Reinkarnasi Ubi
By:
Swistien Kustantyana
Kalian percaya reinkarnasi? Well,
aku tidak. Setidaknya dulu aku nggak percaya reinkarnasi. Bagaimana aku akan
percaya kalau yang bilang itu Bimbim, sahabatku.
Dulu, Bimbim yang tinggi besar
pernah dengan sangat serius mengatakan ini ke aku, “Ubi, kamu pingin tahu
nggak, di kehidupanku yang dulu aku ini apa?”
Aku menatapnya heran, Bimbim
jarang sekali serius, “Memang kamu percaya reinkarnasi?”
“Oh, pasti dong,” Bimbim
menatapku tanpa berkedip.
“Oh ya?” tanyaku penasaran.
Ide tentang kehidupan kita yang dulu sebelum kita yang sekarang memang
terdengar gila bagi telingaku.
“Iya,” Bimbim berusaha
meyakinkanku.
“Trus kamu siapa di
kehidupanmu yang dulu?” Aku masih penasaran.
“Kulkas dua pintu,” jawab
Bimbim pasti.
“Huk, huk,” aku tersedak.
Bimbim menepuk-nepuk
punggungku. “Jangan cepet-cepet minumnya...”
“Ya Tuhan.... Kulkas dua
pintu? Kok lebih bagus kehidupan kamu yang dulu ya Bim, daripada yang
sekarang....”
***
Punya kakak cowok itu ada enak
dan enggaknya. Enggak enaknya itu aku nggak bisa pinjam baju, aksesoris, dan
lainnya. Aku nggak bisa milih bra bareng dia. Dan dia nggak bakalan ngerti
kalau aku nyengir kesakitan pas mens.
Oh ya, kakakku satu-satunya
itu cowok. Namanya Robby dan umurnya 24 tahun. Panggilan sayang buat dia tentu
saja Obi. Sedangkan aku baru kelas satu SMA. Namaku Ruby. Bagus kan? Tapi
sayangnya aku harus pasrah dapat panggilan sayang Ubi. Jadilah kami berdua
kakak adik Obi dan Ubi.
Sore tadi aku baru ngerasain
enaknya punya kakak cowok. Kak Obi pulang bawa temannya. Dan O Mai Got,
temannya itu keren abis. Kulitnya putih, rambutnya gondrong, hidungnya mancung,
wuih pokoknya keren!
“Lagi ngapain sih kamu?” suara
Kak Obi membuyarkan kosentrasiku menatap si Keren.
“Eh, Oh, mau pinjem CD Lady
Gaga,” kataku sekenanya. Aku yang membuka pintu kamar Kak Obi dengan sembrono
langsung tertegun melihat si Keren ini duduk manis di tempat tidur.
Kak Obi mengambil CD itu dan
mengulurkannya padaku. “Oh iya, Gab, kenalin nih adik gue,” ucap Kak Obi sambil
melirik Gab.
“Gabriel,” Pangeran tampan itu
mengenalkan diri sebagai Gabriel.
“Ruby,” senyuman termanisku
kutampilkan.
Setelah aku berlari masuk
kamarku, aku memikirkan kata-kata Bimbim tentang reinkarnasi. Kalau dulu
pernyataan Bimbim tentang kulkas dua pintu sangat meragukan, sekarang aku yakin
seyakin-yakinnya Gabriel itu reinkarnasi Galang Rambu Anarki.
Kalian tahu dia? Galang,
maksudku. Dia anak Iwan Fals yang digosipkan meninggal karena overdosis tahun
1997. Loh kok aku tahu? Ya karena Kak Obi salah satu fans beratnya. Poster
Galang tertempel di salah satu bagian dinding kamar Kak Obi. Dan tadi baru saja
kulihat reinkarnasi Galang. Gabriel benar-benar mirip Galang. Wajahnya,
gayanya, semuanya deh. Nama mereka pun berawal dengan huruf G. Reinkarnasi itu
benar-benar ada ya?
***
Sore itu setelah pulang dari
ekstrakulikuler jurnalistik, aku dan Bimbim mampir ke sebuah kedai hamburger.
Aku betul-betul penasaran pada reinkarnasi. Aku ingi bertanya banyak kepada
Bimbim. Aku juga ingin cerita tentang Gabriel. Intinya, aku ingin curhat.
