Indera Keenam
By: Deny Wibisono
Namaku Dina. Dina Purnaning Ratri. Aku berusia 11 tahun. Aku
duduk di kelas 5 SD. Aku ingin menceritakan seorang guru kelasku. Namanya Bu
Sonya. Menurutku, ia punya indera keenam. Soalnya, ia tahu apa yang dipikirkan murid-muridnya!
Ilustrasi: Iwan D. |
Coba dengarkan cerita-cerita ini, ya. Ada temanku yang
bernama Nina. Ia anak yang cukup pandai. Namun, nilainya akhir-akhir ini
merosot. Ternyata, Nina memang kesulitan melihat. Semua anak tidak ada yang
tahu, kecuali Bu Sonya.
Lain pula cerita Damian dan Roni. Damian dan Roni
bertengkar. Mereka saling menantang dan berjanji akan berkelahi sepulang
sekolah. Namun, saat pulang sekolah, Damian dan Roni tidak dibolehkan pulang
dulu oleh Bu Sonya.
Mereka dinasihati Bu Sonya, bahwa berkelahi tidak akan
menyelesaikan masalah. Akhirnya, Damian dan Roni tak jadi berkelahi. Mereka
bersalaman.
“Aku tidak pernah bercerita pada seorang pun,” jelas Damian
waktu itu, pada teman-teman.
“Aku juga,” sahut Roni.
Lagi-lagi, anak-anak menyimpulkan Bu Sonya punya indera
keenam.
Aku juga begitu heran ketika Bu Sonya mengetahui
permasalahan Lidia dan Belinda. Waktu itu, Belinda ingin menolong Lidia.
Belinda hendak memberi Lidia uang untuk bayar SPP. Tetapi, uang Belinda hilang.
Esok harinya, Lidia malah memakai sepatu baru. Belinda marah, karena mengira
Lidia-lah yang mengambil uangnya untuk beli sepatu.
Belinda dan Lidia tak saling tegur sapa selama dua hari.
Sampai hari ketiga, Belinda dan Lidia dipanggil Bu Sonya. Rupanya, Bu Sonya
tahu semua permasalahan mereka. Bu Sonya meminta Lidia menjelaskan dari mana ia
mendapat sepatu barunya.
Lidia menjelaskan bahwa sepatu barunya dibelikan Tiwi. Tiwi
adalah teman sekelas kami juga. Lalu, kemana uang Belinda menghilang? Aku tidak
menyangka, ternyata Bu Sonya juga tahu. Bu Sonya menyuruh Belinda mencari
uangnya di dalam buku catatan. Dan memang, uang itu ada di sana.
Pernah juga suatu kali Odi menusuk ban sepeda Bu Sonya. Odi
melakukan hal itu karena dendam. Ia baru saja dihukum Bu Sonya berdiri di depan
kelas. Esok harinya, Bu Sonya memanggil Odi. Dengan malu, Odi mengaku salah.
Bagaimana mungkin Bu Sonya bisa tahu? Pikirku heran. Ini semakin memperkuat
dugaanku kalau Bu Sonya memang punya indera keenam.
Suatu hari, tanpa sengaja tanganku tertusuk jarum. Aku
kurang hati-hati saat menjahit kancing bajuku sebelum berangkat sekolah. Entah
kenapa, tiba-tiba aku teringat Bu Sonya. Apa mungkin, ya, dia juga tahu kalau
aku baru saja kena jarum? Sepertinya tidak mungkin Bu Sonya tahu. Luka ini,
kan, kecil sekali.
Aku lalu hanya memberikan obat pada jariku. Aku sengaja
tidak membungkus jariku dengan perban. Jika dibungkus perban, Bu Sonya bisa
tahu nanti. Usai istirahat, Bu Sonya tiba-tiba mengajakku ke kantor. Ada apa?
Pikirku heran.
“Dina, ini ada plester buat kamu. Biar lukanya tidak tambah
parah kalau terkena air,” ucap Bu Sonya saat aku duduk. Deg! Jantungku berpacu
cepat. Bagaimana Bu Sonya bisa tahu? Pasti karena indera keenamnya!
Aku tak bisa menahan rasa penasaranku.
“Bu, apa Ibu punya indera keenam?” tanyaku. Bu Sonya
memandangku dengan serius. Sejenak kemudian ia tersenyum.
“Indera keenam? Kenapa kamu tanya begitu?” Bu Sonya balik
bertanya.
“Kenapa Ibu bisa tahu kalau Nina butuh kacamata? Dari mana
Ibu tahu Damian dan Roni akan bertengkar? Dari mana Ibu tahu Belinda salah
paham pada Lidia? Bagaimana juga Ibu tahu Odi yang menusuk ban sepeda Ibu?
Bagaimana juga Ibu bisa tahu jariku terluka?”
Bu Sonya mengangguk-angguk usai mendengar pertanyaanku.
Ilustrasi: Iwan D. |
“Ibu tahu Nina butuh kacamata karena ia kesulitan melihat
tulisan pada papan. Ibu tahu Damian dan Roni akan berkelahi karena mereka
saling bertatapan dengan mata tidak bersahabat. Lalu, Ibu tahu Belinda salah
paham karena mereka saling tidak bertegur sapa. Mereka, kan, sahabat dekat.
Jadi tidak mungkin mereka saling diam selama dua hari. Ibu tahu permasalahan
mereka, karena Belinda selalu memandangi sepatu Lidia dengan tatapan benci.”
“Lalu, masalah Odi dan letak uang Belinda?”
“Odi baru saja Ibu hukum. Mata Odi tampak dendam pada Ibu.
Karena itu Ibu memanggilnya perihal ban sepeda itu. Tapi, di kantor, Ibu tidak
menuduhnya. Odi mengaku sendiri. Dan Ibu sangat menghargai hal itu. Mengenai
letak uang Belinda, Ibu melihat uang itu saat memeriksa buku catatannya.”
“Lalu jari saya?” tanyaku.
“Ketika menulis tadi, jari tengahmu tampak tidak ditekuk.
Jadi pasti terjadi sesuatu pada jari tengahmu. Bagaimana? Kamu masih mengira
Ibu punya indera keenam?” Bu Sonya tersenyum.
Aku merasa puas dengan jawaban Bu Sonya. Aku dan anak-anak
ternyata salah menduga. Bu Sonya tidak punya indera keenam. Akan tetapi, ia
punya perhatian yang super besar pada muridnya. Karena itu, ia tahu keadaanku
dan teman-teman.
(Sumber: Bobo Edisi 21. Tahun XXXVIII.
2 September 2010. Hal. 18-19)