Misteri Hilangnya Jam Tangan Dokter Ho
By: Sevira Eliza
Jam tangan dokter Ho hilang. Dokter Ho adalah
dokter keturunan Tionghoa yang ramah. Para tetangga biasa berobat padanya.
Dokter Ho selalu memeriksa nadi pergelangan tangan pasiennya. Ia menghitung detak
jantung pasien di dalam hati, sambil melihat jam tangan kesayangannya.
Ilustrasi: Bondhan |
Sayangnya, sudah
seminggu ini jam tangan itu hilang. Jam antik itu warisan dari kakek buyutnya.
Terbuat dari emas putih dan tidak perlu menggunakan baterai. Bentuknya bundar
dengan ukiran naga yang indah sekali.
Dokter Ho sudah
membongkar laci meja prakteknya, mengeluarkan buku-buku dari lemari kacanya,
untuk mencari jam itu. Bahkan ia meminta istri dan pembantunya untuk ikut
mencari. Namun jam itu seperti hilang ditelan bumi.
Cucu dokter Ho,
Ali Ho, menceritakan masalah ini pada abangku. Koko Ali sudah kelas 3 SMP, satu
sekolah dengan abangku.
Abangku, Bang
Hasyieb, memang terkenal sebagai detektif sekolah. Ia disegani di sekolah sejak
berhasil menemukan Nakula-Sadewa yang hilang. Mereka adalah dua ekor kura-kura
mini yang ada di laboratorium Biologi. Kasus kura-kura ini cukup heboh, karena
keduanya adalah sumbangan Bapak Bupati.
Ternyata kedua
kura-kura itu lolos dari akuarium. Selama dua hari mereka terjebak di saluran
air washtafel yang lubangnya tak
tertutup. Pantas saja, menurut Pak Mori, penjaga sekolah kami, setiap malam
terdengar suara-suara aneh menggema di laboratorium. Sempat muncul isu, ada
hantu di laboratorium sekolah.
Kembali pada
kasus hilangnya jam tangan dokter Ho...
Selepas sholat Ashar,
abangku meminta ijin pada Ibu untuk berkunjung ke rumah dokter Ho. Jaraknya
hanya tiga blok dari rumah kami.
Ilustrasi: Bondhan |
Koko Ali
menyambut kami dengan bergembira. Ia lalu mengajak kami menemui kakeknya, yaitu
dokter Ho. Tak lama kemudian, kami bertiga sudah duduk manis, mendengarkan
cerita dokter Ho. Menurut dokter Ho, ia merasa kehilangan jam itu saat menerima
pasien di hari Rabu sore. Ketika akan memeriksa nadi pasien, ternyata jam
tangannya tidak ada di pergelangan tangannya. Dokter Ho terpaksa memeriksa nadi
sambil melihat jam meja. Setelah tidak ada pasien lagi, dokter Ho kembali
mencari jam tangannya. Semula ia mengira jam itu tertinggal di washtafel,
namun ternyata tidak ada. Ia, istri dan pembantunya lalu sibuk mencari. Namun
tetap tak menemukan jam itu.
“Apa kegiatan
dokter sebelum menerima pasien hari itu?” tanya Bang Hasyieb.
“Saya minum teh
hijau di teras rumah sambil makan camilan. Itu biasa saya lakukan sebelum jam 4
sore,” jawab dokter Ho. “Kemudian, datanglah Prof. Ridho, kenalan lama saya. Ia
ilmuwan terkenal, peneliti tanaman obat. Dua puluh tahun lalu, kami sempat
membuat karya ilmiah mengenai tanaman obat asli Indonesia,” cerita dokter Ho.
Prof. Ridho
ternyata ingin meminjam karya ilmiah itu untuk penelitian terbarunya. Kebetulan
dokter Ho masih menyimpannya. Sebagai tanda terimakasih, Prof. Ridho memberika
dokter Ho pena emas. Pena itu didapat Prof. Ridho sebagai penghargaan atas
penelitiannya mengenai kandungan kunyit sebagai obat sakit perut.
Dokter Ho lalu
menyimpan pena itu di brankas, di kamar bacanya. Brankas itu memiliki tombol
yang dapat diputar. Hanya pemilik brankas yang mengetahui kode-kode nomor di
tombol tersebut untuk membuka brankas.
“Apakah Dokter
pernah membuka brankas itu, sejak menyimpan pena?” tanya abangku. Dokter Ho
menggeleng lesu.
“Kalau dokter
tidak keberatan, bolehkah saya melihat brankas tersebut?” tanya Bang Hasyieb
sopan. Dokter Ho pun mengajak kami ke ruang bacanya.
“Dari dulu saya
ingin sekali memakai stetoskop. Bolehkah saya pinjam stetoskop Dokter?” Bang
Hasyieb memasangkan stetoskop itu ke telinganya, kemudian meletakkan sungkupnya
di dadanya sendiri. “Hmm, semoga bisa untuk mendengar detak jam juga...”
katanya lagi sambil tersenyum geli, lalu memindahkan sungkup stetoskop itu ke
pintu brankas.
Dokter Ho
tiba-tiba menyerngit.
“Astaga...”
gumamnya seperti menyadari seseuatu.
Aku dan Koko Ali
juga mendelik, baru mengerti. Bang Hasyieb cuma mengangguk dan tersenyum.
Dokter Ho buru-buru membuka brankasnya.
Sesaat kemudian,
sebuah jam tangan antik, yang telah dicari dimana-mana itu, berada dalam
genggaman dokter Ho.
Ilustrasi: Bondhan |
“Mungkin tali jam
itu sudah mulai longgar. Jadi, saat Dokter menaruh pena emas, jam itu ikut
tersimpan juga,” ujar Bang Hasyieb sambil menyerahkan stetoskop dokter Ho.
Dokter Ho
tersenyum bahagia.
(Sumber: Bobo Edisi 22. Tahun XXXVII. 10 September
2009. Hal 18-19)