Kasus Reuni Papa
By: Rina Budiati
Sore ini, rumah Dion dangat ramai. Papa mengadakan reuni bersama teman-teman SMU-nya. Sekitar tiga puluh orang datang. Teman-teman papanya sangat ramah. Dion bisa mengobrol santai dengan mereka. Dion sangat tertarik pada salah satu teman Papa. Om Danang namanya.
“Dari
dulu, kau masih saja gemuk,” ujar Papa bercanda dengan Om Danang.
Ilustrasi: Yan B |
Selain
bertubuh gemuk, penampilan Om Danang juga lebih menarik dibanding tamu yang
lain. Acara sore ini merupakan pesta santai. Kebanyakan teman Papa memakai baju
lengan pendek. Akan tetapi, Om Danang terlihat kepayahan dengan baju lengan
panjangnya. Pendingin ruangan sepertinya tidak terlalu berpengaruh baginya.
“Sepertinya, kau salah kostum,” Papa
geleng-geleng kepala. “Mau kupinjami bajuku, agar tidak terlalu gerah?”
“Kau
ada-ada saja,” ujar Om Danang tertawa.
Setelah
seperempat jam beramah tamah dengan teman-teman Papa, Dion berniat pergi ke
kamar. Namun, langkah Dion terhenti.
“Sepertinya
ada yang aneh waktu aku bersalaman dengan salah satu teman Papa.”
Dion
menepis perasaan itu dan melanjutkan langkahnya. Baru sebentar Dion berada di
kamar, didengarkan ketukan pintu. Mama muncul dengan wajah cemas.
“Gawat
Dion,” ujar Mama, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Patung kuda Papa
hilang!”
Patung
antik satu-satunya milik Papa, hilang? Papa pernah cerita, harganya mencapai
belasan juta rupiah. Pasti ada seseorang yang diam-diam mengambilnya dari kamar
Papa dan Mama. Padahal, pintu kamar mereka tidak terlihat dari ruang keluarga,
tempat pesta berlangsung.
“Papa
sudah tahu?”
Mama
mengangguk.
“Siapa
kira-kira yang mengambilnya, Ma?” tanya Dion buru-buru.
Mama
menggeleng. Dion bisa menebak pikiran Mama. Hari ini ada begitu banyak orang di
rumah. Namun mereka tidak boleh mencurigai seseorang begitu saja. Apalagi kenalan
mereka.
“Mungkin
ada pencuri menyelinap tanpa kita ketahui,” ujar Mama.
Dion
berpikir keras. Untuk masuk ke ruang dalam rumah Dion, harus melewati ruang
tamu. Kalau ada pencuri, pasti mereka bisa melihatnya.
Di
sekeliling rumah Dion, ada halaman sempit yang berbatasan dengan rumah
tetangga. Pagarnya lumayan tinggi. Kalau ada pencuri masuk ke rumah Dion, dia
harus melompat lebih dulu ke halaman rumah tetangga. Kalau begitu, sih,
pencurinya pasti lebih memilih mencuri di rumah tetangga.
Kalau
pun pencuri itu tetap nekat ke rumah Dion, dia harus melompati pagar pembatas.
Lalu, dia bisa ke halaman belakang dan masuk ke rumah melalui dapur. Tetapi,
itu tindakan yang sangat mencolok. Pasti ada yang memergokinya. Tidak mungkin
ada pencuri di rumahku, putus Dion. Mama kelihatannya juga berpikir begitu.
Dion
dan Mama kembali ke tempat pesta. Tidak ada orang yang membawa tas yang cukup
besar untuk menyimpan patung itu. Tamu perempuan semuanya membawa tas tangan
mungil. Sedangkan tamu laki-laki, tidak ada yang membawa tas sama sekali.
Lalu,
Dion minta izin pada Mama untuk masuk ke kamar Mama dan Papa. Dion meneliti ke
sana ke mari. Tiba-tiba, Dion melihat sesuatu. Ada yang menyembul di bawah
lemari. Dion menariknya.
“Bola?”
Dion
kebingungan memegang bola plastik kempis itu. Ukurannya lebih kecil dari bola
untuk bermain sepakbola. Dion yakin, bola itu bukan miliknya.
“Jangan-jangan...
ini ada hubungannya dengan hilangnya patung Papa?” pikir Dion.
Dion
berusaha keras mencari hubungan itu dengan teman-teman Papa. Satu-satunya cara
untuk mencari tahu adalah dengan kembali mengamati mereka. Tanpa Dion sadar,
matanya terpaku pada Om Danang.
“Pa,
jari-jari Om Danang ....,” bisik Dion hati-hati.
Sekarang
Dion mengerti, kenapa tadi perasaannya aneh saat bersalaman dengan Om Danang.
Jari-jari Om Danang terlalu kurus untuk tubuh gemuknya.
Papa
tersenyum sedih. Dion bingung. Dia sudah menemukan petunjuk, namun sepertinya
Papa tidak menyambutnya. Dion jadi ragu-ragu memperlihatkan temuannya. Dia
tambah tidak mengerti saat Papa membiarkan Om Danang pulang.
“Trims,
Dion,” Papa menepuk bahu Dion. “Kamu detektif yang sangat hebat.”
Papa
tertunduk lesu di ruang keluarga. Sesaat kemudian, Papa tampak menelepon
seseorang. Dion jadi penasaran.
Ia
semakin penasaran ketika beberapa saat kemudian Om Danang kembali ke rumah
mereka. Papa dan Om Danang berbicara serius. Tiba-tiba Om Danang mengeluarkan
sesuatu dari balik bajunya. Dion terkejut. Ternyata, Om Danang memakai tas
pinggang khusus di balik bajunya. Pasti Om Danang menyimpan bola yang tadi
ditemukan Dion di kamar. Bola itu dibuang setelah dikempiskan, lalu diganti
dengan... patung kuda Papa!
Ilustrasi: Yan B |
“Terima
kasih karena kau tidak melaporkanku ke polisi,” kata Om Danang pada Papa.
Papa
tersenyum penuh pengertian. Ditepuk-tepuknya bahu Om Danang yang kelihatan malu
dan sedih. Rupanya tadi Papa menelepon Om Danang dan meminta baik-baik agar ia
mengembalikan patung kuda Papa.
“Papaku
memang teman yang baik,” gumam Dion di dalam hati.
(Sumber: Bobo Edisi 32. Tahun XXXVIII.
18 November 2010. Hal. 18-19)