10 Desember 2019

Topi Ajaib Hans


Topi Ajaib Hans

By: BE Priyanti

Hans punya topi ajaib! Berita itu sudah menyebar di seluruh desa dalam waktu singkat. Tidak ada yang tahu, siapa yang memulai kabar ini. Karena itu, orang-orang saling bertanya dan ingin melihatnya sendiri.

Ilutsrasi: Nina


Hans adalah pemuda bertubuh jangkung dan selalu memakai topi usangnya. Suatu hari, ia mendorong gerobak berisi sayuran hasil kebunnya. Di tengah perjalanan, ia bertemu Bu Lizi. Ibu itu tampak sibuk menenangkan anak laki-lakinya yang menangis.

“Mengapa dia menangis, Bu?” tanya Hans ramah.
“Tadi dia berjalan sambil meloncat-loncat. Tiba-tiba, dia terjatuh dan lututnya berdarah. Memang anak ini tidak bisa berjalan dengan benar. Sekarang dia merasakan akibat ulahnya sendiri,” jawab Bu Lizi jengkel.

Hans membungkuk mendekati bocah itu. Ia membuka topinya, membuat gerakan tangan berputar-putar di udara. Lalu, ia mengeluarkan sesuatu dari dalam topi itu.

Permen loli! Tangis anak itu mendadak berhenti. Ia langsung meraih permen loli itum lalu melanjutkan perjalanannya sambil meloncat-loncat lagi. Sungguh nakal.

“Apa topimu benar-benar ajaib, Hans?” selidik Bu Lizi.

Hans tersenyum saja dan berlalu. Bu Lizi percaya kalau topi Hans benar-benar ajaib.

Begitulah yang terjadi. Penduduk desa ramai membicarakan Hans dan topinya yang bisa mengeluarkan berbagai benda.

Ilutsrasi: Nina


Nenek dan Poppy juga percaya kalau topi Hans ajaib. Sewaktu dia sakit, Hans menjenguknya. Sehelai syal cantik keluar dari topi Hans. Saking senangnya, Nenek Poppy langsung bangun dari ranjangnya dan memasakkan Hans sup wortel yang enak.

Pada kesempatan lain, Hans pernah, lo, membayar roti yang dibelinya dengan uang yang keluar dari topinya. Di penjual roti sampai melongo melihat keajaiban itu.

Di desa itu, ada satu pemuda yang iri dan ingin memiliki topi Hans namanya Jonas. Pikirnya, “Kalau topi itu bisa mengeluarkan apa saja, aku tidak perlu bekerja keras lagi.” Jonas pun nekat mencuri topi Hans saat Hans sedang tidur.

Jonas merogoh bagian dalam topi. Kosong. Tidak ada apa-apanya. “Hmmm... bagaimana, ya, caranya supaya topi ini mengeluarkan uang?” gumam Jonas. Ah, ya! Jonas ingat! Dia harus membuat gerakan tangan berputar-putar di udara, di atas topi itu. Pasti topi itu akan mengeluarkan sesuatu.

Akan tetapi, tak ada apa pun yang keluar dari topi itu!

Jonas mencoba berbagai cara. Dia mengingat-ingat semua gaya dan gerakan yang pernah dilakukan Hans pada topinya.

Namun, usahanya sia-sia. Jonas kelelahan. Karena jengkel usahanya tidak berhasil, Jonas melemparkan topi itu ke jalanan.

Esok paginya, Pak Tua Tom menemukan topi itu. “Hei, ini, kan, topi Hans. Mengapa ada di sini? Pasti topi ini terjatuh.”

Pak Tua Tom mengantarkan topi itu kepada Hans. Dilihatnya Hans sedang menjemur jerami tanpa memakai topi. Kasihan, Hans pasti kepanasan.

“Hans, aku temukan topimu di jalan. Kau pasti sedih kehilangan topi ajaibmu ini,” ujar Pak Tua Tom sambil mengulurkan topi itu.

