk huruf X di kening. Persis seperti Kenshin Himura si Samurai X. Bedanya ya itu Kenshin lukanya di pipi dan besar, sedangkan Kak Obi di kening dan kecil.

Sore hari....

“Kenapa sih kamu ngotot pengin tahu tentang reinkarnasi Gabriel?” senyum Kak Nina yang terkembang manis membuatku salah tingkah.

“Umm, nggak apa-apa, Kak. Pengin tahu aja,” aku tertawa kecil.

“Kamu naksir Gabriel ya?” Tanya Kak Nina lagi.

“Alahhh.... Kalau itu sih nggak perlu bantuan paranormal untuk tahu. Semua juga tahu Ubi jatuh cinta sama Gabriel,” sahut Bimbim.

Wajahku panas. Bimbim sialan. Tega-teganya dia mempemalukan aku di depan Kak Nina.

“Ya udah nggak usah dijawab,” Kak Nina menepuk-nepuk telapak tangan kananku. “Mana tanganmu,” kata Kak Nina lagi sembari mengambil kedua telapak tanganku dan membaliknya. Untuk beberapa saat Kak Nina terdiam. Keningnya berkerut. Aku jadi deg-degan.

“Kulihat kamu dan Gabriel memang pernah ketemu di masa lalu.” Kata Kak Nina sambil menatapku. Diletakkannya tanganku di meja, tak lagi dalam genggamannya.

“Oh ya?” aku melonjak gembira. “Apa itu berarti kami berjodoh juga di masa sekarang dan masa depan? Apakah aku jadi istrinya Gabriel?” Semangatku begitu menggebu.

Bimbim terkikik. Aku mendelik ke arah Bimbim.

Kak Nina hanya tersenyum. “Wah kalau itu Kakak belum tahu. Tadi kan bilangnya cuma pengin lihat reinkarnasimu dan Gabriel di masa lalu.”

“Satu-satu dulu dong, Bi,” kata Bimbim masih terkikik.

Aku pun malu. “Oke, Kak. Jadi reinkarnasiku dulu apa? Gabriel apa?” Lalu aku membayangkan mungkin aku bukan reinkarnasi batu ruby. Mungkin aku reinkarnasi kekasih Galang yang dulu, Ine Febriyanti. Eh, tapi kan Ine masih hidup ya? Aku menggelengkan kepalaku. Berarti bukan Ine.

“Gabriel dulu itu seorang petani di sebuah desa,” kata-kata Kak Nina membuyarkan lamunanku.

“Haaaaa?” Aku terkejut. Bimbim terbahak-bahak.

“Dan kamu itu sepotong ubi di kebun Gabriel yang kemudian dikukus dan dimakannya...,” suara Kak Nina terdengar ceria.

Aku melongo. Bimbim tertawa histeris.

***

(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 42 tahun IX. 1–7 November 2010. Hal 26)