“Bim, dia itu beneran mirip
Galang Rambu Anarki!” Celotehku bersemangat. Kedua tanganku memagang Teriyaki
yang tinggal separuh. Sausnya meleleh keluar. “Aku yakin seyakin-yakinnya, Bim.
Kalau si Gabriel itu reinkarnasi Galang,” kataku mantap. Kutatap Bimbim yang
sibuk mengunyah Onion Ring.
Bimbim tertawa. “Jadi
ceritanya, kamu sekarang percaya reinkarnasi, nih?” Bimbim mencomot satu lagi
Onion ring, menyelupkannya ke saus, dan memasukkannya ke dalam mulut.
“Sebetulnya ya nggak begitu
percaya sih. Dari kulkas dua pintu trus jadi kamu. Mungkin di kehidupan
selanjutnya kamu jadi gajah kali ya, Bim?”
“Iya, kali.” Bimbim menyahut
sambil terus melahap Onion Ring. Itulah enaknya punya teman Bimbim. Dicela
sejuta kali tiap hari pun dia tabah dan pasrah. Bimbim tak pernah marah.
“Aku heran, Bim. Memang jaman
dulu udah ada kulkas dua pintu ya?” Aku membayangkan kehidupan Bimbim di masa
penjajahan Belanda. Bimbim yang berupa kulkas dua pintu tampak cantik dan
berdiri di pojokan ruang makan. Setiap hari melayani satu keluarga besar
sinyo-sinyo Belanda.
“Aih. Pake dipikir segala.
Diterima aja kenapa sih kalau aku memang kulkas dua pintu di kehidupan yang
dulu,” protes Bimbim.
“Iya, deh.” Aku meneguk lemon
tea-ku. “Bim, aku jadi pengen tahu. Gabriel itu betulan reinkarnasi Galang
bukan ya?” Tiba-tiba aku teringat Gabriel lagi. Aku betul-betul penasaran
karena Gabriel pun banyak bakat bermain musik seperti Galang. Kak Obi yang
cerita kemarin.
“Ada satu paranormal yang bisa
kita tanyai. Dia bisa melihat kehidupan kita yang dulu.”
“Bim, itu paranormal yang bilang
kamu kulkas dua pintu, bukan?” Tanyaku ragu. Jika jawaban Bimbim “Iya”, lebih
baik aku tidak bertanya. Aku tidak mau menerima jawaban seperti, “kamu
reinkarnasi panci.”
“Bukan,” sahut Bimbim.
“Syukurlah.” Aku menarik napas
lega. “Kapan kita ketemu dia, Bim?”
“Besok sore aja ya. Namanya
Kak Nina. Dia masih saudara sepupuku. Jadi nggak perlu bayar. Tapi kalau
pelanggan lain bayarnya lumayan mahal lho.”
Aku menggangguk senang. Aku
tak sabar lagi menunggu besok sore. Aku ingin tahu apakah Gabriel itu reinkarnasi
Galang atau bukan. Aku juga ingin tahu aku ini sebenarnya reinkarnasi apa. Aku
tersenyum sendiri saat membayangkan di kehidupanku dulu aku adalah reinkarnasi
sebongkah batu ruby yang cantik. Mungkin batu itu berada dalam sebuah kotak
beludru yang mewah dan disimpan di laci meja seorang puteri kerajaan. Atau
mungkin aku jadi sebuah koleksi langka museum di luar negeri. Ah, Ruby yang
cantik. Yang berkilauan. Yang berharga mahal. Aku tersenyum lagi.
***
“Apa?” Kak Obi memandangku tak
percaya. “Reinkarnasi Galang Rambu Anarki? Gabriel?” Kak Obi mengulangi lagi
kalimat yang kulontarkan beberapa menit yang lalu. Tatapan Kak Obi membuatku
malu. Seolah-olah aku makhluk paling idiot yang pernah dia temui gara-gara aku
bilang Gabriel reinkarnasi Galang Rambu Anarki.
“Kamu percaya reinkarnasi?”
Tatapan Kak Obi masih diliputi rasa ketidak-percayaan yang sangat besar.
“Sedikit,” jawabku ragu.
