3 September 2019

Indera Keenam


Indera Keenam

By: Deny Wibisono

Namaku Dina. Dina Purnaning Ratri. Aku berusia 11 tahun. Aku duduk di kelas 5 SD. Aku ingin menceritakan seorang guru kelasku. Namanya Bu Sonya. Menurutku, ia punya indera keenam. Soalnya, ia tahu apa yang dipikirkan murid-muridnya!

Ilustrasi: Iwan D.


Coba dengarkan cerita-cerita ini, ya. Ada temanku yang bernama Nina. Ia anak yang cukup pandai. Namun, nilainya akhir-akhir ini merosot. Ternyata, Nina memang kesulitan melihat. Semua anak tidak ada yang tahu, kecuali Bu Sonya.

Lain pula cerita Damian dan Roni. Damian dan Roni bertengkar. Mereka saling menantang dan berjanji akan berkelahi sepulang sekolah. Namun, saat pulang sekolah, Damian dan Roni tidak dibolehkan pulang dulu oleh Bu Sonya.

Mereka dinasihati Bu Sonya, bahwa berkelahi tidak akan menyelesaikan masalah. Akhirnya, Damian dan Roni tak jadi berkelahi. Mereka bersalaman.

“Aku tidak pernah bercerita pada seorang pun,” jelas Damian waktu itu, pada teman-teman.

“Aku juga,” sahut Roni.

Lagi-lagi, anak-anak menyimpulkan Bu Sonya punya indera keenam.

Aku juga begitu heran ketika Bu Sonya mengetahui permasalahan Lidia dan Belinda. Waktu itu, Belinda ingin menolong Lidia. Belinda hendak memberi Lidia uang untuk bayar SPP. Tetapi, uang Belinda hilang. Esok harinya, Lidia malah memakai sepatu baru. Belinda marah, karena mengira Lidia-lah yang mengambil uangnya untuk beli sepatu.

Belinda dan Lidia tak saling tegur sapa selama dua hari. Sampai hari ketiga, Belinda dan Lidia dipanggil Bu Sonya. Rupanya, Bu Sonya tahu semua permasalahan mereka. Bu Sonya meminta Lidia menjelaskan dari mana ia mendapat sepatu barunya.

Lidia menjelaskan bahwa sepatu barunya dibelikan Tiwi. Tiwi adalah teman sekelas kami juga. Lalu, kemana uang Belinda menghilang? Aku tidak menyangka, ternyata Bu Sonya juga tahu. Bu Sonya menyuruh Belinda mencari uangnya di dalam buku catatan. Dan memang, uang itu ada di sana.

Pernah juga suatu kali Odi menusuk ban sepeda Bu Sonya. Odi melakukan hal itu karena dendam. Ia baru saja dihukum Bu Sonya berdiri di depan kelas. Esok harinya, Bu Sonya memanggil Odi. Dengan malu, Odi mengaku salah. Bagaimana mungkin Bu Sonya bisa tahu? Pikirku heran. Ini semakin memperkuat dugaanku kalau Bu Sonya memang punya indera keenam.

Suatu hari, tanpa sengaja tanganku tertusuk jarum. Aku kurang hati-hati saat menjahit kancing bajuku sebelum berangkat sekolah. Entah kenapa, tiba-tiba aku teringat Bu Sonya. Apa mungkin, ya, dia juga tahu kalau aku baru saja kena jarum? Sepertinya tidak mungkin Bu Sonya tahu. Luka ini, kan, kecil sekali.

Aku lalu hanya memberikan obat pada jariku. Aku sengaja tidak membungkus jariku dengan perban. Jika dibungkus perban, Bu Sonya bisa tahu nanti. Usai istirahat, Bu Sonya tiba-tiba mengajakku ke kantor. Ada apa? Pikirku heran.

“Dina, ini ada plester buat kamu. Biar lukanya tidak tambah parah kalau terkena air,” ucap Bu Sonya saat aku duduk. Deg! Jantungku berpacu cepat. Bagaimana Bu Sonya bisa tahu? Pasti karena indera keenamnya!

Aku tak bisa menahan rasa penasaranku.

“Bu, apa Ibu punya indera keenam?” tanyaku. Bu Sonya memandangku dengan serius. Sejenak kemudian ia tersenyum.

“Indera keenam? Kenapa kamu tanya begitu?” Bu Sonya balik bertanya.

“Kenapa Ibu bisa tahu kalau Nina butuh kacamata? Dari mana Ibu tahu Damian dan Roni akan bertengkar? Dari mana Ibu tahu Belinda salah paham pada Lidia? Bagaimana juga Ibu tahu Odi yang menusuk ban sepeda Ibu? Bagaimana juga Ibu bisa tahu jariku terluka?”