Seperti biasa, Hans membuat gerakan tangan berputar-putar di udara, lalu mengeluarkan sesuatu dari dalam topi.

“Ini cerutu untuk Bapak,” kata Hans penuh hormat. “Terima kasih Bapak sudah menemukan topi saya. Tapil, saya sudah tidak memerlukan topi itu lagi. Topi itu sudah usang. Saya mau membeli topi yang baru.”

Pak Tua Tom terbelalak kaget. “Bagaimana mungkin kau akan berganti topi? Bukankah topi ini topi ajaib, Hans?”

Hans tertawa. “Ini topi biasa, Pak Tom. Sama seperti topi Bapak. Semua yang saya lakukan selama ini adalah trik sulap.”

O, begitu. Pak Tua Tom manggut-manggut mengerti. Rupanya Hans pandai memakai trik sulap untuk menyenangkan orang-orang di sekitarnya.

Nah, belum sampai matahari terbenam, berita tentang Hans yang pandai menyulap sudah menggantikan berita tentang topi ajaibnya.


(Sumber: Bobo Edisi 35. Tahun XXXVIII. 9 Desember 2010. Hal. 46-47)

Satu Kata, Satu Perbuatan


Satu Kata, Satu Perbuatan

By: Widya Suwarna

Waktu istirahat, Mimi bercakap-cakap dengan Aida, Siska dan Yanti. Mereka membicarakan rencana menengok Hera yang dirawat di rumah sakit karena operasi usus buntu.

“Jadi, kalian ke rumahku saja. Di depan rumahku, ada halte bus. Kita bisa menunggu bus di sana. Jam empat ya, kumpul di rumahku!” kata Aida. 

Ilustrasi: Roedyriff

“Baiklah, dari rumahmu kita naik taksi saja, nanti aku yang bayar. Tidak enak berdesak-desakan naik bus dan tidak pakai AC!” kata Mimi.

“Wah, itu lebih enak!” kata Siska dengan gembira.

“Tetapi kalian jangan terlambat. Kalau terlambat, nanti ditinggal, lo!” pesan Mimi.

“Iya, bosss!” jawab Yanti. Anak-anak itu tertawa.

Bel masuk berbunyi. Anak-anak masuk ke dalam kelas. Mereka sedang menyalin catatan IPA di papan tulis ketika terdengar bunyi ringtone HP dengan nada lagu Potong Bebek Angsa.  Anak-anak tertawa. Dering itu berasal dari HP Yanti. Cepat-cepat Yanti mematikan HP-nya.

“Sudah Ibu pesan, kalau di kelas, HP harus dimatikan!” kata Bu Evi. “Ayo, semua yang punya HP, periksa dulu! Sudah dimatikan atau belum!” Semua anak yang memiliki HP memeriksa HP milik masing-masing, termasuk Mimi. Oh, untunglah HP-nya sudah mati.

Sepulang sekolah Bik Minah memberitahu Mimi. “Non Mimi, ada kiriman pos. Saya taruh di meja belajar, Non!”  

“Terima kasih, Bik!” Jawab Mimi. Segera ia masuk ke kamarnya. Di meja belajar ada amplop cokelat tebal.

“Waah, asyik, Tania mengirimkan majalah anak-anak!” seru Mimi bersemangat. Tania adalah saudara sepupunya. Setiap bulan, ia mengirimkan empat atau lima majalah anak-anak. Mimi sudah berlangganan satu majalah anak-anak dan Tania mengirimkan majalah lain. 

Ilustrasi: Roedyriff

“Non, makan dulu!” kata Bik Minah.

“Iya, iya, Bik, memang aku sudah lapar, kok. Nanti, aku mau pergi menengok temanku di rumah sakit!” kata Mimi.  