“Lalu kamu sendiri reinkarnasi
apa kalau begitu?” Tantang Kak Obi. Matanya bergerak-gerak. Senyumnya mulai
terpasang.
“Entah. Nanti sore Ubi mau
pergi sama Bimbim. Ketemu paranormal. Mau tanya tentang Gabriel dan juga
reinkarnasi Ubi,” ujarku ceria. Entah mengapa ide untuk ketemu Kak Nina nanti
sore menjadi sebuah ide yang sangat menyenangkan. Tak sabar rasanya.
Kak Obi tampak menahan tawa.
“Oke, titip salam ya buat paranormalnya. Kalau boleh, tanyakan juga aku ini
reinkarnasi apa walaupun toh sebenarnya aku sudah tahu aku ini reinkarnasi apa.”
“Memang apa?” Sahutku cepat.
Tak kusangka Kak Obi juga sudah tahu reinkarnasinya dulu.
“Aku reinkarnasi Kenshin
Himura.” Kak Obi terbahak-bahak.
“Kriuk. Garing. Nggak lucu,”
kataku sambil cemberut. Aku ngeloyor pergi meninggalkan Kak Obi yang masih saja
terbahak-bahak.
Kak Obi memang punya dua luka
gores membentuk huruf X di kening. Persis seperti Kenshin Himura si Samurai X.
Bedanya ya itu Kenshin lukanya di pipi dan besar, sedangkan Kak Obi di kening
dan kecil.
Sore hari....
“Kenapa sih kamu ngotot pengin
tahu tentang reinkarnasi Gabriel?” senyum Kak Nina yang terkembang manis membuatku
salah tingkah.
“Umm, nggak apa-apa, Kak.
Pengin tahu aja,” aku tertawa kecil.
“Kamu naksir Gabriel ya?”
Tanya Kak Nina lagi.
“Alahhh.... Kalau itu sih
nggak perlu bantuan paranormal untuk tahu. Semua juga tahu Ubi jatuh cinta sama
Gabriel,” sahut Bimbim.
Wajahku panas. Bimbim sialan.
Tega-teganya dia mempemalukan aku di depan Kak Nina.
“Ya udah nggak usah dijawab,”
Kak Nina menepuk-nepuk telapak tangan kananku. “Mana tanganmu,” kata Kak Nina
lagi sembari mengambil kedua telapak tanganku dan membaliknya. Untuk beberapa
saat Kak Nina terdiam. Keningnya berkerut. Aku jadi deg-degan.
“Kulihat kamu dan Gabriel
memang pernah ketemu di masa lalu.” Kata Kak Nina sambil menatapku.
Diletakkannya tanganku di meja, tak lagi dalam genggamannya.
“Oh ya?” aku melonjak gembira.
“Apa itu berarti kami berjodoh juga di masa sekarang dan masa depan? Apakah aku
jadi istrinya Gabriel?” Semangatku begitu menggebu.
Bimbim terkikik. Aku mendelik
ke arah Bimbim.
Kak Nina hanya tersenyum. “Wah
kalau itu Kakak belum tahu. Tadi kan bilangnya cuma pengin lihat reinkarnasimu
dan Gabriel di masa lalu.”
“Satu-satu dulu dong, Bi,”
kata Bimbim masih terkikik.
Aku pun malu. “Oke, Kak. Jadi
reinkarnasiku dulu apa? Gabriel apa?” Lalu aku membayangkan mungkin aku bukan
reinkarnasi batu ruby. Mungkin aku reinkarnasi kekasih Galang yang dulu, Ine
Febriyanti. Eh, tapi kan Ine masih hidup ya? Aku menggelengkan kepalaku.
Berarti bukan Ine.
“Gabriel dulu itu seorang
petani di sebuah desa,” kata-kata Kak Nina membuyarkan lamunanku.
“Haaaaa?” Aku terkejut. Bimbim
terbahak-bahak.
“Dan kamu itu sepotong ubi di
kebun Gabriel yang kemudian dikukus dan dimakannya...,” suara Kak Nina
terdengar ceria.
Aku melongo. Bimbim tertawa
histeris.
***
(Sumber: majalah mingguan Gaul edisi 42 tahun IX. 1–7 November
2010. Hal 26)