Bu Sonya mengangguk-angguk usai mendengar pertanyaanku. 

Ilustrasi: Iwan D.


“Ibu tahu Nina butuh kacamata karena ia kesulitan melihat tulisan pada papan. Ibu tahu Damian dan Roni akan berkelahi karena mereka saling bertatapan dengan mata tidak bersahabat. Lalu, Ibu tahu Belinda salah paham karena mereka saling tidak bertegur sapa. Mereka, kan, sahabat dekat. Jadi tidak mungkin mereka saling diam selama dua hari. Ibu tahu permasalahan mereka, karena Belinda selalu memandangi sepatu Lidia dengan tatapan benci.”

“Lalu, masalah Odi dan letak uang Belinda?”

“Odi baru saja Ibu hukum. Mata Odi tampak dendam pada Ibu. Karena itu Ibu memanggilnya perihal ban sepeda itu. Tapi, di kantor, Ibu tidak menuduhnya. Odi mengaku sendiri. Dan Ibu sangat menghargai hal itu. Mengenai letak uang Belinda, Ibu melihat uang itu saat memeriksa buku catatannya.”

“Lalu jari saya?” tanyaku.

“Ketika menulis tadi, jari tengahmu tampak tidak ditekuk. Jadi pasti terjadi sesuatu pada jari tengahmu. Bagaimana? Kamu masih mengira Ibu punya indera keenam?” Bu Sonya tersenyum.

Aku merasa puas dengan jawaban Bu Sonya. Aku dan anak-anak ternyata salah menduga. Bu Sonya tidak punya indera keenam. Akan tetapi, ia punya perhatian yang super besar pada muridnya. Karena itu, ia tahu keadaanku dan teman-teman.

(Sumber: Bobo Edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 18-19)

Semua Bingung Sekali


Semua Bingung Sekali

By: Maria Wiedyaningsih

Wajah Chrisna cemberut. Benar-benar tidak sesuai untuk Minggu pagi yang cerah ini. Waktu makan pagi tadi, sebenarnya Chrisna sudah gelisah. Sekarang, saat cuma bertiga dengan Li-El dan Deni, cemberut Chrisna bertambah. 

Ilustrasi: Yoan


“Uuuh... seharusnya Mama dan kalian saja yang menginap di tempat kami,” gerutu Chrisna.

Li-El dan Deni berpandangan bingung. “Minggu ini memang Oom Gi dan kamu yang harus di sini,” balas Li-El.  

Keluarga Li-El memang belum bisa tinggal bersama. Untuk sementara, mereka hanya berkumpul saat akhir pekan. Tapi sepertinya tinggal di rumah Li-El membuat Chrisna kesal.

“Aku terpaksa berdesakan dengan Deni,” keluh Chrisna.

Li-El tahu, luas kamar Chrisna sekitar tiga kali luas kamarnya dan Deni. Sekarang Chrisna harus tidur di kamar yang jauh lebih sempit. Bahkan harus berbagi dengan Deni.   

“Sama sekali tidak berdesakan, Deni saja tidak keberatan,” ujar Li-El akhirnya. Dia agak jengkel. Li-El tahu, Deni bahkan langsung menawarkan tempat tidurnya, agar Chrisna lebih nyaman. Deni menarik tempat tidur di bawahnya, dan tidur di sana.

“Tentu saja, sebelumnya Deni tinggal ...,” Chrisna berhenti. Dengan salah tingkah, diliriknya Deni. Dia takut membuat Deni tersinggung. Sebelumnya, Deni tinggal di panti asuhan.  

Suasana benar-benar tidak nyaman di sisa hari Minggu itu. Chrisna tampak lega sekali saat kembali ke rumahnya sendiri.

Uh, kenapa keluarga baru Li-El jadi aneh begini, sih? Mama dan Oom Gi sudah sebulan menikah. Li-El tahu ada keluarga yang terpaksa tinggal terpisah karena pekerjaan ayah atau ibu mereka. Tapi keluarga Li-El sama-sama di Jakarta. Kenapa mesti tinggal terpisah?

Li-El tahu, Mama dan Oom Gi kebingungan mencari jalan keluar. Kalau Li-El, Mama dan Deni yang pindah ke rumah Oom Gi, sekolah Li-El dan Deni jauh sekali. Kalau Oom Gi dan Chrisna yang pindah ke rumah Li-El, sulit juga. Mama dan Oom Gi sedang terlalu sibuk. Susah membuat kamar baru untuk Chrisna.  

Lagipula, meskipun ada kamar baru, mungkin Chrisna akan merasa bosan. Dia kan terbiasa tinggal di rumah yang luas.

“Uh, aku jadi malas tinggal di tempat yang sama dengan Chrisna,” pikir Li-El. 