Setelah makan, Mimi membuat PR, lalu membaca majalah. Demikian asyiknya, sehingga tahu-tahu jam sudah menunjukkan setengah empat. Mimi bergegas mandi, kemudian berangkat ke pangkalan ojek sepeda motor. Namun, tak satu pun ojek yang mangkal. Terpaksa Mimi menunggu. Untung ada satu ojek yang meluncur ke arahnya.

Akan tetapi, jalan ternyata macet. Dia mau mengambil HP-nya dan menelpon. Tetapi, dia ingat, berbahaya menelpon di jalan. Bisa-bisa HP disambar penjahat. Oooh,  rupanya di depan ada satu mobil boks mogok sehingga menghalangi lalu lintas. Juga ada perbaikan jalan sehingga semua kendaraan dialihkan belok ke kiri. Wah, harus memutar, baru bisa sampai ke rumah Aida. 

Ilustrasi: Roedyriff

Akhirnya, Mimi tiba di rumah Aida. Suasana rumah sepi. Dia mengambil HP-nya. Rupanya dia lupa menyalakan HP-nya sepulang sekolah dan kemudian asyik membaca majalah. Ada tiga missed call dari Aida dan tiga dari Yanti. Lalu ada SMS dari Aida:

Mi, maaf, terpaksa kamu kami tinggal. Yanti bawa mobil, tetapi harus segera antar adiknya kursus musik di dekat rumah sakit. Takut terlambat.

Lalu ada satu lagi SMS dari Yanti:

Maaf ya, lain kali, satu kata, satu perbuatan, dong! 

Ilustrasi: Roedyriff

Mimi tertegun. Satu kata, satu perbuatan. Dia sendiri yang bilang jangan terlambat, nanti ditinggal. Sekarang, dia sendiri yang ditinggal, karena kata-katanya tidak sesuai dengan perbuatannya. Dengan lunglai, Mimi duduk di halte bus. Ia mau pulang saja. Mimi tak berani naik taksi sendiri ke rumah sakit. Dia juga tidak mau berdesak-desakan di bus.

Kalimat “satu kata, satu perbuatan” terus menerus timbul dalam pikirannya. Kalimat itu mengingatkan Mimi, supaya jangan hanya bisa omong, tetapi tidak bisa melakukannya.

(Sumber: Bobo edisi 35. Tahun XXXVIII. 9 Desember 2010. Hal. 18-19)

Sopir Becak Misterius


Sopir Becak Misterius

By: Eko Pri Maryanto

Rapor berisi nilai hasil belajar telah dibagikan. Anto puas dengan hasil yang diraih. Selain naik ke kelas VI, gelar juara kelas juga masih dipegangnya. Walaupun berstatus juara kelas, Anto tetap tidak sombong. Nia, adik Anto, juga naik ke kelas IV. Ayah dan Ibu bangga pada mereka.

Pagi itu, Anto dan Nia sudah bersiap melakukan perjalanan. Berkunjung ke rumah Kakek. Mereka sudah terbiasa pergi berdua ke rumah Kakek naik bus, dilanjutkan naik becak. Sudah lama mereka tidak ke rumah Kakek. Anto ingin melihat kolam ikan milik Kakek, sementara Nia ingin membantu Nenek berkebun.

Di dalam bus, Anto menjaga adiknya. Selain pandai, dia juga kakak yang bertanggung jawab. Bus terus melaju sampai di depan pasar kecamatan. Setelah membayar pada kondektur, mereka turun.

Baru beberapa langkah berjalan, seorang abang becak menghampiri mereka. Ia memakai caping.

“Mau kemana, Den? Butuh becak?” sapanya halus.

“Iya, pak. Kami mau ke Desa Keraseni,” jawab Anto.

“Mari, silakan, Den,” kata si abang becak yang wajahnya sedikit tertutup caping.

“Ongkosnya berapa, Pak?”

“Sudah, naik saja. Soal ongkos, gampang.”

“Tidak bisa begitu, Pak.”

“Ya sudah, tarif seperti biasanya saja.”

Karena mereka sudah terlanjur naik, Anto mengalah. Lagi pula, dia sudah diberitahu Ibu. Ongkos becak ke rumah Kakek kira-kira sepuluh ribu rupiah.

“Mau ke rumah siapa, Den?” tanya abang becak memulai pembicaraan.

“Pak, jangan panggil saya Raden. Saya enggak enak. Nama saya Anto dan ini adik saya, Nia. Kami mau ke rumah Kakek,” jawab Anto.

“Liburan kenaikan kelas, ya? Dik Anto kelas berapa?”

“Saya naik ke kelas VI dan Nia kelas IV. Iya, Pak, kami sedang liburan.”

“Bapak juga punya cucu seusia kamu. Anaknya pintar, selalu juara kelas, baik hati, dan tidak sombong. Nilai rapormu bagaimana, Dik?”

“Ah, biasa aja, Pak,” jawab Anto merendah. Padahal, dia juara kelas dengan nilai tertinggi sekabupaten.

“Kalau cucu Bapak, nilai rata-ratanya 9. Dia mendapat beasiswa dan selalu menang lomba cerdas cermat. Tidak seperti kakeknya yang bodoh ini. Bapak bangga padanya.”

Abang becak itu panjang lebar menceritakan cucunya. Anto hanya diam mendengarkan. Anto enggan bercerita tentang dirinya yang sebenarnya juga mempunyai nilai rata-rata 9 dan mendapat beasiswa dari Bapak Bupati. Dia tak mau bercerita karena tidak ingin dianggap sombong.

“Kelak, kalau cucu Bapak datang dari kota, Bapak akan memberinya hadiah. Apa yang dia minta, akan Bapak beri,” kata si abang becak. Anto jadi semakin ingin cepat bertemu kakeknya.

Ilustrasi: Yan B


Karena lelah, Nia tertidur bersandar. Sementara, abang becak masih terus bercerita tentang cucunya. Sebenarnya, Anto penasaran dengan abang becak itu. Setiap kali Anto menoleh ke belakang, dia selalu menunduk, sehingga wajahnya tertutup caping.

Tak terasa, mereka memasuki Desa Keraseni.

“Jika cucu Bapak datang, Bapak akan memberinya apa?”

“Ya, apa saja, asal Bapak mampu. Tahun kemarin, dia Cuma minta korek api antik. Katanya, agar Bapak berhenti merokok.”

Mendengar kata itu, Anto terbelalak. Dulu, ia juga berkata seperti itu pada kakeknya. Dengan refleks, dia meloncat turun, lalu memperhatikan wajah si abang becak. Anto mengenalinya.

“Kakek nakaaal!” seru Anto seraya memeluk abang becak yang ternyata kakeknya itu. Nia terbangun karena mendengar teriakan kakaknya. Di jalan itu, mereka berpelukan.

“Ayo, kita pulang dulu! Nenek sudah menunggu,” ajak Kakek. Mereka melanjutkan perjalanan.

“Kenapa Kakek pakai menyamar segala?”

Ilustrasi: Yan B


“Kemarin ibumu menelpon Tante Neni. Katanya, kamu mai datang. Kemudian, Kakek putuskan menyewa becak Pak Hadi untuk menjemput sang juara.”

“Kakek ada-ada saja. Pantas, waktu belok di tikungan tadi, becaknya hampir terbalik,” kata Anto.

“Ternyata, abang becak gadungan! Ha ha ha...” sambung Nia. Semua tertawa.

“Ayah ibu kalian sudah cerita tentang kalian pada Kakek. Ternyata, cucu-cucu Kakek tumbuh hebat. Tidak sombong serta selalu ingat kakek dan neneknya.”

Mereka pun sampai di rumah lalu saling melepas rindu.

(Sumber: Bobo edisi 35. Tahun XXXVIII. 9 Desember 2010. Hal. 32-33)