Ilustrasi: Yoan

 
Li-El dan Chrisna makin tegang saja. Deni merasa terjepit di tengah-tengah. Kalau mesti pindah ke rumah Chrisna, dia akan susah. Repot sekali tinggal jauh dari sekolah. Namun, Deni tidak bisa bilang menyetujui Li-El. Jangan-jangan Chrisna marah.   

Minggu berikutnya, ganti Mama, Li-El dan Deni yang menginap di rumah Oom Gi. Oom Gi bilang Chrisna sedang sibuk, jadi sulit selalu bersama mereka. Namun, akhirnya Li-El merasa kalau Chrisna malas bertemu dengannya.

Kejengkelan Li-El bertambah saja. Dia mencari-cari Chrisna. Ternyata Chrisna sedang ada di tepi kolam. Li-El langsung menyembunyikan diri begitu melihat ada Mama juga. Kelihatannya mereka sedang serius.

“Chrisna suka menang sendiri, ya, Ma?” tanya Chrisna

Mama memandang Chrisna. Li-El tahu apa yang akan terjadi. Pasti Mama akan mengangguk-angguk sok serius. Tebakannya benar. Chrisna cemberut.

Li-El menduga Chrisna akn protes. Ternyata Chrisna diam saja.

“Mama cuma bercanda,” ujar Mama geli. “Chrisna, kan, sejak lahir tinggal di sini. Tentu tidak mudah meninggalkan rumah ini begitu saja.”  

Wow, Li-El tidak pernah memikirkannya. Barangkali Chrisna juga baru menyadarinya. Dia sangat sayang pada rumahnya. Itulah alasannya kenapa dia keberatan pindah. Bukan karena rumah Li-El terlalu kecil untuknya. Tetapi, kalau dia tidak mengalah, dia akan sangat menyusahkan Li-El dan Deni.  

“Chrisna dan Papa pindah secepatnya, Ma,” ujar Chrisna setelah merenung.

Mama tidak mengatakan apa-apa, hanya mengangguk-angguk bahagia.

“Kenapa Papa dan Mama tidak minta Chrisna mengalah?” Chrisna bingung.

Mama tertawa geli, “Kira-kira kenapa, ya?”

“Pasti Mama dan Papa mengira Chrisna akan ngambek berhari-hari,” tebak Chrisna.

“Itu, kan, anak Mama yang lain,” ujar Mama geli.

Chrisna ikut-ikutan tertawa geli.

“Sebenarnya, Mama dan Papa ingin Chrisna yang memutuskan,” ujar Mama setelah tawa mereka mereda.

Ilustrasi: Yoan


Tapi, ada yang cemberut di tengah tawa itu. Lo, masalah rumah, kan, sudah selesai? Soalnya, siapa lagi yang dimaksud suka ngambek oleh Mama dan Chrisna kalau bukan dirinya? Padahal seharusnya Li-El tidak perlu protes. Sekarang saja, dia sedang ngambek, hi hi hi ...

(Sumber: Bobo edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 10-11)

Nyanyian Luxo


Nyanyian Luxo

By: Umi Kulsum

Luxo,  si anak kuda suka sekali menyanyi. Saat antri mandi, ia menyanyi. Saat antri makan, ia menyanyi. Saat berjalan-jalan keliling kompleks peternakan, ia menyanyi. Tak ada binatang lain di peternakan itu yang meributkan kegemarannya menyanyi.

Hari ini sangat panas. Semua binatang bermalas-malasan di dalam kandang. Luxo mulai bernyanyi. Kama, si kambing putih yang baru, tiba-tiba berkata, “Adakah yang mengatakan bahwa suaramu sangat bagus, Luxo?” 

Ilutsrasi: Tyo


Luxo berusaha mengingat-ingat. “Seingatku, tak, ada,” jawab Luxo.

“Kalau begitu, mengapa kau masih saja menyanyi?” tanya Kama sinis.

“Karena aku suka...” jawab Luxo ragu-ragu.

“Kau suka, tapi yang lain belum tentu suka. Menurutku, suaramu biasa saja. Aku punya teman yang memiliki suara jauh lebih indah dari suaramu. Tapi dia tidak suka pamer sepertimu!” ejek Kama.

“Aku tidak bermaksud pamer,” jawab Luxo.

“Menyanyi keras-keras begitu, sama saja dengan pamer!” cetus Kama, kemudian pergi. Luxo sedih memikirkan kata-kata Kama.

Diam-diam, Luxo menyingkir ke belakang kandang. Luxo memperhatikan teman-temannya. Tobi anjing, Heni ayam dan anak-anaknya. Momo sapi, Cici kelinci, serta hewan lainnya tampak tak peduli. Jangan-jangan ucapan Kama benar. Tak ada teman yang suka pada nyanyiannya.

Esok pagi, Luxo mendekati Tobi yang sedang berjaga di luar pagar kandang. Luxo mulai bernyanyi. Mendengar suara Luxo, Tobi menoleh.

“Hai, Luxo. Selamat pagi!” sapa Tobi ramah.

“Pagi, Tobi. Giliran jaga, ya? Mau kutemani?” tawar Luxo. Tobi mengangguk. Luxo menemani sambi bernyanyi. Sesekali Tobi meninggalkan Luxo, berlari-lari memeriksa sekeliling komplek peternakan.

“Apa pendapatmu tentang nyanyianku, Tobi?” tanya Luxo hati-hati.

“Lumayan!” jawab Tobi pendek. Mendadak Tobi berlari ke dalam hutan sambil menyalak keras.

Luxo terlonjak kaget dan meringkik keras. Mendengar ringkikan Luxo dan salakan Tobi, binatang lain terkejut panik. Mereka bergegas lari masuk ke kandang karena mengira ada bahaya. Suasana sangat kacau. Semua binatang meringkuk tegang di dalam kandang. Tak lama kemudian, Tobi si anjing muncul.

“Kalian semua kenapa lari ketakutan? Ada apa?” tanya Tobi.

Para binatang saling bertukar pandang. “Kau menyalak dan Luxo meringkik keras. Kami pikir ada bahaya!” jawab Cici.

“Aku... meringkik karena terkejut dengan salakanmu!” kata Luxo gugup.

“Aku menyalak karena senang melihat kedatangan Taba. Apa kau tidak melihat Taba di pinggir hutan tadi? Dia itu anjing betina di peternakan sebelah hutan,” cerita Tobi.

Semua binatang di dalam kandang menatap Luxo. Luxo mendehem gugup. “Maaf, aku sudah membuat keributan,” katanya lirih.

“Bukan kali ini saja kau membuat keributan. Tapi sering, dengan nyanyianmu itu! Kau saja yang tidak sadar!” tukas Kama sinis.

Luxo merasa sedih dan beringsut keluar kandang. Tobi hendak menyusul, namun Kama mencegahnya.

“Tidak usah, biar dia tahu akibat perbuatannya!” kata Kama.

Tobi menatap Kama tajam. “Kenapa kau membenci Luxo? Apa salahnya? Kau baru di sini, tapi sudah membuat Luxo terluka. Keterlaluan!” bentak Tobi.

Tobi bergegas mengejar Luxo. Binatang lain mengikuti Tobi. Menurut mereka, Kama seharusnya tidak kasar pada Tobi.

Esok harinya, Luxo bangun pagi dengan senang. Kejadian kemarin telah ia lupakan. Barangkali Kama benar, pikir Luxo. Tidak semua binatang menyukai nyanyiannya. Luxo memutuskan, ia hanya akan menyanyi di saat ia sendirian.

Luxo melangkah ke halaman belakang, tempat semua binatang berkumpul di pagi hari. Mereka berjemur sambi bersenda gurau.

“Hei, Luxo! Ayo, menyanyi!” sapa Tobi ketika melihat Luxo datang.

“Ayolah, Luxo! Nyanyikan lagu tentang peternakan kita yang kau buat dulu. Aku suka lagu itu,” kata Momo sapi.

“Betulkah?” tanya Luxo tak percaya.

“Ya, kami suka lagu itu!” teriak lainnya.

Luxo menyanyikan lagunya dengan gembira.

“Peternakan kami sangat istimewa. Karena kami selalu gembira. Peternakan kami luar biasa. Karena kami seperti saudara. Berbagi cinta, berbagi ceria. Peternakan kami. Pasti kau suka...”

Itu syair yang dikarang oleh Luxo sendiri. Binatang-binatang lain ikut menyanyi. Suasana gaduh dan gembira. Luxo mendekati Kama yang ada di sudut halaman.

Ilutsrasi: Tyo


“Mari ikut, Kama!” ajak Luxo.

“Tidak. Teman-teman tidak menyukaiku!” Kama menjawab lirih.

“Bukan, bukan tidak suka padamu. Merea hanya tidak suka sikapmu. Kalau kau mengubah sikapmu, pasti mereka menyukaimu!” kata Luxo.

“Maafkan aku, Luxo,” bisik Kama.

“Sudahlah, lupakan saja. Ayolah, nyanyi denganku!” Luxo menggandeng Kama menuju kerumunan binatang yang tengah bernyanyi.

Ilutsrasi: Tyo


Beberapa binatang menyambut Kama dan mengajaknya bernyanyi dan menari. Menikmati persaudaraan yang indah.

(Sumber: Bobo Edisi 21. Tahun XXXVIII. 2 September 2010. Hal. 46-47)